Pelepasan Remah 7
Pelepasan
Remah
7
Kisah sebelumnya Klik disini
Setelah mendapatkan kamar di salah satu hotel, mereka berdua rebahan di atas tempat tidur. Berpelukan erat sambil menonton acara di televisi. Melalui tenggakan alkohol, kembali mengalir berbagai topik pembicaraan diantara mereka, dari keluarga, makanan, mimpi, masadepan, ukuran baju, bioskop favorit, perkerjaan, luka masalalu, tempat nongkorng, hingga warna celana dalam dan pengalaman sexual.
Setelah mendapatkan kamar di salah satu hotel, mereka berdua rebahan di atas tempat tidur. Berpelukan erat sambil menonton acara di televisi. Melalui tenggakan alkohol, kembali mengalir berbagai topik pembicaraan diantara mereka, dari keluarga, makanan, mimpi, masadepan, ukuran baju, bioskop favorit, perkerjaan, luka masalalu, tempat nongkorng, hingga warna celana dalam dan pengalaman sexual.
Willy
tertawa terpingkal-pingkal mendengar apa yang baru saja Abell katakan, “Beneran
kamu belum ngapa-ngapain?” tanya Willy dengan wajah memerah, alkohol sudah
menguasai kesadarannya. Abell menggeleng. “sama sekali?” sahut Willy cepat,
disusul dengan anggukan ringkas Abell.
“Sumpah
deh Will, aku masih perjaka!. Belum pernah ngapa-ngapain! sama sekali! Puas?”
“Lha
mau ngapa-ngapain nggak sekarang?” tawar Willy genit penuh nafsu.
“Nggak
mau ah, pusing kepalaku! Mau tidur!”
“Jangan
tidur dulu dong Bell, ngambang nih aku. Temenin aku minum bentar lagi deh,
habis itu baru kita bobo bareng,”
“Yo wes cepet! Wes mumet banget ki ndhasku!”
.
. . . # # # . . . ...
Pagi
menjelang, sinar matahari yang menerobos jendela kaca terlampau menyilaukan.
Dalam dekapan pelukan Willy, Abell terbangun dengan kepala pening. Betapa
kagetnya dia saat telapak tangannya bersarang di dalam celana dalam Willy.
Bersentuhan dengan penisnya yang sedang ereksi penuh. Hangat, keras, panjang
dan tegang.
Bingung
dengan apa yang terjadi, akhirnya Abell perlahan menarik telapak tangannya dari
selakangan Willy. Saat ia hampir mengeluarkan seluruh telapak tangannya, Willy
terbagun dan kembali membetulkan posisi tangan Abell seperti saat sebelum
mereka bangun. Tersenyum penuh makna, mempererat pelukannya dan mencium jidat
Abel dengan mesra.
“Jangan
dilepas dulu dong,” pinta Willy manja dengan mata terpejam, “lagi enak. Telapak
tanganmu aja udah bikin ngaceng,
gimana sama selakanganmu ya bell?”
Semalaman
mengenal Willy, dengan sifat spontan dan beragam celetukan yang menghiasi
perbincangan mereka, tetap membuat Abell tak nyaman. Apalagi pada saat ia baru
bangun tidur seperti ini. Ingin rasanya ia melibas kalimat Willy barusan, tapi
efek minuman keras semalam terlanjur berkocol keras di kepalanya.
“Udah
deh, nggak usah macem-macem,”
“Bercanda
bell, bercanda doang,” sahut Willy cepat, secepat ia merengkuh seluruh tubuh
Abell kedalam pelukannya.
Lama
mereka berdua diam, sebelum akhirnya Abell membuka suara, “Kenapa copot baju
segala sih Will? Bukannya kemarin dingin banget ya?”
“Kebiasaan
Bell, biasanya malah nggak pakai apa-apa. Tapi takut kamu risih, jadi ya pakai
boxer doang,”
“Tapi
kan kemarin malam dingin banget Will,”
“Kan
ada kau buat dipeluk, hehehe,”
“Halah,”
“Reti ra Bell, Wingi koe ngomong opo pas
pisanan ndhemek manukku?”
“Ah, emboh Will. Esuk-esuk kok wes ngomongke
koyo ngono,” serobot Abell cepat sambil melepaskan tubuhnya dari pelukan
Willy.
“Iki tenanan yo Bell, udu guyon, sumpah,”
pinta Willy memelas. Kembali menarik Abell kedalam pelukannya.
“Emange aku ngomong opo?”
“Jaremu manukku ki dowo terus enek urate!
Hahah,”
“Hash! Weslah aku arep adus, sarapan terus
bali. Diuntal Andi aku ngko nak dino iki ra ngetok nek cafe,”
“Rep adus bareng po?”
“Ora! Adus dewe-dewe,”
“Ealah Bell, Bell, gur golek kesempatan karo
kowe we angele ora umum,”
.
. . . # # # . . . ...
Usai
mandi, Abell kembali dihadapkan situasi yang membuatnya salah tingkah kembali.
Willy yang mondar-mandir dari toilet tanpa sehelai benang sedikitpun, dengan
santai ia telanjang kesana-kemari, entah mau merokok, ngopi, mainan hape. Semua
ia lakukan tanpa beban.
“Sebenernya
kamu mau pamer tatto, badan apa burung kamu sih?” sambar Abell gerah dengan
tingkah laku Willy, “nggak jelas banget, buruan mandi. Cari makan terus
pulang,” tambahnya gusar.
“Nggak
tiga-tiganya Bell,”
“Lha
terus kamu maunya apa?”
“Kamu,”
“Dan
kalau untuk itu, kamu udah tahu apa jawabannya,”
Jawaban
Abell barusan malahan membuat Willy menghampirinya dengan sorot mata yang
membuatnya limbung, tanpa disangka-sangka Willy berlutut di depannya, sambil
mengenggam kedua tangannya dan menangkupkan ke dalam dadanya. Mata mereka
bertemu, membuat Abell bergidik menatap apa yang ada dibalik sorot mata lelaki
di depannya. sorot mata yang membuat pendiriannya runtuh.
“Bell,”
kata Willy dengan suara merdu, membuat Abell merinding membayangkan gelondongan
perasaan yang ada di balik suara itu, “kamu tahukan kalau aku suka sama kamu?
Hampir tiap hari aku bilang itu sama kamu, tapi kamu nggak pernah kasih aku
jawaban yang tepat,”
Abell
membeku. Mulutnya tercekat, tertohok sorot mata di depannya. lalu, ia
mengangguk pelan. Berulang Willy mengungkapkan perasaannya, tapi ia tak pernah
merasakan gelontoran perasaan sehebat ini sebelumnnya.
“Perasaan
itu, sejak awal aku lihat kamu di facebook sampai kemarin pas kita pertama kali
bertemu, bahkan sekarang, nggak berubah. Dan mungkin nggak bakal berubah,” aku
Willy dengan suara bergidik, sudah lama ia menanti saat seperti ini. Mempersiapkannya.
Tak ingin ia menyia-nyiakan kesempatan ini. “aku jatuh cinta sama kamu pada
pandangan pertama, kedua dan seterusnya, semoga sampai mati,”
Sekian
detik kemudian barulah tangan Abell menangkup wajah lelaki tampan berperut
tambun di depannya, “Will,” ucapnya serius, “aku tahu kalau kamu sayang banget
sama aku, nggak ada yang pernah ngejar-ngejar aku selama ini, sehebat ini dan
sampai kaya gini selain kamu. Tapi, kita baru ketemu kemarin Will. Walaupun
kita udah kenal satu tahun, tapi tetap aja terlalu cepat,”
“Satu
tahun lebih lho Bell aku ngejar-ngejar kamu,” protes Willy cepat. “coba hitung
deh berapa kali kamu nolak aku, ngasih harapan aku, tapi sampai sekarang aku
tetep berjuang biar dapetin kamu,”
“Aku
tahu Will, aku paham kok gimana perjuanganmu setahun ini,” sahut Abell cepat,
“kita emang udah kenal lama di dunia maya Will, tapi di dunia nyata kita baru
bertemu dalam hitungan jam.” Hembusan nafas panjang menjadi penjeda suara hati
yang kemudian berwujud kata, “kamu, adalah alasanku buat melanggar batas antara
dunia nyata dan dunia maya yang aku buat bertahun-tahun yang lalu. Aku sayang
kamu Will, sayang banget malah. Tapi, kalau kamu mau kita jalin hubungan lebih
lanjut, sebaiknya kita saling mengenal dulu satu sama lain. aku nggak suka
hubungan instan, kaya aku nggak suka hal-hal instan lainnya. Aku nggak suka
sama filosofi efek soda yang sekali muncul langsung meledak, melimpah ruah
penuh busa tapi lenyap sesudahnya. Aku nggak mau jalin hubungan kaya gitu, kamu
ngertikan maksutku?”
“Iya,
aku paham kok Bell,”
Didekapnya
Willy erat-erat, ia ingin berterimakasih untuk apa yang Willy lakukan satu
tahun terakhir, “Cepetan mandi sana! Bau tauk!”
“Bukannya
bau keringet itu malah bikin terangsang ya?” sahut Willy cengengesan,
“sebenernya sih, aku pengennya dimandiin kamu Bell,”
“Nggak
usah manja deh! Baru juga ketemu dua hari, gimana kalau kita ketemu seminggu?”
“Ya
pastinya aku udah pindah kerumah kamu!”
“Dasar!”
Tak
lama kemudian, Willy melengang santai keluar dari kamar mandi. Telanjang dengan
uap meruah dari pori-pori tubuhnya. Handuk tergantung lunglai di lehernya,
dengan gerakan mengeringkan rambut ia menghampiri Abell yang sedang sibuk
menonton berita di televisi dan duduk disampingnya.
“Bell,”
Abell
menoleh ke sumber suara. Sebongkah bibir tipis kembali menangkup bibirnya.
Hangat, empuk dan membuatnya ingin waktu berhenti. Agar ia bisa terus merasakan
sensasi itu.
“Nggak
tahu kenapa aku pengen nyium kamu terus Bell,” ujar Willy pasrah.
“Yaiyalah,
secara aku punya bibir kelas dunia! Siapapun yang nyoba, pasti nggak bakalan
mau nyium orang lain lagi, hehehe,” kata Abell berbangga.
Ciuman
panjang kembali Willy daratkan ke bibir Abell.
“Kenapa
Triball?” tanya Abell setelah ciuman panjang mereka berakhir. Jemarinya
mengelus punggung Willy tempat tatto itu bersemayam.
“Suka
aja Bell sama pola ini, Triball itu mencerminkan jiwa yang tangguh dan
pemberani. Kaya aku!”
Abell
manggut-manggut, dengan ekspresi kekanakan, “Udah lama itu tattonya?”
“Lumayan,
kelas dua SMA aku buat tatto ini,”
“Nggak
ketahuan guru emangnya?”
“Ya
enggaklah, Willy kok sampai ketahuan,” Kata Willy bangga, “aku pakai kaos terus
Bell, jadi ya nggak mungkin ketahuan sama siapapun. Temen-temenku aja baru tahu
pas kita masuk kuliah kok,”
“Pasti
kamu rese banget pas SMA dulu,”
Willy
tertawa sambil mengenang, “Ya, lumayan sih Bell. Kalau ukuran anak SMA yang
rese itu hobby mbolos, ngompasin duit temen, main remi pas istirahat, bukain
rok cewek-cewek, mabuk bareng di belakang sekolah, atau ngocok bareng-bareng di
WC, aku salah atunya anak rese di SMA itu. Malahan dua minggu sebelum UN aku
hampir dikeluarin, kalau kamu? Masa SMA-nya gimana?”
“Masa
SMA-ku biasa-biasa aja kok Will, temen aja bisa dihitung. Aku hampir nggak ada
waktu buat sosialisasi sama mereka, waktuku habis buat les. Di keluargaku,
mereka semua menguasai kurang lebih empat bahasa Will, pendidikan juga hal
paling penting. Jadi menurut mereka, daripada aku pas SMA aneh-aneh, mereka
lebih setuju kalau aku nambahin les lagi buat ngisi waktu,”
“Wah
gila! Emang kamu les apa aja?” ejek Willy dengan ekspresi wajah menyebalkan.
“Les
mata pelajaran yang dibuat UN, terus les piano, les bahasa Jerman, les bahasa
Perancis, banyaklah. Pokoknya hari minggu itu hari merdekaku buat tidur
seharian,”
“Aku
selalu kagum dengan orang yang menguasai banyak bahasa lho Bell,”
“Kenapa
harus kagum? Semua bahasa itu ada polanya kok. Kalau kamu paham sama pola itu,
semuanya bakal mudah. Lagian banyak bahasa di dunia ini yang sifatnya turunan,
pada akhirnya tinggal niat aja kan?”
“Iya
sih,”
“Buruan
gih, pakai baju. Check out terus cari
makan. Udah laper banget nih!”
Willy
beranjak dari tempat tidur, menghampiri tas punggungnya dan mengeluarkan
beberapa helai pakaian.
“Kamu
kok sama sekali nggak keliatan kalau Gay ya Will?” tanya Abell sambil
memperhatikan Willy mengenakan pakaian.
“Lha
memang bukan,” jawab Willy simpul.
“Lha
terus?”
“Aku
kan bisex Bell. Jadi suka sama cewek tapi juga suka sama cowok. Hampir
imbanglah keduanya,”
“Oh
gitu, baguslah,”
“Tapi
kalau kamu mau pacaran sama aku, aku bakal jadi apapun yang kamu mau, jadi Gay
seumur hidupun, nggak masalah. Gimana? Mau nggak?” tawar Willy lengkap dengan
senyum cengengesannya.
Tapi,
Abell tak ingin menjawab. Ia hanya tersenyum penuh makna dan mengecup jidat
Willy mesra. “Makasih,” kata Abell lembut, sebelum akhirnya mereka berpelukan
lama.
Dan
kembali berciuman panjang.
Klik kisah selanjutnya di sini
Klik kisah selanjutnya di sini
Daftar lengkap serial Pelepasan
Melajulah "Pelepasan"ku klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
0 komentar: