Pelepasan Remah 45 (Remah Terakhir)
Pelepasan
Remah 45
Kisah sebelumnya
Aku
mematut diriku lama di depan kaca, tersenyum-senyum melihat diri sendiri. Dari
dulu, aku tak pernah nyaman memakai celana panjang dengan bahan apapun, entah
celana kain atau celana jeans, dalam satu tahun dapat dihitung berapa kali aku
memakainya. Aku lebih nyaman memakai celana pendek kemanapun, karena simpel,
nyaman dan tidak membuatku merasa gerah. Begitu juga dengan urusan baju, aku
hampir tak pernah memakai kemeja kecuali saat kuliah dulu, aku benci pakaian formal.
Aku lebih suka memakai kaus polos atau berpola garis-garis standar dengan warna
apapun, dan hanya saat-saat tertentu saja aku memakai kaus-kaus yang
menyuarakan fikiranku dengan font-font besar yang aku minta Willy buatkan.
Ini
adalah hari istimewa, hari spesial untuk lingkunganku. Aku masih merasa aneh
memakai setelan jas seperti ini. Seperti biasa, Sobey menyedot habis
perhatianku saat memakai jas dan celana khaki, rambutnya klimis dan tersisir
rapi. Ia begitu tampan saat berpenampilan rapi seperti ini. Wajahnya putih
bersih, kumis dan cambangnya tercukur habis. Mataku bahkan harus mengerjap
beberapa kali saat ia datang menjemputku, setahun lebih kami menjalin hubungan
tak berstatus, tapi sering kali aku masih terjerat oleh pesona yang ia miliki.
Pesona yang dapat timbul disaat-saat tertentu dan mengingatkanku akan
keberuntunganku sekarang, membuatku bersyukur akan semua yang aku miliki
sekarang. Pagi itu, ia bersikap manis padaku, dia membukakan pintu mobil saat
aku mau masuk.
“Kamu
ganteng banget sih hari ini,” pujiku tulus saat berada di dalam mobilnya, kecupanku
mendarat di pipi kirinya. Aku tak mampu menahan diri jika melihatnya berdandan rapih
seperti ini. Kuambil handphoneku dari saku jas dan langsung memotertnya dari
samping.
“Jadi,
biasanya aku nggak ganteng?” kata Sobey bersungut-sungut. Ia gembungkan pipinya
seperti anak kecil.
“Ganteng,
tapi kalau kamu tampil rapih kaya gini bikin aku blingsatan,” selorohku sambil
menujukkan hasil fotoku barusan.
“Bagus,
foto berdua yuk,” ajaknya langsung kupenuhi. Setelah memotret diri bersama beberapa
kali, Sobey lalu menyetir dengan kecepatan sedang ke tempat kebahagiaan akan
bertumpah ruah hari ini. Membicarakan banyak hal yang membuat hati hangat
sambil mendengarkan playlist yang
sengaja aku ramu untuk meningkatkan suasana gembira di pagi hari.
Pernikahan
Andi dilaksanakan di salah satu gedung mewah di Solo, saat di parkiran aku
bertemu dengan teman-temanku SD, SMP, SMA hingga kuliah dan bereuni singkat
dengan mereka semua. Canda dan tawa mengalir begitu kita memutar ingatan
tentang masalalu dan membandingkannya dengan masa sekarang, saling mengejek
kebiasaan konyol masing-masing dan sesekali memeluk hangat karena moment-moment
itu tak akan pernah terulang. Belasan karangan bunga bertuliskan ucapan selamat
berjajar rapi di parkiran, melatar belakangi acara reuni dadakan kami.
Foto-foto
preweed dengan beragam konsep
terpajang di lorong sebelum masuk ke dalam gedung, mulai dari foto-foto konyol,
lucu-lucuan, sok ngambek, hingga romantis di tempat-tempat eksotis, semuanya
terpajang dalam bingkai mewah. Aku terpesona saat masuk ke dalam gedung,
dokorasi modern berunsur jawa tengah terlihat begitu indah saat
dipadu-padankan. Aku lihat Sandra di ujung ruangan, dengan pakaian rapih dia
mengatur banyak hal dan kelihatan sibuk dengan acara ini. Ia terlihat
terkendali dan profesional, tak seperti biasanya saat kami bersama.
Aku
mendapatkan tempat duduk paling belakang bersama Sobey dan beberapa temanku di
Jogja, aku sengaja meminta Sandra menempatkanku di barisan paling belakang
karena untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku berada dalam satu ruangan
dengan orang tuaku. Ayah dan ibuku datang bersama keluarga Kak Sherin,
mengenakan baju bermotif seragam. Jika aku datang bersama mereka, pasti aku
juga akan mengenakan baju yang sama dengan Mas Irwan dan ayah. Bahagia terbit
di dalam hatiku saat melihat ayahku baik-baik saja. Detik itu, aku
berterimakasih kepada Tuhan karena telah memberiku apa yang aku butuhkan. Ingin
rasanya memeluk Sobey saat bahagia dan damai merasuki diriku.
Acara
dimulai dan berulang kali aku terbawa suasana, saat Andi dan Atisha memasuki
ruangan lengkap dengan dandanan yang membuai mata. Mereka langsung menjadi
pusat perhatian, aku tak pernah melihat Andi sebahagia ini, dari awal acara
senyum tak pernah pudar dari wajahnya. Hari itu dia tampil begitu rupawan
dengan aura berpijar. Aku tak bisa menahan haru saat terhanyut dalam prosesi sakral
pernikahan adat jawa yang begitu indah, filosofis dan artistik di mataku. Aku
juga bertepuk tangan paling kencang saat anak-anak ISI Jogja tampil sebagai
pengisi acara, mereka memodifikasi musik jawa yang biasanya membuatku ngantuk
saat di dengarkan menjadi penuh semangat dan optimisme.
Saat
acara berakhir dengan satu-persatu tamu menyalami Andi, sengaja kubiarkan Ayah
dan Ibuku duluan, Kak Sherin dan Shefina melambaikan tangan saat melihatku.
Andai aku bisa berbaur dengan mereka, tapi aku tak ingin merusak acara ini
dengan emosi Ayahku yang kerap tak stabil. Sobey paham benar bagaimana
perasaanku saat itu, jadi dia menemaniku duduk di bangku saat tamu mulai
menyusut hingga menyisakan beberapa orang dan baru mengajakku memberi selamat
kepada sahabat karipku.
Air
mataku tumpah saat aku berjalan menghampirinya, aku langsung memeluknya lama
sambil mengusap air mataku dengan punggung tangan, aku turut bahagia melihatnya
bersanding dengan pasangan hati. Kenanganku dengannya membabat hatiku. Sahabat
sejati sedari kecil, yang menjadi saksi jatuh bangunnya hidupku, lebih dekat
dari saudaraku manapun, menjadi kakak non-biologisku, patner in crime, tempat curhat-curhat bangsatku, pengingat saat aku
kehilangan arah, dan yang paling penting, selalu ada untukku dalam kondisi
apapun. Tak pernah meninggalkanku sekalipun punya banyak alasan untuk hal itu.
Aku
sadar jika semua itu akan berubah setelah ini, ia akan menetap di Jogja dan
mengurus cabang Reve disana. Ia juga akan membuat satu lagi cabang disana
setelah cabang di Boyolali selesai. Intensitasku dengannya akan berkurang, tak
seperti dulu lagi. Aku merasa kelihangan tapi juga turut berbahagia karenanya.
Bahagia karena dia bahagia.
Selamat
menempuh hidup baru, sahabat. Doa terbaik untukmu.
.
. . . # # # . . . ...
Sobey
terbahak hingga matanya berkaca-kaca saat aku masih sesegukan keluar dari dalam
mobil.
“Kamu
itu terlalu sentimentil,” ejeknya saat kami berada di ruang keluarga.
“Biarin!”
tukasku kekanakan. Membakar tawa Sobey semakin menjadi-jadi.
Tanganku
mengapit lengannya dari garasi hingga kamar, baru kulepas saat dia mengganti
baju dan ijin untuk membersihkan diri. Aku tertidur sebentar saat Sobey
membangunkanku setelah mandi, handuk mengantung di pinggulnya dan butir-butir
air sebagian masih menempel di tubuhnya. Ia menyuruhku untuk mandi terlebih
dahulu sebelum tidur. Tapi aku malah memintanya untuk rebahan di sampingku dan
lengan dan dadanya aku jadikan bantal untuk mengganjal kepalaku. Lengan kiriku
terhampar di atas perutnya saat kami sama-sama menikmati serial di Netflix
sambil membicarakan banyak hal.
Aku
kembali terlelap, begitupula dengan Sobey. Dengan gerakan pelan aku berusaha
lolos dari jeratan peluknya, agar dia tak terbangun dari tidurnya. Saat kulirik
jam di atas meja, ternyata ini hampir tengah malam. Kupelankan volume tv saat
aku beranjak ke kamar mandi dan mulai membersihkan diri. Usai mandi, aku
langsung membenamkan diri kedapur, mencari kudapan untuk makan malam. Sobey
menyusulku saat aku sedang streaming
video di youtube sambil melahap es
cream dari wadah ukuran jumbo.
“Kamu
kok bangun?” tanyaku saat melihatnya berdiri di depanku, kali ini boxer dan
jumper, sudah mengantikan handuk yang membalut perut hingga lututnya.
Ia
mengecup jidatku terlebih dahulu sebelum menghampiri kulkas dan mengambil air mineral
disana. Menenggaknya hingga kosong setengah, lalu duduk disampingku, ikut
menonton video di tabletku. Minta disuapi es cream.
“Aku
kira kamu pulang,”
“Ngapain
pulang malem-malem gini? Nanti malah ada begal lagi!” sahutku riang.
“Kamu
kelaperan?” tanyanya perhatian.
“Iya
Bey, tak kira tadi ada mie atau apa di dapur, terus mau aku masak, tapi
ternyata nggak ada apa-apa. Tinggal es cream sama minuman doang, jadi kembung
deh ni perut,”
“Kemaren
aku lupas pas mau belanja bulanan, yuk cari makan sekarang. Kalau kamu
keluarnya sama aku, dijamin nggak ada begal,” serunya menuju ruang keluarga,
mencari kunci mobil.
“Aku
cuma bercanda kali Bey! Es cream segini udah lebih dari cukup kali!”
“Nggak
apa-apa, kalau kamu udah nggak laper, tetep temenin aku cari makan,” katanya
memaksa, “ambil jaket dulu sana, dingin lho diluar,”
Malam
itu, kami akhirnya makan malam nasi liwet di daerah Kartasura. Setelah kenyang,
aku malah tak mau pulang, aku memaksanya ke Tawangmanggu dan melihat lampu
kerlap-kerlip dari atas bukit hingga dini hari sambil makan jagung bakar.
.
. . . # # # . . . ...
Drescode
putih menjadi kewajiban di prosesi terakhir setelah pesta bujangan, pernikahan
wah di gedung mewah dan sekarang, Andi menutupnya dengan garden party di salah satu resort
mewah kawasan Tawangmanggu. Sobey menjemputku seperti biasa dan aku mengecup
bibirnya ringkas di dalam mobil, aku selalu belingsatan jika melihat ia
berpenampilan rapih seperti saat ini.
Di
sebuah taman luas dengan pemandangan perbukitan, garden party digelar meriah, foto-foto preweed dengan tema berbeda dari pesta pernikahan belasan hari yang
lalu memenuhi sudut-sudut taman. Karangan bunga berwarna putih turut
menyemarakkan tema, senada dengan meja dan kursi yang dibalut kain berwarna
putih bersih. Puluhan lampion berwarna putih dengan semburat kuning di
tengahnya membingkai langit di atas para undangan.
Acara
kali ini lebih ringkas dan intim. Dihadiri keluarga besar kedua mempelai dan
sahabat dekat, tak kurang seratus lima puluh tamu undangan hadir di resort itu,
Sandra masih di dapuk menjadi W.O,-nya. Setelah prosesi pemberkatan singkat,
suasana sakral mulai mencair, pengisi acara mulai melantunkan lagu-lagu
andalan, aku mengajak Sobey menjauh dari kemaian dengan membawa satu piring kue
berpotongan mungil dan dua gelas anggur merah menggiurkan.
Diujung
taman tempat tak ada orang bersliweran, aku duduk di samping Sobey, menatap
bukit yang berpadu dengan warna hijau dan biru. Tanganku mengampit lengan kanan
Sobey dan kusandarkan kepalaku di pundaknya. Merasakan nyaman yang bersemayam
disana. Udara dingin khas pegunungan memaksaku untuk memeluknya lebih erat dari
biasanya.
“Kamu
jangan minum banyak-banyak Bell,” katanya penuh perhatian, “kamu itu cepet
mabuknya, nanti kaya kemaren lho,” tambahnya mengingatkan.
Aku
malah tersenyum saat ingat pesta bujangan itu, saat aku muntah-muntah tak
karuan di halaman parkir dan membuat onar. Paginya, aku malah terbahak saat
Sobey cerita aku nari-nari nggak jelas di atas mobil sebelum akhirnya mau
diajak pulang setelah dibujuk sekian lama.
“Asal
ada kamu, aku nggak hawatir Bey,” sahutku ringan, ada kepasrahan dan rasa
mantap yang turut dalam kalimat itu, “kamu pasti nggak bakal biarin aku
ngelakuin hal bodoh,”
“Terus
kalau aku sama Andi nggak ada, kamu mau gimana?”
“Ya
nggak usah ke club malemlah,” tukasku langsung. Jawaban konyol. Aku merasa
tubuhku mulai mengawang, anggur mulai memberikan efek ke dalam ragaku.
Tapi
Sobey malah memberengut, jidatku berkerut melihat ekspresinya, “Bell, aku hawatir
sama kamu,” katanya pelan, menggengam jariku erat, “kamu itu ceroboh,
kekanakan, usil, konyol, tapi juga rapuh dan nangisan. Tapi, di balik itu
semua, kamu punya hati yang baik dan aku jatuh cinta sama kamu setelah sekian
lama kita jalan bareng,” ada jeda lama sebelum ia melanjutkan kalimatnya, ia
memaksa mata kami untuk bertaut, “Ikut aku Bell, kamu tahu, aku nggak bakal
ngerenggut kebebasanmu,” jelasnya terdengar merdu di telinga. Ingin rasanya
terbuai ajakannya.
Hatiku
berdesir karena kesungguhan dalam ucapannya. Anggur pasti semakin memperjelas
rona merah di wajahku. Setelah menatap matanya sejenak, mataku kembali
menjaring perbukitan yang kini tertutup kabut tipis. Hijau, biru, putih dan
kelabu sejauh mata memandang. Kupererat pelukanku, “Aku tahu kamu nggak bakal ngerenggut
apapun dariku Bey, kamu itu tipikal orang yang membebaskan,” jawabku yakin, “I love you,” bisikku.
“I love you too,” bisiknya sambil
mengecup jidatku.
Mungkin sudah saatnya aku
melabuhkan kembali hatiku, batinku.
“Ke
toilet dulu ah,” jelasku langsung ngacir setelah menelan beberapa gelas anggur.
Dalam
perjalanan menuju toilet, Andi memanggil namaku dan melambaikan tangan agar aku
menghampirinya, tapi aku tak kuat lagi untuk menahan gejolak di ujung
selakanganku. Setelah urusan di toilet tuntas, aku berjalan menghampiri Andi
yang dikerubungi oleh banyak teman dan sahabat. Keluarga besar berada di
gerombolan lain, menggelembung mengelilingi area barbeque yang terus mengepulkan aroma mantap. Aroma yang membuat
perut mendadak lapar.
Aku
langsung nimbrung ke dalam rombongan pertama, duduk diantara teman dan sahabat
yang sudah lama aku kenal. Cerita mengalir bergantian, tapi kebanyakan berakhir
dalam gelombang tawa panjang, suasana yang membuat hati mendadak hangat. Aku
tak bisa duduk bersama mereka lama-lama, karena Sobey menantiku di pojokan
taman sendirian. Jadi, kuputuskan untuk kembali menghampiri Sobey sebelum
akhirnya dadaku berguncang hebat karena hadirnya satu sosok yang hadir di dalam
mimpiku.
Kakiku
bergetar dan keringat dingin terjun bebas membanjir di tubuhku. Tangan dan
kakiku mendadak beku, tak bisa digerakkan seperti biasanya. Perhatianku
langsung tercurahkan pada sosok itu. Tersedot habis dan tandas. Sosok gadis
dalam mimpiku itu hadir tak sampai belasan meter dari tempatku duduk, dia tak
melihatku sama sekali, mungkin juga tak menyadari keberadaanku.
Tapi
sejak mataku tertamat pada sosoknya, mataku terus terpaku pada wajahnya.
Kulihat baik-baik gadis itu dan kucocokkan dengan sosok dalam mimpiku, mereka
sama persis. Nafasku hadir satu-satu. Ada pilu di dalam dadaku, tapi ada
perasaan puas dan genap saat melihatnya. Setidaknya aku tak perlu mengada-ngada
lagi pada diriku sendiri dan bilang jika sosok itu nyata, bukan produk alam
mimpi semata.
Kuulas
senyum untuk sosok kasat mata. Kebahagiaanku melimpah ruah hari itu.
Satu
fakta yang mengobarkan semangat di dalam dadaku, dia nyata, dan itu fakta.
Gadis itu hadir dan melengkapi serbuan tanya dalam alam fikirku. Kehadiran
gadis itu membuktikan jika apa yang membuatku terobsesi bukanlah hal absurd
yang membuatku tampak gila. Dia hadir, dia nyata dan nampak di depan mata,
berjalan dengan dua kaki berbalut heels
simpel di atas rumput hijau, tidak mengambang. Seorang lelaki muda disampingnya
membisikkan sesuatu di telinga gadis itu yang membuatnya tersipu, sebelum
akhirnya mengandeng tangannya dan mengajaknya beranjak dari pesta.
Ingin
rasanya aku menghampiri kedua orang itu, tapi aku juga tak ingin tampil seperti
orang gila yang bertingkah sok kenal dengan seorang gadis di pesta penting ini,
apalagi aku ingin membahas kehadirannya di dalam mimpiku. Dia pasti akan
langsung meninggalkanku dan mengiraku delusi. Tapi tubuhku mangkat dari kursi
dan berjalan kagok mengikutinya dari belakang. Aku sadar jika pucat membebat
habis wajahku, tapi aku tak peduli, belum tentu aku mendapatkan kesempatan ini
lagi. Jadi, kuikuti dia dari belakang.
Tubuhku
masih bergetar saat aku menuruni tangga menuju parkiran, gadis itu menghampiri
sepeda motor antik dan mengenakan helm unik saat keberanianku berkumpul
satu-satu agar cukup untuk menghentikannya, tapi perhatianku kembali tersedot
habis saat ada orang yang memanggil namaku dengan nada yang begitu familiar.
Tubuhku membeku, dan air mataku mulai berkaca-kaca. Aku tak kuat menahan
serbuan rasa yang kini membebat dada.
Ditengah
riuhnya suasana pesta, telingaku mendadak tak mendengar apapun, jantungku
seakan-akan berhenti berdegub saat kedua bola mataku menangkap sosok yang baru
saja masuk dalam jaring mataku. Sosok lusuh yang bertahun-tahun selalu ada,
lenyap lalu kini kembali mencuat, seakan-akan tumbuh dari tanah. Ia kembali
hadir, dengan sorot mata rapuh yang membuatku ingin memberikan pelukan hangat.
Atau aroma parfum bercampur keringat yang sekian lama absen dari penciumanku
dan kini tiba-tiba mengetuk hidungku, membuatku ingin bergegas menghampirinya,
lalu berkata, kamu darimana saja? Aku
masih disini menunggumu, kamu baik-baik sajakan?
Tapi,
ternyata tungkai kakiku tak sejalan dengan anggota tubuhku yang lain dan
kelopak matakupun juga seakan-akan tak bisa menentukan apa yang harus lakukan
selain mengelontorkan bulir-bulir air mata yang pelan menetes di pipi dan
merembes ke relung hati, mengaliri luka lama yang belum kering benar. Aku merasa
diriku kembali terbelah menjadi dua bagian, si goblok yang ingin memberi Willy
pelukan hangat dan berkata “Semuanya akan baik-baik saja,” dan si goblok
satunya yang ingin berbasa-basi singkat sebelum akhirnya meninggalkannya dan
kembali menghampiri Sobey di pojokan taman. Panggilan keduanya menyadarkanku
jika itu nyata.
“Bell,”
Nada itu. Penekanan itu. Suara itu. Tubuhku tremor, gelagapan aku mencari
pegangan. Ternyata aku belum mampu benar memusnahkan dia dari hidupku. “aku
nggak kuat lagi pura-pura kaya gini. Aku sekarat tanpa kamu Bell.” Tanganku
berguncang, kesadaranku mengawang. Kutatap cekungan hitam dibawah matanya,
bibir tipisnya yang semakin kelam dan wajah serta rambutnya yang tak lagi
terawat.
Bersambung
ke episode Peretas Mimpi.
Daftar lengkap serial Pelepasan
Melajulah "Pelepasan"ku klik disini
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
Episode peretas mimpinya Mamasa? :(
ReplyDeleteManaaa?
Deletesabar ya... saya baru nulis seperempat bagiannya
ReplyDelete