Pelepasan Remah 3
Pelepasan
Remah 3
Pertengahan September
2009.
Sisa-sisa
perayaan kelulusanku meraih gelar sarjana masih terasa membaui udara. Gempita
kegembiraan tak lekas membuat hatiku bungah bukan main, malahan aku nampak
menjadi seonggok daging penuh siksa ditengah kegembiraan keluarga yang begitu
melimpah ruah dan tak berkesudahan.
Pujian
beruntun sanak keluarga karena aku lulus dengan IPK di atas 3,5 sama sekali tak
bisa membuat diriku tergoda untuk merasakan kebahagiaan yang sama. Aku terjebak
dalam labirin fikiran yang dua tahun ini mengukungku, dan menguat beberapa
bulan terakhir ini.
Sudah
lama aku fikirkan hal ini matang-matang. Bahkan hingga kematangan dan akhirnya
busuk digerogoti belatung. Berkali-kali aku ditentang sahabatku paling dekat,
tapi rasa muak terlanjur kuat menancapkan tahta di dalam dada. Mengkudeta rasa
pengecutku akan kaca mata dunia luar. Saat aku akan mengungkapkan jati diriku
pada keluargaku.
Malam
itu, segaris hujan lebat turun bersama langit kelam yang terus bersendawakan
halilintar, terbahak bersama gemuruh alam di atas sana. Di dalam kamar, semua
pakaian dan barang-barangku sudah tersimpan rapi dalam sebuah koper besar.
Sebagian besar barang-barangku sudah aku titipkan di rumah kontrakan sahabatku
beberapa minggu terakhir demi mengantisipasi hal yang mungkin terjadi. Dan yang
pasti terjadi.
Segala
kemungkinan telah kuperkirakan. Aku diusir. Aku diasingkan. Aku ditinggalkan.
Aku di rehabilitasi. Aku di kebiri. Aku di hipnoterapi. Semua kemungkinan sudah
aku fikirkan masak-masak. Sudah kusiapkan pula diriku untuk kemungkinan
terburuk sekalipun. Aku rela dan siap melanjutkan hidup tanpa mereka.
Menurutku, itu semua tak ada apa-apanya daripada pengorbananku selama dua puluh
satu tahun ini. Aku lelah bermain petak umpet dengan kemunafikan.
Dengan
langkah pasti aku menghanyutkan diri di ruang keluarga. Bergabung dengan ayah,
ibu dan kakak perempuanku yang masih gempita dalam perayaan. Tenggakan minuman
keras di kamarku cukup untuk membumbungkan rasa percaya diriku. Bukan karena
aku gemetar menghadapi dunia luar yang sebentar lagi mengecapku, tapi
semata-mata hanya karena aku butuh dorongan untuk berdiri tegak saat tak ada
lagi dukungan dan pengertian di keluargaku.
Pahit
aku lewati lorong dan beberapa ruang tempat segala kenangan bersemayam. Ku
hembuskan nafas perlahan, ini detik-detik terakhir aku tinggal di tempat ini.
Kuhikmati benar sisa waktu yang mengalir disekelilingku.
Kakiku
membeku, seakan-akan terpaku dilantai berlapis kayu. Lama aku mematung di salah
satu sudut rumahku itu. Sudut favorit keluargaku. Sudut tempat segala foto pembeku momentum yang perlahan dilupakan sang
waktu. Kuresapi lagi kenangan-kenangan yang hadir dalam potret-potret kamera
itu. Momentum-momentum yang diabadikan di selembar kertas berbalut bingkai
foto. Kumpulan sekat-sekat hidup yang berusaha kami kenang berulang. Berat
langkah kakuki saat menapaki lantai kayu tempat duapuluhan tahun menghabiskan
waktu.
Tanganku
bergetar saat menarik lengan kursi makan tempat keluargaku berkumpul. Kutarik
nafas dalam-dalam dan melepasnya perlahan. Aku siap. Aku siap menghadapi
ketidakpastian dunia.
“Yah,
aku pengin ngomong sesuatu,” kataku pasti. Tenang, kutatap mata ayahku. Ku
sampaikan gelondongan emosi jika aku sungguh-sungguh ingin berbicara dengannya.
Kuedarkan pandanganku, seketika ibu dan kakak perempuanku memperhatikanku.
Tak
butuh waktu lama ayah meresponku, “Wah, anak kebanggaan ayah mau ngomong apa
nih?” tanya ayahku dengan rona wajah gembira. Bahkan kedua pipinya masih
terdapat semburat warna matang akibat rasa bahagia yang terlalu memabukkan.
Sedari kemarin ia menengguk anggur kebahagiaan, dan malam ini, kebahagiaannya
akan mendapatkan penawar. Brotowali super pahit yang tak akan pernah ia
lupakan. Seumur hidupnya.
Susah
kutelan ludah yang menjelma menjadi duri di tenggorokan. Suara yang mendadak
serak, menyapa saat aku mulai bicara, “Yah, Bu, Kak. Abell pengin bikin
pengakuan sama kalian semua,”
Kali
ini, butuh waktu cukup lama untuk mereka memusatkan perhatian padaku, “Ini
penting!” hardikku ketus. Emosi menggumpal erat di dadaku, membuatku sulit
bernafas, ingin segera dilampiaskan keluar. Mereka bertiga menatapku dengan
tatapan terusik, televisi dimatikan. Mereka memberiku ruang untuk bicara.
“Pengakuan
apa nih? Kok kayaknya serius banget? Kamu sudah punya pacar terus kalian pengen
cepet-cepet nikah, begitu?” sahut ayahku penuh canda, disusul berondongan tawa
dari ibu dan kakak perempuanku, “kerja dulu Bell. Cari duit yang banyak, beli
mobil, terus nyicil rumah. Kalau sudah dapet kerjaan tetap, terserah kamu mau
nikah cepat atau nanti-nanti. Ayah serahin semua ditanganmu. Ayah percaya kamu
nggak bakal nyia-nyiain kepercayaan ayah ini.”
Seketika
sampah di hatiku menyeruak hebat. Enek aku mendengar itu semua. Bosan aku
dengan potongan kalimat-kalimat penuh keinginan mereka, penuh sodoran ini dan
itu, “Yah, bukan itu yang Abell maksud,” kataku muak.
“Terus,
maksud kamu apa Bell?” tanya ayahku lengkap dengan ulasan senyum yang sedari
kemarin terus tercetak di bawah kumis lebatnya.
“Ini
tentang diri Abell,” lanjutku pasti.
“Lho,
emang kamu kenapa Bell? Kamu nggak sakitkan? Apa kamu kecapean gara-gara acara
wisuda tadi? Mau ibu panggilin tukang pijat?” sahut ibuku penuh perhatian,
meruntuhkan sepertiga keberanianku. Tapi vodka yang kutenggak di kamar memilih
untuk tak bereaksi dengan ramah tamah ibuku. Amarah dan rasa muak, meronta
untuk segera dibebaskan.
“Aku
nggak mau apa-apa Bu. Aku baik-baik saja. Aku sehat,” jelasku ringkas, “malam
ini. Abell mau jadi orang jujur. Nggak mau lagi jadi pembohong atau orang
munafik. Apalagi jadi orang lain. Udah lama Abell mikirin ini semua
matang-matang. Aku bakal terima semua sanksi dan akibat yang bakal Abell dapat
karena hal ini,”
Lama
mereka terdiam, menimang-nimang apa yang sebenarnya ingin aku ungkapkan. Kini,
giliran kakakku yang membuka suara:
“Kamu
sebenernya mau ngomong apa sih Bell? Serius amat!”
“Iya
nih, kok jadi serius gini kamu ngomongnya nak,” ucap ibuku ikut menimpali, ”apa
kamu lagi pengen sesuatu? Mau ganti motor atau mau liburan ke Bali buat hadiah
wisudamu?”
Terlanjur
malas aku menanggapi itu semua, “Nggak Bu, Abell nggak pengin apa-apa. Tolong
kali ini dengerin aku baik-baik. Satu kali ini saja,” pintaku melas, “aku
ngomong gini karena aku memang mau ngomong serius sama kalian. Aku muak hidup
dalam kemunafikan seperti ini!” kataku lantang, menyulut emosi di wajah ayahku
karena ketidaksopananku, “Yah, Bu, Kak. Aku Gay.”
“Jangan
ngomong ngawur kamu Bell!” hardik Ibuku murka. Kuberanikan diri untuk menatap
wajah mereka satu persatu, kunikmati benar perubahan ekstrem di wajah mereka.
“Aku
nggak ngomong ngawur!,” kataku lantang, “aku ngomong jujur apa adanya. Daripada
kalian tahu dari orang lain, lebih baik kalian tahu dari diriku sendiri. Aku
nggak peduli kalian mau bilang aku anak nggak tahu diuntung atau anak nggak
tahu diri. Tapi satu hal yang jelas dari semua ini! Aku muak! Aku muak sama
semua ini! Lama ku nutupin hal ini, lama juga aku nyangkal semua ini, semua itu
cuma buat aku semakin benci diriku sendiri. Aku lelah ajdi orang lain. Aku
lelah jadi terus-terusan jadi orang yang kalian inginkan!”
“Jaga
omonganmu Bell!” kata kakakku memberi peringatan, “kamu itu nggak disekolahin
tinggi-tinggi buat ngomong kaya gitu. Minta maaf nggak?” hardiknya lantang.
“Nggak!”
balasku sengit, mendidihkan emosi mereka bertiga, “aku nggak bakal minta maaf!
Harusnya kalian yang minta maaf sama aku!” kataku tambah kurang ajar, “aku
nggak minta disekolahin tinggi-tinggi cuma buat dididik jadi orang lain. Pernah
nggak kalian tanya apa yang aku minta? Pernah nggak kalian tanya apa yang aku
mau? Kalian itu manusia egois! Kalian selalu bilang ini itu yang baik buat aku
tanpa kalian tahu benar apa yang benar-benar aku butuhkan. Apa pernah kalian
mikirin perasaanku selama ini? Nggak kan? Kalian itu cuma sibuk nyetak aku jadi
apa yang kalian mau. Sibuk dengan pendapat orang tentang aku. Sibuk dengan
pandangan orang tanpa sama sekali peduli dengan pandanganku. Kalian cuma peduli
dengan sudut pandang yang dipandang orang banyak!”
Bebarengan
dengan suara petir yang menggelegar dan terus saling sambar, suasana di ruang
makan itu tiba-tiba membeku. Butir-butir air hujan terus merutuk genteng
rumahku. Senyap berlaku untuk beberapa saat. Kakakku tersedak makanan yang ia
telan, ibu dan ayahku diam memandang. Tanpa terasa air mataku menetes perlahan.
Luka ini segera butuh penawar.
“Maaf
kalau aku nggak bisa jadi anak yang kalian inginkan. Jujur aku tersiksa dengan
semua hal, aturan, ikatan dan keharusan yang kalian wajibkan untukku. Aku muak
dengan itu semua! Aku itu juga manusia seperti kalian. Aku juga punya perasaan
seperti kalian. Aku hanya ingin kalian melihatku sebagai sesama manusia. Bukan
kaya patung lilin yang bisa kalian bentuk sesuka hati. Aku bukan manekin yang
bisa kalian arahin atau pakein pakaian begitu saja. Aku punya hati, aku juga
punya perasaan. Ini diriku, ini hidupku,” kataku lantang, butir-butir air mata
terus mengalir dari sudut mataku. Sampah-sampah hatiku terus menyeruak, meminta
untuk segera dilepas landaskan, “kalian itu egois!” teriakku, “ kalian adalah
manusia paling egois yang pernah aku tahu. Kalian terus memaksakan hidup orang lain
di hidupku hanya untuk sekedar memenuhi keinginan kalian saja!
Keinginan-keinginan yang nggak bisa kalian wujudkan di dalam hidup kalian
sendiri!” emosi terus bergemuruh dari dalam relung dadaku, meronta-ronta untuk
segera diluapkan.
“Udah
dari SMP abeel sadar kalau aku terlahir menyimpang. Aku sama sekali nggak suka
cewek. Aku suka sama cowok, terangsang dan bergairah sama mereka. Aku tahu
kalau pas kita SMP itu masa-masa pencarian jati diri. Tapi aku bukan orang
bodoh yang nggak menyadari itu semua. Bahkan mimpi basah pertamaku saja sama
cowok! Bukan sama cewek! Asal kalian tahu saja. Aku juga tersiksa dengan
keadaanku yang rumit seperti ini. Butuh waktu lama buat nerima diriku sendiri.
Lama aku nolak, nyangkal, tapi semua itu cuma buatku lelah. Aku capek hidup
seperti itu. Tapi sekarang aku sadar, aku juga udah nerima jika aku lahir
seperti ini. Aku nggak bakal nyangkal atau nolak-nolak lagi. Aku nggak mau nipu
diriku sendiri. Aku nggak mau lagi jadi orang lain. Ini hidupku, aku mau hidup
dijalanku sendiri. Aku terima keadaanku seperti ini dan aku bahagia terlahir
spesial. Aku Gay!” kataku pasti dan mantap. Kelegaan panjang hinggap di dadaku.
Baru kali ini aku merasa benar-benar hidup. Tanpa paksaan, atau aturan yang
selalu meeka jejalkan. Aku merdeka. Aku puas bisa menceritakan isi hatiku
kepada mereka bertiga.
Kuedarkan
pandanganku sekali lagi. Kutatap satu persatu mata kakak, ibu dan ayahku.
Kecewa dan rasa tak percaya terlukis jelas dari kelopak mata mereka yang mulai
memerah dan bergelombang. Tapi, empat hal yang kuingat jelas tentang peristiwa
malam itu dan selamanya akan ada dalam alam fikirku. Degub suara kursi yang
jatuh bedebam, sekelebat bayangan ayah di tembok yang sontak berdiri, suara
jerit penuh luka kakak dan ibuku, serta aliran panas di pipiku saat pandanganku
mendadak beralih menatap lantai penuh kunang berbintang.
Tetesan
darah segar yang mengalir dari sudut bibir kananku menjadi saksi atas peristiwa
besar dalam hidupku malam itu. Pandanganku kabur sementara waktu. Sesaat, aku
butuh waktu untuk berusaha memahami apa yang terjadi padaku.
“Bukan
kali ini saja kamu mengecewakanku Bell, kamu bilang jika kamu tak mau mewarisi
agama yang aku percayai. Aku terima. Aku carikan para pemuka agama untuk
menjawab semua pertanyaanmu, tapi kamu malah tak mau bertemu dengan mereka.
Kamu bilang jika kamu ingin mencari agamamu sendiri. Aku tak masalah. Setiap
hari aku berdoa dan menunggu dengan penuh kesabaran agar kau segera memiliki
agama sebagai pegangan hidup. Jadi, apa ini hasil pencarianmu selama ini?
Apakah ini hasil renunganmu? Setelah sekian lama kau memintaku untuk menunggu,
tiba-tiba kau mengatakan jika kau gay?” ucap ayahku lantang, mengelegar penuh
getar amarah, “atas nama Allah Bell. Kamu bukan anakku lagi,” lalu ia berdiri
tegab didepanku, mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajahku, “tak ada
silsilah gay di keluargaku. Selamanya hal itu tak akan pernah terjadi. Jangan
pernah muncul di depan wajahku lagi, pergi dan jangan pernah kembali. Aku malu
punya anak sepertimu!.”
Untuk
beberapa saat mataku mengerjab, pandanganku masih penuh dengan kunang-kunang.
Kukuatkan diri untuk bangkit, ku tangkap suasana terakhirku di rumah. Ibu yang
tak kuasa menahan tangis di atas meja makan. Kakakku yang mematung dan tak bisa
berbuat apa-apa dan langkah besar ayahku meninggalkan kami bertiga. Berjalan
penuh luka kearah kamarnya.
Kejadian
malam itu sudah aku perkirakan beberapa bulan yang lalu, tapi aku tak pernah
meyangkan jika luka yang timbul akan sedahsyat ini. Ku paksa diriku beranjak
menuju kamar. Menyeret koper besar berisi sebagian kecil barang-barangku ke
luar rumah dan memacu motor dalam linangan air mata yang terus tergerus air
hujan.
Sebelum
keluar gerbang, kulihat rumahku untuk terakhir kalinya sebelum bayangan motor
dan ragaku lenyap dalam cat jelaga malam. Di tengah jalan aku menangis
sejadi-jadinya, meraung-raung seperti binatang. Tangis paling hebat yang pernah
aku lakukan. Tangis yang kemudian disamarkan air hujan. Akhir dari tangisan
batin yang sering aku sembunyikan.
Pelepasan Remah ke 4 Klik disini
Daftar lengkap serial Pelepasan
Melajulah "Pelepasan"ku klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
0 komentar: