Pelepasan Remah 44
Pelepasan
Remah
44
Kisah sebelumnya Klik disini
Satu
minggu berjalan ringkas, akhir pekan aku menemani kakakku belanja bulanan dan
nonton film animasi bertiga bersama Shefina. Pagi harinyam saat akan berangkat
ke Reve, aku mendapatkan kiriman dua kardus besar dari Bali tertuju langsung ke
alamat rumahku. Saat kubuka, kardus pertama ternyata berisi pernak-pernik
dengan ornamen Bali dan kerdus kedua berisi oleh-oleh khas untukku dan untuk
ponakanku. Tapi yang membuatku gregetan adalah saat Sobey sengaja mengukir
namaku di belasan gantungan kunci replika alat kelamin lelaki saat berdiri
tegang. Sialan!.
Malam
harinya, sekitar jam tujuh malam, aku memacu mobilku ke Karangayar, ke rumah
kakakku dan memberikan oleh-oleh dari Sobey sebelum akhirnya memacu mobilku
lagi ke salah satu club malam untuk menghadiri acara ulang tahun salah satu
temanku. Di club malam itu, aku bertemu dengan Sandra, ngedance dan mabuk bareng sambil sesekali ngobrol porno menjurus ke
selakangan, tanpa membahas Willy sedikitpun. Kita sama-sama berbahagian untuk
malam itu. Jam dua pagi aku pulang sempoyongan, mabuk berat sampai tak mampu
berjalan tegak, Sandra mengantarku sampai rumah karena aku sudah tak sadarkan
diri.
Mimpiku
tentang sosok gadis itu semakin menjadi-jadi. Mimpi menempatkan tubuhku di atas
tebing, menatap gadis itu tidur melingkar di atas sebuah kelopak bunga raksasa.
Kelopak bunga itu mengambang di sebuah aliran sungai besar yang berujun air
terjun curam belasan meter lagi, aku ingin menyelamatkannya. Jadi aku terjun
dari tebing dan tiba-tiba tangan dan kakiku terjerat rantai besi, membentangkan
tubuhku di udara. Menyiksaku untuk melihat gadis itu tengelam dalam derasnya
air terjun curam.
Aku
tersentak dan terbangun dengan keringat membasahi kulit tubuh. Paru-paruku
kalap mehalap udara, megap-megap karena tubuhku mengejang. Ototku masih
mengunci saat kesadaran mulai merambat dan membantuku untuk menganalisa
sekitarku. Aku kembali memimpikan gadis itu, pening yang menyiksa menyadarkanku
akan apa yang terjadi, detail mimpi tersimpan rapih di otakku. Menyisakanku
rasa pilu.
Aku
terlelap di atas karpet ruang keluarga dan Sandra tidur di atas sofa bersama
seorang teman wanita berambut kelabu sepundak. Ini hari senin, jadi aku bisa
bermalas-malas sepuasnya atau tidur dengan jam lebih dari hari-hari biasanya.
Tapi, pening di kepalaku terlalu menyiksa untuk diabaikan, jadi kuputuskan
untuk mencuci wajah, gosok gigi di kamar mandi, lalu mencari obat sakit kepala
sambil membuat sarapan untuk tiga orang.
Pagi
itu aku membuat panekuk untuk sarapan, sengaja kupisahkan kuning dan putih
telur terlebih dahulu sebelum mencampur bahan-bahannya jadi satu, baru putih
telur aku campur belakangan, mendiamkannya lima belas menit lalu baru aku masak
agar lebih empuk dan flufy. Saat aku
keluar membeli madu sebentar, Sandra dan temannya sudah bangun.
“Dari
mana Bell?” tanya Sandra saat keluar dari kamar mandi, temannya menyusul
belakangan. Ia menguncir rambutnya tepat di atas kepala.
“Dari
alfamart, beli madu buat sarapan,”
“Kamu
yang buat panekuk itu?”
“Iya,
buat sarapan,“ jelasku, “nggak apa-apa kan sarapan panekuk?”
“Nggak
masalah, sarapan nasi padang juga, ayok aja,” jawabnya lengkap dengan tawa,
“lama ya kita nggak ketemu, kangen aku
karo koe Bell,”
“Aku yo kangen karo koe San,” jawabku
tulus.
“Sekarang
jalan sama siapa kamu Bell?”
“Nggak
jalan sama siapa-siapa,”
“Terus
yang sering post foto sama kamu di IG, itu siapa?”
“Owh,
itu, namanya Sobey, lagi di Bali sekarang,”
“Dia
pacar barumu?”
“Enggak
San, baru gebetan doang. Habis putus sama Willy, aku belum pacaran lagi kok,”
jelasku berusaha biasa saja.
“Lha terus nak koe lagi pengen ngewe karo
sopo?” tanyanya mulai usil.
“Yo ora ngewelah, ngloco dewe wes mantep,”
“Tapi yo ora puas Bell,”
“Aku wedi keno penyakit nak nyewo gigolo San,
lagian tahun-tahun kui aku igek fokus
bangun cafe nek Jogja. Dadi ra due wektu ge kui, ” jelasku berusaha tenang,
aku sebenarnya kurang nyaman jika membahas urusan selakangan tanpa ada mabuk
terlebih dahulu, “acarane Andi piye San?
Wes mulai mbok siapke?”
“Weslah, koe tenang wae nak masalah kui,
aku profesional oke?” katanya meyakinkanku, “untuk acara nikahan Andi, semuanya
sudah ada di jalur yang benar, kamu santai aja, bilang Andi jangan bawel juga. Kelamaan
aku rekrut jadi asisten juga deh kalau dia tiap hari nanyain perkembangannya
terus. Dijamin bakal romantis dan nggak gampang di lupain deh acara itu,”
Saat
teman Sandra keluar dari kamar mandi, ia langsung menghampiri kami berdua,
mengenalkan diri lalu sarapan bersama. Namanya Anya, penyiar radio lokal, kerja
sampingan membantu Sandra jika ada acara besar. Setengah jam kemudian Sandra dan
Anya pamit pulang dan memintaku untuk mengantar sampai ke kostan Anya di daerah
UNS.
.
. . . # # # . . . ...
Jam
setelah makan siang kugunakan untuk berburu buku diskon di Toga Mas lalu mampir
sebentar ke Gladak untuk mencari buku-buku lama yang masih bagus untuk dibawa
pulang. Saking seringnya aku ke Gladak sejak semester satu, para penjual buku
disana kerap kali memberiku diskon sinting dan beberapa kali aku juga diberi
buku gratis karena sering belanja buku di kiosnya. Saat pulang dari Gladak,
notifikasi pesan singkat masuk ke handphoneku, Sobey minta di jemput di bandara
setelah magrib dan mewajibkanku untuk malam mingguan bareng bersamanya.
Notifikasi
dari Kak Sherin masuk setelahnya, ia memberitahu jika dia baru saja
membuatkanku dan Sobey brownies khusus untuk ucapan terimakasih karena
oleh-oleh dari Bali beberapa hari yang lalu. Mobilku langsung meluncur ke
daerah Karanganyar, mengambil brownis buatan kakakku yang menguarkan aroma
lezat lalu mampir ke rumah Andi, merampok persediaan kopinya dan langsung
menuju rumah Sobey, untuk menyiapkan kejutan selanjutnya.
Halaman
belakang rumah Sobey terdapat taman kecil dengan sebuah pohon rindang yang
menaungi kolam ikan di bawahnya, kugelar karpet di atas rumput jepang samping
kolam. Belasan lilin aromaterapi kusebar mengelilingi karpet, kopi dari rumah
Andi aku giling terlebih dahulu agar nanti bisa segera diseduh, dan brownies
dari Kak Sherin aku pindahkan ke wadah yang lebih artistik untuk malam itu. Setengah
jam sebelum magrib aku sudah stanby
di area bandara, ada rindu yang menggebu di dadaku setelah tak bertemu
dengannya dua minggu. Aku memeluknya singkat saat di parkiran dan langsung
menuju memacu mobil ke kompleks rumahnya.
Setelah
memasukkan mobil ke dalam garasi, tanganku langsung menaut lengannya dan
kepalaku mendadak melekat di pundaknya. Menyenangkan rasanya saat memiliki
pundak khusus untuk bersandar. Ia tersenyum melihat tingkahku. Setelah menutup
pintu rumah, aku langsung menghambur dan memeluknya erat. Lama kita berdekapan
sebelum akhirnya saling melepas setelah merasa gemuruh rasa di dalam dada
terpuaskan. Kubimbing ia berjalan ke halaman belakang rumah. Mata Sobey
berbinar saat melihat taman mungilnya aku rombak, “Bell!” serunya dengan wajah
bahagia, “kita malam mingguan disini?”
“Iya!”
sahutku senang, “malam ini kamu pesta kebun sama aku!” tambahku girang. Ia
memelukku lama sebelum menata barang-barang di kamarnya, mandi, lalu menyusulku
ke dapur.
Aroma
shampo dan sabun mandi hinggap di hidung saat Sobey menghampiriku di dapur,
jantungku berdebar tak menentu saat ia berjalan mendekatiku, lalu duduk diatas
meja makan tempatku menyiapkan bahan-bahan untuk makan malam. Ia bertelanjang
dada dengan rambut yang masih basah, celana kolornya mengantung di pingang, dan
baru aku tahu jika ada secuil tatto di dada kirinya. Aku suka bentuk tubuhnya,
berotot tapi tidak bertonjolan urat dimana-mana, dan sixpacksnya yang sedikit samar, membuatnya begitu sexy dan manly di mataku. Uh! Aku
jadi pengen memeluknya lagi.
“Kamu
pake baju kek, aku jadi risih lihatnya,” kataku berpura-pura. Padahal mataku
sering curi-curi pandang melihat tubuhnya.
“Risih
apa pengen lihat terus?” jawabnya menggodaku. Senyum nakalnya melumerkan
hatiku. Saat berdua seperti ini, Sobey sering kali nampak bebas mengekspresikan
dirinya. Tidak terbebani menjaga tingkah laku seperti biasanya.
“Dua-duanya,
bikin nggak fokus tahu nggak?” jelasku jujur sambil tersipu.
Sobey
terbahak sambil mengacak-acak rambutku. Dia lalu turun dari meja makan dan
berjalan ringan menuju pojokan dapur, memakai celemek yang tergantung disana,
kemudian menghampiriku lagi.
“Kalau
sekarang gimana?” katanya meminta pendapat.
“Kaya
bintang bokep!” sahutku cepat dalam tawa.
Ia
kembali terbahak, “Mendingan kamu nyiapin meja makannya aja Bell,” perintahnya
halus, “biar aku yang masak,”
Aku
lalu berjalan santai keluar dari dapur, menuju lantai atas, mengambil laptop dari
meja kerjanya, membawanya ke taman belakang, mengunduh beberapa lagu romantis
yang cocok di dengarkan di malam hari, lalu menyusun playlistnya.
Saat
Sobey asik memotong daging steak, aku memindahkan speaker aktif di kamarnya
menuju area taman dan menyalakan satu persatu lilin aroma terapi agar suasana
lebih semarak dan mematikan lampu halaman belakang rumah. Suasana mendadak
romantis saat lantunan lagu cinta tahun 80-90an silih berganti mengisi
playlist, aku bersorak saat Sobey datang membawa steak dan wine dari dalam
rumah. Meja lipat yang biasanya dia gunakan untuk menaruh laptop, malam itu
terpaksa kita gunakan untuk meja makan dadakan, kita jajarkan dua meja lipat
berdampingan sebelum kita selimuti taplak meja beraksen kotak-kotak.
“Aku
kira kamu cuma minum infuse water aja
Bey,” sindirku, setahun bersamanya, aku tak pernah melihat Sobey minum minuman
beralkohol sedikitpun, bahkan ia selalu menolak saat aku tawari bir. Tapi malam
ini dia berlaku tak seperti biasanya, sedikit meledak-ledak dan lebih sering
memelukku untuk menyalurkan beludak rasa di dadanya.
Setelah
wine tasting, ia mengulas senyum
untukku, “Selalu ada pengecualian untuk hal-hal tertentu Bell,” jelasnya lembut,
sejak dari bandara tadi, matanya terus-terusan berbinar.
“Kamu
kayaknya bahagia banget hari ini? Ada kabar gembira?”
“Seneng
aja ketemu kamu Bell, setelah dua minggu cuma bisa telfonan, akhirnya bisa
meluk kamu. Kangen banget sama kamu Bell,” jawabnya menerbitkan matahari di
hatiku.
Wajah Sobey memerah setelah menelan wine dalam porsi banyak, ia terus
menatapku saat aku membereskan meja makan, menaruh piring-piring kotor di bak
cuci dan kembali dengan satu loyang brownies buatan kak Sherin.
“Wah,
kayaknya enak banget nih browniesnya, dari baunya aja pengen cepet-cepet
makan,” serunya tulus, “kamu yang buat?” tanyanya sangsi.
“Bukan,
dari kak Sherin, sebagai ucapan terimaksih buat oleh-oleh tempo hari,”
“Waduh,
baik banget kak Sherin! Tadi dia nganterin sendiri kesini?”
“Aku
yang ngambil dari Karanganyar,”
“Kalian
kok sampai segitunya banget sih?” ujar Sobey terharu, kuambilkan sepotong dalam
piring mungil dan kusodorkan langsung untuknya. Setelah memotong menggunakan
garpu, Sobey langsung melahap brownies itu dengan sekali telan, aku tersipu
melihatnya antusias menikmati kue buatan kakakku itu. Ada ketulusan yang
membuat hatiku lumer saat menghabiskan waktu bersamanya.
“Gimana?”
tanyaku sambil menyeduh kopi untuknya.
“Dahsyat!”
serunya cepat.
“Dasar
lebay!”
“Beneran
kok enak banget browniesnya!” katanya sungguh-sungguh, “apalagi sambil minum
kopi! Beuh! Mantep banget!”
“Yaiyalah,
secara, yang ngeracik kopinya Abell!” jawabku bangga.
“Dapet
biji kopi darimana kamu Bell?”
“Dari
ngrampok rumah Andi!” sahutku secepat berondongan tawa timbul dari bibirku.
“Bekas
nyolong nih?”
“Yoi
mamen, jadi kita bagi-bagi dosa,”
Dia
kembali tergelak, “Aku bawain oleh-oleh khusus buat kamu,” ujar Sobey beranjak
dari taman, berjalan masuk ke dalam kamar. Meninggalkanku dengan rasa
penasaran, lalu keluar menjinjing sebuah tas mungil.
“Oleh-oleh
apalagi sih? Kemarin kan udah kamu paketin dua kerdus?” kataku tersipu.
“Kalau
yang ini spesial, jadi harus aku kasih sendiri sama kamu, nggak bisa lewat
pekat kilat,” jelasnya saat menghampiriku, duduk di depanku lalu menyerahkan
tas mungil itu kepadaku, “aku pesan ini sebelum aku berangkat ke Bali,”
tambahnya membuat hatiku mengambang. Senyum terbesit di wajahku.
Kurogoh
kotak kecil dari lambung tas mungil yang Sobey serahkan padaku, saat kubuka
kotak mungil itu, dua buah jam tangan artistik dari kayu mengkilat mencuat. Aku
terpesona, saat kulihat bagian bawah jam tangan itu, ada namaku dan Sobey yang
terukir rapih. Kuperhatikan ulang jam tangan itu, detail ukirannya, bentuknya,
dua jarum petunjuk waktunya, tulisan angkanya. Semuanya di buat dengan
mempesona.
“Bey...”
kataku terharu, aku bingung harus mengatakan apa.
“Mudah-mudahan
kamu suka sama jam tangan itu,” jelas Sobey membuatku gembira, “jam itu dibuat handmade, dibuat khusus buat kita
berdua,” tambahnya membuat hatiku trenyuh.
“Suka?
Aku suka banget malah!” seruku berlebihan, jam tangan itu lalu menempel di
legan kiriku. Lama aku memperhatikan jam tangan itu sambil senyum-senyum
sendiri, sebelum menbeku saat Sobey mengecup lembut jidatku.
“Aku
gemes kalau lihat sifat kekanakanmu muncul,” bisiknya sambil memelukku erat.
“Aku
kok ngerasa dari dulu kamu kasih terus ya Bey?”
“Nggak
apa-apalah Bell, I love giving!”
serunya mempererat pelukan.
“Kamu
kok nggak bilang-bilang kalau mau ngasih hadiah pernikahan buat Andi?” tanyaku
menuntut penjelasan.
“Nggak
ada kewajiban jugakan buat bilang-bilang sama kamu?”
“Iya
sih, tapi kan-“
“-Kamu
juga pengen haneymoon kaya gitu
juga?” cerocos Sobey lengkap dengan senyum nakal. Tangaku menjitak kepalanya.
.
. . . # # # . . . ...
Pagi-pagi
Andi datang ke Reve, menenteng tas jinjing berukuran besar dengan tangan
kirinya. Ia menghampiriku dengan senyum cengengesan dan duduk di meja paling
dekat dengan kasir.
“Ngapain
kamu kesini? Bukannya nggak ada tugas jaga?” tanyaku beranjak dari meja kasir.
“Cuma
mau nganterin kostum buat nanti malam aja,” ujar Andi sambil menyerahkan tas
jinjing berisi kardus persegi panjang untukku.
Langsung
kubuka kardus di dalam tas jinjing itu, mataku membelalak, melihat kostum
berwarna kuning cerah dengan garis hitam dan sepatu berbentuk cakar, “Beneran
nanti malem mau pake ini?” tanyaku meminta kepastian.
“Beneranlah!
Anak-anak kok yang minta,” jawabnya yakin.
“Dude! Seumur hidup cuma sekali lho acara
itu!”
“Maka
dari itu mereka minta sesuatu yang nggak mudah buat dilupain,” timpalnya,
“khusus buat acara nanti malam,”
“Shit! Otak kalian beneran kurang
sesendok,” balasku sebal. Kubungkus lagi kostum itu ke dalam kardur dan
menyelipkannya kembali dalam tas jinjing, “nggak mau MRI berjamaah aja kalian?
Siapa tahu otak kalian emang beneran sengklek dari sananya,”
Andi
terbahak, “Dijamin ramai deh nanti malem!” katanya penuh semangat.
“Kamu
emangnya pake kostum apa?” tanyaku penasaran.
“Nanti
kamu juga bakal tahu sendiri,” jawabnya sambil senyum-senyum nggak jelas.
Melihat
senyum nggak jelasnya, aku malah jadi was-was untuk nanti malam. Tapi aku sudah
tercebur dalam permainan goblok ini, nggak ada jalan pintas untuk melewati
kekonyolan nanti malam.
“Sobey
kamu undang?” tanyaku penasaran.
“Pasti
dong!”
“Terus
kostumnya?”
“Dia
udah ada kok!” katanya mantap.
“Kamu
yang nyariin?”
“Enggak,
dia bilang dia udah punya kostum buat nanti malam,”
“Beneran?”
“Sumpah
Abell! Nggak percaya banget sih jadi orang!”
“Bukannya
nggak percaya, tapi ini konyol banget tahu nggak!”
“Udah
deh, tinggal ikutan aja kenapa sih?”
“Iya-iya,
nanti aku pasti dateng pake kostum ini,” jawabku jengkel. Aku menyerah.
Andi
tersenyum puas di depanku.
Aku
berfikir lama sebelum akhirnya memutuskan untuk menceritakan hal ini dengan
Andi, “Ndi, tentang kejadian di rumah sakit kemarin, ada sesuatu yang belum aku
ceritain sama kamu,” kataku menyedot perhatiannya. Akhir-akhir ini, mimpi
tentang sosok gadis itu menghantui sudut pikirku dengan tanda tanya. Aku tak
ingin menyimpan hal ini sendirian.
“Apa
yang belum kamu ceritain sama aku Bell?” tanyanya dengan nada serius.
“Gadis
yang menuntunku ke cahaya setelah disiksa sekian lama,” ujarku kembali
mengingat peristiwa itu, tubuhku merinding saat kenangan ikut berkelebat di
ruang pikir, “beberapa kali aku masih mimpiin dia,” tambahku kecut.
“Itu
yang ganggu fikiranmu akhir-akhir ini?”
“Iya,”
sahutku lemas.
“Tapi
gadis itu cuma ada di mimpimukan Bell? Belum tentu dia eksis di dunia nyata,”
“Nggak
ada jaminan pasti buat itu Ndi,” kataku keukeh.
“Jadi
kamu ngerasa kalau gadis di mimpimu itu nyata?”
Aku
mengangguk pelan, tak terlalu yakin. Tapi setelah mimpi tentangnya beberapa
kali, sekarang aku hafal betul wajahnya jika berpapasan di jalan, “Entahlah, aku
ngerasa ada sesuatu yang nggak beres aja,” jelasku frustasi, “pertama, aku
nggak kenal dia sama sekali, tapi beberapa kali dia mampir di mimpiku. Kedua, setiap
dia hadir di mimpiku, aku ingat jelas besoknya pas bangun, gimana mimpinya,
detailnya dan lain-lain. Aku ingat jelas semuanya, nggak lupa kaya biasanya.
Ketiga, sekarang aku hafal banget sama wajahnya, kalaupun nanti aku bakal
ketemu dia di jalan, aku pasti bakal kenalin dia,”
Andi
berfikir lama, membuatku ikut-ikutan diam dan sibuk dengan pikiran kusutku, “Kamu
eror kalau nganggep mimpimu seserius itu!”
“Damn! Mimpi itu nggak cuma sekedar bunga
tidur kali!”
“I know, I know!” tukasnya cepat,
“sekarang udah banyak orang yang nganggep mimpi itu lebih dari bunga tidur, dan
mulai mengeksplorasinya lewat banyak hal. Jadi kamu mau menelusuri mimpimu pake
tehnik mimpi sadar, meditasi mimpi atau yoga mimpi?”
“Aku
belum tertarik sama hal-hal itu,” jelasku simpel. Aku belum setertarik itu
untuk berpetualangan dalam dunia antah berantah. Apalagi mengingat kejadian
yang mencuciku lahir batin di alam mimpi itu.
Tawa
Andi pecah sebelum ia melanjutkan kalimatnya, “Pernah nggak kamu iseng coba
ngartiin mimpimu lewat primbon?”
Tanganku
melayang ingin menjitak kepalanya, tapi Andi dengan sigap langsung menghindar, “Dude! Please!” seruku jengkel,
“intuisiku bilang ini lebih dari urusan klenik,”
Andi
terbahak, “Namanya juga usaha Bell,” berondongan tawa masih menyelimutinya,
”tahu nggak? kamu terlalu serius! Nggak bisa ya nganggep itu sekedar anomali?”
“Ya
nggak gitu juga kali!” tukasku mangkel. Andai tadi aku tak menceritakan hal
ini.
Melihatku
memasang muka kusut, perlahan tawa Andi memudar dan menanggapiku dengan serius,
“Sorry, sorry, kelepasan,” jelasnya
kemudian, “ayo kita bedah satu-satu, pertama itu alam bawah sadar, kita nggak
bakal ngerti secara sempurna alam bawah sadar dengan alam sadar kita, itu dunia
yang beda,”
“Bukannya
kedua hal itu saling melengkapi? Kaya rectoverso?”
“Aku
nggak tahu,” jelasnya ragu-ragu, “kita beruda nggak punya kompetensi tentang hal
itu,”
Aku
mendengus sebal, “Kenapa ini jadi seribet ini sih?”
“Kamu
sendiri yang menjadikan ini obsesi,”
.
. . . # # # . . . ...
Malam
menjelang dan aku merasa begitu konyol saat memakai kostum yang Andi
persiapkan. Berulang aku mematut diri di depan kaca, aku benci menatap bayangan
diriku sendiri. Sobey menerobos pintu kamarku dan terbahak, tawa kami
membuncah. Menertawai diri sendiri.
“Siap
berangkat Pikachu?” tanya Sobey sambil bergaya memerah susu dari bajunya, ia
mengenakan kostum sapi, dan begitu bangga.
Aku
mendengus sebal, jika bukan karena undangan Andi untuk menghadiri pesta
bujangnya, aku tak akan mau keluar rumah memakai kostum seperti ini.
“Santai
aja kenapa sih?” sahut Sobey berusaha menenangkanku.
Keteganganku
mulai mencair setelah menenggak alkohol di parkiran, aku berjalan di belakang
Sobey, mengikutinya masuk klub dengan jantung berdebar. Dentum musik EDM
langsung menghajar gendang telingaku, suasana mendadak begitu bising, mataku
terpaku pada penari telanjang yang melengak-lengok di samping tiang. Tubuh mereka
dilukis beragam tokoh komik Jepang dan teman-temanku ternyata juga memakai
kostum sepertiku. Keteganganku mereda setelah beberapa gelas mungil berisi alkohol
melewati kerongkongan. Aku mulai membaurkan diri dan menikmati pesta.
Kisah selanjutnya Klik Disini Episode Terakhir
Daftar lengkap serial Pelepasan
Melajulah "Pelepasan"ku klik disini
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
0 komentar: