Pelepasan Remah 40
Pelepasan
Remah
40
Kisah sebelumnya Klik disini
Kobaran
api unggun bergemeletuk memecah bongkahan kayu dalam bara api yang membara,
sapuan angin pantai tak mampu mengoyak panas yang menguar. Menyalurkan rasa
hangat di tubuhku. Bungkus sosis dan duri ikan berantakan di sekitar api
unggun, aku masih belum berniat untuk membersihkannya.
Hanya
aku dan Sobey yang berkemah di pinggir pantai hari itu, di dini hari yang sepi,
aku rengkuh lengan kirinya yang kokoh dan menyandarkan kapalaku di pundaknya.
Berharap jika beban yang aku rasakan dapat terbagi dengannya.
Jemari
kakiku terbenam diantara butiran pasir berwarna jingga, kunikmati benar sensasi
nyaman yang sudah lama tak aku rasakan. Sensasi rasa yang sudah lama aku
rindukan. Jemari tanganku terpaut dengan jemari tangan Sobey yang mengenggamku
erat. Hatiku berdesir menikmati rasa yang hadir. Ada perasaan yang sulit untuk
aku gambarkan saat bersamanya.
“Nak menurutmu aku kudu piye Bey?”
tanyaku dengan suara pelan. Deburan ombak menjadi pengisi jeda pembicaraan
kami.
“Yo, temoni wae Bell, gampange ngene, ge ngenahke roso nek atimu,” jelasnya
dengan nada serius, sorot matanya terhampar di batasan langit dan laut berwarna
biru kelam, tak ada bintang malam itu, jadi semuanya nampak seperti satu
bidang, “sebelum OD kamu sakit hati sama dia, patah hati karena ngerasa nggak
bisa hidup tanpa dia, terus berusaha bunuh diri, “ fakta ini masih sering
membuat hatiku mengkerut, “setelah keluar dari rumah sakit, kamu bisa nerima
itu semua. Nah, pas tahu fakta kalau putusnya kamu sama Willy itu cuma setingan
dia sama temen-temenmu, kamu benci sama dia tapi, selama ini kamu masih nyimpen
rasa sayang dan cintamu sama dia. Mungkin setelah kamu ketemu sama Willy, kamu
bisa nentuin perasaanmu sama dia Bell, jadi nggak bingung kaya gini,”
Sobey
benar. Ternyata selama ini, aku masih belum bisa menentukan bagaimana
perasaanku selama ini. Aku masih bingung dengan diriku sendiri. Ada persamaan
yang jelas antara Andi dan Sobey, mereka dapat membacaku seperti buku.
“Temuin
aja Bell, mungkin setelah ngobrol hati ke hati sama Willy kamu bakal paham
kenapa dia ngelakuin hal itu, lagian kamu juga udah baikan sama ibumu kan? Jadi
nggak ada masalah lagi dong? Apa yang ibumu mau sudah tercapai,”
“Aku
takut bakalan ngamuk pas ketemu dia,”
“Atau
mau aku temenin?” tawar Sobey menggiurkan.
“Makasih
Bey, tapi aku ingin ngadepin itu sendiri,”
“Jadi
fix kamu bakal ketemu Willy?”
“Iya,
seenggaknya aku pengin menggenapkan kisahku sama dia,”
“Apapun
hasilnya, jangan sampai bikin rusuh hubunganmu sama ibumu ya,”
“Aku
usahain Bey,”
“Yang
pasti dong!”
“Iya
aku janji, apapun hasilnya, nggak bakal ngefek sama hubunganku sama ibu,”
“Nah
gitu dong,” kata Sobey sumringah, mengacak-acak rambutku. Selama ini, dia
sering memperlakukanku seperti adiknya sendiri, “Tidur yuk! Dah nggak kuat
melek nih mata,” kusambut permintaannya, berdua kami langsung masuk ke dalam
tenda, mengganjal kepala dengan bantal seadanya.
Pikiranku
berkelana kemana-mana, mengenang masa-masa yang telah berlalu, hal-hal yang
belum terjadi dan beberapa mimpi yang masih ingin aku wujudkan.
“Bell,”
kata Sobey mengusik lantunanku.
“Kenapa
Bey?” tanyaku heran, di luar tadi, dia beberapa kali menguap dan bilang kalau
tak kuat lagi membuka mata. Tapi, kenapa dia sekarang belum tidur juga?
“Boleh
nggak aku nyium kamu?” tanya Sobey membuatku membeku selama beberapa detik, aku
belum pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya, tapi yang membuatku heran. Aku
mengangguk, memberinya ijin.
Telapak
tangannya mengelus-elus pipiku beberapa kali dengan tatapan mata yang membuatku
ingin memberinya pelukan hangat. Mataku terpejam dan tubuhku bergetar saat
bibirnya menyentuh bibirku selama beberapa detik dan diam seperti itu. Hanya
menempel, menikmati hembusan nafas masing-masing secara dekat. Selanjutnya, ia
memagut lembut bibir bagian bawahku dengan ritme tertentu, tanpa nafsu, tanpa
emosi, ia hanya mengikuti naluri yang membimbingnya.
Menimbulkan
sensasi aneh di dalam diriku. Aku belum pernah diperlakukan seperti itu
sebelumnya. Kelopak mataku membuka saat ia menyudahi ciumannya. Mata kami
berpaut sekian lama, sebelum akhirnya lengan kokohnya merengkuh tengkukku,
mengantikan bantal yang menyangga kepalaku. Mendaratkan kepalaku di depan
dadanya, dagunya berada tepat di atas rambutku, mengecup ubun-ubunku sebelum
denyut nadinya melambat dan matanya terlelap.
“Makasih
Bell,” bisik Sobey pelan.
Rasa
nyamanku ternyata berkamuflase. Malam itu, aku yakin, jika di balik rasa nyaman
yang selama ini aku rasakan, ada jejak-jejak rasa sayang yang bersemayam
sembunyi-sembunyi di dalam dadaku. Malam itu, aku tak ingin menyangkalnya, mungkin sudah saatnya, kataku dalam
hati.
Kupererat
pelukanku. Menikmati rasa yang membumbung di dalam hatiku. Mimpi indah Bey, balasku dalam hati.
Untuk
kedua kalinya, aku memimpikan gadis yang membawaku melewati lorong cahaya.
Disebuah taman yang berselimut kabut tipis, ia duduk termenung di bangku besi
berwarna merah darah, menggengam sebuah buku bersampul kulit coklat mengkilat.
Saat aku menghampirinya dari belakang dan akan menyentuh pundaknya, ia melebur
bersama kabut tipis di sekitarnya. Taman itu mendadak sepi dan tenggelam dalam
warna hitam, meninggalkanku bersama kelam. Mimpi itu, membuatku terbangun
dengan hati ngilu.
.
. . . # # # . . . ...
Saat
siang menjelang, dan matahari mulai mengoyak ubun-ubun dengan rasa panas. Aku mendapatkan
pesan singkat dari kakakku, dia mengundangku untuk makan malam di rumahnya.
Saat aku bertanya apakah ibu akan datang, iya menjawab tidak, karena ibu sedang
pergi berziarah ke Jawa Timur bersama ibu-ibu pengajian lainnya di kompleks perumahan.
Langsung kuiyakan undangannya, saat aku bertanya apakah aku boleh mengajak
teman ke rumahnya, ia langsung menjawab boleh dan kuajak Sobey untuk makan
malam di rumah kakakku.
Kami
meninggalkan pantai sekitar jam sembilan pagi, mandi di pemandian umum lalu
mencari warung makan untuk mengisi perut yang mulai berontak. Di pusat
oleh-oleh kami berhenti, membeli beberapa buah tangan untuk ponakanku nanti.
Sobey mengantarku sampai rumah, janjian untuk bertemu lagi nanti setelah
magrib. Kuhabiskan waktu dengan mata terlelap sebelum akhirnya terbangun saat
terik mentari sore membakar kulit wajahku.
Setelah
mencuci beberapa helai pakaian kotor lalu menjemurnya di balkon belakang rumah,
aku langsung membenamkan diri di dapur dan membuat makanan untuk menambal jatah
makan siangku. Kurunut kembali peristiwa dini hari itu, jemariku meraba
bibirku, kenangan itu kembali membayang. Aku kembali gagu dengan perasaanku
sendiri. Bagaimana bisa aku tak menyadari perasaan ini setelah sekian lama?
Portal
berita CNN terbuka saat Sobey mengetuk pintu rumahku, kusambut dia dengan sumringah.
Butuh sekian detik untuk beranjak dari tempatku membuka pintu. Aku terkejut
dengan dandanan Sobey sore itu.
“Bey!
Ini cuma acara makan malam biasa! Bukan ke acara kawinan!” seruku gregetan.
Tapi disisi lain hatiku juga meleleh menatapnya.
Ia
datang dengan mengenakan hem kotak-kotak rapih, rambut klimis dan aroma wangi
yang menguar dari tubuhnya membuatku merasa salah kostum karena tampil dengan
kaus oblong dan celana jeans pendek sobek-sobek. Tak seperti Willy yang semakin
tampan saat berpenampilan urakan, Sobey membuatku sebentar-sebentar
mengamatinya saat ia berpenampilan rapih seperti ini. Malam itu, ia terlihat
sangat rupawan dan menawan.
“Kesan
pertama itu penting Bell, udahlah nggak usah banyak komentar,” sahutnya mantap
langsung membungkan mulutku yang gatal ingin kembali berkomentar, “langsung
cabut?” tanyanya saat melihat pakaian di tubuhku.
“Bentar,”
kataku berlari menuju kamar, menyambar jaket jeans berwarna biru terang,
menyempatkan diri untuk berfikir berganti hem dan celana panjang untuk
mengimbanginya tapi pikiran itu pupus beberapa detik kemudian. Ini cuma makan malam biasa, kataku dalam
hati.
Kusambar
bungkusan oleh-oleh dari atas meja di ruang tamu dan meletakkannya di bagasi
mobilnya, “Kamu beli ini buat ponakanku?” tanyaku saat melihat boneka beruang
warna-warni di bagasi belakang mobilnya.
“Iya,
tadi sebelum kesini. Lha jarene ponaanmu
seneng banget karo boneka beruang?”
“Kamu
baik banget sih Bey,”
“Biasa
aja ah, aku suka soalnya sama anak-anak,”
“Wajarlah
kalau gitu, koe kebapaken banget soale,”
Sekitar
jam tujuh aku dan Sobey sampai di rumah kakakku, saat mobil kami masuk ke dalam
pekarangan rumahnya, kakakku, suaminya dan Shefina langsung keluar dari dalam
rumah dan melambaikan tangan dari teras.
Shefina
berlari menghampiriku saat aku keluar dari dalam mobil, mencium punggung
tanganku sebelum akhirnya memelukku erat. Ia berteriak kegirangan saat kubuka
bagasi mobil, ia peluk erat boneka beruang warna-warni itu dengan rakus dan
terbahak karena rasa senang. Sobey menghampiriku, merebut bungkusan oleh-oleh
dari tanganku dan menjinjingnya menuju teras.
“Bilang
makasih dulu sama uncle Sobey, itu
boneka yang kasih dia,” kataku kepada Shefina.
“Terimakasih
uncle,” kata Shefina manis. Sebelum
akhirnya berlari menuju teras.
“Iya,
sama-sama,” balas Sobey dengan nada gembira.
“Nggak
usah repot-repot kali Bell, nak rene ki
ora sah gowo opo-opo,” kata kak Sherin sedikit sungkan.
“Rapopo kok mba, kebetulan wae wingi aku gek
nek Jogja pas koe SMS,” jelasku seadanya.
“Lha terus bonekane?”
“Nak kui inisiatife Sobey dewe mbak, udu aku,”
“Mahesa
mawon mbak,” ucap Sobey santun.
“Oke-oke,
ayo langsung ke teras belakang aja,” perintah kakakku setelah saling berkenalan
dengan Sobey. Aku terkejut melihat halaman belakang rumah kakakku yang luas,
ternyata tampilan depan sederhana dan terkesan mungil menipuku saat pertama
kali kesini. Aku terpana saat melihat halaman belakang rumahnya, ada ayunan dan
sebuah rumah pohon setinggi satu meter yang menempel di sebuah pohon tua. Kotak
berisi pasir pantai untuk bermain Shefina, dan yang paling membuatku tak
menyangka adalah sebuah balai-balai beratapkan kaca di tengah tanaman yang
serba hijau.
“Wow!”
seruku tak percaya, “omahmu apik banget
mba!”
Aku
berjalan cepat menuju balai untuk bersantai itu, di tengah ruangan mungil itu
terdapat meja makan yang muat untuk sepuluh orang dan sebuah rak buku mungil
berisi majalah dan komik, aku tersenyum saat mengenali beberapa buku yang dulu
aku belikan untuk ponakanku berada di rak itu.
“Kok
kepikiran sampe buat kaya gini segala sih?” tanyaku heran.
“Ya
mas Irwan kan arsitek Bell, wajarlah kalau dia kepikiran buat kaya gini,” jelas
kakakku ringan, iya mengekorku dengan membawa seloyang ayam kecap yang begitu
menggiurkan untuk segera di lahap.
Sobey
dan Mas Irwan terlibat obrolan seru tentang otomotif saat aku dan Mbak Sherin
bolak balik dari dapur membawa makanan yang sudah matang, Shefina membantu
membawa buah-buahan untuk pencuci mulut. Saat di dapur, Mbak Sherin menggodaku,
bertanya apakah Sobey itu pacar baruku, kujawab belum, kita masih berteman
biasa.
“Tapi
dia kelihatan normal lho Bell,”
“Nggak
semua LGBT itu melambai terus pakai bahasa bencong kali Mba,”
“Ganteng
ya,” pujinya lagi, “gagah lagi,” tambahnya dengan nada usil.
“Gantengan
mana sama Willy?” tanyaku balik mengusilinya.
“Aku
belum tahu Willy itu yang mana Bell,”
“Yang
ini Mba,” kataku sambil menyodorkan foto Willy di handphoneku.
“Wah,
ini juga cowok banget Bell, samaan gantengya, beneran dia gay?” tanya Mba
Sherin mengamatin ulang foto Willy di handphoneku.
“Dia
bukan gay Mba, Willy sama Sobey tuh biseksual, seneng cewek sama cowok,”
jelasku, “yang murni gay itu aku,”
“Owh
gitu,” sahutnya manggut-manggut sambil mengembalikan handphoneku, “Sobey kerja
dimana Bell?”
“Dia
ngelola co-working space mba. Ada dua
di Bali, yang ngurusin sahabatnya kuliah, dan dia kejatah disini, buat ngurusin
cabang Jogja, Solo sama Semarang, di Jogja ada dua co-working space yang dia punya,”
“Sekarang
co-working space mulai banyak ya?”
“Iya
mba, tapi dia termasuk salah satu pionernya,”
“Terus
kalau Willy kerja apa Bell?”
“Dia
punya distro gedhe di Solo, tapi kalau malem dia jadi bartender di club,”
“Aneh
banget kerja sampingannya, kenapa dia tetep jadi bartender kalau udah punya
distro gedhe di Solo?”
“Ada
alesanlah Mba kenapa dia milih buat tetep jadi bartender, apapun kerjaannya aku
tetep dukung dia kok mba, yang penting dia bisa tanggung jawab sama hidupnya
sendiri,”
“Cafe
kamu gimana Bell? Jadi buka cabang di Boyolali?”
“Kemungkinan
besar bakal tembus Mba, lima bulan yang lalu aku sama Andi udah survey lokasi,
disana pasarnya menjanjikan, perkembangan Boyolali juga di atas rata-rata kok
Mba,”
“Kamu
punya berapa cabang sih Bell?”
“Baru
mau tiga ini kok Mba, Solo satu, Jogja satu, Boyolali menyusul,”
“Kenapa
nggak Semarang dulu sebelum Boyolali?”
“Aku
malah mikirnya habis Boyolali bakal buka di Karanganyar atau Sragen dulu mba,
dua lokasi itu potensial banget soalnya. Kalau Semarang dari awal sih udah ada
di dalam list ya, tapi belum sreg sama lokasinya,”
“Bangga
Mba sama kamu Bell,” puji kakakku menerbitkan senyum di wajahku, “yaudah yuk,
Shefina daritadi sore belum makan apa-apa, kasian dia kalau nunggu kelamaan,”
“Lha
kenapa?”
“Dia
nungguin kamu dari tadi, pengen makan bareng lagi sama uncle Abell katanya,”
“Manis
banget sih dia. Makan malam ini dalam rangka apa sih mba?”
“Shefina
kemarin ikut lomba modeling, pertama kali, terus dapet juara dua,”
“Wah,
keren banget!”
“Makannya
itu, aku sama Mas Irwan bangga banget sama dia, makanya ngundang kamu buat
makan malam,”
Aku
menyusul Sobey dan Mas Irwan saat mereka sedang asik-asiknya ngobrol, setelah
Shefina mendeklarasikan kemenangannya di lomba beberapa hari yang lalu, aku dan
Sobey kompak memberinya selamat dan bertepuk tangan meriah.
Sebelum
jam sembilan aku dan Sobey pamitan, Shefina memelukku erat sebelum akhirnya
mengijinkanku pulang dan memintaku untuk mampir lagi kapan-kapan. Saat
perjalanan pulang, senyumku terus mengembang, aku suka saat menikmati sensasi
saat hatiku menghangat seperti ini.
“Keluargamu
asik Bell, Mas Irwan wawasannya luas banget,”
“Aku
juga ngerasa gitu Bey, nyaman banget di rumah itu, bikin betah terus nggak mau
pulang,” timpalku menyetujuinya.
“Jadi
kapan kamu ketemu Willy?”
“Saptu besok,”
Kisah selanjutnya Klik disini
Daftar lengkap serial Pelepasan
Melajulah "Pelepasan"ku klik disini
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
Cepet update donk pleaseeeee klo bisa tiap hari aja updatenya. Klo seminggu sekali kelamaan T_T
ReplyDeleteSabar yah... lagian tinggal 5 remah lagi kok, jadi di eman-eman, dia ajakin ngobrol sama jalan-jalan dulu sebelum saya buka buat ketemu kalian terus dibaca hehehe, tunggu minggu depan ya, dijamin laper :-)
ReplyDelete