Pelepasan Remah 19
Pelepasan
Remah 19
Kisah sebelumnya klik disini
“Kamu
hebat Bell,” puji Willy pelan membuatku kembali tersadar dari jeratan
bayang-bayang masalalu, sampai sekarang, topik masalalu adalah topik yang masih
sulit untuk aku ulik. Bukan karena aku tak menerimanya sebagai bagian dari
hidupku, tapi lebih karena rasa muak, sakit hati, pengecut dan dipecundangilah
yang membuatku tak mau lagi menyentuh topik pembicaraan itu, “kamu hebat karena
bisa mengubah masalahmu menjadi penyemangat, tetap berfikir positif saat banyak
masalah menghimpit dan berjuang menjadi diri sendiri. Aku kagum lho sayang sama
kamu, sumpah deh,” tambahnya dengan kerlingan nakal. Membersitkan senyum di
wajahku, “sampai sekarang aja, aku masih jadi orang munafik. Belum bisa jujur
sama banyak orang. Bahkan sama orang tuapun aku nggak berani jadi diriku
sendiri secara total dan apa adanya, di depan teman-temankupun aku kadang juga
masih kaya gitu,”
“Tapi
sebenernya itu tergantung pilihanmu sih Will,” sahutku cepat, aku sama sekali
tak ingin menginspirasinya untuk comming
out sepertiku karena banyak hal yang harus dia korbankan, “kalau kamu
nyaman memainkan banyak peran di depan banyak orang ya sah-sah aja. Itu
pilihanmu dan aku menghargainya. Aku pilih hal itu karena aku terlalu muak,
tertekan, ngerasa pengecut dan munafik aja. Aku nggak mau nangis terus di kamar
sampai dadaku sesak. Ngelakuin hal yang nggak sesuai kata hati itu bikin hati
nyeri lho. Apalagi belasan tahun ngelakuinnya, bisa bayangin kan betapa
capeknya? tapi sampai sekarangpun aku masih bisa ngerasain rasa sakit itu lho.
Yang aneh dari kisahku ini adalah aku juga kadang masih kangen ngerasain rasa
sakit itu lagi. Rasa sakit yang tiap hari aku rasain selama hampir sepuluh
tahun. Rasa sakit yang akhirnya membuatku menjadi sosok yang tangguh,”
“Tapi
sekarang kamu bahagia kan Bell? Nggak nyesel pernah ngelakuin itu semua?”
“Aku
bahagia kok.” Jawabku langsung,“Aku bahagia karena menjadi diri sendiri, aku
juga tahu kalau kamu sama Andi juga bakal bahagia kalau aku jadi diriku sendiri
seperti ini. Masalah menyesal atau enggak, itu nggak lagi jadi soal Will. Semua
orang pasti menyesali banyak hal, menyesali banyak pilihan, tapi pada akhirnya
waktu yang akhirnya mengembalikan pilihan sama kita. Mau terus kita sesali atau
semata-mata jadi kenangan untuk kita kembali belajar?”
“Anggota
keluargamu emangnya nggak ada yang cariin kamu apa?”
“Ada
sih, beberapa kali mereka nyariin aku setelah aku diusir sama bapakku dari
rumah. Pas aku masih belum bangun Reve, mereka masih sering maksa aku buat
balik, minta maaf sama orang tua dan lain-lain. Bahkan ada yang mau biayain
suntik hormon dan terapi ke psikolog sampai sembuh. Tapi mereka semua nggak aku
gubris, bahkan kadang kalau lagi jengkel banget aku nggak nganggep kalau mereka
itu ada di depanku. Tapi pas mereka lihat aku berhasil bangun Reve dan hidupku
baik-baik saja sampai sekarang, mereka nggak pernah hubungin aku lagi, cuma
kadang ponakan-ponakan yang baru SMP sama SMA sering nongkrong disini. Dari
mereka aku dapet kabar kalau keluargaku juga baik-baik saja dan itu sudah lebih
dari cukup buatku. Aku ngerasa kalau hubunganku dengan keluarga memang cocoknya
seperti ini,”
Senyum
tercetak jelas di wajah Willy dengan sorot mata yang sulit untuk aku ungkapkan
lewat kata-kata. “Aku bahagia kalau kamu bahagia seperti ini, dan aku bangga
dengan apa yang kamu lakukan Bell,” Jika kita tak ada di halaman depan rumah,
pasti dia sudah memelukku erat dan mengecupku mesra, “kamu mau sarapan apa?”
tawar Willy mengiurkan. Masakan apapun yang ia buat, rasanya selalu enak.
“Terserah
kamu aja deh,” jawabku simpul.
“Okey,”
jawabnya sambil memberiku dua jempol tangannya, “aku buatin dulu ya,”
Saat
Willy kembali masuk ke dalam rumah, aku kembali berbaur dengan alam. Ku
kawinkan kembali telapak kakiku dengan sisa-sisa embun pagi yang masih
mengendap di dahan rerumputan. Kusesap lagi sejuknya pagi hari itu. Ingatan
membersit di kepalaku tentang hari kemarin saat aku mampir ke toko tanaman dan
membawa pulang dua pot bunga kamboja Bali.
Kuambil
jalan pintas ke halaman belakang rumah tempat dua pot Kamboja Bali itu bersemayam, kuraih sekop dan
pupuk dari gudang belakang dan membawanya ke halaman depan rumah. Satu meter
dari pagar depan rumah, kubuat dua buah lubang sedalam setengah meter di tanah
untuk menanam Kamboja Bali tersebut. Usai menaburkan pupuk dan menutup lubang
itu kembali dengan tanah, kusiram dua Kamboja Bali itu hingga daunnya
mengkilap. Berharap jika kedua tanaman itu bisa tumbuh dengan cepat.
“Ngapain
kamu tanam Kamboja di depan rumah Bell? Bukannya biasanya ditanam di makam ya?”
tanya Willy mengangetkanku, mengangguku menikmati kamboja itu sendirian. Ia
berdiri membawa piring berukuran besar dan dua buah gelas berisi jus jeruk.
“nggak takut kamu kalau ntar tiba-tiba ada setan yang nongkrong disitu?”
“Sembarangan
aja kalau ngomong,” serobotku langsung, sebal mendengar kalimatnya, “ini
Kamboja Bali kali Will, bukan kamboja biasa yang ditanam di makam,”
“Emang
beda?”
“Ya
bedalah!”
“Apa
bedanya?”
“Bedanya
dari wangi sama maknanya. Kalau disini kan bunga kamboja jadi bunga di kuburan.
Bunga yang nggak jauh-jauh sama kematian. Bunga yang punya statment menakutkan.
Tapi kalau di Bali sebaliknya, disana bunga kamboja menjadi simbol kehidupan.
Tahu nggak kenapa orang bali nyelipin bunga kamboja ditelinga kirinya?” kataku
sambil menghampirinya di teras rumah.
“Kenapa
emangnya?”
“Karena
telinga kiri biasanya dikonotasikan dengan hal-hal buruk, jadi bunga kamboja
diselipin disana biar kita nggak dibisikin hal-hal buruk,” jelasku,
“Oh,
gitu”
“Kamu
masak apa Will?”
“Roti
bakar,” jawabnya ringan.
“Isinya
apa aja?” tanyaku saat melihat empat tangkup roti berwarna keemasan di atas
nampan.
“Keju
sama telur mata sapi,”
“Wah
enak nih pasti kalau kamu yang buat,” kataku penuh nafsu. Perutku tiba-tiba
berontak ingin segera dijatah makanan.
“Ya
kalau nggak enak bukan masalah Willy dong Bell,” katanya bangga.
“Halah, senengane kok memuji diri sendiri,”
“Yo gen, sak senengku tho,”
“Ngko bengi nonton yo Will,”
“Wush, telat! Aku wes kencan karo Andi. Rep
futsal bareng nek manahan,”
“Lha terus? Ngko bengi mosok aku dewean?”
“Lha karek melu futsal yo rapopo tho?”
“Bal-balan we ra iso kon futsal!”
“Yo delok aku wae kan cukup karo gawake
wedang, panganan karo klambi ge ganti,”
“Lha mosok aku nonton dewe Will?”
“Lha kan akeh seng do ngajak pacare,”
“Aku lanang dewe no ngko nek kono?”
“Yo rapopo tho? Pisan-pisan ngeterke aku futsal
kan ra masalah, timbangane malem minggu nek ngomah dewean,”
“Oke-oke, ngko aku bakal ngetutke koe futsal
pisan-pisan,”
“Nah ngono kui seng jenenge pacar yang
baik,” kata Willy sambil masuk kembali ke dalam rumah, ia keluar beberapa saat
kemudian sambil membawa gitar.
Setelah
memposisikan diri, ia kemudian menyenandungkan lagu i don’t wanna miss a thing milik Aerosmith. Menyesap jus jeruk, menghisap batang rokok, dan kembali
memetik senar gitarnya, menyenandungkan banyak lagu sebelum akhirnya dia diam
dan bertanya padaku:
“Kamu
masih inget nggak sih Bell pertanyaan pertamaku pas dateng ke rumahmu?” tanya
Willy dengan suara bergetar.
“Pertanyaan
yang mana sih Will?”
“Tentang
agamamu itu lho sayang,” katanya gemas.
“Oh, tentang itu,” kataku simpul, aku masih ingat ekspresi
Willy pertama kali saat keliling rumahku, “kenapa emangnya? Masih penasaran
ya?” godaku.
Kisah selajutnya klik disini
Daftar lengkap serial Pelepasan
Melajulah "Pelepasan"ku klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
0 komentar: