Pelepasan Remah 20
Pelepasan
Remah 20
Kisah
selanjutnya klik disini
“Kamu
masih inget nggak sih Bell pertanyaan pertamaku pas dateng ke rumahmu?” tanya
Willy dengan suara bergetar.
“Pertanyaan
yang mana sih Will?”
“Tentang
agamamu itu lho sayang,” katanya gemas.
“Oh,
tentang itu,” kataku simpul, aku masih ingat ekspresi Willy pertama kali saat
keliling rumahku, “kenapa emangnya? Masih penasaran ya?” godaku.
“Ya
bingunglah sayang, dalam sau rumah aku bisa lihat beragam simbol keagamaan.
Kalau satu mah wajar, lhah ini banyak lho. Ada kepala Budha, ada kaligrafi sama
Al-Quran, ada Injil. Di kamarmu ada salip, terus kamu terobsesi banget sama
barang-barang yahudi, sebenernya apa sih yang kamu cari sama barang-barang
keagamaan itu? Nggak mungkin kan kamu semata-mata cuma koleksi doang?”
“Koleksi
sih enggak, tapi aku suka aja sama barang-barang sakral keagamaan kaya gitu.
Kayak Al-Quran, bagiku Al-Quran itu kumpulan puisi yang indah, salah satu
sumber pengetahuan tertua di dunia dan isinya nggak pernah berubah dari dulu
sampai sekarang karena banyak yang hafalin. Aku suka Budha karena filosofinya,
dimana kita akan diantar ke nirwana. Aku juga suka sama meditasi, yoga, gaya
hidup vegetarian, semua itu ngasih efek yang baik buat tubuh kita. Banyaklah
pokoknya, aku nggak memaknai itu cuma sebatas atribut keagamaan aja kok Will,”
“Kamu
belum jawab pertanyaanku lho sayang,”
“Jadi
apa ya agamaku sekarang?” tanyaku pada diri sendiri, “bakal kompleks sih kalau
kita ngomongin agama apa yang aku percayai, karena kita harus sama-sama
berfikiran terbuka kalau mau ngobrolin ini, biar nggak sensi atau tersingung.
Soalnyakan ini masih jadi isu sensitif buat banyak orang, apalagi di negara
kita tercinta ini. Dimana presentasi orang berfikiran terbuka nggak sampe lima
persen dan sisanya diisi orang bebal dan apatis,”
“Setuju
kalau sama hal itu,” kata Willy menanggapi.
“Apa
yang aku yakini adalah sebenarnya itu agama berasal dari satu kotak pandora
yang sama, cuma beda waktu sama peristiwa aja yang buat agama itu semakin
berbeda. Banyak yang bilang kalau agama itu hadir untuk menyempurnakan satu
sama lain, tapi bagiku sama saja. Nah, kalau aku balik pertanyaanmu gimana
jawabanmu? Kamu juga bukan orang yang terlahir dengan agama yang wajar lho.
Ayahmu Kristen dan ibumu Islam, dan kamu hidup di tengah-tengahnya, mana yang
lebih nggak wajar? Aku apa kamu? Aku yang hidup di banyak pilihan tapi
memutuskan untuk nggak milih dan kamu yang hidup diantara dua pilihan dan
membaurkan keduanya,”
“Bener
juga sih omonganmu Bell, aku juga sering kok dikomentarin sama anak-anak
soalnya kadang aku sholat sama temen-temenku yang muslim dan minggu juga ke
gereja sama anak-anak nasrani,”
“Lebih
sedeng siapa coba kalau kaya gini? Aku apa kamu?”
“Kita
sama-sama sedeng sayang, pasangan sesasama seng
podo edane,”
Aku
terbahak lepas, “Kalau kamu disuruh milih sekarang, kamu bakal milih Islam apa
Kristen?” tanyaku sungguh.
“Budha,”
jawabnya enteng. Aku sama sekali tak kepikiran jika ia bakal menjawab itu.
Sampai sekarang aku masih sulit untuk menebak-nebak apa yang ada di dalam
kepalanya.
“Lho
kok bisa? Gimana ceritanya?” tanyaku kebingungan.
“Dari
dulu sih aku emang respeknya sama agama Budha Bell. Bukan karena mau milih aman
antara dua agama besar di keluargaku, tapi aku memang nggak suka sama konsep
agama yang diturunkan di silsilah keluarga. Aku, adalah orang yang nggak bisa
terima begitu aja sama agama yang harus aku pelajari karena orang tua. Bagiku,
agama itu adalah proses pencarian, penetapan dan tujuan akhir kita dengan
tuhan. Proses eksklusif dimana ada ruang khusus hanya untuk aku dan tuhanku. Banyak
yang protes sama pilihanku ini, tapi emang aku peduli? Gagasmen, iki urusanku
kok. Udu urusane mereka. Lagian dari dulu aku juga sudah yakin kalau pada
saatnya nanti aku bakal milih agama Budha, karena sudah lama hati, jiwa dan
fikiranku berlabuh disana,”
“Jadi
sekarang kamu udah resmi jadi Budha?”
“Belum,“
jawabnya cengengesan, “untuk saat ini, hidup jadi pendosa lebih nikmat,”
“Wah,
setan banget dong kita kayaknya. Pasangan sesama yang suka menjadi pendosa,”
seruku lantang, “aku yakin kalau kamu belum pernah bikin gara-gara di kelas
agama pas sekolah dulu,”
“Lha
emangnya kamu bikin gara-gara gimana?”
“Sebenernya
sih aku dulu pas SMP pendiem, nggak suka interaksi sama banyak orang, tapi
nggak tahu sih dulu kenapa. Mungkin karena lagi puber ya, jadi ada keinginan
untuk show off dan jadi pusat
perhatian soalnya ada konsep keagamaan yang nggak bisa aku terima,”
“Dan
itu dikelas agama Islam?”
“Iya.
Waktu itu gurunya lagi jelasin sejarah manusia pertama, dia jelasin soal adam
dan hawa. Dari kecil aku emang kritis soal apapun ya Will, lagian aku juga
bukan tipe orang yang suka didikte gitu aja, jadi aku mempelajari banyak
literatur agama dan jelasin semuanya yang aku tahu setelah gurunya selesai. Aku
jelasin tentang beberapa versi legenda manusia pertama, ada yang dari planet
nibiru, ada yang dari ras Nefilim, ada yang dari evolusi orang hutan dan
lain-lain. Semuanya aku jelasin secara ringkas dan ringan,”
“Tenane koe jelaske koyo ngono nek kelas
agama Islam Bell?”
“Ngapain
juga sih harus bohong sama kamu?”
“Iya,
aku jelasin kaya gitu di depan kelas malah. Pas aku selesai jelasin dia
langsung marah-marah sama aku, dia nyeret aku sampe ruang kepala sekolah dan
marahin aku di depannya. Hasilnya aku di skors seminggu, plus diomelin guru
agama satu SMP sampe kupingku panas. Besoknya aku bawa ayahku ke sekolahan dan
bikin heboh lagi pas aku tanya gini sama mereka, ‘Tuhan kan maha segalanya,
bisa enggak sih Tuhan itu buat pedang atau senjata ampuh buat bunuh dirinya
sendiri biar mati? Kalau nggak bisa buat senjata ampuh buat ngebunuh dirinya
sendiri berarti dia bukan maha segalanya dong? Nah, kalau dia bisa mati berarti
dia juga bukan maha segalanya juga dong?’
Willy
shock mendengar apa yang baru saja aku katakan, ia gregetan mendengar ceritaku,
“Beneran kamu ngomong kaya gitu?’
“Iya
beneran, mereka juga shock kok pas aku bilang kaya gitu. Terus akhirnya mereka
mutusin buat masukin aku di pesantren selama tiga minggu pas liburan. Hidupku
jadi makin ribet. Sejak saat itu aku males buat ngutarain fikiranku lagi,”
“Hidup
kamu beneran kontroversial deh Bell, heboh banget kayaknya. Tapi menurutku kamu
memang tipe orang yang nggak bisa hidup kalau nggak ada masalah. Jadi kalau
nggak ada masalah ya kamu yang cari-cari masalah,”
Aku
hanya bisa manggut-manggut menyetujui ucapannya, “Emang sih, aku emang pusing
kalau nggak ada masalah. Tapi kejadian pas SMP itu yang bikin aku sadar sih
Will kalau pencarianku baru saja mulai. Sejak saat itu aku mulai mempelajari
lebih banyak agama-agama di dunia, dari Kristen, Katolik, Budha, Islam, Britwi,
Yahudi, Kejawen, semuanya aku pelajari dengan fikiran terbuka hingga aku kuliah
dan akhirnya memiliki pemahaman kalau sebenernya cuma ada dua Tuhan di dunia
ini. Tuhan yang menciptakan kita dan Tuhan yang kita ciptakan,”
“Dan
pemuka agama yang membuat banyak alirannya,”
“Itu
juga maksutku,”
“Mandi
dulu ah, biar seger. Mau ikutan nggak?”
“Nggaklah
kamu duluan aja, aku mau beres-beres terus ke Reve,”
“Inikan
masih pagi?”
“Ada
rapat bulanan nanti, jadi emang sengaja rada pagian ke cafenya,”
“Jam
berapa emangnya?”
“Udah,
ntar aku jemput kamu de Reve,”
“Oke
deh,”
Kisah selanjutnya Klik disini
Daftar lengkap serial Pelepasan
Melajulah "Pelepasan"ku klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
0 komentar: