Pelepasan Remah 41
Pelepasan
Remah
41
Kisah sebelumnya Klik disini
Selo, 15 oktober
2015
Peranakan iblis malaikat itu kembali
Tak banyak yang berubah dari perpisahan
berbalut tahun
Bongkahan senyum itu... garis wajah
itu... dan aroma tubuh itu...
Semua sama, masih sama dan mungkin akan
tetap sama
Hanya satu yang berubah, hatiku.
Perasaan yang dahulu berkobar kini
terasa hambar
Cinta yang dahulu menggebu kini membatu
Dan rindu yang terus bertalu telah
lenyap tertelan waktu
Tak ada lagi pemeran utama, sutradara,
figuran atau penulis cerita
Opera sabun telah berakhir
Semua episode masalalu berubah menjadi
hantu
Diam di pojok fikiran, menjadi
bayang-bayang
Samar, tapi tetap ada. Menunggu untuk
diputar ulang, atau diingat sebelum akhirnya memilih lenyap
Dan kini Willy kembali, hadir lengkap
untuk sekedar mengingatkan momentum yang dulu pernah berjaya diantara kita
berdua.
Bersahabat dengan waktu, kini kita
kembali menguliti kenangan. Meretas hal yang perlu diperjelas dan bertanya
Bertanya tentang ratusan senja yang
telah berlalu
Tanpa benar-benar tahu apa yang telah
tertelan waktu.
.
. . . # # # . . . ...
Saptu
hadir lebih cepat dari perkiraanku. Aku masih mendiamkan Andi karena peristiwa
itu, dan Sobey semakin mendekatkan diri denganku. Dia memintaku untuk
mengabariku apapun yang terjadi, semata-mata karena dia hawatir denganku. Aku
iyakan saja permintaannya, agar dia tak menghawatirkanku.
Setelah
kuiyakan permintaan Willy, ia langsung membalas pesan singkatku lagi, saat ia
bertanya mau bertemu dimana? Aku jawab di Selo saja. Tempat pertama kali kita
bertemu. Jika ini benar-benar pertemuan kami yang terakhir, biarlah semua ini
berakhir di tempat pertama semua cerita ini berawal. Pagi, aku memacu motorku
dari Solo, sampai Selo sekitar jam sepuluhan.
Sebisa
mungkin aku menenangkan diri, tapi ternyata tak bisa, aku sama sekali tak bisa
membuat diriku tenang. Sesekali tubuhku bergetar, menahan sensasi tak bernama
yang membuat perut mulas. Aku was-was dengan pertemuan ini, tapi juga ada rasa
gembira saat menatap lagi wajah rupawannya.
Kaku
tubuhku saat melihat orang yang puluhan bulan alfa dari hidupku, kembali datang
menyapa. Aku harap, hal ini tak lagi mempora-porandakan kehidupanku kembali.
Saat melihat dirinya membelakangiku, beragam perasaan menyergapku. Beragam
kenangan masalalu menghadangku. Aku lama menatap punggungnya, tempat segala
kenyamanan dulu bersemayam disana. Aku merindukan saat-saat itu, tapi semua itu
sudah berlalu.
Aroma
itu, tatapan itu, bibir tipis itu, dan senyum simpul itu. Hampir aku tak kuasa
menahan berat tubuhku. Tapi sekuat hati aku berusaha bertahan di depannya. Aku
tak ingin ambruk di hadapannya. Aku tak ingin terlihat lemah di depan matanya.
Tapi, dia nampak begitu indah dengan pemandangan bukit yang menjadi latar
belakang.
Ku
hampiri dia di tempat kami berjanji untuk bertemu. Setelah menyambut uluran
salam kaku, aku tempatkan tubuhku berdiri tegang di sampingnya. Semilir angin
menyapu aroma parfumnya di udara, membuatku mulai kelimpungan saat aroma itu
menyapa rongga hidungku. Tubuhku bergidik pelan, aroma itu menyulut
kenangan-kenangan yang telah lama aku pendam.
Aku
membenci dan merindukannya di saat bersamaan.
Sesaat,
aku tak kuat menahan hasrat yang begitu menggebu, aku ingin memeluknya atau
mengatakan jika aku merindukannya. Tapi rasa sakit dan kecewa sekuat mungkin
menahanku untuk tak mengatakan hal itu.
“Kamu,
apa kabar?” suara itu. Penekanan itu. Pelafalan yang pernah absen puluhan bulan
kembali menyapa indra pendengaranku.
Aku
kembali bergidik. Bulu romaku meremang. Aliran darahku tersendat. Serpihan masalalu
itu, sekarang menentang wajahku. Mata kami bertaut. Dan aku hanya bisa diam
membeku. Ini bukan mimpi, batinku. Ku
hela nafas pelan, sebisa mungkin menenangkan diri. Aku tak ingin emosi lama
menguasai pertemuan ini.
Semilir
dingin angin pegunungan, tak mampu menyapu rona merah di pipiku. Satu persatu
kenangan berkelebat, hatiku ngilu, dadaku menggebu dan senyum hangat itu, masih
setia bertahan di wajah bulatmu. Aku tak tahu bagaimana caranya menyambut
pertemuan ini denganmu. Aku tak tahu. Benar-benar tak tahu.
Sekilas
kuperhatikan lagi dirimu, kau masih seperti yang dulu. Tampan bagai malaikat
pencabut nyawa dan masih berbahaya seperti setan penunggu neraka. Tapi kini,
kau nampak jauh lebih dewasa dengan cambang kehijauan di sekitar bibir tipis
merah darahmu. Ketika kulihat bibir merahmu itu, seketika aku tak kuasa untuk
menahan nafsu untuk menyentuh dan melumatnya. Lalu kuingatkan diriku kembali,
semua sudah berlalu. Air tak akan mengalir di tempat yang sama.
Sengaja,
tak langsung ku jawab pertanyaanmu. Aku tak ingin terlihat antusias dengan
pertemuan ini, walau aku menunggu pertemuan ini sejak beberapa hari yang lalu.
Dalam diam, kucekoki kembali fikiranku dengan kenangan-kenangan pahit
tentangmu. Kenangan-kenangan yang lebih menyelekit dari campuran jamu
brotowali, isi baterai dan serbuk gergaji. Peristiwa bunuh diriku. Telah
kulewati berbagai debatan batin sebelum akhirnya menyetujui tawaranmu untuk
bertemu.
Hatiku
yang dahulu kau tusuk dengan paku, masih menyisakan lubang yang akan tetap
mengangga meski kau telah mencabut pakunya.
“Aku,
baik-baik saja,” simpul jawabku. Mengambang. Samar. Sebisa mungkin
menggambarkan rasa sakit yang selama ini aku rasakan.
Senyummu
yang sedari tadi merekah, kini lenyap. Kau paham dengan nada itu, kau tahu jika
aku tak baik-baik saja, sebagai balasan. Hanya tatapan nanar yang nampak di
bola matamu. Will, aku merindukanmu,
andai aku bisa mengatakan itu padamu. Tapi kutelan kalimat itu sebelum mencelat
dari tenggorokan.
Aku
mendebat batinku lagi.
“Syukurlah.
Aku harap juga begitu,” ucapmu tulus. Menarik nafas dalam-dalam lalu
menghembuskannya dengan berat dan perlahan, “aku hanya ingin memastikan jika
kamu baik-baik saja, Bell. Ada kalanya janji yang telah terucap tak bisa
ditarik kembali,”
Bibirku
memagut, alis hitam legamku bertaut, menimnag-nimang tujuan dari ucapanmu.
Dalam diam aku terus menyimakmu. Masih
ada, masih ada yang ingin kau katakan padaku, kataku pada diri sendiri dan
kuputuskan untuk diam menunggumu.
“Mungkin
kau sudah lupa dengan janji ini,“ katamu pelan seakan tak mau lagi mengenang, “Kamu
milikku. Aku milikmu. Hatimu, tubuhmu, keseluruhan dirimu. Tawa, sakit, air
mata, amarah, luka, semuanya adalah-”
“-tanggung
jawabku,” lanjutku. Aku masih ingat. Masa-masa itu. Kenangan-kenangan itu.
Opera sabun itu. Episode masa laluku dengan Willy masih terarsip rapi di sudut
hati.
“Kamu
masih ingat?” tanyamu bersemangat. Berharap ada keberuntungan masa lalu masih
terselip di ujung lidahku.
Tapi,
ku jawab dengan sekali anggukan ringan. Mataku menerawang, menelusuk hijaunya
dedaunan diantara perbukitan. Aku tak kuat jika harus menatapnya lebih lama
lagi.
“Janji-janji
itu terus menghantui hidupku, Bell. Entah sampai kapan, tapi tak akan pernah ku
tarik apa yang telah terucap.”
Aku
tersenyum, tersenyum hambar. Sudah kukantongi arah pembicaraan yang dituju
Willy. Kuhela nafas perlahan.
“Jika
jani-janji itu menghambat hidupmu, kamu bisa melepaskannya kok Will.
Janji-janji itu dibuat oleh bagian diri kita yang dahulu pernah berjaya dalam
satu, tapi itu dulu,” sengaja aku
beri penekanan di akhir kalimatku, “tidak berlaku sekarang, nanti dan
seterusnya. Perasaan itu sudah mengkristal Will. Ada, tapi tak akan pernah
kembali. Air tak akan mengalir di tempat yang sama bukan?” kataku pura-pura
kuat.
Kutahan
benar deru emosi di dalam dada. Ingin rasanya aku mengacak-ngacak rambutmu,
menangkupkan telapak tanganku di wajah bulatmu atau sekedar menghabiskan waktu
dalam dekapan tubuhmu. Tapi semua itu
sudah berlalu, kataku mengingatkan diri sendiri, Bell, itu semua sudah berlalu, nggak bakal bisa balik lagi.
“Aku
paham kalau kamu masih sakit gara-gara tingkahku dulu Bell. Aku minta maaf. Aku
ngelakuin itu semua karena-“
“-Sudahlah
Will,” potongku cepat, ”yang sudah berlalu ya sudah. Biarkan saja dia berlalu.
Aku nggak hidup buat masa lalu. Aku sudah ngerti kok, kamu tenang aja. Dari
awal aku sudah tahu kalau hubungan seperti itu nggak bakal ada ujungnya. Aku
malah ingin berterimakasih sama kamu. Karena kamu berani mengakhiri itu semua.”
Kurasakan
luka di sorot matanya. Dadaku mengkerut saat menatapnya sekilas, aku tak tega
melihatnya seperti ini. Tapi keputusanku sudah bulat, aku harus menyelesaikan
hal ini.
“Lama
aku mikirin hal ini, dan aku rasa itu
pilihan yang tepat. Mungkin kalau aku ada di posisi kamu, aku nggak bakalan
bisa nglepas kamu,” ungkapku jujur walau pahit. Sekuat hati aku paksakan diri
untuk berfikir jernih, ini pertemuan terakhir kami, dan aku tak ingin
penyesalan menjadi bayang-bayang di sudut hati, “kamu tetap jadi cinta terindah
dalam hidupku kok Will,” kukupas senyum murni untuk pertama kali.
Aku
tak ingin pertemuan ini berakhir sendu.
“Sama
Bell, kamu juga jadi cinta terindah dalam hidupku” sahutnya dengan ekspresi
jenaka, “kamu kuat ya sekarang.” Ujarmu pelan.
“Keras
kepala iya,” sahutku cepat. Di susul berondongan tawa ringkas, tanpa tahu apa
yang benar-benar lucu dari pembicaraan itu, “ada yang bilang menjadi kuat bukan
berarti nggak bisa hancur. Tapi yang aku sadari kalau kekuatanku itu ada pada
kemampuanku bangkit setelah berkali-kali jatuh Will,”
Kamu
mengangguk perlahan, mengiyakan ucapanku.
“Tapi
sesunguhnya aku memiliki kesadaran baru setelah aku berada dititik paling
rendah hidupku,” lanjutku cepat. Segumpal duri muncul mendadak di
tenggorokanku. Tak ada obat untuk melenyapkan luka masa lalu.
“Dan
karena itu kamu berterimakasih sama aku?” kamu memotong ucapanku. Tertawa getir
lalu menemukan sorot mataku, “karena aku telah membawamu berada di titik paling
rendah hidupmu?” katamu seakan tak percaya. Kau sebar pandangan menerawang
hingga akhirnya kau merunduk perlahan.
“Jawabannya
iya dan tidak. Tapi, kurang lebih mungkin bisa kamu terjemahkan seperti itu,
jika kamu mau,” jawabku pasti, senyum getir menyeruak pelan di sudut wajahku,
“hidup indah begini adanyakan?”
“Ya,
kamu benar,” kamu mengangguk pelan, “aku setuju sama kamu. Berulang aku
berfikir tentang ini semua. Aku juga sadar kalau perasaan ini sudah
mengkristal, dan akan kusimpan ini sebagai kenangan terindahku tentang kamu,”
senyum tulus kini terpancar di wajah rupawanmu. Hangat yang tidak menyengat, melainkan
pas. Tidak berlebih. Dan sumpah demi tuhan, senyum itulah yang membuatku luluh.
Kakiku
bergetar hebat, aku hampir tak kuasa menahan kecamuk rasa yang hadir di dalam
dada.
“Jadi?”
tanyaku mengambang. Kedua alismu terangkat cepat.
“Jadi
apanya?” responmu kebingungan.
“Hanya
segini sajakah?” tawarku. Aku tahu jika masih ada yang ingin kau katakan lagi
padaku.
Kau
mengangkat pundakmu, “Entahlah,” sambil tersenyum samar. Menimbang-nimbang
banyak hal. “ada kalanya hati berkata cukup Bell, dan kurasa hatiku sudah
berkata cukup untuk hari ini. Dosa yang membayang sudah memperoleh penawar,”
Aku
diam sejenak, merenung. Ia benar, Willy benar. Ada kalanya hati berkata cukup,
dan ini sudah lebih dari cukup. Kulihat Willy sekali lagi, kurekam garis
wajahnya. Ini pertemuan terakhir kami. Tak akan ada lagi pertemuan lagi. Semua
harus berakhir disini, di tempat ini.
Menit
berlalu cepat dalam diam.
“Untuk
yang terakhir kali Bell,” katamu berlalu sambil memelukku erat. Perasaan untuk
dimiliki kembali membebat. Kenangan masa lalu kembali menguat. Kulawan semua
itu, aku tak ingin mengingat, “aku ingin minta maaf buat semuanya Bell. Aku
juga ingin kamu tahu, kalau bukan hanya kamu yang hancur karena hubungan itu.
Aku juga terpuruk di titik yang sama. Seperti kamu. Aku terluka, kamu terluka.
Tapi apa gunanya kita hidup kalau nggak ngalamin luka? Aku sayang kamu Bell.
Kemarin, sekarang, besok atau di detik yang barusan lewat. Aku tetap sayang
kamu selamanya.”
Dengan
sebuah kecupan di jidat, kau melepaskanku. Sejenak aku ingin rengkuhan tubuhmu
untuk selamanya melekat.
Sudut
mataku memanas, amarah dan asmara yang dahulu membebat kini mencair dan
membanjir. Tak berani kubuka kelopak mataku, aku tak ingin melihatmu pergi
untuk yang kedua kali.
Semilir
angin pegunungan kembali menyapu tubuhku. Indra penciumanku masih menangkap
aromamu. Kamu masih disitu, menungguku.
“Menyakitkan
Bell,” ucapnya dengan suara bergetar, “ketika kita akhirnya menemukan seseorang
yang paling berarti dalam hidup kita, hanya untuk belajar bagaimana cara melepasnya,”
Kubuka
mataku perlahan, tubuhmu membayang. Kubiarkan aliran air membanjir, melelehi
pipi. Tubuhku koyak. Tak kuat menahan derai emosi.
“Will,
bisakah kita melupakan seseorang?” tanyaku sesegukan. Akhirnya aku akui, jika
kau masih mendominasi. Kau masih mengisi, masih menetap di hati ini, dan
mungkin enggan untuk pergi. Bahkan sampai sekarang aku tak ingin kau pergi.
Aku
sadar jika aku sendiri yang membuat diriku seperti ini.
“Nggak
Bell. Kita nggak bisa ngelupain seseorang. Yang bisa kita lakukan hanya
berusaha untuk tidak mengingatnya lagi.”
Lalu
kau berlalu.
Berbalut
dengan deru motormu.
Lebih
dari setengah jam aku mematung di tempat itu. Dadaku menggelegar, menguarkan
beragam perasaan tanpa nama. Ada sesak dan lega yang terus berdesak. Melesak memenuhi
rongga dada. Membuat air mataku terus terpompa.
Semua ini telah berakhir.
Kataku pada diri sendiri. Semua ini telah
berakhir...
Dan
aku menangis.
Kembali
menangis hebat.
Lebih
hebat dari tangis-tangis sebelumnya.
Usai
kepergian Willy, aku menyadari satu hal. Jika sebagian diriku tak akan pernah
kembali lagi. Sebagian diriku yang dulu hidup dan berjaya untuknya, kini lenyap
seiring kepergiannya. Bagian diriku yang dulu mencinta mati-matian untuknya,
kini benar-benar telah mati dan terkubur dalam untuknya.
Air
mata yang tadinya hadir tanpa suara, kini mulai mendominasi udara. Membasahi
pipi, nafasku tersengal-sengal dalam sesegukan. Kubiarkan semua itu terjadi,
aku ambruk. Tanganku menopang tubuhku di atas tanah. Untuk yang terakhir kali, aku berjanji pada diriku sendiri.
Ku
biarkan desakan perasaan tak bernama itu terus keluar melalui air mata ini.
Untuk
yang terakhir kali...
Kisah selanjutnya Klik disini
Daftar lengkap serial Pelepasan
Melajulah "Pelepasan"ku klik disini
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
0 komentar: