Pelepasan Remah 18
Pelepasan
Remah 18
Kisah
sebelumnya klik disini
Ada
yang berbeda dengan wajah minggu pagi itu, entah karena apa kita berdua
sama-sama terbangun menjelang subuh, saat pagi menguarkan udara yang membuat
tubuh mengigil. Satu dua kali angin bertiup, mengecap kulit kami dengan
sentuhan udara yang membuat bulu kuduk berdiri. Setelah bangun, Willy langsung
beranjak ke almari, mencari baju untuk melapisi tubuhnya dari dinginnya udara
subuh itu.
Saat
kubuka daun jendela dapurku, udara pagi langsung menyeruak, mengetuk-ngetuk
lubang hidungku. Kuhirup udara pagi itu dengan serakah, sekedar membuat rongga
dadaku merekah dengan kenikmatan udara yang tersaji pagi itu. Sebagian langit
masih tertumpuk awan hitam, tapi kebanyakan sudah tergerus habis, sebentar lagi
cakrawala menutup malam.
Usai
mencuci muka, mengosok gigi, mencuci piring dan gelas lalu menyampu lantai,
kuhamburkan tubuhku ke halaman depan rumah, tanpa alas kaki, kusapa alam.Membisiki
tanaman, menyapa kembang yang aku tanam. Kusibak lagi telapak kakiku menyusuri
rumput tempat embun pagi bersemayam, kuhayati benar sensasi saat embun-embun
pagi itu menyentuh jai-jari kakiku. Usai menyirami tanaman dihalaman,
kutanggalkan ranting dan daun-daun layu dan aku semayamkan di tempat sampah.
Kunikmati
lagi aroma pagi itu, sisa-sisa kabut masih memenuhi sekat-sekat udara dingin
yang menguarkan hawa sejuk dan segar yang terlampau kuat untuk diabaikan. Ah, nikmatnya. Jauh di batas langit,
garis-garis cahaya matahari mulai menembus awan, perlahan menandaskan malam yang
tak lagi kuasa menebarkan jaring-jaring kelam.
Dengan
membawa dua buah cangkir berisi kopi hangat, Willy menghampiriku memakai kaus
polos tanpa lengan dan boxer tipis berwarna biru kelam. Ia lalu duduk diatas
ujung keramik yang menjadi tapal batas antara teras dan halaman rumah, menyiksa
pantatnya meresapi dinginnya udara yang tersimpan di dalam ubin berwarna
abu-abu, “Berrr... ademe ra nguati,”
katanya dengan nada jenaka, “aku buatin kopi spesial nih buat kamu. Dua sendok
kopi, satu gula, nol krimmer,”
“Lho
kok nggak tiga kopi, satu gula, nol krimmer?” protesku.
“Sekali-kali
beda nggak masalah, buat semesta yang berani tampil beda pagi hari ini,”
jelasnya kusetujui dengan anggukan pelan.
Kuhirup
aroma kopi buatan Willy sebelum akhirnya kuseruput pelan, lidahku
berkecap-kecap karena sensasi rasa yang nikmat sebelum akhirnya kusiramkan kopi
hangat itu ke dasar lambung, “Tumben banget ya, kita bisa bangun pagi barengan
gini,”
“Ya
kalau hawanya nggak sedingin ini juga nggak bakal bangun lagi,” sahut Willy
ringan, menyulut batang rokok sambil sesekali menyesap cangkir kopi di
sampingnya, “semprul tenan kok, ngasi
ndrodok awaku mau,”
“Tapi
dinginnya seger banget Will,” jawabku sambil mengulas senyum untuknya, memainkan
telapak kakiku diantara rumput jepang yang tebal, “sejuk gitu rasanya,”
“Gimana
nggak sejuk? Orang kamu jalan ke taman nggak pakai sendal. Deloken wae nak ngko koe midak tai kucing,” jawab Willy sengaja
membuatku jengkel.
“Aku
mau jawab semua pertanyaanmu,” ucapku pelan menyedot habis perhatian Willy,
“satu-persatu secara detail,” aku tahu kalau dia sudah lama menunggu saat-saat
ini.
Dengan
sorot mata tak percaya Willy menatapku, “Jangan bilang gara-gara kamu ngerasa
aneh pagi ini terus kamu ikut-ikutan bertingkah aneh kaya gini?”
“Ya
enggaklah Will, nggak sesimpel itu juga kali pemikiranku,” jawabku serius,
“tapi kadang emang sesimpel itu juga sih pemikiranku,” tambahku dengan senyuman
maut.
“Lha
terus?”
“Ya
karena aku udah lama mikirin ini semua,” jawabku mantap, “mungkin ini saatnya
aku cerita semuanya sama kamu,”
Lalu
mengalirlah semua sampah, kenangan dan kisah di hatiku. Kuceritakan semuanya
mulai dari saat aku SMP, saat aku mulai merasakan berbagai keganjilan di dalam
diriku. Saat aku mulai sadar kecenderunganku dan mulai menyangkal berbagai hal,
titik dimana aku mulai kalut dengan orientasi seksual dan agama warisan dalam
keluargaku.
“Satu
hal yang membuatku bertahan waktu itu adalah Andi. Aku nggak tahu kata yang
tepat buat ngegambarin dia, tapi dia adalah segalanya buatku. Saudara ciptaan
alam yang tahu bagaimana hidupku jumpalitan hingga akhirnya mulai menetap
seperti sekarang Saksi saat aku tahu orientasi seksualku, menyangkalnya, mengakuinya
dan mulai menerimanya. Dia juga saksi yang tak mempermasalahkan sudut pandangku
tentang agama. Sahabat yang nggak bakalan menghakimi apapun pilihanku,
menghargai pilihanku dan selalu siap sedia kapanpun aku butuhkan. Dan jika
harus aku mati untuk seseorang, maka seseorang itu adalah Andi,” kataku sambil
mengenang.
Willy
tertawa mendengar kalimat terakhirku, “Tahu nggak Bell, hal konyol yang ada di
fikiranku saat lihat kamu sama Andi?”
“Apa
emangnya Will?” sahutku cepat.
“Aku
cemburu banget sama dia,” jawab Willy mengejutkanku, “aku cemburu liat interaksi
kalian, tapi juga iklas kalau kamu sama dia. Bukan iklas ngerelain kamu buat
pacaran sama dia lho ya, tapi iklas yang memposisikan diriku agar berhati
lapang gitu lho. Sulit jelasinya,” tambah Willy kebingungan.
“Paham
kok Will, aku paham kok sama sifat-sifat posesifmu.”
“Ini
bukan cuma posesif Bell, tapi tentang merelakan karena dia yang terbaik. Kalau
kamu rela mati buat Andi, aku juga cuma rela kalau kamu sama dia doang. Kalau
sama selain dia bakal aku libas semuanya, Ya gitulah pokoknya. Ngerti nggak?”
“”Nggak,”
jawabku terbahak. Aku senang melihatnya kebingungan menentukan rasa seperti
ini. Kikuk yang aneh.
“Yo wes lah nak ra ngerti,” jawabnya
malas.
“Tapi
intinya aku sayang banget sama kalian berdua. Nggak bisa milih antara kamu apa
Andi, karena kalian sama-sama berarti,” ungkapku sungguh-sungguh, “banyak
pelajaran yang aku dapat setelah atau sebelum aku menerima diriku kalau aku
Gay. Banyak banget masalah yang kadang bikin aku ngerasa kalau belum saatnya
aku ngalamin itu semua, banyak banget orang yang datang dan pergi dari hidupku
Will, dari yang suka memanfaatkan, yang datang pas lagi kesusahan doang, teman
yang cuma sebatas kenalan dari dulu sampai sekarang, temen yang ada pas aku
seneng doang, dan banyak hal lain yang buat aku sadar kalau mendingan cuma
punya sahabat deket dua doang yang bener-bener bisa diandalin daripada punya
dua ribu sahabat tapi nggak bisa diandelin sama sekali. Aku bener-bener butuh
orang yang bakal ngingetin aku atas apapun pilihanku,”
Kuseruput
kembali kopiku yang tak lagi terasa hangat dilidah, “Awal-awal SMA aku mulai
cari-cari segala hal tentang homosexual dari website, berita, buku, majalah dan
lain-lain hingga aku paham kalau itu bukan penyakit dan nggak bisa disembuhkan.
Homosexual itu berproses secara alami di dalam diri kita, kaya pas kita punya
mimpi. Sealami itulah yang aku alami, aku nggak punya kejadian traumatik pas
kecil, aku tumbuh dilingkungan yang baik, lingkar pendidikan yang baik, tapi
kenapa aku jadi seperti ini?Menjadi sosok cacat dari sudut pandang banyak
orang. Aku berontak, aku nolak, tapi semua itu cuma buat aku lelah. Bikin
hatiku ngerasa capek sendiri. Pada akhirnya, dalam peristiwa seperti ini, kita
hanya bisa nerima itu semua. Menjadi Gay itu adalah takdirku, ini proses alamiah
dan natural. Aku sadar kalau di Indonesia sampai kapanpun nggak bakal ngesahin
jenis kelamin ketiga atau pernikahan sejenis, karena banyak banget lapisan yang
harus kita hadapi disini. Tapi jauh di lubuk hatiku aku juga pengen banget
Indonesia sedikit membuka pikiran untuk itu semua. Bagiku kalau Indonesia bisa
nerima itu semua, itu adalah langkah besar untuk negara ini. Aku ingin
orang-orang sadar kalau kita nggak bisa nyembuhin itu karena hal itu bukan
penyakit. Kita nggak bisa diterapi apapun, karena itu bukan sesuatu yang nggak
beres juga soalnya. Tepat pada saat aku berhenti berontak, berhenti menolak,
disanalah aku mulai menerima itu semua, titik dimana dunia mendadak memiliki
wajah yang berbeda,”
“Beberapa
kali aku denger kamu ngigau Bell pas tidur,” kata Willy pelan, berjaga-jaga
jika hal itu masih mengusik hatiku, “kamu bilang nggak mau jadi orang munafik
sama nggak mau tertekan lagi. Niatnya sih aku pengin tanya sama kamu pagi
harinya, tapi pas liat air matamu, aku nggak jadi tanya soal itu semua,”
“Kamu
lihat aku nangis pas lagi tidur?” tanyaku memastikan.
“Iya
Bell,”
“Kapan?”
“Udah
lama sih, pas awal-awal kita jadian kok,”
“Oh,
gitu, mungkin pas itu alam bawah sadarku belum sepenuhnya terbebas sama hal-hal
itu,”
“Hal
yang gimana Bell?”
“Rasa
muak, tertekan dan munafik yang aku hadapi setiap hari pada akhirnyalah yang
membuatku berani mendobrak banyak hal. Dulu aku tipe anak rumahan yang nurut
sama orang tua Will, tipikal anak baik-baiklah pokoknya. Sering menang lomba,
bisa diandalkan, juara kelas, ikut banyak kegiatan sosial, seneng belajar,
gimana nggak seneng coba orang tua yang punya anak kaya gitu?” sekelebat
ingatanku melayang-layang kemasa lalu, “tapi satu hal yang membuat orang tuaku
cacat dimataku Will, karena mereka nggak pernah memerlakukanku sebagai sesama
manusia. Mereka menganggapku kaya patung lilin yang bisa mereka arahin sesuka
hati. Dari dulu mereka memperlakukanku sebagai seorang anak yang hanya dan
harus nurutin semua keinginan mereka. Mereka nggak pernah ngelihat banyak hal,
dari sudut pandangku atau sekedar mempertimbangkan bagaimana perasaanku.
Padahal keinginanku simpel lho, cuma pengin dianggap manusia aja di depan
mereka, bukan hanya sebagai anak dan orang tua, tapi sebagai sesama manusia
aja. Simpel kan?”
“Gagalnya
mereka melihatku dari sudut pandang itu, semakin parah dengan banyaknya hal
yang bikin aku muak sama keinginan mereka. Les-les yang dari dulu nggak pengin
aku pelajari, kegiatan-kegiatan yang sama sekali aku tak mengerti,
tambahan-tambahan pelajaran yang tak berarti. Hingga akhirnya aku ngerasa kalau
aku hidup sebagai orang lain di dalam hidupku sendiri. Aku mereka bentuk
menjadi sosok yang mereka inginkan, anak yang mereka dambakan tapi kosong dan
hampa. Hampa yang menyakitkan. Hampa dan perasaan kosong itu juga yang buat aku
ngerasa kalau prestasi, peringkat atau juara tak punya harga lebih saat aku
tahu betapa sulit dan mahalnya untuk menjadi diri sendiri,” air mataku menetes
pelan dari kelopak mataku, jatuh cepat melewati pipiku, membawa luka lama yang
masih bersemayam di dalam diriku.
“Aku
tahu kalau di umur itu, dimasa itu kita masih mencari-cari jati diri, tapi aku
juga paham kalau gay itu sampai kapanpun akan tetap jadi bagian dari jati
diriku. Kaya bayangan diri kita pas lagi jalan gitu. Perlahan, aku nyaman dan
mulai nerima apa adanya semua itu. Tapi sisi lain aku juga muak, kalut, dan
ngerasa pengecut banget karena nggak bisa ngungkapin itu semua sama orang tuaku.
Aku nggak berani ngelawan rasa takutku sendiri, nggak berani ngelawan segala
kemungkinan yang bakal terjadi. Tapi baru sekarang aku maklum sama sifat
pengecutku itu, aku nggak lagi nyalahin diriku sendiri karena hal itu. Aku
mikir kalau itu adalah proses yang harus aku lalui.
“Sejak
dulu aku ngerasa kalau agama itu bukan sesuatu yang penting dan patut untuk
diprioritaskan. Aku percaya tuhan, tapi aku nggak suka aturan-aturan yang
diciptakan. Aku terlahir di keluarga Islam tulen dan kita sama-sama paham kalau
agama Islam sama sekali nggak ngasih celah untuk golongan homosexual kaya aku
gini. Kadang aku juga mikir kenapa sih tafsir-tafsir Al-Quran itu sudut
pandangnya terlalu heterosexual banget? Serasa nggak ngasih ruang buat orang
dengan orientasi sexual berbeda dari kebanyakan orang. Lagian juga homosexual
juga udah ada sejak zaman nabi. Padahal kan agama itu harusnya menjadi sumber
kedamaian seseorang, tapi kenapa aku semakin tertekan di dalam rumah? Kenapa
aku yang sudah diatur-atur dirumah, disekolah dan masyarakat masih juga
diatur-atur sama hal lain lagi? Harus gini, harus gitu, nggak boleh gini, nggak
boleh gitu. Aku kan muak sama semua itu. Aku capek di tekan terus. Sampai
sekarang, aku hidup tanpa agama, dan hidupku baik-baik aja kok, yang penting
aku nggak jahat sama orang lain, nggak ngerugiin mereka, nggak nambah beban
mereka, dan yang paling penting, aku memanusiakan mereka.
“Aku
sadar sebenernya Will kalau aku itu sebenernya tipe orang berkepribadian rumit,
tekanan dari keluarga dan lingkunganlah yang pada akhirnya membuatku
menyembunyikan banyak hal tentang diriku sendiri. Di indonesia, nggak ada
institusi yang mengajarkan orang untuk menjadi diri sendiri. Dulu, aku mimpi
bangun sekolah dimana kita diajarkan untuk mengenali diri sendiri dan bangga
menjadi diri sendiri lho Will. Mungkin ini konsekwensi karena aku selalu
diajari untuk menjadi orang lain, menjalani kegiatan orang lain, hobby orang
lain, berfikir seperti orang lain, bertingkah seperti orang lain dan harus
menjadi orang lain hingga kadang-kadang aku ngerasa kalau orang lain itu aku
dan aku kehilangan diriku sendiri.
“Itu
salah satu faktor yang membuatku semakin muak sama banyak hal di kehidupanku, tapi
aku juga nggak bisa ngelakuin apa-apa. Aku ngerasa pengecut banget saat-saat
itu, tapi apa yang aku pendam selama beberapa tahun pada akhirnya meledak juga.
Coba deh Will kamu bayangin, dengan usia seperti itu, pergulatan batin seperti
itu, aku yang terlalu takut dan pengecut untuk membantah perintah orang tua,
dan tetep nggak mau buat mereka kecewa. Mengorbankan diriku sendiri untuk
terus-terusan terluka. Apalagi kalau sifat penyendiriku kumat, semua itu
membuatku makin frustasi dan tertekan.
“Sampai
ada fikiranku buat bunuh diri, aku nggak kuat hidup seperti itu terus-terusan.
Tapi akhirnya aku mikir ulang lagi, daripada aku bunuh diri, mendingan aku
hidup jadi diri sendiri. Bahagia untuk diri sendiri, cuek sama pendapat orang
lain. Menjadi orang yang bebas dan merdeka. Aku berusaha untuk merubah tekanan
itu menjadi sesuatu yang lebih positif dan produktif. Aku yang sudah dibiasakan
oleh orang tuaku untuk menabung dari kecil, lebih giat menabung lagi dan mulai
berusaha untuk terus memutar uang yang tak seberapa itu. Dengan Andi, aku mulai
berwiraswasta dengan keinginan simpel, yaitu berpenghasilan lebih dari cukup
dan hidup jauh dari orang tua, kalau perlu minggat sekalian dari rumah,”
jelasku masih terbayang-bayang sosok remajaku yang begitu naif. Tawa dan air
mataku berpadu pagi itu.
“Barulah
pas lulus SMA dan mau kuliah aku jujur dengan Andi tentang diriku sendiri yang
ternyata dia dan temen-temen nongkrong sudah tahu kalau aku cenderung seperti
itu. Keinginan untuk hidup jauh dari orang tua makin lama makin hebat pas aku
mulai kuliah dan kost di Solo sambil ngurusin banyak both kopi dan susu disini. Berbulan-bulan sebelum wisuda aku selalu
bahas tentang tekad dan berbagai konsekwensi yang bakal aku terima kalau aku
mengakui jati diriku. Berbulan-bulan juga kita berdebat akan segala kemungkinan
yang bakal aku alami dan kebanyakan jadi kenyataan.
“Satu
persatu rencana mulai aku petakan, mulai dari mengumpulkan lebih banyak uang
untuk tabungan modal hidup tanpa orang tua, mencari beasiswa, menulis artikel
di koran dan banyak hal lain yang bikin aku mantap sama jalan yang aku pilih
ini. Apalagi both kopi dan susu yang
sudah bisa diandalkan untuk hidup sederhana di Solo,”
“Dan
sekarang, hampir tiga tahun aku pergi dari rumah. Aku bisa hidup baik-baik saja
walau kadang masih kangen banget sama ibuku, sama ponakanku, sama ayahku.
Kadang kalau lagi kangen banget sama rumah itu, aku cuma bisa nangis sendirian
di kamar sampai mataku bengkak, terus ketiduran dan pas bangun sadar kalau
nggak semua keinginanku bakal jadi kenyataan. Soalnya aku nggak bisa pulang ke
sana lagi, aku bukan lagi anak di rumah itu dan bukan lagi bagian dari rumah
itu. Kalau ditanya sedih sih, sedih banget hubunganku dengan mereka sekarang
jadi kaya gini. Tapi itu semua konsekwensi atas pilihanku, harga kebebasanku
menjadi diri sendiri, yaitu kelihangan keluargaku.
“Mungkin
bagi kamu aku arogan, egois atau keras kepala karena akhirnya milih jalan ini.
Tapi kalau difikir-fikir lagi, aku nggak bakal diposisi ini kalau aku nggak
punya sifat-sifat itu dan cenderung ambisius mengejar banyak hal di dalam
kehidupan. Tapi yang buat aku bersyukur, aku ngerasa sangat hidup saat ini. Aku
ngerasa bahagia untuk diriku sendiri. Dan yang paling penting sekarang, aku
bangga terlahir dijalan ini. Banyak hal yang harus aku korbanin dan harus aku
bayar untuk kebebasan ini. Untuk menjadi orang yang merdeka. Karena itulah aku
sangat menghargai setiap helaan nafasku sekarang. Aku cinta diriku yang menjadi
diri sendiri,”
Lama
aku terdiam, mengenang segala hal yang telah terjadi dan berlalu bersama waktu.
Punggung tanganku mengilas butir-butir air mata yang terus berjatuhan.
Kuhembuskan nafas perlahan, menyesap damai yang merambat pelan di dalam diri.
Kisah selanjutnya klik disini
Daftar lengkap serial Pelepasan
Melajulah "Pelepasan"ku klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
0 komentar: