Pelepasan Remah 10
Pelepasan
Remah
10
“Ke pantai
yuk!” tawar Willy menggiurkan saat sampai di pelataran parkir Reve. Semenjak
mereka meresmikan hubungan, hampir setiap hari Willy mengantar jemputnya di
cafe.
“Sekarang?”
jawab Abell sambil cengengesan. Ia dan pantai, adalah hal yang tak bisa di
pisahkan. Entah mimpi apa dia kemarin malam hingga tiba-tiba ia ditawari ajakan
yang mustahil untuk dia tolak.
“Iya!”
balas Willy penuh energi, senyum merekah di wajah Abell, “udah disiapkan kok
baju ganti sama keperluan yang lain,” kali ini, ujung bibirnya bisa ia rasakan
mau menyentuh kuping.
“Lho kok iso?” katanya tambah semangat.
“Uwes di siapke Andi kok wingi, dadi dino iki
gur karek mangkat thok, niate gawe kejutan Bell,”
Hampir
saja, Abell lompat-lompat kegirangan di lahan parkir itu saking senangnya
mendengar hal itu.
“Kalian
berdua baik banget sama aku!,” pujinya tulus, “terus tasnya mana?”
“Udah
ada di dalem cafe, ambil aja,”
“Siap
bos!,” kata Abell cekatan, ia lalu berlari masuk ke dalam cafe, mengambil tas
punggung berukuran besar, berpamitan dengan Andi, lalu kembali ke halaman
parkir dengan senyum gembira.
“Mau
ke Jogja apa ke Pacitan? Yang deket aja ya, kalau ada libur panjang, baru yang
jauh sekalian nggak masalah,”
“Jogja
aja deh Will, kalau malem, nongkrongnya enak,”
“Motoran
apa mobilan?”
“Motor
aja, biar semangat petualangannya lebih dapet!”
“Halah,
gaya, cuma ke Jogja aja pake semangat petualangan segala,”
Sedetik
kemudian, Abell langsung duduk di jok belakang sambil memeluk erat Willy,
Cabut!!!”
.
. . . # # # . . . ...
Debur
ombak berulang menghantam kasar tubuh Abell, membuatnya kuyup. Berulang ia
berlarian di bibir pantai, mengelinding di atas hamparan pasir, menabrakan diri
saat ombak besar datang, atau sekedar bermain pasir dan membentuknya menjadi
sebuah rumah dan tak lupa juga menggambar hati di sana. Menuliskan namanya
sendiri, gambar hati dan nama Willy di bawahnya, kemudian terbahak sendiri.
Seakan-akan minta dimaklumi karena tingkah bocahnya.
Sementara
Abell mengulang masa kecil di hadapan samudra, di salah satu balai-balai, Willy
cukup memandanginya dan tersenyum melihat kekasihnya bahagia. Berteman
secangkir kopi pahit, bir dan batangan rokok, ia rekam betul-betul momen-momen
bahagia itu. Kejutannya berhasil.
Belasan
menit kemudian, Abell menghampirinya dengan wajah sumringah dan nafas
terengah-engah, “Laper banget! Kamu udah pesen makan apa belum Will?”
“Udah
kok,” jawab Willy santai, lalu menyerahkan handuk tebal untuk menyeka
bulir-bulir air yang menempel di kulit kekasihnya itu, ”bentar lagi juga bakal
dateng makanannya,”
“Nanti
aja,” tolak Abell, “aku masih mau main-main lagi,”
“Lagi?”
tanya Willy memastikan, sudah hampir satu jam kekasihnya bermain-main di atas
pasir, dan itu rupanya belum cukup untuknya.
“Ya,
sampai matahari tenggelam,” jawab Abell mantap, lalu terbahak sendiri, seakan
minta dimaklumi, “aku kaya anak kecil ya?” tanya Abell sambil melahap roti
tangkup di depannya.
“Iya
kamu kaya anak kecil, tapi aku seneng lihat kamu bahagia kaya gini. Belum pernah
aku lihat kamu segirang ini sebelumnya,”
Abell
terbahak.
“Kenapa?
Ada yang salah?” tanya Willy kebingungan.
“Nggak
ada yang salah sih Will, tapi ya... dari dulu memang aku tergila-gila sama
laut, aku jatuh cinta sama deburan ombak, aku bahagia karena lihat karang, atau
ikan. Aku juga hobby ngumpulin pasir dari banyak pantai, kapan-kapan aku
lihatin deh koleksi pasirku!”
“Baru
cerita kamu Bell tentang hal ini,”
“Pelan-pelanlah
Will, aku bakal bagi semua tentang diriku secara penuh sama kamu, tapi perlahan,
kita nikmati dulu semua ini,”
“Iya,iya...
sering banget sih kamu ngomong gitu,”
“Kamu
tadi pesen apa emangnya Will?”
“Udang,
cumi sama gurami, nggak apa-apakan? Kamu nggak alergi udangkan sayang?”
“Nggak
kok Will santai aja, aku nggak ada pantangan apapun. lagian, hidup nggak
bakalan sempurna kalau kita nggak bisa makan seafood,”
“Setuju,”
Sajian
makanan laut tandas setengah jam kemudian setelah datang. Abell kembali lagi
menceburkan diri ke pantai, namun kali ini bersama Willy. Setelah berlomba
menahan nafas di dalam air dan berenang menantang ombak, mereka mengentaskan
diri menikmati matahari yang akan tenggelam. Berteman batangan rokok dan bir
yang tak lagi dingin, mata mereka menerawang ke satu titik.
Angin
gersang membawa butir-butir pasir berterbangan, mengambang di tengah udara lalu
terpuruk jatuh akibat gravitasi. Bulir-bulir air yang masih hinggap di tubuh
Willy, membuat Abell senantiasa menatapnya terus menerus. Menelanjanginya
hingga puas, walau hanya lewat tatapan mata. Sekuat tenaga ia menahan diri
untuk tidak menyarangkan kepalanya diantara lengan dan dadanya, atau sekedar
memeluknya, atau sekedar mengecup kecil bagian-bagian tubuhnya.
“Kamu
lebih dari Indah Will, satu tingkat di atas sempurna,” puji Abell tulus.
Setelah bersama sekian waktu, ia belajar agar menjadi manusia yang jujur.
Willy
tersenyum simpul, dengan wajah berseri-seri, “Seandainya Bell, satu hari saja
kita bisa tukeran jiwa, kamu bakal ngerti gimana aku sayang sama kamu, kagum,
bahkan kadang sampai kaya muja kamu. Biar kamu berhenti bertanya-tanya tentang
banyak hal,”
“Seandainya
kita bisa saling bertukar sudut pandang seperti itu,”
“Seandainya
bisa, kita bakal jadi pasangan paling bahagia di dunia ini,”
“Bukankah
kita sudah bahagia sekarang?”
“Kamu
benar,”
Belasan
menit kemudian mereka berdua hanya berdiam. Sekedar menikmati pemandangan,
mendengarkan deburan ombak sambil mengesek-gesekan jemari kaki dengan pasir
pantai.
“Jika
kita diberi kesempatan untuk mengulang kehidupan di dunia ini, apa yang ingin
kamu lakukan?” tanya Abell pelan, ia perhatikan kulit di tangannya yang
mengkerut. Menikmati sore di pinggir pantai sambil melihat matahari terbenam,
membuatnya ingin mempertanyakan banyak hal kepada kekasihnya itu.
Setelah
menengak bir kalengan dan menghembuskan kepulan asap panjang, barulah Willy
mulai menjawab, “Jika aku diberikan kesempatan itu,” katanya pasti, “aku akan
menemukanmu lebih cepat, agar aku bisa mencintaimu lebih lama lagi,”
Abell
terkisap, jantungnya serasa berhenti berdetak saat mendengar untaian kalimat
yang baru saja ia dengar. Willy tersenyum, melihat mimik wajah Abell yang
memerah, “Kalau kamu Bell? Apa yang ingin kamu lakukan?”
“Entahlah,”
jawab Abell seadanya, tiba-tiba ia bingung, ling-lung, tak tau apa yang ingin
ia katakan, “selama ini, aku nggak terlalu banyak menyesali banyak hal,”
lanjutnya dengan suara serak, gelondongan episode-episode masa lalunya
tiba-tiba menyeruak. Sampai sekarang, ia masih tak bisa berdamai dengan
masa-masa itu.
Rasa
sakit itu. Kesepian itu. Kesendirian itu.
“Mengulang
ora mesti goro-goro nyesel Bell,”
ucap Willy hampir tak terdengar, ia lalu mengubah posisi duduknya, hingga
matanya dapat berinteraksi langsung dengan Abell, “mengulang, kadang juga bisa
untuk memperbaiki,”
“Aku ra pengen ndandani opo-opo nek uripku
Will,” balas Abell berusaha memastikan, tapi getaran yang hadir dalam
suaranya sama sekali tak membantu, “nak
wong-wong ndelok uripku, mesti daraki uripku cacat. Diusir ko ngomah, ra
diakoni anak meneh, ora due sopo-sopo. Sopo tho seng pengen urip koyo aku
ngene?” jelas Abell getir, sudut matanya mulai dipenuhi air yang
mengambang.
“Bell,
nggak peduli mau gimanapun hidupmu, cuma kamu yang punya hak buat menilai
hidupmu sendiri, nggak aku, nggak Andi, nggak orang lain. itu hidup kamu Bell,
kamu yang nentuin sudut pandangnya sendiri. Kalau menurutmu hidupmu cacat, ya
hidupmu cacat. Tapi kalau menurutmu hidupmu indah, ya hidupmu bakal indah Bell.
Bukan berarti pendapat orang banyak itu lebih benar daripada pendapat orang
yang lebih sedikit kok Bell,”
“Kowe bener Will,” jawab Abell lugas
lengkap dengan wajah sedikit sumringah,
“urip dadi Gay ki wes abot, nak ditambahi beban liyane neh, bakalan tambah abot
uripku, nak gur mikirke hal-hal seng ora penting koyo ngono,”
“Seng abot ki gur masa penyangkalan,
penerimaan sama coming out aja Bell,
dengan catatan kalau nggak mau jadi orang munafik lho ya,”
“Dan
yang jelas, Gay itu bukan penyakit,”
“Sebenernya
yang sulit di sini cuma menyetarakan pemahaman aja sih Bell, intinya semua
bakal indah kalau kita bisa saling menghargai, menghormati, memahami dan yang
paling penting adalah saling memanusiakan satu sama lain,”
Ingin
rasanya ia memeluk Willy pada saat itu, tapi, posisi mereka yang masih tak
lazim di depan umum, mengurungkan niatan tersebut. Jadi, ia pun hanya bisa
memegang tangan Willy selama beberapa saat sebelum akhirnya dia lepaskan lagi.
“Makasih
buat hari ini ya sayang, aku bahagia banget hari ini,”
“Sama-sama
Bell,”
“Udahan
yuk Will, udah mulai kedinginan nih aku,”
“Ntar
mau langsung pulang apa jalan-jalan dulu?”
“Ngopi
aja deh, banyak tempat ngopi yang asik di Jogja. Tapi kita makan dulu di bukit
bintang ya,”
“SIAP!!”
kisah selanjutnya klik disini
kisah selanjutnya klik disini
Daftar lengkap serial Pelepasan
Melajulah "Pelepasan"ku klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
0 komentar: