Pelepasan Remah 16
Pelepasan
Remah 16
Kisah
sebelumnya klik disini
Angin
malam menampar-nampar ringan wajah kami, menghempaskan nikmatnya udara Solo
dikala malam hari, mengingatkanku akan kenangan-kenangan lama. Solo memang tak
semenarik Jogja, tapi selalu sensasi yang beda di tempat ini. Mungkin karena
dari kecil aku hidup di Jogja dan baru saat kuliah memutuskan untuk pindah
kesini, atau mungkin jika ditarik alasan yang lebih personal karena Sololah
yang menjadi titik balik hidupku.
Mulai
dari tempat kuliah, mengembangkan both
kopi dan susu disini, mulai hidup mandiri, dibuang dari keluarga, terwujudnya
cafe impian, bertemu dengan Willy, tapi yang paling penting adalah, aku bisa
hidup baik-baik saja dan bahagia. Karena rasa sakit dan tertekan yang dulu
terasa menghimpit, kini perlahan melepaskan jeratnya saat aku mulai bisa
menerima konsekwensi atas pilihanku.
Dibelakang
boncengannya, aku hanya diam memeluk Willy, menatap lampu-lampu di jalan yang
silih berganti memendari kami. Sekuat mungkin aku menahan tawa dan rasa malu
yang membuncah, sehingga membuatku beberapa kali membenamkan wajahku dibalik
punggung Willy yang hangat dan nyaman. Sambil menyetir motor dengan kecepatan
pelan, Willy merokok dengan santainya, menghembuskan asap dengan hikmat seakan-akan
tak ada yang baru saja terjadi. Kupererat pelukanku, berterimakasih atas cinta
yang terus tumbuh.
“Kamu
kedinginan?” tanya Willy penuh perhatian.
Kulonggarkan
sedikit rangkulan tanganku di lingkar perutnya, “Enggak, kok,”
“Lha
kok kenceng banget meluknya? Susah nafas tahu!” protesnya.
“Akukan
meluk perutmu bukan dadamu!”
“Ya
kan aku nafas lewat pori-pori di perutku Bell,”
“Dasar
dodol!, Willy dodol!”
“Kamu
beneran nggak kedinginan?”
“Enggak
Will, kepanasan iya. Sampai gerah tubuhku, daritadi cekikikan sepanjang jalan.
Kamu sih, konyol banget jadi orang,”
“Sekali-kali
nggak masalah kali Bell, kita juga butuh hal-hal konyol untuk dikenang,”
“Sekali-kali
apaan? Kamu konyol tiap hari sayang, kamu tuh hobby ngerjain orang tahu nggak?”
jawabku setengah merajuk,“dari dulu aku terus yang jadi korban kekonyolanmu,”
Setelah
beberapa kali meraskan tubuhku bergetar, akhirnya ia menepikan sepeda motornya,
melepas jaket kulitnya dan menyuruhku memakainya.
“Aku
nggak kedinginan kok Will,”
“Udah
pake aja, aku kebal kok sama angin malam. Kamu lebih butuh jaket itu daripada
aku,” jawabnya sedikit memaksa “lagian aku malah kegerahan gara-gara kejadian
tadi,”
“Lha
kamu sih, ngapain juga pake nantang-nantang gitu?”
“Namanya
juga spontan Bell, pas liat stand
pakaian dalem tiba-tiba ide itu muncul, yaudah deh. Dibuat ngerjain kamu aja,
pasti lucu,”
“Itu
nggak lucu Will, itu konyol dan menjengkelkan!” semburku langsung, masih belum
bisa menerima dikerjai Willy seperti itu, “malu tahu nggak dilihatin ibu-ibu
tadi pas beli cawet. Kamu nggak tahu sih gimana ekspresi kangetnya ibu-ibu itu
pas aku muncul di tengah mereka. Otak kamu kayaknya udah beneran sengklek deh
sayang, kapan-kapan ke dokter yuk,”
“Ngapain
ke dokter segala?”
“Periksa
dong, medical chekupstandar aja, penasaran
aku. Kayaknya beneran ada yang nggak beres deh sama otak kamu,”
“Enak
aja kalau ngomong, dari dulu otakku emang gini ya sayang. Kamu yang santai,
nggak udah medical chekup segala,
semua onderdilku baik-baik aja kok. Apalagi yang ada di selakangan,”
“Mulai
ngeresnya,” jawabku gerah. Jika sudah mulai ngebahas sekalangan, akhirnya pasti
ngajakin ngamar.
“Enggak-enggak,
lagi nggak pengin kok Bell. Tapi kalau kamu mau sih aku siap-siap aja
ngeladeninya,”
“Udah
deh, lagi males tahu,” kupererat pelukanku, kusandarkan kepalaku di pungungnya
yang nyaman, damai menyertaiku malam itu, “kamu masih gerah?”
“Udah
nggak terlalu kok,”
“Kamu
sama sekali nggak malu ya aku suruh kaya gitu tadi?” tanyaku hati-hati. Aku
takut jika ia akan membalasku lebih parah dikemudian hari.
“Ngapain
malu segala? Biasa aja kali, lagian cuma pakai cawet sama BH doang,” jawabnya
ringan, “urip ki woles wae Bell,”
“Makainya
doang sih nggak masalah Will, tapi yang jadi masalah itu lokasinya itu lho
sayang, ini pasar malam, bukan di dalam rumah. Tambah geblek deh kamu lama-lama,
jadi was-was kalau keluar sama kamu. Takut kamu kerjain lagi,”
“Lho?
Kenapa harus was-was? Aku aja yang make BH sama cawet suantai pol lho,”
“Itu
karena urat malu kamu udah putus lama, makanya kamu malah seneng aku suruh
gitu, bukannya malu apa tertekan,”
“Lha
kenapa harus malu? Nikmatin aja kali Bell,” jelasnya santai, “lagian kalau kamu
nggak diturutin juga bakal mencak-mencak, kamu kan kalau ngambek lama banget,
moody banget lagi. Apalagi kalau galau, apa sedih, bisa tiga hari empat hari,”
“Jadi
nyindir nih ceritanya?” jawabku sebal.
“Halah,
kaya ngaruh aja kamu kalau aku sindir, mau kemana lagi nih juragan?”
“Ke
Alfamart dulu aja ya pak supir, lagi pengin beli jajanan,”
“Siap
juragan!”
Setelah
jalan-jalan malam mengitari jalanan Solo yang mulai melengang, sekitar tengah
malam kami mampir ke Alfamart sebelum akhirnya pulang. Sesampainya di rumah,
kita tak langsung terlelap, sambil ditemani berita tengah malam kami ngobrol
naglor-ngidur, membahas apapun, dari yang penting sampai nggak penting. Barulah
saat hampir jam 2 pagi kami memutuskan untuk mengakiri hari itu dalam lelap.
Saat
kami beranjak ke kamar, tiba-tiba Willy mengajak untuk tidur di atas sofa saja,
kebetulan sofa di ruang tengah berukuran besar, jadi cukup untuk menampung
tubuh dua orang dewasa. Seperti biasa, Willy mencopot semua pakaian di tubuhnya
saat aku datang dari kamar membawa bantal dan selimut tebal, ia lalu membuka
lengan lebar-lebar dan langsung mendekapku erat saat aku menghambur memeluknya.
Selain telanjang, ada kebiasaan baru lain saat Willy tidur, yaitu mendekapku
erat. Menempatkan kepalaku diantara dada dan lehernya.
Sekitar
jam tujuh pagi aku terbangun, aku singkap lengan besar Willy dan selimut tebal
dari tubuhku sehati-hati mungkin agar dia tak terbangun. Jika Willy mempunyai
kebiasaan baru yaitu memeluk tubuhku erat saat tidur, aku juga mempunyai
kebiasaan baru, yaitu memandanginya saat terlelap.
Ada
rasa tenang yang timbul saat melihatnya memejamkan mata, saatku mengurut pelan
garis-garis di wajahnya, memperhatikan dengan jelas dagunya yang ditumbuhi
cambang kehijauan, memandangi warna gelap di sekitar cekungan matanya,
mengamati bibirtipis merahnya yang mulai menghitam karena putung rokok yang
berlebihan. Sensasi tenang, nyaman dan membuai inilah yang selalu jadi sarapan
utamaku tiap pagi saat ia tidur disini. Sensasi yang mampu membuatku terus
tersenyum hingga siang nanti.
Ada
orang yang mengatakan jika cinta itu gila, irasional, dan membuat IQ turun
beberapa point, untuk hal itu aku setuju. Ada rasa kagum yang aneh saat melihat
orang yang kamu cintai habis-habisan melakukan kegiatan orang kebanyakan.
Contohnya seperti saat aku melihatnya terlelap, membasuh muka setelah bangun
tidur, caranya mengosok gigi, dan banyak hal kecil lainnya. Kegiatan normal
yang remeh, tapi jika hal itu dilakukan oleh orang yang kamu cintai dengan cara
yang menakjubkan, hal itu berubah menjadi kegiatan yang kau damba untuk peroleh
bahagia.
Setelah
cukup mengeyam keindahan di wajahnya, aku langsung semangat mengerjakan banyak
hal. Mulai dari menyiapkan kopi untuknya, membersihkan diri, menyapu halaman
rumah, mencuci baju, menjemur pakaian, dan mengepel lantai, menyirami tanaman
di halaman depan dan belakang rumah. Semuanya aku lakukan dengan hati gembira.
Ia
terbangun saat pekerjaanku selesai, “Rajin banget sih kamu Bell, bangun jam
berapa tadi?” katanya dengan nada kelelahan.
“Jam
tujuan tadi Will,”
“Lha
kok nggak bangunin aku?”
“Nggak
tegalah, pules banget soalnya kamu,”
“Oh,’
jawabnya singkat, mencari-cari bungkus rokok di sekitarnya, “rokokku mana Bell?
Kok nggak ada?”
“Aku
buang, kan udah habis,”
“Masa
sih?” ungkapnya dengan mimik wajah penuh lelah.
“Ya
kalau masih nggak mungkin aku buanglah Will,”
“Yah,
pagi-pagi gini kalau ngopi nggak ditemenin rokok nggak asik nih,” katanya
memberi kode.
“Yaudah,
aku cariin rokok di warung depan dulu,”
Senyum
langsung terbesit di wajahnya, “Aku nggak nyuruh lho ya,”
“Kamu
nyuruhpun aku tetep mau kok Will, sekalian mau beli bumbu buat nasi goreng
soalnya. Nanti kamu yang masak ya?”
“Kalau
urusan masak, beres. Serahin aja semuanya sama aku,” katanya sambil beranjak ke
kamar mandi.
Ia
selesai mandi saat aku sedang mempersiapkan bahan-bahan untuk membuat nasi
goreng, dalam posisi telanjang ia menyusulku di dapur. Memelukku dari belakang
dan mengecup pelan tengkukku, menimbulkan sensasi merinding yang membuat
tubuhku mengelinjang selama beberapa saat.
“Kamu
sekali-kali pakai baju kek di rumah,” protesku sambil memotong sosis,“jangan
telanjang melulu,”
“Lha
kenapa emangnya?” jawabnya santai, menghampiri kulkas dan menenggak air mineral
disana,“Kamu risih aku nggak pake baju kaya gini?”
“Aku
sih nggak ada masalah sama itu, tapi ya nanti kalau ada tamu atau nggak Andi
tiba-tiba dateng kesini sama anak-anak kan jadinya runyam Will,”
“Andi
kalau mau kesini pasti ngabarin dulu dong,” jawabnya ngeyel,“dia kan juga jaga
hubungan kita biar orang-orang nggak tahu Bell. Lagian kalau cuma Andi yang
lihat juga nggak masalah, kalau perlu kita panjang-panjangan terus kamu yang
ngukur,” tambahnya cengengesan.
“Dasar
bego, ya nggak gitu jugalah. Ini juga masih rumah dia kali, mau ngabarin apa
enggak kan dia masih punya kunci serep rumah ini, terserah dia dong?”
“Katanya
rumah ini udah sah punya kamu Bell?”
“Iya
kalau udah lunas. Nyicil aja baru tiga kali Will,”
“Kamu
pake boxer doang kan nggak masalah,”
“Nggak
mau ah, aku lebih nyaman telanjang gini kalau di rumah. Kalau kena angin
sensasinya semilir,”
“Emangnya
kenapa sih kamu seneng banget telanjang gitu di rumah?”
“Ya
kebiasaan dari kecil aja sih Bell, kalau kamu nyuruh aku pakai baju sama aja
kamu nyuruh aku makan pake tangan kanan. Ribet! Nggak nyaman. Kebiasaan dari
kecil itu susah ya kalau mau diubah,”
“Lha
emang ibu sama kakakmu nggak masalah lihat kamu kaya gitu mondar-mandir rumah?”
“Ya
kalau di rumah sekarang aku pake boxer Bell, trauma soalnya,”
“Kamu
trauma? Yang bener?” kataku dengan nada mengejek, Willy? Bisa trauma?“gimana ceritanya? Kalau kamu disana mau pakai
boxer kenapa disini enggak?”
“Ada
deh, mau tahu aja.”
“Argh!!!
Willy mah gitu,cerita dong.”
“Kapan-kapan
aja,”
“Aku
maunya sekarang Will, penasaran banget nih, masa seorang Willy yang urat
malunya udah putus bisa trauma juga?”
“Trauma
nggak cuma bisa dihubungin sama rasa malu kali Bell,”
“Tahu
Will, paham, udah deh cerita aja,”
“Oke-oke
aku cerita. Jadi hari itu aku pulang pagi, soalnya habis ada acara sama
anak-anak, mabuk berat gitu deh pokoknya. Pas nyampe rumah, aku copot baju
terus tidur. Nah, aku bangun pas kebelet pipis, aku langsung turun ke bawah
aja, sekalian ngambil makanan di dapur. Nggak tahunya di bawah ada ibu-ibu Rtku
mau ngaji di rumahku, mereka shock liat aku nggak pake baju sama sekali, bahkan
ada yang sampe teriak pas aku lari balik ke kamar. Ngumpet. Malem harinya aku
dimarahin ibuku habis-habisan, bahkan hampir satu bulan aku kalau libur nggak
mau keluar rumah,”
Tawaku
meledak hebat saat mendengar dan memvisualisasikan apa yang baru saja ia
katakan, “Gila! Serius kamu telanjang dilihatin ibu-ibu yang mau ngaji?”
“Seriuslah!
Untungnya sih baru dikit aja yang dateng. Kalau semua udah dateng bakal brabe
bangetlah Bell,”
“Hidupmu
kok kocak banget sih sayang?” kataku masih dengan tawa yang membuncah hebat.
“Kocak,
konyol, bego, tolol, percaya deh Bell. Kata-kata itu artinya sama, Cuma beda
kasta aja,” jawabnya tanpa beban, “kalau kamu tanya alasan personal kenapa aku
telanjang kaya gini, jawabannya simpe. Karena aku suka sensasi bebas, lepas dan
apa adanya aja. Aku ingin kamu melihatku hanya sebagai sesama manusia, bukan
manusia yang melindungi diri atau membuat kesan dari apa yang dia kenakan,”
“Tapi
kalau kamu ingin membuatku melihatmu sebagai sesama manusia, nggak usah pakai
aksi telanjang kaya ginipun aku udah lihat kamu sebagai sesama manusia kok
Will,” balasku penuh perasaan, “karena hal itulah yang membuatku jatuh cinta
sama kamu, karena kamu menerimaku dengan segala kondisiku, nggak berusaha untuk
merubahnya atau berusaha memperbaikinya, tapi yang paling penting, kamu
memanusiakan aku saat banyak orang nggak melakukan itu,”
“Baru
juga bangun tidur belum sarapan, udah ngajakin ngobrol berat aja nih,”
“Ya
kamu sih ngarahin topiknya ke sana. Yaudah, silahkan nikmatin singasana
dapurmu, tolong buatin nasi goreng ya nikmat ya sayang! Semangat!” kataku
sambil meninggalkan dapur. Ia sama sekali tak suka diganggu jika sedang memasak
di dapur, baginya, memasak itu bagai ibadah sebelum menyajikan karya untuk
orang tercinta.
Sambil
menyeruput kopi, aku berjalan ke arah ruang keluarga, mengambil sebuah CD bertuliskan
“Semangat Pagi”, CDberisi kompilasi lagu-lagu pembangkit semangat pagi hari dari
dalam laci dan memutarnya dengan suara kencang. Meraih tablet di atas meja,
bersandar di sofa lalu mulai membaca berita-berita onlinedari website CNN.
Kisah selanjutnya klik disini
Daftar lengkap serial Pelepasan
Melajulah "Pelepasan"ku klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
0 komentar: