Pelepasan Remah 6
Pelepasan
Remah
6
“Willy,”
kata lelaki tambun itu renyah mengundang selera, memperkenalkan dirinya sambil
mengulurkan tangan. Senyum cengegesan dan gaya slengean langsung menyedot perhatian Abell saat pertama kali
bertemu.
“Abell,”
balas Abell simpul, lalu menyambut uluran tangannya, merasakan kehangatan yang
berkumpul disana dan kehangatan di matanya. Ia tersenyum saat mata mereka
berpapasan. “Lama ya tadi nunggunya?”
“Ah,
enggak.” Sahut Willy cepat dengan nada menyenangkan, “lagian tadi nyantai kok jalannya.
Nak ge koe, sedino yo tak enteni
Bell,”
Senyum
kembali timbul di wajah Abell, “Halah,
tenane?” ujar Abell sedikit kikuk.
“Yoiyolah! Ngajak ketemuan koe we ndhadak
nunggu ameh setahun we tak lakoni, mosok yo gur nunggu setengah jam we ra iso?”
“Sorry
Will, mau ono urusan dadakan soale,”
“Masalah cafemu?”
“He’em”
jawab Abell sambil mengangguk.
Senyum
terulas di wajah Willy, membuat Abell senantiasa ingin terus memandangnya, “Nggak
masalah Bell,” jawabnya mantap, “rep
ngopi? Koyone mantep nak angine semriwing
ngene ngopi bareng,”
“Ide
yang bagus!” jawab Abell antusias, “ayo
lakndhang! Sikat!”
Berteman
kopi dan pisang goreng, mengalirlah beragam topik pembicaraan antara mereka
berdua. Bagai sahabat yang lama tak jumpa, mereka berkisah tentang banyak hal,
lalu tertawa, tercengang, terbahak, bingung, tersenyum simpul saat ada hal yang
tidak dimengerti, mengerinyit, hingga terpingkal karena banyak hal.
Ternyata
Willy penuh kejutan, dan itu membuatnya semakin menarik bagi Abell.
Setelah
cukup menyumpal perut, mereka lalu meninggalkan warung yang berjajar di bawah
tulisan New Selo dan berjalan menyusuri track
pendakian gunung Merapi. Satu persatu mereka mulai bercerita tentang diri
masing-masing, seakan-akan menjalin hubungan intens melalui telefon dan media sosial
setahun terakhir tak berarti apa-apa untuk mereka. Hanya ada warna coklat,
hijau dan biru yang terhampar di track menuju puncak Merapi tersebut, tapi di
dalam hati Abell beragam warna silih berganti untuk saling mengisi dan
melengkapi.
Seiring
jalan yang kian menanjak dan berdebu, Willy dan Abell kembali menurut kisah
yang mereka ceritakan lewat pesan singkat atau telefon. Membenarkan apa yang
salah, melengkapi apa yang kurang, menceritakan kembali kisah yang sudah genap
mereka lakukan untuk mengalami kembali pengalaman yang ingin mereka rasakan
berdua.
Setelah
berjalan urang lebih empat atau lima kilometer dari New Selo, mereka memutuskan
untuk istirahat sejenak di salah satu tebing. Berteduh di bawah pohon rindang
berdaun lebat, mereka berdua duduk bersisian. Mendengarkan angin yang berderu
sendu dan menggoyangkan dedaunan, atau sekedar menyapukan telapak tangan di
atas rerumputan tempat tubuh mereka bersemayam.
Willy
merebahkan tubuhnya diatas rerumputan dan Abell duduk tenang di sampingnya,
sorot matanya menyusuri warna hijau dedaunan yang berbeda. Sekali-kali dia juga
menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Berusaha meresapi
aroma pegunungan yang terlampau memabukkan untuknya.
“Wes sue yo ora nek gunung?” tanya Willy
dengan wajah sumringah, memandang Abell dengan tatapan memabukkan.
“Iyo,Will,” jawab Abell kalem, mengulas
senyum sambil membuang pandang pada tebing di depan, “wes sue banget. Kaet aku diusir ko omah karo bapakku, terus aku mulai
mbangun cafe karo Andi. Aku ra pernah dolan nek endi-endi, paling gur nonton
nek bioskop thok. Akeh seng kudu diurusi siji setengah tahun wingi,”
Willy
mengangguk pelan, “Tapi nyatane yo saiki
cafemu rame terus ngono Bell, ra sia-sia tho siji setengah tahun ora mblayang,”
“Asline ora gur siji setengah tahun thok Will
gawe cafe kui. Nak diitung-itung yo arep limang tahun setengah,” Jelas
Abell sambil membayang masa-masa awal perjuangannya dengan Andi, “soalnya kan
aku sama Andi buat coffe both dulu di
beberapa tempat, terus kedai susu kecil-kecilan baru akhirnya bisa buat cafe
itu,”
“Keren
koe Bell!” puji Willy tulus.
“Kamu
juga keren kok, desain-desain kaos di distromu juga bagus-bagus. Tapi kayaknya segmented banget ya?”
“Iya,
emang gitu kok. Lagi musimnya hardcore
sama racing soalnya,”
“Nggak
kepikiran buat teman lain?”
“Kamu
punya ide apa emangnya?” tanya Willy antusias. Menatap lurus ke mata Abell,
membuatnya tak nyaman.
“Sebenernya
aku nunggu edisi yang beda aja dari distromu. Aku nggak terlalu suka dengan
kaos-kaos bertuliskan kata-kata kasar apa bergambar nggak karuan tentang
apapun, bagiku itu membosankan dan nggak keren lagi. Udah jenuhlah intinya. Mungkin
iya kalau anak muda jaman sekarang kalau pakai kaos yang ada tulisannya
‘bajingan’ atau ‘kimcil’ atau apapun itu, menurut mereka keren. Tapi bagiku
enggak. Bagiku itu konyol. Jaman udah berantakan gini, nggak ada kesantunan
lagi, anak kecil bilang ‘asu’ ‘bajingan’ ‘tai’ kaya nggak ada beban lagi.
Kata-kata itu penting lho Will, sanggat berpengaruh. Harusnya kamu buat kaos-kaos
dengan lebih bijak Will,”
Butuh
sekian detik untuk Willy menelan itu semua, tapi sekian detik berikutnya, ia
merasa jika apa yang dikatakan Abell itu ada benarnya juga, “Tapikan mereka
berkata-kata seperti itu bukan hanya karena tulisan-tulisan di kaosku Bell,
lingkungan rumah sama pergaulan juga punya pengaruh yang besar lho,”
“Emang
bener sih Will kalau lingkungan dan pergaulan menjadi faktor utama, tapi kalau
kamu mau lihat lebih jernih kaos itu menjadi salah satu sarana di pergaulan dan
lingkungan lho. Liat deh anak SMP atau SMA jaman sekarang, mereka semua itu
kaya di cetak dengan gaya yang sama. Kaos yang seperti itu, baju yang kaya
gitu, topi, tas, sepatu, semuanya hampir seragam,”
“Okey,
terus kamu usul gimana?” tanya Willy serius.
“Ya
ini cuma sekedar usul sih, kamu tolak ya nggak masalah, kamu terima ya
alhamdulilah. Kalau aku sih usulnya begini Will, kamu buat kaos-kaos dengan
desain sekeren biasanya tapi dengan muatan kata-kata positif. Contohnya ya kaya
Dream, Believe and make it Happen,
apa Tut Wuri Handayani, atau
pepatah-pepatah zaman dulu. Bagiku itu lebih keren dan unik daripada kata-kata
kotor atau pisuh-pisuhan yang nggak ada gunanya ama sekali. Gimana menurutmu?”
Willy
menimbang-nimbang, “Lumayan sih idemu, keren. Nantilah coba aku obrolin sama
anak-anak dulu. Kalau mereka setuju, kita babat idemu.”
“Okey,”
“Nanti
jadi nginep disinikan?”
“Ya
jadilah,” sahut Abell sumringah, “itung-itung liburan jugakan?. Ngapain sih
ngeliatin melulu? Risih tahu nggak!” protes Abell, daritadi ia tak nyaman
dengan sorot mata Willy yang mengamatinya.
“Kalau
dilihat-lihat. Kamu lebih keren aslinya daripada di foto Bell, apalagi mata
kamu,” ujar Willy santai. Membebaskan bungkus rokok dari tas selempangnya,
menyelipkan sebatang rokok di bibir tipisnya, dan menyulutnya dengan korek
bercorak bendera jerman, “ngrokok?” tawarnya dengan ekspresi lucu. Membuat
Abell kembali tersipu dan mengambil sebatang lalu menyulutnya.
“Halah,
bisa aja kamu,” jawab Abell kege-eran, “anomali kan mataku?”
“Iya,
jarang aja lihat orang pribumi dengan mata selain cokelat dan hitam,”
“Mata
Ibuku juga kaya gini kok Will, entah kelainan genetik apa kecacatan genetik,
aku nggak tahu,”
“Aku
kira dulu kamu pakai softlens lho!”
Aku
tertawa, sudah terlalu banyak yang mengira jika aku memakai softlens, “Gila aja
kamu! Dikira aku banci yang tiap malam minggu nongkrong di mall kali. Tapi banyak
kok yang bilang gitu, emang sial terlahir dengan warna mata seperti ini di
Indonesia. Terlalu banyak orang yang salah sangka,”
“Kalaupun
itu kelainan apa kecacatan, menurutku kamu beruntung dengan mata seperti itu
kok Bell. Kamu indah dan mempesona, dan karena mata itulah aku tertarik sama
kamu sampai akhirnya jatuh cinta sama kamu,” puji Willy tulus, kembali membuat
Abell kelimpungan. Bingung ingin melakukan apa. Membuatnya kembali
memperhatikan pemandangan di depannya.
Pelan,
Willy menarik halus dagu Abell. Mendekatkan wajahnya dengan wajah orang yang ia
kejar setahun terakhir. Di lihatnya mata Abell membesar, ia membaca gairah
disana. Di saksikan kabut tipis yang menyelimuti dedaunan rimbun dan semilir
angin dingin khas pegunungan. Akhirnya, ia mengatup bibir Abell dengan
bibirnya. Menciumnya lama seakan-akan hanya bisa ia lakukan sekali itu saja.
Setelah
itu, ciuman-ciuman kecil terus didaratkan Willy saat melihat Abell tersenyum,
berfikir, atau diam. Entah kenapa ia tiba-tiba tak bisa mengontrol dirinya saat
berhadapan dengan Abell.
“Maaf
Bell, daritadi aku nggak tahan buat nyium kamu,” ucap Willy sedikit menyesal
dengan sisi liar dirinya yang tiba-tiba keluar. Ia pandang bibir Abell yang
kemerahan akibat ciuman liarnya, beberapa kali ia mengigit bibir orang yang
kasihi.
Tapi
Abell hanya tersenyum melihat orang yang sejak bertemu tadi begitu dominan dan
spontan, menjadi kikuk tak berdaya. Tanpa basa-basi, kini giliran Abell yang
merenggut bibir Willy dalam ciuman panjang.
Pelepasan Remah ke 7 Klik disini
Daftar lengkap serial Pelepasan
Melajulah "Pelepasan"ku klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
0 komentar: