Kentongan
KENTONGAN
Oleh : Triztan Famous
Dini hari sebelum
subuh itu, kentongan di pojok gardu mengadu. Mengoyak selaput awan di atas sana.
Membuatku dan tetanggaku bergegas, berlari bersama cemas menyecap ujung suara.
“Maling! Maling!“ lagi,
seruan parau itu menggema di sudut desa. Meminta pertolongan, memberi kepastian.
Penduduk sekitar yang sudah biasa membaca tanda-tanda akan datangnya peristiwa
lantas berhambur di luar rumah, memecah diri. Sebagian menuju sumber suara, yang
lain bersiap di titik-titik strategis.
Seketika, rumah
di ujung jalan itu ramai tak terperi. Seseorang bercadar sarung berkelebat
menghindar kejaran masa yang mendadak padu. Ia panik, tak mengira jika aksinya
kali ini akan mengundang masa sebegitu banyaknya.
Nafasnya
berseloroh, tremor menyerang mendadak, degub di jantungnya seperti akan mencuat
lepas dari dalam dada. Ia tak ingin menjadi tumbal kejahatan masal, dengan
segenap tenaga ia memaksa tungkai kakinya yang terus bergetar agar terus
bergerak. Menjejak aspal, atau gumpalan tanah berbatu yang meghadang. Ia
ketakutan. Keringat menderas, membentuk noda basah di lekukan tubuh, punggung
dan cadar sarungnya. Clurit di tangannya siap membabat orang yang menghadang. Ia
tak ingin menyulut peperangan, tapi itu akan terjadi jika langkahnya terhalang.
Para cecunguk desa
mulai bertebaran di posisi strategis yang mungkin ia lewati, membuat si pencuri
hilang akal, jalan-jalan keluar yang ia persiapkan tersumbat gelontoran manusia.
Ternyata aksinya sudah terendus warga desa. Tak ingin ia tertangkap dan jadi bulan-bulanan
masa demi segengam emas dan segepok uang. Keluarganya setia menunggu dirumah,
ia tak ingin mengecewakan mereka. Atau sekedar pulang menghidangkan rasa malu
untuk dijamu sebagai sarapan.
Di pertigaan
langkahnya tersendat, ia melihat masa mengepungnya. Jiwanya histeris, ia kalut,
sekilas ia bersitatap dengan malaikat maut yang hadir berkelebat, penunggu kuburan
yang akan tubuhnya gunakan untuk bersemayam, “Jangan memaksakan keberuntungan,“
katanya sinis. Tapi ia diam, tak menggubris kelebat hayalnya. Ia tak sudi
menyerahkan butir nyawanya dalam kondisi seperti ini.
Ia mengedarkan
pandang, tak ada jalan, bisiknya getir
pada diri sendiri. Tetesan keringat mendanau di bungkusan ketat tubuhnya. Ia
kembali mengedarkan pandang, tak ada
jalan, ulangnya frustasi.
Matanya bergetar,
ia lemparkan sudut pandang ke segala penjuru arah. Mustahil ia bisa memanjat
tembok setinggi dua setengah meter disekelilingnya, pertigaan itu mengkungkung dirinya
dengan jajaran rumah berpagar tinggi. Sebentar
lagi kau akan bertemu ajal, dan aku akan melumatmu perlahan, ucap sang maut
kegirangan. Tidak! Aku tak ingin mati
sekarang, balas sengit pencuri bercadar.
Suara kentongan
terasa menohok telinga saat sebuah galah melayang menubruk punggungnya. Warga
desa sudah bersiap, mereka tak ingin celaka dengan pertarungan jarak dekat
dengannya. Clurit di tangannya teracung garang, menantang warga desa yang
mendatang. Ia tak ingin menyerah, sama sekali tak ingin kalah.
Gelombang besar
manusia mengepungnya dipertigaan, dengan senjata dan alat pertahanan seadanya,
mereka membludak dalam sebuah arus besar yang tak bisa ditahan. Tak hanya
lelaki yang datang menyeruak, ibu dan anak-anak semua berbondong-bondong
datang. Mereka ingin melihat orang dan kejadian yang akan menjadi bahan omongan
beberapa waktu kedepan.
Batu dan galah
meluncur dari segala arah menghujam tubuhnya. Cluritnya tak lagi terlihat
garang, saat ia melindungi wajahnya, warga berdatangan menghampiri dan merebut
clurit yang tak bisa lagi terlihat garang. Balok kayu langsung menghantam
telinga bagian kanan, rasa panas, perih dan dengungan panjang datang menyergap
disertai sorak sorai masal. Warga bahagia, maut bersendawa.
“Habisi dia!“
“Buat orang itu
jera!“
Teriakan menghujam
dari berbagai lidah tajam. Mereka akan membunuhku,
ucapnya pasrah, aku akan mati. Ia
pasrah, tak bisa ia berbuat apa-apa. Tubuhnya terus berdenyut kencang bekas sepakan
keras kembali menghantam sisi kiri wajahnya.
Mereka bersorak!
Orang-orang terus berteriak!
Batu menghantam
dari bawah dagunya.
Tawa masyarakat
membuncah! Beludak bahagia menggema!
Galah adu keras dengan
jidatnya. Sorai bertemu dengan tepukan tangan! Mereka menikmati proses
penyiksaan dirinya dengan gembira.
Kentongan terus ditabuh
sebagai orkes pengiring kebahagiaan masal. Cadar sarungnya dikoyak diantara
wajah belepot darah dan luka setengah matang. Mereka mengenalinya, jati dirinya
resmi telanjang. Bogem mentah kembali melayang, bergilir menghantam wajahnya.
Tongkat kasti meremukan rusuknya, balok kayu menghancurkan telinganya, sepakan
keras menjontorkan bibirnya, galah kembali adu keras dengan batok kepalanya,
dan sikut mendarat tepat di tengah punggungnya.
Adengan itu terus
berulang, menerbangkan setengah nyawanya mengawang-awang, ia sekarat, sang maut
siap-siap melumat. Wajahnya tak lagi ketara diantara aliran segar darah dan
biru memar. Ia sadar, jika inilah babak akhir hidupnya.
Kentongan kembali
bertabuh.
Menyadarkanku, jika
itu ceceran mimpi yang telah berlalu.
0 komentar: