Pelepasan Remah 14
Remah 14
Kisah
sebelumnya klik disini
Setelah
membuatku lumpuh selama beberapa hari, Willy kembali mengantar jemputku di
cafe. Malam itu, langit benderang, lengkap dengan paket taburan bintang di
angkasa. Rasa salah masih bersemayam di hati Willy, membuat dia terus melakukan
berbagai hal untuk menebus kesalahannya. Karena tak ada film yang menarik malam
itu, ia lalu mengajakku melihat pasar malam di tengah kota.
Setelah
memakirkan motor, aku mengajak Willy mampir di salah satu tempat makan lesehan.
Saat Willy memesan makan dan minum, aku sengaja memilih tempat duduk yang
paling jauh dan sepi dari warung itu. Tak lama kemudian ia datang dengan
sepiring sate dan gorengan yang baru saja di bakar, beberapa bungkus nasi dan
es yang dibawa mas-mas dibelakangnya.
“Wes sue yo Bell awak dewe ra mangan lesehan
nek pinggir dalan ngene,”
“Iyo Will, wes sue banget koyone. Padahal aku
seneng lho mangan nek pinggir dalan ngene. Sensasine juara banget!”
Usai
membuat makanan di depan kami tandas, aku mulai sesi khusus untuk malam itu.
“Will,
aku mau ngomong sesuatu sama kamu,” kataku pelan sambil menyentuh punggung
tangannya sebentar.
“Ngomong opo?” tanyanya dengan ekspresi
serius.
“Aku
mau jelasin perkara yang kemarin itu,”
“Okey,
coba jelasin semuanya,”
“Yang
pertama, aku baik-baik aja, okey?. Kamu nggak usah merasa bersalah kaya gitu.
Kemarin itu bukan salah kamu kok, emang akunya aja yang lagi dalam posisi
rapuh. Kamu sama sekali nggak punya salah sama aku. Malam itu nggak tahu kenapa
batinku lagi kacau aja, aku ngerasa hampa sama banyak hal. Aku ngerasa capek,
lelah, enek. Tapi anehnya aku nggak tahu kenapa ngerasain hal itu. Dari dulu
memang ada hal-hal sensitif yang nggak bisa orang bahas sembarangan sama aku.
Yaitu tentang masalalu, agama, dan keluargaku. Aku masih nggak bisa nahan emosi
kalau dihadapkan sama ketiga hal itu. Butuh keadaan yang sanggat setabil kalau
mau bahas ketiga hal itu sama aku.”
“Sebelumnya
aku juga mau minta maaf sama kamu Bell tentang malam itu. Maaf kalau aku
lancang sama kamu. Aku ngomong kaya gitu juga karena aku nggak bisa ngontrol
diriku buat nunggu kamu cerita semua kisahmu sebelum sama aku,” ucap Willy
membuat hatiku bergidik ngeri, ingin rasanya aku memeluknya saat itu juga,
“maafin aku kalau terlalu egois pengin tahu semuanya tentang kamu,”
“Sekali
lagi ya Will, kamu nggak salah apapun. emang aku aja yang terlalu sensitif
malam itu. Makanya jadi nggak enak, maaf juga kalau setelah beberapa bulan kita
jalin hubungan, aku belum cerita banyak tentang masalaluku. Demi tuhan kadang
aku sama sekali nggak kuat buat nginget-inget luka itu. Mungkin aku butuh waktu
yang lebih lama lagi buat cerita semuanya sama kamu. Tapi yang jelas bukan
sekarang ya Will,”
“Aku
bakal nunggu sampai kamu siap cerita semuanya sama aku Bell, semuanya dengan
lengkap, jujur dan apa adanya,”
“Aku
janji bakal cerita semuanya sama kamu Will,”
“Yaudah
yuk, kita samperin pasar malam itu!”
.
. . . # # # . . . ...
Melihat
sorot lampu warna-warni penusuk mata, kerumunan orang hingar bingar dan
tubrukan berbagai macam aliran musik, membuat hatiku cerah mendadak. Seperti
barusaja disiram berbagai macam kebahagiaan. Sebelum memasuki kawasan pasar
malam tadi, Willy menyempatkan diri untuk membelikanku sepasang arum manis
berwarna hijau terang dan merah muda. Hanya karena hal kecil itu, hatiku senang
bukan kepayang, ia pintar mengambil hatiku dan membuatku bahagia.
Senyum
kembali terulas di wajah tampan Willy, senyum iklas bercampur tatapan nakal
yang membuatku sedikit merasa bersalah karena telah membuatnya hawatir selama beberapa
hari. Usai menyalakan rokok dan mengepulkan asapnya beberapa kali, ia
merangkulku yang sedang sibuk melahap arum manis berwarna merah jambu. Ia
selalu seperti itu, menjagaku agar tak jauh-jauh dari dirinya.
Selama
beberapa saat, kita berjalan-jalan perlahan sekedar menikmati malam, pasar
malam dan keramaian orang banyak. Ada sebuah rasa nyaman yang menggelayuti
hatiku saat Willy merangkulkan lengannya di pundakku, perasaan yang membuatku
sering berlama-lama di sampingnya. Bahkan saat kami tidur bersama, tidurku akan
lebih nyenyak jika terlelap dalam dekapannya.
Tak
seperti orang dewasa kebanyakan yang akan duduk-duduk di bangku atau sekedar
menonton orang-orang bermain di area permainan. Ada sisi kekanakan kami berdua
yang ingin selalu di tuntaskan saat melihat berbagai macam wahana di pasar
malam. Malam itu kami berdua naik bianglala yang cukup sempit untuk dua orang
lelaki dewasa seperti kami, setelah itu kami naik ombak banyu dan dua kali naik
kora-kora untuk menuntaskan adrenalin.
“Seneng
nggak?” tanya Willy dengan tatapan pelumer hati. Walau sudah beberapa bulan
menjalin hubungan dengannya, sampai sekarang hatiku masih sering tak karuan
saat mata kami berpapasan.
“Seneng
bangetlah! Lagian udah lama juga aku nggak kepasar malam,” seruku tulus, “makasih
ya buat malam ini,” tambahku menerbitkan senyum di wajahnya.
“Kamu
kaya anak kecil pas makan arum manis tadi. Gemesin. Jadi pengin nyium,”
“Cium
aja kalau berani,” jawabku keceplosan, sedetik kemudian langsung kuralat
jawabanku, “nggak jadi deng,” kataku cepat, sebelum ia mengambil langkah
gilanya, ”awas kalau kamu macem-macem,” ancamku serius.
Willy tertawa terbahak-bahak, “Takut ya kalau
aku nekat disini?”
“Ya
siapa yang nggak takut Will? Orang urat malumu udah putus kok, yang ada aku
yang jadi korban kejahilanmu terus,” jawabku sewot sambil mengingat-ingat
berbagai macam kejahilan yang sudah ia lakukan padaku.
Sambil
menghisap batang rokoknya, ia hanya mesam-mesem melihatku.
“Ngapain
sih ngilihatin melulu?” semprotku cepat. Aku mulai was-was jika ia mulai
menunjukkan gelagat nggak waras di depanku. Di otaknya pasti ia sedang
merencanakan hal jahat untukku.
“Halah, mososk gur ndheloki bojone we yo
nggak entuk?”
“Bukane ora entuk Will, biasane koe nak
ndeloki aku sue kayo guya-guyu ra cetho ki igek ngrencanake macem-macem ke aku!”
jelasku waspada.
“Lho kok iso?”
“Aku kan ora kenal koe sedino rong dino Will.
Awas yo nak macem-macem!” ancamku lagi, kali ini dengan tatapan galak. “aku
mau ke toilet bentar,”
“Mau
dianter nggak?” tawarnya dengan sorot mata jahil.
“Nggak
usah. Kaya anak kecil aja, ke WC diekorin,”
“Yaudah
kalau gitu, aku tunggu disini ya. Awas kalau kecantol cowok lain! bakal aku arak
orang itu keliling pasar malam,” lanjutnya dengan ekpresi lucu.
Beberapa
menit kemudian aku kembali menghampiri Willy dengan membawa satu bungkus kacang
rebus, ada kesan yang berbeda saat aku berjalan menghampirinya. Lelaki tambun
rupawan itu nampak begitu tanpan di mataku, malam itu ia mengenakan topi butut
warna putih, jaket kulit hitam, jeans belel, persing hitam di kedua telinganya.
Sekilas ia seperti preman, atau nampak seperti lelaki berandalan, sosok yang
aku cintai.
“Kamu
ganteng kalau pakai topi kaya gitu,” pujiku tulus saat menghampirinya.
Membuatku terus curi-curi pandang mengaguminya.
“Halah
tenane?”
“Beneran,
kaya tipe-tipe cowok berandalan yang aku suka gitu,”
“Ya
bagus deh kalau kamu senang kalau aku tampil gini,”
Dari
saku dalam jaket kulitnya ia kembali mengeluarkan bungkus rokok, menempelkan
satu batang di bibirnya dan menyalakannya. Dalam satu hari ia bisa menghabiskan
lebih dari dua bungkus rokok, pernah aku bicara baik-baik dengannya sebagai
sesama orang dewasa. Kita berbicara agar dia mengurangi jumlah rokok yang ia
konsumsi selama satu hari, dan hal itu berakhir sia-sia. Ia sudah terlampau
kecanduan batang nikotin itu, sama seperti ia harus minum kopi di pagi hari
setelah sarapan dan malam hari sebelum tertidur lelap.
Baginya,
rokok adalah meditasi, media untuknya menelusuri berbagai hal, terutama hal-hal
kreatif di pekerjaannya. Ia sama sekali tak bisa mendesain baju, tas atau topi
jika tak sambil merokok dan di temani kopi. Sedangkan aku adalah kebalikannya,
aku sama sekali tak mau berurusan dengan batang tembakau itu. Selama ini aku
berusaha untuk hidup sebagai vegetarian, tapi aku selalu tergoda dengan aneka
ragam daging yang dibakar, apalagi jika anak-anak mengadakan acara bakar-bakar,
seketika aku menjadi orang yang paling rakus menghabiskan makanan. Kecuali
daging kambing, kepalaku seketika akan pening dan tubuhku akan langsung
bergetar tak karuan hanya dengan melahap beberapa tusuk saja.
Sambil
melahap kacang rebus, fikiranku melanglang buana. Mesam-mesem sendiri
membayangkan banyak hal, bahkan kadang cekikikan jika membayangkan hal-hal yang
begitu lucu di fikiranku. Fiuh! Kepulan asap mendadak menabrak wajahku, masuk
ke rongga hidung dan membuatku terbatuk-batuk.
“Apaan
sih? Ganggu aja!” semprotku langsung dengan tatapan ganas!.
“Kamu
ngapain sih cekikikan sendiri gitu? Kesambet setan di WC tadi ya?” jawab Willy
langsung dengan sorot mata penuh curiga, “atau jangan-jangan kamu lagi bayangin
yang enggak-enggak sama yang jaga WC?”
“Edan!”
sergahku jengkel sambil menoyor jidatnya, “kalau cemburu mikir-mikir juga,
pakai otak! Jangan ngomong ngawur kenapa sih?”
“Ya
habisnya kamu tingkahnya nggak jelas gitu habis dari WC,” jawab Willy jengkel
melihatku, “ketemu orang ganteng di jalan pas mau ke WC apa pas pulang dari
WC?”
“Ah
males ah kalau kamu mulai cemburu buta kaya gini,”
Tak
ada angin, tak ada hujan, bahkan geledekpun juga tak ada. Tiba-tiba ia tertawa
terbahak melihatku jengkel sekaligus kebingunan dengan sifatnya.
“Pantatmu
lagi panas ya? Dasar geblek, tadi marah-marah, terus sekarang ketawa ngakak,”
“Hahaha...
bercanda Bell,”
“Bercandamu
aneh!”
“Eh
Bell, tak kasih tantangan berani nggak kamu?” tawar Willy jenaka lengkap dengan
sorot mata nakal plus jahil andalannya. Alis matanya naik turun beberapa kali.
Membuat jantungku berdegub tak karuan.
Kisah
selanjutnya Klik disini
Daftar lengkap serial Pelepasan
Melajulah "Pelepasan"ku klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
0 komentar: