akulah mochi, sang juru mimpi
Akulah mochi,
sang juru mimpi
Oleh : triztan famous
Aku merangkak dibalik batu besar sebisa mungkin
menutupi jasad ini agar tak manarik perhatianya. Memincingkan pandangan pada
seorang wanita berparas ayu didepan danau samping rumahku. Wanita rupawan itu
menangis sesegukan memeluk bayi dalam balutan selimut woll putih tebal. Bayi itu
baru beberapa detik keluar dari rahimnya membawa bau surga sisa perpindahan
alam.
Dalam ketakutan wanita rupawan berkulit putih
pualam itu kebingungan. Entah apa yang ia fikirkan, ia menyembunyikan jabang
bayi itu dibalik sebuah batu tak jauh daritempatku bersembunyi. Aku ngeri
melihat wajah polos bayi yang masih segar itu. Miris kenapa wanita itu
membuangnya didekat danau? Apa salah malaikat kecil itu? Darahku bergejolak tak
terima dengan perlakuan wanita itu terhadap bayi yang masih terbalut darah
segar itu, merah merekah tertidur didalam balutan kain berbulu.
Tapi wanita itu lari menjauh sebelum aku memergokinya.
Rambut hitamnya terurai sepunggung, terkoyak angin dalam alunan langkah cepat.
Ia terjungkal, kakinya
menabrak batu kali, tersuruk di atas tanah kering beraroma kasar,
dengkul kirinya terhantam batu cadas.
Dalam sesegukan dan air mata yang terus terpompa ia menahan rasa perih yang mulai berakumulasi di
tubuhnya.
Berurai darah segar didaster bagian paha wanita itu berusaha bangkit menahan
rasa sakit yang terus terpatri, mengerogoti satu persatu persendian tubuhnya. Perlahan tapi pasti.
Jejak kaki
kasar menghampirinya, dengan nanar wanita itu menatapnya. Ia mulai menyuarakan
tangisannya.
“ Ternyata disini pelacur itu! “ ujar seorang
laki-laki beringas dengan sebilah samurai ditanganya. Lelaki itu menendang
wanita cantik itu hingga kembali terkapar ditanah, dengan gerakan gontai wanita
itu membalik tubuhnya dan menyangga berat tubuhnya dengan kedua siku. Ia
berusaha memohon maaf.
“ Aku tak salah “ renggek wanita itu. Wajahnya penuh
debu beraroma tanah kering, menggaris horisontal sejajar bekas air mata saat ia
terjerembab tadi.
Aku mengendap-endap mengambil bayi itu, ada
perasaan hangat yang tak biasa saat kurengkuh pelan tubuh mungil manusia kecil
itu dalam pelukanku. Hanya
dengan melihat wajahnya sudah membuatku bahagia.
Cuiih. Lelaki tegab berbadan hitam itu
meludahinya, tepat diwajah diantara rambut hitamnya awut-awutan tak kenal arah.
Sekilas seperti orang gila. Menjijikan.
“ Aku
mencintainya “ air matanya kembali menetes pelan menghapus bekas tanah yang
menyelimuti wajah ayunya secara samar. Ia meronta dalam tangisan tanpa suara,
menahan sayatan luka dalam yang sudah mulai mengeroposi sum-sum tulangnya. Bukan
hanya luka fisik tapi batinya juga disinggahi luka yang enggan membuatnya
sendiri.
“ Kau hanya membuat aib didesa ini, pelacur
bangsat! “ umpat
laki-laki itu sambil mengeluarkan bilah samurai dari sarungnya. Dalam
sekali gerakan samurai itu melayang tajam, membelah udara dan langsung melesat
memenggal leher wanita itu. Darah mengucur seperti air mancur. Kepala wanita
itu mengelinding bebas, terjebur kedalam aliran
tenang danau disamping rumahku. Meninggalkan potongan jasad tubuhnya yang teronggok
menjadi bangkai, makan malam istimewa untuk hewan penghuni danau.
“ Aargghhhhggggh!!!! “ aku terbangun dengan
teriakan menggema diruangan kamar 2x3 meter itu, nafasku bersusulan keringat
dingin meluncur indah dikulit wajahku. Hanya
mimpi aku meyakinkan diriku berulang. Entah mengapa mimpi dengan narasi yang
sama itu mengulang. Ini sebuah rekor fantasiku tentang mimpi, entah apa yang
kulakukan berulang di alam tidurku mimpi itu selalu muncul bagai benalu, selalu mimpi itu.
“ Nduk, kamu ndak papa? “ dengan suara parau simbah menyapaku agar cepat enyah dari kamarku,
dia mengetuk kencang pintu
kamarku yang terbuat dari kayu tripleks dalam hentakan tepuk pramuka. Walau sudah
menginjak kepala enam wanita tua itu masih mempunyai ketajaman dalam indra pendengarannya.
“ Ndak papa mbah, Cuma mimpi saja “ jawabku
sekenanya ketika aku beranjak turun dari ranjang reyot yang selalu berdecit
pelan dengan harmonisasi nada sumbang sesuai tumpuan tubuhku di atas besi
rongsokan itu.
“ Makanya kalo mahgrib itu bangun, jangan tidur
terus, ndak bagus anak perawan tidur terus mbok ya cari aktifitas seng luwih ngunani dari pada baca komik
atau tidur seharian “
“ Ngih mbah “ kataku pelan membukakan pintu
untuknya. Dengan tatapan tajam ia mengamati wajahku yang berantakan dengan
rambut awut-awutan memenuhi hampir setengah garis mukaku, baju lecek penuh
lipatan tak karuan akibat bangun tidur dan iler kering sisa penciptaan pulau
kapuk.
Sudah rutinitas wajib mbah putri melemparkan letupan-letupan
nasehat yang selalu muncul dari bibir tipisnya hanya untuk mengomeliku
seharian. Menurutku tak ada aktifitas lain yang lebih membuatnya hidup selain
memarahiku disetiap kesempatan yang ada, dan... kesempatan itu selalu ada. Kesempatan untuk mengomeliku setiap saat, atau
sekedar membanding-bandingkanku dengan cucu temannya atau tetangga. Akhirnya
semua itu cukup kujawab dengan putaran bola mata. Simbah-simbah kenapa kau tak pernah menerima takdirmu jika cucumu aku?
Sebenarnya tak mudah untuk mengambaikan
simbah, dia seperti hantu yang bisa muncul dimana saja. Ia bisa menjelma
Seperti obat yang harus ditelan rutin setiap pagi, siang, malam bahkan sorepun simbah
selalu menasehatiku tentang segala hal yang harus aku lakukan dan tidak aku
lakukan. untungnya selalu ada
cara ampuh yang selalu aku lakukan jika hobby simbah ini sedang kumat-kumatnya,
yaitu berpura-pura mendengarkan dan menganggap selentingan-selentingannya
sebagai angin lewat saja. Masuk lewat telinga kanan dan bablas langsung keluar
lewat telinga kiri tanpa meninggalkan kesan.
“ Ojo gur ngih thok rungokke seng tenanan, koe ki
putuku sithok dewe, wedhok sisan. Wes, lak ndhang adus kono “ kalimat simbah
berdengung bebas ditelingaku dengan nada 5oktaf, dengan gerakan promodial. Simbah
selalu mengomeliku dengan emosi yang meluap, membuatku selalu berfantasi,
membayangkan dia sebagai tokoh kemerdekaan. Ngomel sana ngomel sini, membuat kuping panas para
pejuang dengan kalimat pengobar semangat hingga akhirnya sebuah granat
berguling menghampirinya dan meledak tepat di depan wajahnya untuk membuatnya
diam, hahaha betapa kurang ajarnya diriku.
Tapi disisi lain Aku gembira melihat simbah saat
marah, entah kenapa aku merasa jika dia seperti mengungkapkan betapa sayangnya
dia padaku dari luapan kata-katanya yang berhamburan tak beraturan dari mulut
keriputnya. Hanya saja dengan versi yang berbeda dengan manusia normal lainya,
simbahku itu unik, menarik dan ajaib. Aku sanggat mencintai simbahku karena
tinggal dia satu-satunya keluarga yang aku miliki setelah ayah dan ibuku pamit
untuk bertemu dengan sang pemilik hidup.
“ Nduk, simbah ke warung dulu, mau belanja bulanan
“ ucap simbah dengan kalimat memudar saat kututup pintu toilet dibelakang
rumah.
Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya
menghinggapi jasadku, aku berjalan gontai menuju kamar mandi dibelakang rumah.
Dirumah bergaya belanda itu kamar mandi dibuatkan bangunan sendiri yang memisahkan
diri dari bangunan utama, beberapa kali aku meminta simbah
agar membuat toilet di dalam rumah. Tapi dengan segala macam alasan
bertele-tele yang ku buat, aku tak pernah berhasil meyakinkan simbah untuk
membangun sebuah kamar mandi dibagunan utama.
Simbah selalu beralasan agar aku mau keluar kamar
setelah pulang kuliah. Biasanya aku keluar kamar jika mau ke kamar mandi atau
saat makan saja, selebihnya aku menengelamkan diriku dalam buaian pulau kapuk
dikamar.
Jika sudah diatas kasur atau mencium bau bantal
dua kelopak mataku langsung tertutup dan tak mau membuka sebelum pintu kamarku
digedor-gedor simbah, jika tidak aku bisa menghabiskan waktu seharian ditempat
tidur. Mungkin jika ada gempa atau bencana alam lainya aku akan tewas ditempat
karena gaya tidur ngebo-ku sama sekali tak ketulungan. Hari ini hari minggu
tepat tanggal 8 agustus 2013, tiga bulan lagi aku ulang tahun ke duapuluh. Aku
kuliah disalah satu perguruan tinggi disemarang, di fakultas seni semester dua.
Namaku Sagita
mochi erawati, nama yang aneh bukan? Entah bagaimana keluarga besarku
menyematkan nama yang tak padupadan ini kepadaku, bagaimana bisa aku disamakan
dengan nama makanan khas jepang yang ibuku sukai dengan nama zodiak? Jelas jika
sagita diambil dari kata “sagitarius” lalu darimana nama erawati? Saat kutanya
kenapa tersemat nama erawati sebagai penutup nama tak wajarku simbah bilang “
gen ono jowone, koe kan wong jowo nduk! Dadi njawani sithik jenengmu “ apa itu
bukan sebuah keanehan yang tersinergis secara rancu?.
Mungkin karena nama yang asal-asalan keluarga
besarku sematkan. Aku menjadi gadis asal-asalan yang tak tentu seperti ini,
bukankah nama biasanya identik dengan doa? Lalu bagaimana mereka tetap
bersikukuh memberikan kesatuan kata tanpa makna itu sebagai namaku? Sudahlah
tak ada artinya lagi aku memperdebatkan nama itu, lagi pula masa depan tak
ditentukan oleh gabungan nama jawa, makanan jepang dan zodiak bukan?. Hehehe...
seolah aku punya masa depan saja.
&&&%%%$$$%%%&&&
“ Woy, miss apem tumben mandi? Dapet wangsit darimana? “ dengan
teriakan bar-bar, Candra memandangku dengan wajah terpesona yang dibuat-buat. Seakan-akan
sebuah mukjizat besar jika aku mempunyai waktu luang untuk membasuh diri dengan
air. Dasar manusia kurang ajar,
batinku. Candra tak pernah absen memanggilku miss apem, sebuah julukan yang digunakan
beberapa sahabat dekat untuk memanggilku. Menurut mereka nama -apem- lebih
pantas disematkan dalam namaku daripada nama Mochi yang sama sekali tak
meninggalkan kesan jepang ditubuhku.
Aku tau jika sebenarnya itu bukan sebuah ejekan, apem memang lebih pas jika disandingkan denganku, 11,
12. Kali
ini dia numpang makan malam dirumahku, lagi!. Hampir setiap akhir bulan Candra rutin menyambangi rumahku hanya untuk numpang ngisi
perut, seperti biasa dia ongkang-ongkang kaki di depan tivi menonton acara
sepak bola. Dia menganggap jika rumahku seperti rumahnya sendiri, bahkan dia
tak jarang jika menggangapku sebagai sesosok mahkluk astral. Bersliweran tak jelas.
“ Kok tau? “ jawabku ringan, nyengir lalu nylonong masuk
kekamar.
“ Bau sampo “ katanya pelan, matanya kembali fokus
ke layar cembung tivi 23 inc-ku. Apa sebegitu mencoloknya jika aku menyempatkan
mandi untuk membuat simbahku senang?
“ Tumben kamu ngak ngajak Via kesini, sudah tiga
harian tu anak kaga’ mangkal disini “ dengan suara sumbang tak karuan aku
berteriak dari kamar sambil mengganti bajuku. Dengan kolor batik lusuh dan kaos
kegedean aku melenggang santai menuju kedapur.
“ Dia kan lagi pulang kesolo, mbaknya lagi ada
hajatan “
“ Wah enak dong, sms-in gih suruh bawa makanan
yang banyak biar lu kaga absen kerumah gw terus “ kataku dengan tawa yang mulai
meletup.
“ Santai bos, dah gw antisipasi. Dia dah gw wanti-wanti sejak mau berangkat
kesono kok “ kata Candra ringan dengan tawa khasnya. Ia
benar-benar tipe manusia ndableg, sama sekali tak goyah dengan sindiranku.
Candra adalah seorang lelaki jangkung dari tangerang. Kostnya tak jauh dari
rumahku, hanya beda desa saja. Dia pindah kesemarang sejak kenaikan kelas tiga
sma, dan entah kenapa ia bisa cepat masuk kedaftar teman baikku. Dia tipikal
orang yang tak tau malu, apa adanya, ceplas-ceplos dan mempunyai sifat seperti
slogan polisi, mengayomi.
“ Lho, simbah mana can? “ kataku celingukan. Memutar
pandangan mengelilingi rumah, lalu megecek setiap toples, berharap simbah
terselip disana.
“ O.., simbah lagi keluar tadi pas lu mandi, mau
keluar bentar katanya
“ aku teringat pesan simbah tadi sore, jika ia akan keluar sebentar untuk
belanja bulanan. Didekat desaku ada sebuah supermarket tempat simbah biasa
belanja kebutuhan sehari-hari, jadi aku tak perlu menghawatirkannya. Simbah
cenderung mandiri dimasa tuanya. Apalagi tak mungkin juga dia bergantung
padaku, cucu yang sama sekali bisa ia harapkan.
&&&%%%$$$%%%&&&
“Le, tolong bawain belanjaan simbah kedalem njih “
perintah simbah saat ia masuk ke dalam rumah. Dengan menjinjing sebuah
keranjang belanja berwarna kuning, simbah menunjuk ranjang belanja bulanan yang
sudah menunggu.
“ Ngih mbah “ kata Candra sopan. Walau sudah dua
tahun di semarang Candra tetap saja tak bisa melafalkan bahasa jawa dengan baik
dan benar sesuai ejaan yang sudah disempurnakan. Candra hanya dapat mengerti
apa yang simbah katakan saja, ia belum terlalu berani menimpali interaksi
simbah, karena takut di geplak jika menggunakan bahasa jawa campur aduk seperti
yang sering aku dan Via gunakan. Menurut simbah, mengaduk berbagai bahasa
menjadi satu adalah bentuk tidak menghargai kepaduan budaya, yang sayangnya
simbahpun suka mencapur bahasa jawa dan bahasa indonesia sesuka udel keriputnya
sendiri. Candra bergegas menuju teras rumah saat pertandingan sepak bola
setengah main, dengan cekatan ia menuju dapur dengan dua buah kerdus dan sebuah
kantong plastik besar berisi bahan makanan.
“ Wah, kaya mau lebaran aja mbah banyak banget
makanannya “ candra tertawa dengan senyum misterius di mimik mukanya “ Jadi
suka “ tambahnya, disusul dengan bunyi orcrestrasi dari dalam perutnya.
“ Ge sesasi le, belanja bulanan “ balas simbah
dengan nada suara lembut. Sanggat berbeda saat simbah bicara padaku, dia selalu
berteriak seperti tarzan.
“ Dibawain ojek mbah belanjaannya? Kenapa ngak
ngajak saya aja tadi, saya kan bisa lebih berguna daripada miss. Apem “ celetuk
Candra membawa-bawa namaku.
“ Sekalian suruh gendong simbah yo rapopo “
celetukku dari depan tivi. Ruang tivi bersebelahan dengan dapur, hanya
terpisahkan sebuah partisi tipis dari kayu. Dipartisi itulah puluhan buku berjubel
di dalam rak tua. Di saat seperti inilah keberadaanku tak dirasakan oleh simbah
dan Candra, suaraku mengantung seperti angin lalu, aku dianggap sebagai mahkluk
astral berwarna kelabu. Kadang aku merasa kalau Candra lebih cocok jadi cucu
simbah daripada aku, dan menurutku itu jauh lebih baik.
“ Lha koe gek delok bal ngono dadi simbah yo ra
penak. Koe ki koyo kakung le, nag wes delok bal serius, dadi ra iso diganggu babarblas
“
“ Kenapa ngak ngajak miss apem wae mbah “ dengan
logat yang dibuat-buat Candra menemani simbah membongkar belanjaan.
Meletakkannya di atas meja, dipilah simbah berdasar jenisnya.
“ Dra... dra... cah kae kok di jak blonjo, ngasi
bodo kucing yo ora lak mangkat, mendingan berangkat sendiri saja “ kata simbah
berujar, memasukkan bermacam bumbu dan buah ke dalam kulkas.
“ Ganti aku aja mbah cucune “ kata Candra
cengegesan, disambut senyuman luwes simbah. Dengan cekatan candra memasukkan
bahan makanan diatas meja ke rak-rak yang menggantung di bagian atas tembok.
“ Nak koe dadi cucuku, sopo neh seng gelem ngangep
Mochi putu selain aku? “ dengan terampil simbah memainkan tanganya
memotong-motong daging ayam sebagai campuran nasi goreng. Tak seperti orang
tuaku, simbah sanggat jarang memanggil nama depanku. Biasanya dia menyebutku
wati, mungkin karena dia yang memberikan nama itu langsung untukku.
“ Mbah cerita dong “ pinta Candra sambil mengocok
telur, membantu simbah membuat makan malam. Dari dulu Candra memang senang
mendengarkan cerita dari simbah, dari masa penjajahan hingga saat ia masih muda.
Simbah dulu adalah seorang guru bahasa di sd, jadi bukan hal sulit untuknya
berurusan dengan rangkaian kata-kata untuk sebuah cerita.
Jika keadaan sudah seperti ini, saatnya aku
merebahkan diri diatas sofa hijau panjang didepan tivi. Dengan alunan musik
koesplus aku melayang dalam dunia imajinasi. Entah kenapa aku seperti ayahku
yang meletakkan hatinya pada koesplus, aku sanggat mengemari lagu-lagu yang
terasa menakjubkan untukku. Jika aku mendengarkan lagu-lagu koesplus aku
seperti terhenti dalam zaman yang berbeda, imajinasiku melesat bebas seperti di
jalan tol.
Ada gunanya juga jika Candra disini, dia bisa
membuatku bebas omelan simbah, walau hanya untuk beberapa saat saja. Aku tak
punya bakat sedikitpun dalam dunia masak-memasak, terakhir aku mencampur kopi
dengan garam dan mengira kecap adalah susu kental manis yang berakhir dengan
runtutan omelan panjang simbah yang tak ada habisnya selama satu minggu.
Sebuah buku tebal duduk dipangkuanku dengan
bolfoin biru terlipat ditengahnya, sudah kuputuskan untuk menulis mimpiku
menjadi sebuah cerita.
&&&%%%$$$%%%&&&
Siang itu janinku terlahir sebagai seorang bayi...
Perasaan campur aduk mengaduk perlahan
kewarasanku. Aku baru saja melahirkan seorang anak gadis di gubuk pinggir sawah,
tempat seorang dukun bayi tinggal dan sekarang aku berlari menghindari kejaran
warga kampung yang kesetanan. Mereka ingin membunuhku.
Ku tahan rasa perih yang berkedut kencang
diselakanganku. Noda darah merembes cepat didaster tipis yang terlampir
dibadaku, dengan mengedong bayi yang masih berwarna merah dalam balutan woll
putih tebal aku berjalan tergopoh menaiki bukit diujung desa. Aku bersembunyi
dibelakang sebuah batu besar usai menyembunyikan bayiku disisi bukit, tempat
warga desa sebelah biasanya mencuci baju. Berharap jika terjadi apa-apa padaku,
bayiku tetap harus selamat bagaimanapun caranya. Aku percaya jika masih ada
nurani di dalam dada warga desaku.
Butir-butir keringat terjun bebas dipori-pori
kulitku. Membuat rambut di sekeliling wajahku menjadi lembab membasah seperti
usai membasuh muka. Aku berdoa agar bayiku tak menagis dan lekas ada warga desa
sebelah yang memungutnya. Kecemasan mengelayut cepat di fikiranku, menjadi bom
waktu yang bisa meledak kapanpun hanya dengan sebuah rasa sakit ataupun emosi
yang terkoyak. Dengan mata yang tercetak dikepalaku, aku melihat kekejian warga
yang membunuh mas Eko dengan sebilah parang. Mereka dengan keji membelah kepala
mas Eko menjadi dua. Dan sekarang mereka memburuku menuju kematian. Mereka menuduhku
dan mas Eko membuat aib dikampung kelahiranku.
Tanpa ikatan pernikahan aku mengandung buah
cintaku dengan mas Eko yang bersetatus suami sepupuku. Mas Eko dan sepupuku
yang bernama Ratri menikah karena perjodohan orang tua. Seluruh keluarga
besarku tau jika aku menjalin asmara dengan mas Eko, tapi mereka malah
menjodohkan mas Eko dengan Ratri yang juga terlanjur mengandung satu bulan.
Aku tau jika anak yang dikandung Ratri itu bukan
benih mas Eko, tapi Ratri kukuh kalau dia telah diperkosa mas Eko kepada orang
tuanya. Karena status orang tua Ratri sebagai orang terpandang didesaku,
Seminggu kemudian mas Eko dan Ratri dinikahkan untuk menutupi aib keluarga yang
lebih besar.
Aku hancur mendengar pernikahan itu dan mengira
mas Eko telah menghiatatiku. Tapi, malam itu mas Eko datang kekamarku lewat
jendela dan mengatakan semuanya jika dia tak pernah menyentuh Ratri sama
sekali. Dia mengatakan jika dia dijebak Ratri. Mas Eko juga sudah menjelaskan
semuanya kepada orang tua Ratri. Tapi, mereka pura-pura tuli, mereka hanya
butuh mas Eko sebagai status suami dari anak Ratri kelak. Sejujurnya orang tua
Ratri sudah tau semuanya, tapi untuk menyelamatkan nama baik keluarga, mereka
memaksa mas Eko menikahi Ratri dan menjadikanya tumbal agar nama baik mereka
tak tercoreng. Terbuai dari kesungguhan hati mas eko saat menceritakan semua
itu, ditambah rasa cinta dan sakit hati yang berpadu, kami melakukan hubungan
itu.
“ Ternyata disini pelacur itu! “ ujar seorang
laki-laki beringas dengan sebilah parang ditanganya. Lelaki itu menendang
perutku dengan sepatu but penuh lumpur yang mengeras hingga aku jatuh terkapar
ditanah. Aku membalik tubuh menahan rasa
nyeri yang kertutat hebat diperut dan selakangaku, sembari berusaha memohon
ampun.
“ Aku tak salah “ kataku parau dengan tangisan
yang memecah, di siang hari tepat saat matahari mendadar panas diatas
ubun-ubunku. Air mata menggaris horisontal pipiku yang berdebu.
Cuiih...
Lelaki tegab berbadan hitam yang berdiri didepanku
meludah dengan tampang beringas, tepat diwajahku ludahnya mendarat. Aku merengek
memohon ampun tapi hanya tatapan jijik tergaris di mimik mukanya. Dititik
itulah aku merasa benar-benar rendah, harga diriku sudah melumer tanpa sisa.
“ Aku
mencintainya “ air mataku terus pecah, mengalir disela-sela rambut keiritng
hitamku yang tak beraturan.
“ Kau hanya membuat aib didesa ini, pelacur
bangsat! “ lelaki itubertampang beringas itu mengeluarkan bilah parang dari
pinggir pingangnya. Dalam sekali gerakan parang itu melesat cepat membelah
udara panas, memenggal leherku. Darahku mengucur cepat seperti aliran air
sungai. Kepalaku menelinding bebas menuruni bukit tanpa mengucapkan selamat
tinggal terhadap potongan jasad yang sudah tiga puluhan tahun menopangnya.
Usai melakukan tugasnya, lelaki itu menatap
jasadku dengan tatapan hina dan sekali lagi meludahiku setelah mengencingi
jasad panasku.
&&&%%%$$$%%%&&&
Di
ambang cakrawala itu aku bersuka
Membagi
mimpi dalam remah fantasi dan imaji
Memaksa
sejarah untuk mencatatnya dalam lembaran kertas
Diantara
ruang dan waktu yang mengkirstalkan momentum akbar
Hampir satu jam aku berkelana didunia imaji, berbagi
waktu dengan bagian mimpi yang aku modifikasi ulang dalam sebuah buku tua yang
sudah menemaniku hampir tiga tahun belakangan. Di buku biru bergambar batik itu
aku menulis semua petualangan mimpiku. Bukan mimpi yang ingin aku capai dengan ambisi
tapi sebuah mimpi dari bunga tidurku, satu kebiasaan rutinku adalah menulis
mimpi.
“ Woy nona apem, mau makan kaga? Dah siap ni nasi gorengnya
“ panggil candra kencang dari dapur. Teriakan bar-bar candra berhasil menguncang
dunia imajiku.
“ Iya bentar “
“ Tak kira kamu tidur pem, kaya biasa “
“ Aku lagis dapet wangsit buat nulis ni... “
“ O.... “ dan mengalunlah sebuah o yang panjang
dari mulutnya.
Makan malam berlangsung damai, tenang, dan indah tanpa
omelan simbah yang biasanya mengomentari setiap hal yang aku lakukan. Candra
sangat bisa memenuhi fikiran simbah dengan ucapan-upanan tak bermutu, hingga
tak menyisakan tempat celaan simbah untukku. Sekitar pukul sebelas usai sebuah
flim yang dibintangi daniel radclif selesai, Candra lenyap tak berbekas.
Dia seperti drakula yang datang dan pergi sesuka
hati setelah perutnya terisi. Hanya jika drakula minum darah dan Candra
menambah darah.
&&&%%%$$$%%%&&&
Angin menerpa rambut pirangku dari atas tebing
curam tempatku berdiri. Apa yang kulakukan ini benar? Apa aku harus mati
menghantam karang? Hahahah... aku tertawa geli melihat beberapa orang yang
menyuruhku mengurungkan niat untuk bunuh diri. Mereka berteriak kencang,
memamerkan otot-otot lehernya yang bertonjolan tak tentu arah. Mereka
berteriak-teriak bahkan ada yang memaki agar aku mengurungkan niat bunuh diri. Bunuh
diri? Enak saja siapa yang berniat bunuh diri?
Dasar manusia bodoh, mengambil kesimpulan dari
satu persepsi saja. Sekali mata melihat, mereka langsung menyimpulkan tanpa
berfikir panjang. Karena itulah salah satu faktor kenapa para manusia itu
melakukan banyak kesalahan. Mereka meliliki ruang otak yang luas tetapi hanya
mengisi sekedarnya, seenaknya dan sesukanya. Tidak pernah benar-benar mengisi
otak untuk kepentingan kedepanya.
Hembusan nafasku terasa berat saat angin laut
menerpa mukaku, membuat dadaku sesak untuk beberapa saat. Sekali lompatan aku
terjun dari atas karang tertinggi dipantai tak jauh dari rumah singahku.
Sekilas aku melihat manusia-manusia itu beteriak kencang, melepas diriku berpindah
ke alam lain. Aku melompat untuk melepaskan. Melepaskanku kemuakanku untuk
mereka, mahkluk bermuka dua. Bukankah ini tontonan yang hebat dipinggir pantai?
Tepat hari libur pula, sempurna bukan untuk mengisi perbincangan ngalor-ngidul
mereka? ku harap mereka puas.
Buih-buih air dari sisa ombak menghempas kulit
wajahku, waktu aku hampir menyentuh riuh lautan. Masih kudengar gemuruh suara
manusia-manusia di bibir pantai, bahkan ada beberapa yang sengaja menjeburkan
tubuhnya untuk sekedar menemukanku. Saat tubuhku menghantam air, seketika tubuh
bagian bawahku terselimuti sisik berwarna perak kehijauan. Muncul selaput bening
setipis kulit bawang diantara ruas jari-jari tanganku. Garis-garis insang
bertonjolan di belakang kedua telingaku.
Pakaianku lenyap, sengaja ku lepaskan semua agar
tak menggangu proses transformasiku. Beberapa kali aku mngalami kesulitan saat
melakukan perubahan tanpa melucuti semua pakaianku. Hal ini mengharuskanku
untuk telanjang dada - hal yang wajar untuk spesiesku - hanya rambut pirang
panjangku yang menutupi kedua buah dadaku yang menyembul diantara serat kasat
mata dan berbaur dengan sisik di sepanjang lekuk tubuhku. Menutupi setengah
payudaraku. Dan untuk sentuhan terakhir sepasang cangkang kerang kutempelkan
diatas sisik ikan yang menutupi setengah payudaraku.
Aku berubah menjadi seekor putri duyung. Satu hal
yang jelas tentang diriku, aku tidak berlendir.
Beberapa orang yang berenang dibelakangku
tersentak melihat perubahan wujudku, bahkan ada yang tersedak saking kagetnya
melihat perubahan wujudku. Ia lupa jika tak ada oxigen yang bisa ia hirup di
dalam laut. Kukibaskan ekorku sejenak, hanya untuk menggoda mereka.
Mengerlingkan bola mataku dan mulai menyelam melawan deburan ombak. Secara konsisten
meluncur disatu garis lurus.
Aku mengambang diantara hamparan warna koral,
berbisik dengan beberapa spisies ikan mungil dan berbasa-basi dengan beberapa
ekor lumba-lumba. Keheningan palung lautan merupakan terapi paling ampuh untuk
terhindar dari stres berkepanjangan. Keindahan pemandangan bawah laut adalah
spa pemanja kelopak mata tiada duanya. Bagiku tak ada tempat yang bisa
mengantikan lautan. Tak akan pernah!. Mungkin karena aku terlahir sebagai putri
duyung, tapi aku juga hidup di daratan beberapa kali jadi aku paham betul
bagaimana sekat tebal kedua dunia ini.
Dengan sapuan senyum sinis aku menyelam kedasar
laut, meninggalkan mantan duniaku diatas sana. Ku titipkan salamku ini kepada
ketiga pemuda yang mengekoriku. Salah satu diantara mereka sudah berenang
megap-megap mencari udara. Sedangkan dua lainya masih tak bisa bergerak, jauh
di pelupuk matanya menggunung ketakutan yang berkelebat cepat sebelum tersadar
jika mereka harus menuju daratan. Sebelum mati kehabisan nafas.
Tak ada yang lebih aku inginkan selain membuat
ketiga orang itu dianggap gila dan menjadi benar-benar gila karena perubahan
wujudku. Siapa yang akan bertahan dengan kewarasannya jika tetap melihat hal
seperti itu? Juru dongeng? Mungkin, karena aku punya seorang teman yang
menganggap jika dirinya seeorang utusan poseidon.
&&&%%%$$$%%%&&&
“ Mo!!!,
woy bangun betmen, dah siang ni... “ satu lagi manusia bar-bar datang menganggu
tidurku. Dengan mencipratkan air putih disamping tempat tidurku Via berteriak-triak
memanggilku dengan gerakan hula-hula.
Hampir setiap hari jika tak ada kegiatan Via
selalu singgah dirumahku, dan hampir setiap saat dia bertengger diteras depan
hanya untuk ngecengin beberapa cowok dalam daftar incerannya. Atau jika dia
sedang butuh teman untuk bercerita tentang urusan seabrek kisah cintanya yang
tak kunjung menemui titik temu. Sosok pendengar setia sepertikulah yang ia
butuhkan, bodoh dalam urusan hati, mudah dikibuli, bisa dijadikan pelampiasan
dan yang paling penting tidak akan mengajukan pertanyaan sehingga tidak
mengganggu prosesi curhat sebelah tangan. Via lebih sering berperan sebagai
saudara perempuanku, aku mengenalnya sejak sd dan bersahabat dengan mahkluk itu
sampai sekarang.
Entah ada ikatan struktural apa hingga sosok sepertiku,
si gadis penunggu gua berlapis kasur bisa berjodoh dengan sesosok nenek lampir
metropolitan. Ada satu nilai tambahan di luar sosok Via yang selalu up-to-date, dia selalu mengurusi
kehidupan berantakanku di tengah kesibukan dunia stagnan-nya. Kadang dia selalu
meluangkan waktunya untuk mengerti sedikit duniaku, tapi sebagai imbalannya dia
bebas menjadikanku tumbal disaat takdir hati yang ia petakan tidak sejalan
dengan keinginanya.
Tapi di samping itu semuanya Via tetap mampu
bertahan jadi sahabatku selama belasan tahun. ia butuh diapresiasi, tak ada
orang yang betah hidup berdampingan denganku selain simbah dan candra yang
sekarang sudah mulai masuk dalam daftar nominasiku. Tapi itulah Via, sahabat
terbaikku.
“ Apa “ jawabku pelan tak mampu melihatnya. Dari ukuran
kelopak mataku yang belum mampu untuk terbuka, pasti dia hanya mengibuliku
saja. Dan benar saja ini masih jam sepuluh pagi, selain berisik dan bawel sifat
buruk Via adalah sanggat menganggu.
“ Chi, jalan-jalan yuk. Bosen ni gw “
“ Ogah, ngajak cowok lu aja sono “ jawabku ringan,
kubenamkan lagi wajahku ke lipatan bantal super empuk favoritku. Bantal besar
berwarna biru lusuh itu menyimpan hampir seluruh kehidupan dan mimpiku. Di
bantal itu aku tumpahkan seluruh perasaan dalam jiwaku, dia mengertiku dalam
diam. Dia bergeming dalam balutan bahasa perasaan. Bahasa tanpa teks yang mampu
berujar dari hati kehati. Dari hatiku menuju hati benda mati.
“ Ah, lu lebih setia sama bantal itu daripada ma
gw “ rujuk Via beranjak keluar dari kamarku menuju ruang keluarga dan menonton
teve bersama nenekku.
Ini adalah ritual yang biasa kami lakukan sejak
dulu. Dia membangunkanku, memberi waktu untukku agar kembali ke alam realitas,
dan jika tetap belum terbangun ia akan menyambangiku ke kamar untuk kembali menjadi
member cerita cintanya. Akulah mochi sang pendengar setianya.
Aku memang akan memilih bantal biru lusuh
bergambar salah satu tokoh kartun itu daripada Via, jika ia memang menyuruhku
untuk memilih. Aku memiliki ikatan psikologis dengan bantal itu, lebih tepatnya
ikatan batiniah dengan orang yang membelikan bantal itu untukku. Satu-satunya
orang yang pernah membuka pintu hatiku, satu-satunya orang yang menutup secara
paksa pintu hatiku hingga tak bisa terbuka lagi, ia masih membawa kuncinya.
Kunci yang bisa membuka pintu yang hanya terbuka untuknya.
Lima menit kemudian setelah ia mencuri beberapa
toples makanan dari kulkas simbahku. Via kembali menjajah kamarku. Seperti
penyiar radio, Via begitu fasih bercerita dalam beberapa bahasa. Dari bahasa
tubuh sampai bahasa isyarat hanya untuk membagi secuil kisah hidupnya yang tak
kunjung berakhir.
Via jauh lebih gila dariku, kadang ia bisa
melakukan banyak hal sekaligus. Ia bisa managis sesuai kegalauan hatinya,
tertawa karena sok menguatkan diri, mengapai-gapai tubuhku karena ingin
memelukku untuk berbagi kesedihan dengan ingus belepotan sambil makan cemilan
yang ia colong karena lapar. Spesies yang aneh.
Satu kelebihan kisah-kisah yang memberondongku
bagai letupan peluru dari bibir meriam hati via. Ia terlalu konsisten dan
sangat menakjubkan karena tak pernah bergeser sedikitpun dari topik yang
menurutku sudah terlalu kadaluarsa. Bayangkan saja dari pertengahan smp sampai
di bangku kuliah hanya tentang putus, jatuh, selingkuh dan diselingkuhi?
Dia hanya membutuhkanku untuk dijadikan pendengar.
Via bisa menyembuhkan dirinya seketika, menyembuhkan hatinya dalam hitungan jam
dan merubah watak psikologisnya seketika. Sungguh sosok sahabat yang mengerikan.
Kurang dari satu jam Via sudah mulai menceritakan beberapa calon pacar
idamanya, calon pacar yang biasanya sebentar lagi ia dapatkan. Dan memang
begitulah takdir biasanya mengamini semua kemauan Via.
Jika sudah
mulai begini, saatnya aku mulai membentuk pulau-pulau dari air liur di dunia
bantalku. Kerap aku menjadikan curhatan via sebagai dongen pendorong nafsu
tidurku. Dan aku mulai tertidur kembali...
&&&%%%$$$%%%&&&
Aku terbangun dari tidur panjangku...
Reruntuhan tanah hinggap di mukaku, menimbulkan
aroma basah memuakkan. Sudah hampir dua minggu aku tak menjejalkan darah segar
ke perutku, entah kenapa aku tak bisa memahani kenikmatan rasa makanan khas
manusia yang dulu menjadi konsumsi rutinitasku. Daging, buah, sayur, semua
hanya meninggalkan rasa anyir mendalam saja di lidahku. Membuat perutku
bergejolak dan ahkirnya muntah.
Beberapa kali aku menyayatkan taringku ke leher
rusa atau beruang gunung disekitar tempat tinggalku. Tapi, tak ada kepuasan
yang ku dapat, malahan hanya meninggalkan rasa setengah yang mengantung begitu
saja. Aku terasing dan hidup sedirian disebuah gua ditengah hutan yang masih
liar, dengan semak kehidupan pribadi penuh semak belukar yang tak pernah bisa
aku pahami.
Puzel ingatanku mulai bertebaran di sekitar
kepalaku, aku merunut urat ingatanku sejenak. Mulai mengingat-ingat apa yang terjadi
sebelum kejadian itu menimpaku. Dihari saat aku berkemah dengan keluargaku
digunung terbesar di provinsiku. Tak ada hal yang aneh sama sekali, semua
berjalan normal, sebelum wanita itu datang.
Dia melewati lahan perkemahan keluarga sebagai
malaikat. Dengan rambut coklat emas yang menggurai indah, warna mulut yang
merekah alami, mata berkilauan, wajah rupawan dengan tubuh mendekati sempurna dan
langsung membuatku meneteskan air liur saat melihatnya. Dengan ukuran buah dada
diatas rata-rata dan tubuh berlekuk seperti boneka, ia mengerlingkan mata saat
melewatiku. Dadaku bergetar hebat, jantungku berpacu kencang, entah karena cinta
atau nafsu birahi semata, tapi mata hatiku mendadak buta. Aku mulai mengikutinya.
Wanita itu menghilang dalam kerjapan mata. Meng-hi-lang,
benar-benar menghilang dalam penalaran sudut pandang manapun. Aku bergidik
ketakutan dan tercengang saat mulai sadar jika aku menempatkan jasadku dihutan
yang sama sekali tak pernah berkenalan denganku. Lagipula akupun sama sekali tak
punya niatan untuk mengenal hutan di pegunungan ini.
Tersadar saat tubuhku menjadi partikel asing
disuatu tempat yang masih perawan, diantara aroma segar pohon pinus aku mulai
menapaki jalan yang ku tempuh sebelum terjebak ke tempat ini. Tapi aku
tersesat, aku kembali ke tempat awal disaat aku kehilangan gadis jelmaan
malaikat itu.
Tak ada penyesalan dihatiku, bagiku penggalan
kisah tersesat ini sudah impas karena bisa bertemu sesosok wanita yang begitu
sempurna dikehidupanku. Fantasi nakalku mulai berbinar disela langkah kaki yang
tak hentinya berpijak untuk mencari jalan pulang, aku mulai membayangkanya
wanita itu mulai melepas dua kancing bagian atasnya. Aku tertawa kegirangan
ditengah wajah merona dan mata yang menyiratkan seberkas kehawatiran. Entah apa
yang tuhan tanankan di dalam otakku sehingga aku memiliki fikiran yang sama
sekali tak waras seperti ini. Aku bahagia sekaligus takut, jiwa rapuhku
khawatir ditengah nafsu birahi yang tak kunjung berakhir.
Dan yang bisa aku lakukan hanya cengegesan di
tengah hutan, sembari sesekali berdoa kepada yang punya hidup. Aku tau jika ini
cara berdoa yang salah, tapi jiwaku tak bisa menyingkronkan fikiran dan hatiku
yang terlanjur memilih jalan masing-masing.
Malam menghujam siang tanpa belas kasian, ia hanya
tiba dan memberengusnya ke dalam lubang hitam. Jiwaku mulai gentar terperosok
dalam kegelapan hutan, dan dalam hitungan milisecon
fantasi nakalaku buyar. Mataku mengerjap-ngerjap menyesuaikan kemiskinan cahaya
yang tiba-tiba mendera, tanganku meraba diantara jejak langkah yang mulai
berkurang kejantanannya.
Aku mati langkah sebelum mendengar sebuah debuaran
air di ujung jalan, ada setitik cahaya yang seakan menuntun jalanku kearah air
terjun itu. Fikiranku tiba-tiba mulai melumer kembali, jika aku sudah berada di
dekat sumber air secara otomatis kemungkinanku bertemu kembali dengan
keluargaku semakin besar. Setetes kebahagiaan diseruput hatiku setelah rasa
ketar-ketir menstunami hatiku.
Mungkin akibat kelelahan atau otakku yang sudah
terkontaminasi dengan hal-hal nakal, fikiranku kotor kembali berbentuk fantasi. Mataku berpijar melihat
sebuah pemandangan yang sudah lama aku impikan, lebih tepatnya aku
idam-idamkan. wanita pujaan yang membuatku tersesat ditengah hutan itu
tiba-tiba hadir didepanku dalam keadaan telanjang bulat!. Telanjang bulat
dengan dua bulatan yang nyata.
Ia sedang membasuh tubuhnya ditepian air terjun.
Tidakkah ia merasa kedinginan? Mandi di tengah malam? Di aliran air terjun
lagi? Hehehe... tapi siapa yang peduli? Apakah dia membutuhkan kehangatan? Rambut
panjangnya terurai basah menutupi hampir seluruh punggungnya, tapi tak berhasil
menutupi lekuk indah pesona tubuhnya. Jantungku berdentum hebat sampai-sampai
serasa ingin meloncat keluar dari dadaku. Aku hanya melihat wanita itu mandi
dari belakang, bagaimana jika aku melihat wanita itu dari depan? Pastilah aku
langsung mati dibuatnya. Jantungku langsung meloncat keluar! Hahaha.
Kuberanikan jejak kakiku yang tak hentinya
bergetar melangkah diantara terjalnya bebatuan. Aku ingin mendekatinya, hanya itu
saja yang terpatri di fikiranku sedari tadi dan tak hentinya beranjak pergi
meninggalkan otakku yang memang tak ku usir pergi. Aku ingin melihatnya secara
utuh - hanya itu -.
Tapi langkahku terhenti saat mataku bertautan
dengan mata kuning berkilauan itu, tatapanya membara penuh dendam seakan-akan
bersiap menerkamku. Dan memang benar, ia bersiap-siap menerkamku. Mulutnya terbuka
dan menampakkan dua taring yang tersemat diantara giginya, kakiku tergelincir saat
aku menarik tubuhku untuk mulai menjauh.
Wanita itu terbang tanpa sehelai pakaian membalut
tubuh sempurnanya, rambutnya bekelebat dan tubuh telanjangnya langsung
menghempas tubuhku dalam basah. Ia menempel seperti sebuah tas dipunggungku.
Kaki dan tangannya melingkari tubuhku, wanita itu mengunci gerak tubuhku.
Aku meronta tapi dalam satu gerakan aku mulai
kehilangan kesadaran dan jatuh pingsan. Wanita itu menancapkan taringnya di
leherku dan menghisap darahku hingga aku megap-megap sepeti ikan yang terlempar
jauh dari aquarium, sekilas aku merasa jika ini adalah akhir hidupku.
Mati di terkam wanita sempurna. Bukankah itu cara
meregang nyawa yang paling sempurna?
&&&%%%$$$%%%&&&
Via berjalan berjingkat memasuki kamarku. Dalam sebuah
gerakan sigap ia menarik bantal biru yang selama ini menjadi kendaraanku menuju
dunia mimpi. Aku terhenyak saat kepalaku membentur bantal yang lebih rendah
posisinya dan lebih keras. Mimpiku terhenti dan mataku membuka sempurna melihat
via cengegesan di samping tempat tidurku.
Entah kapan dia meninggalkan wilayah kamarku, yang
jelas seperti biasa. Aku tertidur pulas karena dongeng curhatnya.
Emosiku terpompa tanpa bisa dikendalikan, tanganku
mengepal menggemgam guling disisi tanganku dan dalam satu pukulan keras. Guling
itu menghempas wajah penuh polesan rias Via. Melencengkan tatanan bulu mata
palsu dari sarangnya, aku tertawa puas saat berhasil membuatnya murka. Satu hal
yang pasti jika kau bertemu dengan Via, jangan pernah kau mengacaukan
dandanannya atau kau harus bersiap untuk menghadapi kematian secara mendadak.
Tentu ia tak akan tinggal diam dengan seranganku
barusan. Kedua tangannya bersatu dalam genggaman bantal biru kesayanganku dan
dalam sekali pukulan telak berhasil menamparku hingga tersungkur dari atas
ranjang reotku, kuat juga cewek
metropolis ini, batinku.
Aku bangkit dan dalam sekali dekapan tubuh via
berada dalam pelukanku. Ku banting tubuhnya di atas singgasana mimpiku, tak
sempat ia membalas perlakuan nekatku kedua tangaku sudah berada di titik
lemahnya. Ia meronta, memohon-mohon padaku agar aku menghentikan gerakan
jemariku di atas kedua pinggangnya, tapi aku malah tambah beringas menggelitiki
pinggang sahabatku itu hingga ia mengelenjar dalam tarian cacing terpanggang.
Ia menagis, tertawa dan tersedak dalam waktu bersamaan. Aku tertawa lepas melihat
penderitaan sahabatku itu, tapi aku lengah dalam tawa kebahagiaan itu.
Via berhasil membalik tubuhnya hingga kedua
tanganya bisa membalas perlakuanku, ia menempelkan secara paksa kesepuluh
jemarinya di pinggang dan langsung membalas mengerjaiku. Aku memohon ampun
padanya tapi tak akan ada ampun jika sudah begini adanya, yang ada hanya
membalas dendam saja. Aku tertawa terbahak sanggat keras dengan umpatan
beberapa sumpah yang akan aku limpahkan padanya jika ini sudah berakir.
Kami tertawa bersama, menangis bersama, menahan
sakit bersama, melampiaskan perasaan kesal bersama, tersedak bersama dan yang
paling jelas inilah waktu kita bersama. Waktuku dan waktu Via bersama tanpa ada
perbedaan prinsip tentang merk pakaian ataupun majalah aneh budaya eropa, diwaktu
ini kami menjadi diri sendiri, bocah polos tanpa dosa. Sepasang sahabat sejati.
Lelah secara mudah menjalar. Membuat persendian
kram, menghentikan kami dalam nafas tersengal-sengal dan tubuh penuh aliran
peluh. Kami membiarkan tubuh kami melumer kehabisan tenaga, dengan fikiran
melayang kami mulai mengatur nafas yang masih belum taratur.
Kami terduduk bersandar di ranjang besi reyotku,
melepaskan semua perasaan yang berkecamuk untuk sesaat. Sebuah perasaan lega
yang sanggat indah menghampiri nurani kami dalam waktu yang lama.
Persahabatan
itu akan menjadi benar-benar indah jika kita berbagi dengan apa adanya dan
meluruh diri kita secara utuh.
“ Sudah lama ya, kita ngak ngedan kaya gini “ kata
Via perlahan “ Ini keren mo, kayak ada beban yang hilang gitu aja, terhempas
lah kalo pake bahas loe “ ujar Via apa adanya. Untuk sementara ia tak
memperhatikan polesan makeup warna-warni di wajahnya, bulu mata atau rambut
acak-acakanya.
Ia nampak seperti... manusia biasa. Sahabat
kecilku yang polos, sahabat yang apa adanya, sahabat yang belum terkontaminasi
dengan kehidupan melenium walau di dalam dirinya maemunah.
“ Iya vi, ampe lemes ni tubuh gw, tapi gw rasa
lewat keringet ini masalah gw yang ngendep cair and kelar sendiri “
“ Yaelah mo, mo... ngak segitunya kali neng “ kata
Via mencorongkan mulutnya saat mengucapkan “ mo “. “ Dah ah, mandi dulu gw mo,
ngak mungkinkan gw meluncur dari gua lu dalam keadaan begini?, turun harga dong
gw ntar “
“ Keren kali vi “ ucap mochi sekenanya melihat
keadaan sahabatnya. Hampir seperti korban kecelakaan, terbawa angin puting
beliung, mendarat di atas rumah tergelincir dari atas genteng dan jatuh tertimpa
tangga. Mochi hanya tersenyum melihat keadaan sahabatnya yang beranjak dari
sampingnya, Via kembali bertransformasi menjadi sosok manusia melenium lagi. Dari
dalam laci meja belajarnya mochi meraih sebuah buku cerita.
Kugenggam bolpoint biru dari dalam tekukan buku
tebal itu, kuletakkan erat-erat disela jari tanganku dan sebuah perjalanan
magis terjadi. Aku menulis kedua mimpiku dalam hitungan menit dan selesai
sebelum Via mendatangi kamarku usai membasuh diri. Aku menuliskan kisah tentang
putri duyung dan vampir dalam versi asli mimpiku, tanpa embel-embel perubahan
lagi. Menurutku mimpi versi asli terasa lebih murni ketika kurunut ulang dengan
fantasi liar yang sering berkembang saat berpapasan dengan untaian kata di buku
cerita “mimpiku “.
Tepat jam tujuh malam saat candra sudah
menghempaskan kedua bongkahan pantatnya diatas kulit sofa di depan teve-ku Via
meninggalkan kami bertiga. Ia tidak jadi ikut numpang makan malam bersama kami
karena keburu ada janji dengan pacar ke limanya. Bagiku via seperti seorang
petani yang menggembala para lelaki untuk dijadikan koleksi ternaknya. Satu hal
yang membuatku iri pada sahabatku itu adalah kemampuan untuk memulihkan
perasaanya yang begitu sempurna. Saat patah hati, ia bisa menghabiskan satu
harian untuk bercerita, mengeluh, mengamuk, menangis dan melampiaskan rasa
sakit hatinya pada apapun hanya dalam satu hari saja. Usai satu hari itu
selesai, ia bisa kembali menjadi Via si manusia melenium seperti seharusnya,
seperti tak terjadi apapun.
Tapi Via bukan sepertiku. Jika pulau di hatiku tak
akan sembuh usai di hantam tsunami besar, pulau di hati via akan langsung
lenyap di terjang tsunami besar. Hilang tak berbekas tapi akan muncul pulau
yang baru. Jika pulau itu kembali dihempas tsunami masih ada pulau cadangan
sebagai jalur evakuasi perasaannya dan itu terus berlanjut. Dan selalu belipat
ganda.
Andai pulau dihatiku bisa memperbarui dirinya
sendiri hingga tak bisa tergerus sakitnya diterjang tsunami hati. Tapi, pulau
di hatiku akan selalu merapuh sebelum ada orang yang bisa menghentikan tsunami
itu datang.
Kurenggut sebuah buku tebal berwarna merah muda
dari bawah ranjang reyotku, buku harianku dari pertengahan smp sampai
pertengahan akhir sma. Hatiku bergetar saat jemariku meraba sampul berdebu buku
pemberian Via saat ulang tahun. Langsung ku buka di halaman terahir, masih ada
sebuah foto yang dulu kurobek lalu aku satukan lagi menggunakan selotip. Ku
baca lagi beberapa garis kalimat yang aku pahat di selembar kertas bergradasi
biru muda pink dengan gambar rapunzell. Dan kejadian itu kembali membayang
&&&%%%$$$%%%&&&
Aku berlari dari arah kantin menuju lorong sekolah
dan berharap bisa menyelinap ke kamar kecil tanpa ada yang tau keberadaanku.
Air mataku seakan terpompa secara alamiah untuk menjadi donatur di wahana air
yang tak kunjung berhenti. Aku merasa ada yang menarik jantungku yang masih
berdetak untuk keluar dari rongganya. Menginjak-injaknya dengan sepatu berduri
penuh lumpur, menggerus-gerusnya di jalanan aspal lalu melemparnya lagi ke dalam rongga dadaku
yang kopong menganga.
Aku masih tak bisa berkata apa-apa saat harapan
yang aku pupuk secara indah dan mendalam selama tiga setengah tahun hancur
menjadi tontonan orang banyak. Menjadi lelucon akhir tahun, hiburan mewah yang
akan membekas pahit dalam ruang hatiku. Kini satu sekolahan sudah tau semuanya.
Aku bingung, aku malu, aku pusing. Bagaimana bisa aku bersikap tak serasional
itu? Bagaimana bisa aku sekonyol itu? Bagaimana bisa aku menjadi badut akhir
tahun? Menjadi bahan tertawaan penghuni sekolah. Aku mengigil sendirian melihat
kekacauan masa depanku. Aku masih belum tau caranya untuk membuang wajahku di
depan mereka semua, haruskah ku hanyutkan wajahku di toilet atau saluran
pembuangan?.
Sesuai saran yang di berikan Via kepadaku, aku
harus mengungkapkan perasaanku kepadanya. Ini tentang sosok lelaki yang sanggat
aku idamkan sejak dari kelas tiga smp. Vino pindah ke smpku saat kenaikan kelas
tiga dan sejak itu aku menjadi penggagum rahasianya, berada di satu kegiatan
extra kulikuler bersamanya dan menjadi manajer tim renangnnya.
Tiga setengah tahun aku habiskan untuk
mengaguminya dan setelah ada waktu yang ku rasa tepat untuk mengungkapkanya.
Dia menolakku!, menolakku mentah-mentah di depan umum. Satu-satunya harapanku
adalah semoga cerita tentang penghinaanku ini tidak terlalu bergaung di
sekolah. Ini adalah jam extra kulikuler, jadi tak banyak siswa yang bertahan di
sekolah. Tapi mengingat siswa-siswa yang mengikuti extra kulikuler adalah
orang-orang tenar dengan beragam tingkat kepopuleran di sekolahku, kuduga besok
pagi aku sudah resmi menjadi bulan-bulanan mereka.
“ Percaya sama aku sekarang? “ kata Once saat
melihatku mengendap dari belakang pintu toilet. Ia celingukan sebentar sekedar memastikan
jika tak ada orang yang memergokinya saat menyelinap masuk toilet perempuan. Membantuku
memasung harga diri yang terlanjur lumer di lantai loitet. Ia melihatku saat melarikan
diri dari kantin sekolah, lalu menguntitku sampai disini.
“ Pergi, aku lagi ngak ingin kamu ganggu che “ kataku
ketus dengan mata yang perlahan mulai memperlihatkan titik bengkaknya. Air
mataku masih terus menghujam bongkahan pipiku.
“ Aku benar kan? “ Onche masih saja ngotot. Ia
tetap saja memaksaku untuk mengakui kebenaran pendapatnya, dengan senyum
menghina ia menunggu persetujuanku. “ Aku kan udah bilang sama kamu chi,
rencana Via ini ngak akan berhasil!, dia baru aja putus sama rachel jadi dia
butuh waktu buat sendiri “
Dadaku naik turun, terisak dalam penggalan nafas.
“ Kamu tuh buta gara-gara cinta tak terbalas ini!,
gimana bisa kamu jadi mendadak bego kalo ngebahas tentang Vino? Dah lah chi
jadi manusia realitas aja, kamu bukan cinderela yang bakalan nemuin pangeran
gara-gara sebelah sepatu doang, kamu itu upik abu! Aku harap kamu sadar
sekarang chi, pake nuranimu buat mikir mana yang nyata! Ini bukan bagian dunia
mimpimu “
Dalam ragam sentakan nada menghujatnya Onche
berhasil membanting perasaanku dan membuatnya terberai dalam kepingan kaca yang
tak mungkin untuk disatukan kembali dalam kuluman lem kastol.
Aku tolol dalam pengertian yang sebenarnya. Tingkahku
jelas-jelas konyol, aku membutakan diriku hanya untuk seorang yang akhirnya mempermainkan
ketulusan perasaanku. Dan selalu seperti ini. Kenapa semua yang Onche katakan
selalu benar? kenapa harus Onche yang menyadarkanku? Membuatku kapok dengan
laku konyolku? Mengoreksi setiap langkah kakiku?. Mungkin, memang takdir Onche
untuk selalu melakukan pembenaran garis hidupku.
Rentetan cercaan once itu membawaku terhenyak dari
dunia mimpi yang selama ini ku buat untuk melingkupiku. Selaput abu yang ku
pasang untuk membutakan indra penglihatanku. Magnet pesona yang membuai hati
dan jiwaku untuk sebuah langkah palsu. Aku sadar jika aku bukanlah tokoh di
dalam dongeng. Aku hanya mendongengkan hatiku untuk menjaga kewarasan hatiku
untuk perasaan rumit ini, aku bersedih untuk diriku sendiri. Aku bersedih
karena tak bisa mengontrol diriku untuk tetap memijaki realitas, bukannya
terbang menuju dunia hayal. Aku bersedih karena menciptakan obsesi untuk hatiku
sendiri.
Aku
benar-benar bingung
Hingga
merasa mampu untuk menenggak bianglala
Sejatah
hidupku meleburkan akal sehat
Ditimang
dan dihempaskan sekali lempar oleh hal kasat mata
Inikah
cinta buta atau dirikulah yang membutakan cinta?
Onche adalah teman baikku, sahabat yang selalu ada
untukku dan orang yang paling sering menjengkelkanku. Onche adalah tipikal mahkluk
yang selalu memberikan humor segar untukku, tokoh yang memberikan nasehat
hidupku dan sesosok yang selalu meluruskan lingkaran takdirku. Dan entah
mengapa apa yang ia katakan selalu benar seakan-akan ia selalu mendapatkan
wangsit tentang biografi hidupku.
Seperti apa yang diperingatkan Once, Vino akan menolakku,
dan benar saja. Vino memang menolakku, menolakku mentah-mentah di kantin
sekolah. Sosok yang aku idolakan tiga setengah tahun ternyata orang dengan
kepribadian yang tidak baik. Tega-teganya vino mempermainakan ketulusan
perasaanku. Tapi setidaknya aku baru tau salah satu sifatnya terbarunya, ia
memiliki sifat menghargai sesama yang sanggat buruk!.
Samar-samar kudengar suara cekikikan tawa dari
ujung koridor sekolah. Pasti ketahuan
jika aku akan melarikan diri, pikirku. Onche mengumpat tiba-tiba dan tanpa
aku sadari dia menyeretku ke bagian dalam toilet perempuan dan mendekapku ke
dalam bilik kamar mandi saat suara sepatu nyaring melewati kami. Nyaris saja
kami ketahuan, bagaimana jika mereka tau keberadaanku dan onche berduaan di
dalam toilet perempuan? Pasti akan heboh sekali, cukup untuk menguncang satu
sekolahan dalam gempa gosip skala richter.
“ Tadi liat ngak cewek peranakan alien itu lari
keluar dari kantin? “ kata seorang cewek dengan nada gembira, lalu ia tertawa
terbahak.
“ Yaiyalah tau, pristiwa momumental akhir taun
masa mau dilewatin gitu aja? puas banget liat si Vino bikin kapok si cewek
kribo, biar dia malu and sadar diri
sekalian “
“ Iya, itu cewek seleranya kaya pohon palem, ngak
nyangka gw kalo dia bakalan senekat itu, di kantin lagi “
“ Hahaha, kamu inget ngak kemaren pas pulang
exkul? Dia kan pake kaos pink, rompi ijo, sandal kuning, rok merah sama tas
warna-warni “ kata cewek satunya sambil menyemburkan tawa yang membahana.
Wajahku merah dibuatnya, jelas yang sedang mereka bahas itu aku. Berani-benarinya
mereka menertawakanku, emosiku meluap, aku ingin memberontak tapi tubuhku tersekap
dalam genggaman tubuh Onche yang tak inginkanku menambah daftar pristiwa konyol
disekolah “ Mecing banget tuh orang kaya toko permen jalan “
Dan kedua gadis itu meninggalkan toilet dalam
keadaan tawa menggema.
&&&%%%$$$%%%&&&
Bedebam suara buku diary itu ku banting, sentilan
memory ini harus ku hentikan segera sebelum semua luka masa laluku kembali
mengangga. Aku tak akan membiarkan lagi potongan puzzel masalaluku ini tetap
utuh dan kembali bertahta. Buru-buru aku berjalan menuju dapur, mencari minyak
tanah dan korek api. Simbah yang sedari tadi sedang sibuk menyiapkan mie goreng
telur ceplok untuk makan malam keheranan melihat tingkahku. Ia hanya melirikku
sebentar dan seperti biasa dia kembali mengabaikanku.
Kubuang buku diary pemberian Via itu ke tong
sampah di pojokan pagar rumah. Ku siram langsung dengan minyak tanah lalu
kulemparkan pentol korek api di tumpukan sampah. Aku tertawa sendirian dengan
tangan menengadah ke atas, aku tertawa bahagia di tengah adzan melihat kobaran
api menjilat-jilat potongan puzzel masalaluku. Kunci masalaluku menuju
kenangan-kenangan burukku sedang dalam proses pemusnahan. Serasa aku ingin
menari-nari mengelilinginya. Lewat jendela dapur yang bertatapan langsung
dengan tenpat sampah tempat ku membakar buku diary simbah mengerutkan dahi.
Diambilnya seember air cucian piring bekas tadi siang dan disimramkan
ketubuhku.
Aku berteriak kesetanan. Aku Gelagapan, tubuhku
kaget mererima serangan dadakan dari simbah. Aku sama sekali tak menyangka jika
simbah akan mengambil tindakan se-anarki itu kepadaku. Cucunya sendiri. Kebahagiaan
di wajahku menyusut secara drastis, wajah sebal langsung ku pasang.
“ Simbah!!! “ aku mencak-mencak tak terima
diperlakukan seperti itu. Tanganku gregetan melihat simbah nylonong pergi
meninggalkan senyum simpul, meninggalkanku sendirian disamping tong sampah. Apa
simbah tak merasa berdosa sedikitpun usai menyiramku dengan air bekas cucian
piring? Bercampur dengan sanggitnya bau sampah yang terbakar? Heh, aku
benar-benar jengkel dengan tingkah simbah hari itu.
Kutarik beberapa potong pakaian dari jemuran dan
langsung ku benamkan tubuhku di kamar mandi.
“ Makane
ndak mahgrib-mahgrib itu jangan ngrerong di kamar terus, lak kesurupan tho dadine koe ki? “
teriak simbah dari dapur yang berjarak tiga meteran dari kamar mandi. Suara nyaring
simbah tetap saja terdengar seperti berteriak satu senti dari daun telingaku.
“ Simbah! Aku ngak kesurupan! “ balasku ketus dari
kamar mandi. Di dadaku mengumpal rasa sebal karena bau yang tak kujung minggat
dari tubuhku. Kugosok-gosok terus kulitku dengan sabun cair, mahgrib itu aku
mandi tiga kali. Hal yang sanggat jarang terjadi padaku.
“ Lha trus,
kalo bukan kesurupan apa namane? Dari kamar tiba-tiba nyari minyak tanah sama
korek api trus bakar buku, ketawa-tawa sendiri karo ndhaplang-ndhaplang koyo wong kenthir, jan koe ki tho nduk, nduk!!
“
” Aku tadi Cuma kegirangan aja simbah!! “ ujarku
geram. Kuberikan penekanan panjang di akhir kalimatku.
“ Kegirangan
kok koyo wong edan ngono? Apa kamu memang dah mulai merasakan gejala sakit
jiwa po nduk? Ealah sak akemen putuku
“ tambah simbah cekikikan. Dari lubang ventilasi kulihat simbah tertawa
terpingkal-pingkal di depan partisi jendela dapur melihatku tak berkutik di
hadapanya. Suara adzan berhenti bergaung saat simbah mulai menyalakan radio
kembali dan mulai keroncongan seperti biasa.
Hampir setiap saat lagu-lagu keroncong selalu
menemani aktifitas simbah di dapur. Beliau tak pernah memintaku untuk
menemaninya memasak ataupun mengajariku mamasak. Mungkin karena simbah bosan
dengan segala macam alasan berujung penolakan yang sengaja aku susun dengan
baik agar tak menganggu jam tidurku. Atau mungkin dia tak mau lagi aku merecoki
hasil karyanya yang selalu turun pasaran jika terkena campur tanganku. Kalian
boleh menjitak kepalaku karena aku sosok cucu kurang ajar yang suka bertingkah
tak karuan, tapi mau gimana lagi? Akulah mochi si cucu kurang ajar.
&&&%%%$$$%%%&&&
Aku punya kenangan konyol tentang kehidupanku dan
via. Bukan tentang candra, bukan tentang cinta pertama atau kisah terluka, tapi
tentang dikejar orang gila.
Siang itu matahari tepat membakar ubun-ubun hingga
muncul kemelut asap di batok kepala. Cuaca panas memeras tubuh hingga keringat
meretas, angin menghempas ketiak menebarkan bau terasi sambal pedas dan di
tengah jalan kadal gepeng terlindas di atas aspal panas. Saat itu kami masih
kelas 2 sma, tepat pulang sekolah. Siswa bertebaran di gerbang, nagkring di
warung makan dan nongkrong di tempat jajan. Aku, Via dan Onche mendadar diri
menunggu angkutan kota, berharap kebagian tempat duduk sebelum mandi keringat.
Angkot datang, kami masuk duluan dan mendapat
tempat duduk di bagian paling belakang. Onche duduk di samping supir yang
sedang bekerja, mengendarai angkot supaya baik jalannya. Tuk.. tik.. tak..
tik.. tuk.. tik.. tak.. tik.. tuk.. tik.. tak.. tik.. tuk.., tuk.. tik.. tak..
tik.. tuk.. tik.. tak.. suara orang gila. Karena udara panas dan sibuk mangipas
tubuh dengan majalah bekas, kami tak sadar jika hanya aku dan via yang berjubel
di mobil mungil itu. Semua siswa menyingkir menghindari angkot, onche
terpingkal-pingkal di samping jendela. Ada
yang tak beres, batinku. Dan benar saja, ada orang gila duduk di belakang
supir. Aku berteriak ketakutan sambil menempelkan tubuhku di kaca belakang,
diikuti Via yang baru tersadar jika ada penumpang tak diundang. Via histeris
begitu juga aku. Orang gila itu telanjang bulat dengan rambut keriting kuncir
rafia, mengipas-ngipas jamur diselakangnya dengan lagak orang kaya.
Lebih dari sepuluh menit aku melihat orang gila
dan supir angkot saling tarik menarik hingga akhirnya si orang gila mau turun
dari angkot setelah serak menghantam suaraku dan Via. Harga diriku benar-benar
lebur usai menjadi tontonan di gerbang sekolah, makeup Via luntur menyisakan
bercak maskara, dengan segukan ia menyapu wajahnya menggunakan tisu. Masih
dengan terpingkal Onche masuk angkot, duduk disebelahku sambil memeganggi
perutnya yang kaku. Hampir selama perjalanan pulang tawa onche terus membahana,
ia terus tertawa walau menjadi objek pelampiasanku dan via. Esok harinya aku
dan via membolos berjamaah dua hari berturut-turut, kami belum siap menjadi
bulan-bulanan masa karena orang gila.
&&&%%%$$$%%%&&&
Ku buka jendela oval kamarku, memberi ruang udara
pagi untuk menganti udara malam yang telah jemu melingkupi mimpiku. Rumah-rumah
berbentuk jamur raksasa menjulang menutupi sejumput cahaya mentari pagi.
Kutarik nafas dalam-dalam, semerbak aroma bunga langsung memenuhi rongga dadaku.
Kuhembuskan nafas secara perlahan, merasakan wangi kepuasan tak terhingga
diantara uraian ketenangan.
Hampir setiap pagi aku melakukan hal itu. Sengaja
ku tanam serangkaian kembang di balkon kamarku, membiarkan wanginya meyelubungi
ragaku ketika akan menantang hari. Aku percaya jika pagiku dimulai dengan aroma
wangi dan keindahan kelopak bunga maka hariku akan berjalan sempurna. Tak ada
kegiatan spesial hari ini. Tak ada sekolah, tak ada kerja paruh waktu, aku
bebas dengan duniaku sendiri. Kutata ulang rambut bergaya tumpeng diatas
kepalaku, disesuaikan dengan gaun merah muda dari kelopak bunga yang dirajut
menjadi satu.
Kuputuskan untuk jalan-jalan hari itu. Usai
menyantap sebongkah madu untuk sarapan aku beranjak pergi meninggalkan rumah
tercintaku. Dengan selembar daun yang dijahit dengan serat tumbuhan hingga membentuk
sebuah tas punggung aku terjun dari atas balkon kamarku. Ku kepakkan kedua
sayap lebarku. Sebuah sayap kupu-kupu perpaduan warna jingga dan ungu, dengan
semburat merah diantara garis saraf yang berkutat sinergis dengan gradasi biru
di bagian bawah sayapku. Aku masih selalu terpesona dengan keajaiban sayap
transparanku karena selalu mengeluarkan serpihan bintang-bintang saat aku
terbang.
Aku melayang lambat diatas rumah penduduk,
menikmati atap-atap jamur raksasa mereka yang dicat dengan berbagai pola
menakjubkan. Ada yang membuat pola bintang untuk menutupi bulatan putih di atas
warna dasar atap jamur mereka. ada pula yang memlukiskan cerita diatas atap
rumah mereka dengan berbagai warna mencolok dan karakter-karakter mitos yang
masih sering kami jumpai sekarang walau dengan perubahan bentuk raga.
Di dunia manusia kami sering di juluki kurcaci,
tapi kami lebih suka menyebut diri kami peri tanaman. Manusia biasa tak bisa
melihat kami jika kami tak menghendaki hal itu terjadi. Duniaku terletak di
antara sebuah taman dan lubang pembuangan air. Di taman itulah biasanya aku
duduk sendirian dan mulai melakukan proses magis dengan tongkatku. Tapi karena hari ini hari spesial, aku akan
melakukan hal yang tidak biasa aku lakukan. Aku akan menelusuri arah pembuangan
air yang menjadi batas wilayahku dan wilayah manusia.
Dengan sekuntum bunga yang aku petik dari balkon
kamarku aku mengambang diatas kali mungil itu usai kuubah kelopak bunga menjadi
besar yang sekiranya cocok untuk tubuh kecilku. Aku melaju mengikuti aliran air
membawa kapal bungaku, terbawa suasana baru yang belum pernah aku nikmati. Bau
menyengat bersliweran di batang hidungku untuk beberapa saat, saling bergantian
dengan bau tidak sedap dari onggokan sampah yang membusuk. Tapi itu tak
mengurungkan niatku untuk tetap menelusuri ujung aliran pembuangan itu hingga
seekor ular mencaplok kapal bunga dan tubuhku sebagai sarapannya.
Petualanganku berakhir di tempat pembuangan yang
lain. Tubuhku berakhir ditempat pembuangan ular, diperut ular tepatnya.
Berbagai usaha telah aku lakukan dari mengunakan keajaiban dari tongkat
ajaibku, tapi semua sia-sia. Aku terperangkap di perut hewan melata ini.
&&&%%%$$$%%%&&&
Aku ingin cerita kepada kalian, tapi kali ini
bukan tentang mimpi-mimpiku. Ini tentang sebuah kejadian yang membekas di
tangga harga diriku dan Via. Sebuah kejadian yang mungkin tak mungkin akan
cepat lenyap dalam ingatan kami. Kejadian ini terlalu momumental untuk sekedar
dilupakan.
Sejumput sinar matahari menembus kumpulan awan
yang ogah-ogahan untuk tersibak. Hari itu suasana dikampusku cukup ramai karena
acara wisuda. Dari pagi hari taburan kendaraan pribadi dan kendaraan umum
membetahkan diri untuk nongkrong seharian menunggu wisudawan yang namanya
tercetak jelas di jendela kaca mereka.
Halaman kampusku yang biasanya hijau dalam
hamparan permadani rumput berubah menjadi area wisata keluarga untuk pesta
kebun dadakan. Tikar-tikar digelar tanpa aturan dengan tumpukan makanan dan
mantan wadah bungkus makanan yang berimbang. Banyak anak-anak kecil yang lari
bersliweran dengan beragam bentuk balon mainan di dalam genggaman. Bapak-bapak
dan para lelaki merokok, berbincang dan tidur dengan koor dengkuran, sedangkan
para ibu mengamati anak mereka yang masih berkutat dalam radius aman.
Kantin tempatku biasa nongkrong bersama Via penuh
sesak dengan keluarga wisudawan. Mengharuskan kami berdua untuk menyumpal
raungan perut kami untuk sebuah sarapan yang tertunda. Sampah berserakan di
jalanan dan srett... bagian bawah sepatuku yang melicin karena sudah tak
memiliki gerigi untuk berdiri tegak tergelincir karena kulit pisang.
Tak pelak karena reflek sesaat untuk
mempertahankan pendirian tubuhku agar tidak jatuh, aku memegang tangan Via.
Tapi seharusnya aku sadar jika itu pilihan yang salah, tubuh Via ikut
terpelanting diatasku, hak sepatunya patah. Jelas jika Via akan memarahiku
habis-habisan karena kejadian ini tapi sayangnya kejadian ini tak berahkir di
sini saja.
Pintu gedung serba guna membentang lebar dengan
senyum bermekaran dari wajah-wajah penamat kuliah. Senyuman mereka semakin
mengembang melihat perkara di hadapan mereka, dua orang gadis tiduran di atas
aspal. Seorang gadis menjadi tikar dan gadis satunya membentang dengan hak
sepatu patah. Senyum lebar wisudawan berubah menjadi cekikikan dan cekikikan
bermetamorfosis menjadi selembar tawa lebar.
Mereka menikmati kejutan di akhir wisuda mereka.
Tawa mereka masih terdengar mengiris telingga saat kami dikerubungi bapak dan
ibu saudara wisudawan yang berniat membantu kami atau sekedar melihat
kekonyolanku.
Hal pertama yang mereka lakukan adalah mengangkat
tubuh via yang terpenlanting dalam gerakan kayang, punggungnya berbernuran dengan
punggungku. Dengan cekatan Via langsung melepas sepatunya tanpa mempedulikan
nasipku yang masih bermesraan mencium aspal, langkah kedua yang diambil para
saudara wisudawan adalah membangunkanku yang berterimakasih sambil menyerapah
karena melihat Via yang ngibrit meninggalkanku. Via meninggalkanku dalam
keadaan dejavu, ditertawakan orang
banyak dalam sebuah tingkah konyol yang berasal dari lakuku.
Aku memilih untuk tidak mempedulikan sekitarku,
terlebih mereka sudah menjadi wisudawan. Jadi mereka tak akan menetap lagi di
kampus ini, sekiranya untuk mengumbar kekonyolanku hari ini. Jadi apa gunanya
untuk memusingkan ini semua? Buang-buang waktu saja.
Hampir satu bulan aku didiamkan Via karena
kejadian itu. Aku sudah meminta maaf lewat beragam cara, tetapi tak ada respon
sama sekali dari nyai metropolitan itu. Entah apa lagi yang bisa aku lakukan
untuk menebus kesalahanku kepada sehabatku itu, ada rasa hening yang tak biasa
tanpa curhatan kisah-kasih via tentang beragam persoalan cintanya. Rasa hening
yang hambar.
Tapi, pagi itu berubah. Tepatnya usai subuh di
hari minggu via mendobrak kamarku dalam tampilan puting beliung. Make-up yang
selalu terpoles di wajahnya rusak karena aliran air mata yang diseka
sembarangan, bajunya terkoyak dan rambutnya acak-acakan. Via tampak sanggat kacau.
Aku terhenyak dari ulasan mimpiku, menepuk-nepuk
punggung Via yang terlebih dulu memelukku. Aku tersadar karena ketidakwajaran
ini, ia menangis sejadi-jadinya dalam pelukanku. Aku sempat membatin jika pasti
ada kejadian besar yang melatar belakangi ini semua, hingga Via yang
mendiamkanku selama hampir satu bulan rela subuh-subuh mendobrak pintu kamarku.
“ Kamu kenapa vi? “ tanyaku dalam kesadaran yang
belum sepenuhnya berpulang.
“ Aku takut chi, Tomy ternyata psikopat! “ ujarnya
dalam sedakan air mata. Tomy? Nama baru lagi, siapa lagi orang itu?.
Aku terdiam. Membeku seketika, kesadaranku yang
belum kembali sepenuhnya tidak bisa mengurai perkataan Via dalam sekejab.
Beberapa detik kemudian barulah sadar aku dari kelambatan daya fikirku usai
bangkit dari dunia mimpi. Otot-otot tubuhku menegangang, tak bisa menerima
kejadian yang baru saja dialami via, sahabatku.
Aku melepaskan pelukan Via, dan memastikan jika
kejadian yang baru saja memberenggusnya tak menggoreskan luka fatal di tubuhnya
“ Kamu ngak apa-apa kan vi? Kamu di apain sama pacar barumu itu? “ ku raih
gelas isi air putih di ujung meja belajar yang menempel di ranjang besiku. Ku
sorongkan ke mulut via perlahan.
“ Dia mau perkosa aku chi, kalo ngak ada satpam
yang denger teriakanku pasti dia sudah merkosa aku “ aliran air mata via
menderas. Seakan terpompa saat ia memaksakan diri untuk mengingat kejadian yang
baru saja terjadi. Aku benar-benar terperagah, aku tak pernah menyangka jika
hal ini sampai terjadi “ Tomy narik-narik aku, nampar aku, mbekap mulutku. Tapi
aku sempet bisa lari gara-gara aku tendang selakangannya, terus aku
teriak-teriak minta tolong ampe pak satpam dateng nolong aku chi, aku
bener-bener ngak habis fikir dia bisa nglakuin ini sama aku “
Kulihat pipi lebam Via sekilas, di balik sapuan
make-up pipinya tercetak jelas warna merah membundar dengan semburat kehitaman
tak jelas. Lalu aku perhatikan sobekan baju di lengan dan punggung Via yang
mengangga, jelas jika ada tarik-menarik saat kejadian itu. Ada empat goresan
kuku di punggung via. Usai meminum air putih dan memeluk bantal tebal seperti
biasa, air mata Via jelas tak akan berhenti sebentar lagi. Aku bersyukur Via
lolos dari kejadian itu, bagaimana jadinya jika tak ada satpam yang siaga di
saat subuh? Tangan-tangan tuhan pasti masih mendekapnya erat.
“ Chi aku takut, aku takut banget “ kuselimuti
tubuh Via yang tak hentinya mengigil karena udara subuh dan rasa takut yang
mengerogoti tubuhnya. Tomy sudah menjadi momok dalam kehidupan Via, ia akan
menjadi trauma hebat.
“ Kamu yang sabar ya vi, aku ngak tau mau ngomong
apa lagi, aku juga shock denger ceritamu ini, jadiin pelajaran aja vi, lain
kali kalo mau pacaran sama cowok harus lebih selektif, cari tau dulu latar
belakangnya biar ngak ampe gini lagi, aku takut kalo terjadi apa-apa sama kamu
“
“ Chi, buat sementara aku hidup disini dulu ya,
aku takut kalo pulang ke kost, aku takut kalo tomy nyamperin aku ke sana “ kata
Via dalam suara bergetar, sesekali tubuhnya menggigil karena rasa takut
berlebihan yang tak bisa tubuhnya tahan.
Aku mengangguk “ Iya, ngak apa-apa, kamu tiduran
gih, tomy ngak balakan kesini, jadi kamu aman dirumahku vi “
“ Makasih banyak ya chi “
Aku kembali mengangguk pelan. Via meringkuk
dibawah selimut seperti binatang terluka, hatiku getir melihat keadaan Via
seperti ini. Tidak seperti Via yang biasanya aku kenal, Via yang hidup dengan
keceriaan metropolitan.
“ Maafin aku juga ya chi, aku ninggalin kamu pas
kejadian itu, aku bingung chi... aku juga malu jadi bahan ketawa segitu banyak
orang “
“ Ngak papa kok vi, aku juga minta maaf dah
masukin kamu dalam kekonyolan itu, tapi kan ada Candra yang siap sedia bantuin
kamu “
“ Iya, dia yang bantuin aku pulang chi, kebetulan
dia ada kegiatan organisasi di deket wc itu “ kata Via masih dalam sesegukan “
dia juga bawain aku sandal anak organisasi buat gantiin sepatu aku yang kamu
patahin “
“ Nanti aku ganti kok sepatumu vi, aku lagi nunggu
honor buat cerpenku yang mau terbit, aku janji “
“ Ngak usah chi, ngak papa kok “
“ Ngak usah sungkan gitu vi, aku tau kok kalo itu
sepatu kesayanganmu “
Sebersit senyum kaku membingkat garis bibir via
selama hampir dua detik. Lalu, senyum itu kembali amblas dalam momok ketakutan
yang melingkupinya.
Dalam balutan selimut tebal Via terlelap usai
meminum segelas coklat hanggat, kali ini aku tak akan gagal untuk urusan dapur.
Apa susahnya coba? Tinggal tuang air panar masukin isi se-sachet coklat dan aduk sampai rata. Via memasuki alam mimpi dalam
guratan garis trauma yang masih membekas.
Tak tega aku melihat penderitaan Via pagi itu. Jadi,
kupastikan untuk membagi kisah itu lewat telfon dengan Candra yang notabennya hobby
begadang sampai pagi. Ternyata Candra mengenal lelaki yang sedang dekat dengan
Via, yaitu Tomy. Dengan amarah yang membuncah Candra berulang kali melemparkan
pisuhan, sumpah serapah dan beragam kata-kata kotor untuk melampiaskan
kekesalannya melihat apa yang baru saja terjadi sama Via.
Sekitar jam sembilan pagi Candra datang ke rumahku
dengan sepeda motor maticnya, dengan mulut berdarah ia bercerita kalau dia baru
saja menghajar tomy karena sudah bertingkah keterlaluan terhadap Via. Anak-anak
kost di sekitarnya tak ada yang melerai pergulatan antara Candra dan Tomy, mereka
diam saja karena mengenal Candra yang aktif di banyak organisasi kampus dengan
kepribadian mudah bergaul dan menghargai sesama manuisa. Candra tak akan
semarah itu jika tak ada kejadian hebat yang telah melatarbelakangi itu semua.
Hantaman
kepalan tangan Candra berhenti usai ia merasa cukup dan puas untuk sementara
waktu, ia meninggalkan Tomy dalam keadaan babak belur bersimbah darah di
halaman kostnya. Baru setelah melihat Tomy tak berdaya ia menyuruh teman-teman
organisasinya untuk menyeret tomy masuk ke dalam kamar kostnya. Candra hanya
ingin memberi tomy pelajaran tentang bagaimana cara bekerjanya rasa menghargai
sesama, jika ingin dihargai orang lain maka selayaknya kita harus menghargai
orang lain terlebih dahulu. Candra menceritakan semua itu usai melihat Via yang
masih terlelap sambil sesekali mengigil, beberapa kali Candra juga mengusap
bibir bawahnya yang pecah.
Pagi itu juga aku dan Candra langsung membuat
kesepakatan. Kami tak akan membahas hal ini lagi di depan Via, pemberian
pelajaran Tomy kami tutup perlahan. Via tak akan pernah tau kejadian itu jika
tak ada anak organisasi yang tahu, dan itu adalah tugas candra selanjutnya. Sebisa
mungkin kami berharap jika Tomy akan benar-benar lenyap dari dunia via. Kami
ikut sedih melihat keadaan Via yang tak kunjung mendingan setelah satu minggu
berlalu begitu saja. Via trauma atas apa yang telah ia alami. Kejadian itu benar-benar
mempora-porandakan rekontruksi batin Via, meluluh-lantahkan kepercayaan diri
nyai metropolitan.
Tapi sebagaimana celah waktu bergulir dalam detik,
trauma Via lenyap kurang dari satu bulan. Dia kembali berpoles dalam sapuan
warna make-up yang hampir tak pernah lepas dari jeratan kulit wajahnya, bahkan
sekarang lebih heboh dari sekedar kesan spektakuler. Laku Tomy memang masih
membayang tapi ia tak sudi untuk sekedar membuatnya menjadi pengganjal
kenangan. Via belajar dan memulihkan diri dengan sanggat cepat seperti
pesantren kilat. Ia belajar untuk lebih selektif memilih orang-orang yang akan
berada dalam lingkup oksigennya, ia memulihkan luka dengan kegiatan
metropotilan yang tiada berguna. Belanja, jalan-jalan, makan, cuci mata dan
semua hal yang dulu pernah melekat erat di dalam kehidupannya sekarang dua kali
lipat lebih menjerat.
Dan sebagaimana peranku di dalam kehidupan Via,
tempat sampah ada jika dia membutuhkan wadah untuk sekedar muntah. Via masing
sering mengujungi rumahku, membawakan serabi untuk nenekku dan menjajah gua
persembunyianku. Bahkan beberapa kali Via membawa teman-teman lelakinya untuk
sekedar memasarkanku sebagai barang dagangan edisi terbatas, tapi tak
laku-laku. Hal itu sanggat mengangguku, sejak kejadian itu Via merasa jika dia
mempunyai kewajiban untuk menjajah kehidupanku.
&&&%%%$$$%%%&&&
Suasana dingin ditaman kota menyeruak hebat
menghempas tubuhku, melumerkan saraf dan sum-sum tulangku dalam sekali hentak
saat sisa hujan masih meretas. Aroma tanah kering masih membaui taman sehabis
terguyur hujan dalam sekala sedang, air menggenang memenuhi lubang-lubang dalam
tanah bergelombang. Menyisakan ribuan embun yang menggantung di bawah dahan
untuk pagi yang tak kunjung datang.
Sunyi lengang. Bahkak jangkrikpun tak sudi untuk sekedar
berdendang.
Dibawah cahaya temaram lampu taman aku mempercepat
langkah, aku merasa jika sedari tadi gerak-gerikku telah diawasi oleh
seseorang. Berulang kali aku meratapkan nasip sambil berdoa, sekedar meminta
tuhan untuk melancarkan jalanku pulang.
Darahku berdesir hebat saat kudengar jejak langkah
berat membututiku. Bulu kudukku meremang dan tubuhku menggigil kencang, aku
benar-benar berada dalam tahap ketakutan yang sanggat mengguncang.
Sebuah bayangan kelam menunjukkan wujudnya, dalam
balutan baju hitam sosok itu menarik tubuhku hingga terjungkal. Aku berteriak
ketakutan, tapi tak ada yang mendengar. Air mata mulai meretas bagai gerimis,
menghujani sudut-sudut kelopak mataku. Punggung tangannya melesat, membabat
pipiku dalam luka gampar. Membuyarkan setengah kesadaran, aku tak ingin
pingsan. Sekuat mungkin aku menopang tubuhku untuk sebuah kesadaran.
Sosok itu menarik keras pundakku hingga posisi
kami berhadapan. Sekuat tenaga kupaksakan diri untuk menarik tudung kepala yang
dipakainya, tapi ia bereaksi cepat. Ia lalu menumbuk perutku dengan dengkulnya,
isi perutku seketika melilit menjadi satu, sensasi mual mendatangiku cepat. Aku
tersungkur di depannya dalam posisi berlutut memeganggi perut. Aku benar-benar
tak habis fikir dengan sosok yang menghajar wanita di malam buta. Siapakah dia?
Apakah aku akan diperkosa? Aku panik, ku siapkan sisa tenaga untuk mengambil
langkah terakhir. Tapi sebuah pisau menggores lenganku sebelum aku sempat
melarikan diri.
Sosok itu membuka jaket dan tudung wajahnya, Onche?
Aku terperangah sampai-sampai merasa kebas untuk beberapa saat. Sayatan di
lengan membuat kesadaranku bertahan. Bercak darah di lapisan stainlees pisau ia
jilati seperti kucing, dengan mata membelalak, Onche melemparkan senyum lebar.
Senyum tak wajar, senyum orang gila, senyum psikopat!.
Aku tak bisa mengontrol diriku untuk tidak
berteriak, aku tak mau mati di tangan sahabatku sendiri. Onche mendekapku dalam
pelukan, tapi aku terus meronta, ku lakukan semua gerakan perlindungan yang aku
bisa. Aku menyepak, aku menggeliat, aku menggigit, aku mencakar hingga akhirnya
Onche melepaskanku dengan sebuah tinju dipelipis kepalaku. Aku tersungkur
mengendus beceknya tanah sehabis hujan, saat onche menindih perutku. Aku
meronta saat melihat sebilah pedang yang keluar dari sisipan celana bagian
belakang. Aku menangis, memohon dan meminta tolong dalam sumpah serapah dan
berbagai umpatan kasar. Tapi Onche tak tergerak sedikitpun dengan
penderitaanku, ia malahan terlihat semakin beringas. Satu tamparan kembali
terlempar, menghantam pelipis kanan, mengantarkanku ke alam tidak sadaran.
Sebilah pedang itu mengoyak daging dadaku,
membukanya secara paksa, mematahkan tulang iga, dan keluar setelah menggengam
sebuah jantung yang telah berhenti berdetak. Dalam balutan darah segar, onche
mengeluarkan jantungku, membauinya dan mengecupnya perlahan. Lalu ia lenyap
diantara kabut malam, menyisakan jasad rusak dan roh penasaran.
&&&%%%$$$%%%&&&
Dengan cucuran keringat yang tak berhenti meretas,
aku menghela nafas dalam cemas. Aku benar-benar tak mengerti, bagaimana bisa
aku memimpikan hal yang sama sekali tak mungkin terjadi? Onche sudah tiada, aku
tak ingin mengusiknya. Apa mungkin jika aku terlalu merindukannya sehingga
menjadikannya pemain opera mimpiku? Atau hanya sekedar efek dari trauma dari Via
hingga masuk ke dalam dunia mimpiku? Aku tak mengerti, benar-benar tak bisa
memahami.
Satu-satunya manusia yang ingin aku lupakan justru
hadir dalam dunia mimpiku.
Kenangan masalaluku mendadar satu persatu. Luka
lama menyayat kulit hatiku secara perlahan. Penyesalan masalalu membuat isi
perutku terpilin. Aku ingin muntah melihat diriku sendiri di masalalu.
Kau
tau jika aku sudah terjerembab dalam jurang itu bukan?
Dasar
jurang ini terlampau beku untuk sekedar dihangatkan
Melumat
kewarasanku dalam remah hati
Sungguh
mengerikan, malaikat maut pemilik alam kubur pun tak mau tau tau rasa sakit
yang masih menggantung di sela serpihan diri
Dadaku sesak karena rasa takut yang terus
mendesak. Aku ketakutan untuk apa yang tak mungkin terjadi hingga sejumput
siang melenyapkan pagi aku masih tak bisa terlelap kembali.
Berulang kuberikan sugesti terhadap diri, jika itu
hanya mimpi. Tapi, tak ada yang bisa mengusir rasa takut yang terus menggerusku
dalam kepungan imajinasi yang mulai tak bisa aku bedakan.
Hari berjalan cepat saat kuputuskan untuk pergi
menghibur diri. Tapi aku salah mengambil keputusan. Berbagai kenangan yang
kubuntal rapat dan kulenyapkan justru malah menjadi hantu masalalu yang terus
membayangiku. Aku pergi ke taman kota, ke bioskop favorit kami, toko buku di
dalam pusat perbelanjaan dan alun-alun dimana kita sering menjemput malam. Hampir
semua tempat kesukaanku adalah tempat bermain manusia itu.
Aku merasa ada yang salah dengan diriku hari itu.
Aku mengenang seorang yang aku sakralkan bagai seorang pahlawan, tapi mengambil
hal yang paling berharga dari diriku seperti pencuri di tengah malam . Aku
melihat wajahnya dibanyak wajah. Aku melihat senyumnya bertebaran di banyak
tempat seperti selebaran. Aku merasakan angin membisikkan bagian dirinya dan
gesek dedaunan mengumandangkan namanya. Aku melihat onche dimana-mana.
Ini benar-benar tak wajar.
Aku terbangun di ujung malam usai kedua kalinya
dalam minggu itu aku memimpikannya. Dalam satu bulan aku memimpikanya kurang
dari enam kali. Kesetabilan hidupku mulai terguncang, aku merasa jika onche
ingin mengatakan sesuatu denganku. Rentetan mimpi itu membuatku merasa buruk.
Aku merasa jika ada perasaan lain menyelimuti
jasadku. Perasaan lain yang terbawa dari alam mimpi burukku, perasaan yang
menunggu untuk meledakanku, perasaan yang belum mempunyai nama, tapi ada untuk
sekedar membayangi kehidupanku. Perasaan yang hidup untuk kehancuranku.
Mimpi itu mengingatkanku akan luka yang tak pernah
sembuh, trauma masalalu yang terus mengangga dan rasa sakit yang tak hentinya
mengguliti. Aku teringat Onche, hembusan nafas yang terus tersengal, kejadian
itu, aliran darah yang tak bisa berhenti
dan air mata yang meretas menjadi deras. Aku menangisi kejadian yang
sama untuk kesekian kalinya. Aku menangisi diriku sendiri, menangisi masalalu,
menangisi ketidakberdayaanku.
Kenangan itu terus membayang dan air mataku masih
tetap menggenang. Fakta bicara dan sejarah mencacat penyesalanku.
&&&%%%$$$%%%&&&
Ada dua kebahagiaan besar yang aku rayakan sore
itu. Yang pertama karena kelolosanku masuk universitas yang aku dambakan, yang
kedua karena hatiku telah dipilih. Hatiku telah dipilih Onche untuk bersanding
dengan hatinya sebagai sebuah pasangan dengan cara yang sama sekali tak pernah
kuduga. Bahkan aku tak pernah menduga jika sahabatku itu memendam perasaan
untukku.
Awalnya kita berdua hanya jalan-jalan kepuncak
untuk sekedar merayakan keberhasilan kami berempat untuk masuk universitas,
tapi ternyata ada rencana khusus yang telah disiapkan untukku. Selalu Via, selalu
saja gadis metopolitan itu, sampai sekarang aku masih menduga jika itu semua
rencana Via. Aku hanya tak percaya jika itu rencana Onche seorang. Bukan berniat
meremehkan tapi jika dilihat dari sifat dan penampilan Onche yang setara
denganku, dia tak mungkin berfikir sampai di jalan itu.
Hari itu kami berencana untuk menginap semalam di
rumah saudara Via, yang bertempat di badan merapi yang mempesona. Hawa dingin
melarut cepat diantara sum-sum tulang, memberikan efek kebas dan kaku seketika dibadan.
Tapi tak ada yang lebih layak di dalam perayaan tanpa acara makan-makan,
dihalaman samping rumah saudara via kami sulap menjadi arena perkemahan. Di
depan gazebo yang menghadap lukisan tuhan tentang jagad raya yang membentang,
kami membakar jagung, ikan dan sosis yang kami beli dalam perjalanan.
Dibantu sepasang suami istri dan dua keponakan Via,
malam itu cukup semarak dengan cahaya bulan yang terang, bintang benderang dan
lampu kota yang seakan menjadikan itu semua terlukis dalam satu bidang. Rumah
yang kami singgahi berada di ujung bukit, sehingga memudahkan kami untuk
memperkosa pemandangan alam secara serakah.
Acara belum berakhir, tapi Onche memaksaku untuk
mengikutinya ke suatu tempat. Dia mengajakku menuruni lereng dibelakang rumah
saudara Via, walau dengan perasaan gentar karena rasa takut berlebih tapi Onche
berhasil meyakinkanku untuk tetap berada di dekatnya.
Di tengah hamparan bintang, bulan dan lampu kota
yang benderang Onche mengungkapkan perasaanya kepadaku, awalnya aku kira itu
hanya sebuah lelucon belaka. Tapi, ketika melihat sorot matanya aku baru yakin
jika dia sungguh-sungguh akan hal itu. Aku terperangah karena ketidaksiapan,
aku mati gaya didepannya.
Awalnya dia berbelit dengan beragam aksara yang
menjerat bibirnya, tapi usai memberi jeda dirinya untuk tenang. Dengan lancar Onche
menletupkan sisi lain dirinya yang tak pernah aku ketahui, dia berbicara begitu
lantang, gila, konyol dan indah secara bersamaan. Dia menceritakan semua bagian
hidupnya saat tergila-gila dan hancur karenaku. Onche menceritakan betapa
butanya aku karena sama sekali tak bisa menyadari hal itu. Dengan sebuah
kecupan dikening ia melunasi hutang perasaan yang selama ini membayangi
hidupnya.
Ia merebahkan diri disampingku ditengah bayangan
ilalang yang menjulang. Disaat aku masih membeku karena badai yang menghempas
tanpa himbauan untuk was-was, Onche tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi
konyolku yang masih belum sadarkan diri untuk kembali kedunia realitas.
Aku tak mempedulikanya, aku hanya mempedulikan perasaan
aneh yang tiba-tiba menyerbu dan merontokkan dadaku. Aku tak pernah merasa
sebahagia itu, aku merasa jika dunia memang terlahir untuk memberikan ruang
untukku. Aku baru menyadari jika diriku
membutuhkan kehadiran Onche lebih dari apapun, hanya saja aku terlambat untuk
menyadarinya.
Kurunut ulang semua memori di arsip otakku.
Kuputar lagi detik-detik keberadaan onche di dalam hidupku, dan semua itu memang
benar, aku juga mencintai Onche. Aku hanya membuat ilusi palsu tentang cinta
pertama yang kukarang, hanya untuk mendapatkan sambutan dan akhirnya
dipermalukan di kantin sekolah. Aku menyadari jika saat itu aku hanya terobsesi
dengan Vino yang jelas-jelas kubuntal sosoknya dengan aliran imajinasiku
tentang cinta dan romantisme yang terus meretas, tapi itu semua hanya imajinasi
belaka, hanya ilusiku saja.
Angin malam tak henti-hentinya menghempas, tapi
senyuman di wajahku tak pernah melemas. Cinta didadaku terus meretas.
Perasaan
tak berwujud itu datang mengetuk pintu hatiku
Beramah-tamah
dengan batinku
Merekontruksi
ulang jiwaku
Dan
memenuhi sanubariku dengan serial terbaru
Melumatku
dalam kebahagiaan haru biru
Bocah
kecil di dalam diriku keluar dari sangkarnya
Menantang
dunia dengan sang belahan jiwa
Kami memutuskan begadang untuk menutup malam perayaan
itu, hingga jam tiga pagi kami bertekuk lutut akibat akumulasi rasa lelah dan
ngantuk yang bertumpuk. Sekitar jam tiga sore kami memutuskan untuk pulang,
tapi karena hujan yang tiba-tiba mendera kami memutuskan untuk menunggu hujan
hingga reda dahulu. Hujan mereda, menyisakan gemiris usai adzan isya menggema.
Onche memboncengku dengan motor maticnya, kami
sempat berdebat sesaat karena bisikan setan lewat. Tapi itu semua berlalu
cepat, di tengah jalanan yang menurun dan gelap. Onche terus bercerita tentang
kanakalan di masa kecilnya untuk sekedar membunuh perasaan sepi ditengah
perjalanan pulang. Sebagian jalan yang kami lewati masih berupa hutan atau
lahan garapan dengan penerangan yang sanggat buruk, bahkan tanpa penerangan
sama sekali. Jarak antara kendaraan Via dan motor yang kami kendarai terpaut
jarak yang cukup panjang, karena jiwa pembalap onche yang tak bisa ditentang.
“ Che awas! “ teriakku kencang sambil mencengkeram
baru Onche. Spontan Onche membanting kemudi ke kiri hingga ban belakang membentur
palang jembatan. Aku panik sehingga peganganku terlepas, tubuhku mencelat melompati
pagar jembatan membentur dahan, masuk ke dalam semak-semak di samping jembatan.
Sesaat aku tak sadar, tapi luka-luka sayatan yang hinggap di kulitku tak
mengizinkanku untuk tidak mencicipi rasa pedihnya. Aku terperangkap dalam semak
berduri, tak bisa bergerak dengan pusing bukan kepalang. Perih merambat pelan
di belakang kepalaku, berdenyut-denyut pelan dalam bentuk benjolan besar.
Andai
aku memiliki kekuatan untuk mengoyak belenggu
Satu-satunya
belenggu yang ingin kudobrak adalah takdir
Suratan
tuhan sebelum meniupkan ruh, ingin aku teliti ulang
Tak
akan aku tanda tangani kontrak itu untuk hal ini, aku tak siap untuk menggalami
Onche kehilangan keseimbangan, dia panik melihat
tubuhku terlempar dari dudukan motornya hingga ia kehilangan konsentrasi. Motor
Onche oleng sehingga tak bisa dikendalikan arah stirnya, melintang ditengah
jalan ketika sebuah truk muncul dari ujung belokan yang mengarah langsung di
jembatan. Tabrakan itu terjadi begitu cepat, aku tak terlalu melihatnya karena
terhalang semak.
Nafasku tertahan, aku tau jika ini bukan hal
ringan. Suara benturan motor Onche dan truck itu terus menggema ditelingaku. Menetap
difikiranku, bercampur dengan teriakanku dan suara klakson truck. Pandanganku
mulai kabur tapi aku masih ingat saat Onche terlempar lebih dari lima meter
bersama motor kesayangannya. Meluncur di ata aspal dengan motor matic diatas
tubuhnya. Truk itu terus melaju, mereka memilih untuk melarikan diri daripada
berurusan dengan polisi.
Baru sekitar lima menit kemudian Via datang. Pacar
Via berlari menghampiri Onche yang masih tertindih motor kesayangannya, menggangkat
sepeda motor itu dari atas tubuh Onche, lalu memindahkan tubuh Onche keseberang
jalan. Separuh wajah Onche terparut aspal, bajiran darah mengalir deras di
setengah tubuhnya. Melukis bercak darah di kaos oblong putih polosnya.
Tapi Onche masih bertahan dengan sisa
kesadarannya, dia memberitahu Via keberadaanku. Onche menujukkan keberadaanku
dalam keadaan setengah sekarat. Via berteriak-teriak mencariku dengan deraian
air mata, memencet-mencet tombol di handphonenya, berteriak-teriak meminta
rumah sakit untuk mengirimkan ambulans. Aku pingsan setelah melihat Onche
dipindahkan pacar Via diseberang jalan.
Via berteriak-teriak mencariku, handphonenya
terjatuh karena kepanikan yang tak bisa ia kendalikan. Onche menunjuk-nunjuk
semak di belakang jembatan, pacar Via dengan sigap mencari tubuhku disana, lalu
mengangkatku ke badan jalan. Membaringkanku di samping Onche dengan nafas
tersengal. Via lunglai melihat keadaanku, tubuhku penuh luka sayatan semak
berduri ditambah dengan darah yang mengucur pelan menelusuri rambutku. Via menelfon
saudaranya karena ambulan tak bisa datang, dengan sebuah mobil bak terbuka
mereka membawa kami berdua ke puskesmas terdekat.
Onche meraba-raba tangan Via, meminta untuk
digenggamkan ketanganku, Via menurut dan melakukannya. Dalam sesegukan Via mendekatkan
telinganya ke mulut Onche yang terus bergerak berulang-ulang, melafalkan apa
yang tak bisa kata yang tak bisa di dengar. Via kebinggungan, kulit Onche
memucat ditengah baluran darah kering disetengah wajahnya. Dipeluk tubuh Onche
kuat-kuat. Muncul suara aneh mengerikan dari tenggorokan Onche, dada dan perut
Onche tak lagi bergerak. Onche berhenti bernafas. Via menatap Onche mata dalam-dalam
lalu menangis dengan hebatnya karena hanya kekosongan dengan selaput tabur yang
tak bisa tertembus yang tergambar jelas.
“ Dia telah pergi, Onche sudah pergi “ ucap Via
ditengah tangisnya, ia menutup kelopak mata Onche dengan tangkupan tangannya.
Tuhan tak berbelas asih untuk kami, dia
mengirimkan malaikatnya di tengah perjalanan ke pukesmas. Dia mencabut nyawa Onche
tanpa sepengetahuanku, meninggalkan penyesalan yang tak akan pernah padam
digerus zaman. Tuhan menyiksaku lewat kejadian ini, hingga membuatku trauma.
&&&%%%$$$%%%&&&
Ada
saat aku berusaha melumat nyawaku dan menarik pelatuk untuk jiwaku sendiri
Merendahkan
agama, meludahi kitap dan mengencingi runutan takdir
Semesta
mempermainkanku,
Dzat
pemilik hidup bermain dadu dengan runutan masa depanku
Aku kalah, aku dipecundangi takdirku sendiri
Belas
kasihan tuhan itu hanya tai, aku menyesali apa yang sudah seharusnya terjadi
Aku
muak untuk diuji, matilah engkau pemberi hidup ini
&&&%%%$$$%%%&&&
Rasa pening di kepalaku masih tak mau beranjak
hingga siang membentang. Hari itu aku bolos kuliah, mimpi itu memberikan beban
mendalam untukku, membuat tubuhku ambruk. Berulang ingatan tentang masalaluku
dan Onche mencuat bergantian dalam berbagai format. Dadaku sesak oleh kenangan,
bon restoran, tiket bioskop bahkan cacatan yang sengaja Onche torehkan dibuku
untuk mengejekku masih aku simpan rapi sebagai dokumentasi. Semua barang kenanganku
yang berhubungan dengan Onche masih ku simpan, semua kuteliti kembali,
meninggalkan desiran perasaan perih. Perasaan yang membuatku tetap waras untuk
perasaan yang dulunya pernah berjaya. Kuputusan untuk terlelap sesaat.
Cahaya jingga matahari sore menerobos jendela
kamarku, mencetak bayangan origami burung bangau di antara wallpaper yang
mengelupas. Salah satu kebiasaanku adalah membuat origami bangau dan
menjadikanya aksesori gua persembunyianku. Selain digantung sebagai tirai-tirai
pembatas atau dijadikan penghuni toples kaca berbentuk tabung, aku juga kerap
kali menempelkan puluhan origami bangau itu sebagai penunggu ranting pohon yang
melintang di depan jendela kamarku, dengan lem kertas kuposisikan mereka dalam
opera sabun di depan jendela kamarku. Ada perasaan gembira saat membuka tirai
jendela dan melihat gerombolan bangau kertas itu bertengger, menyapaku dengan
aneka warna dan seakan mempersembahkan pertunjukan untukku setiap harinya. Tapi itu tak berarti untuk dua hari ini.
Aku terbangun dengan cucuran keringat dan jantung
yang berdetak kencang. Kulirik jam dinding berbentuk kepala kucing di ujung
kamarku, jarum panjang menunjuk angka 4 dan jarum kecil menunjukan angka 5. Aku
tidur tak sampai satu jam, tapi serasa sudah terlelap hampir satu bulan.
Kepalaku tetap saja pening, kutarik ujung bantal kedalam pelukanku. Aku
meringkuk seperti trenggiling, dengan posisi lutut menyentuh dada diatas
ranjang besiku.
Ada lubang yang menghantam dadaku, seperti sesuatu
yang mendorongku jatuh dan menghempaskanya kejurang kecewa. Aku mencari sesuatu
yang tak aku tau, aku dibelenggu perasaan tertinggal dan dipecundangi.
&&&%%%$$$%%%&&&
Penyesalan
itu masih menggantung di rahang jiwaku
Mengelupas
dan menyublim diantara jahitan luka bagai hantu kelabu
Menggangu
kewarasanku, mengutuk keterbatasanku
Dia
yang telah pergi membingkai makam dan nisan sebagai sisa kenangan
Kapan
penyesalan ini akan pergi?
Menguap
hingga akhirnya lenyap tanpa bekas
Wahai
tuhan, aku tau jika kita tak saling bicara,
tapi
kita tau jika kita sama-sama ADA
Harus
dengan prosesi apa aku menebus penyesalan ini
Izinkan
aku mengumpat kontrak takdirmu
Kau
membingungkanku, penyesalan ini merobohkan pondasi jiwaku
&&&%%%$$$%%%&&&
Petir menyambar, dan langit kelabu meluas dari
arah utara. Bagaimana bisa akan terjadi hujan jika sinar matahari masih
bersinar terang? Rasa penasaran memaksaku untuk melihat keluar. Mengelupas
tubuhku untuk mencari sekedar jawaban dari pertanyaan yang tak ada. Kupaksakan
tubuh lunglaiku untuk berlari keluar, ototku menegang karena kajutan. Tanpa
adanya energi yang ku masukkan ke dalam tubuhku sedari tadi pagi, aku ambruk
didepan pintu kamar. Kepalaku terantuk pinggiran rak buku di samping pintu
kamarku, simbah menghampiriku dalam langkah renyahnya.
Sore itu Candra sedang mengunjungi rumahku, ia
sedang menemani simbah menonton teve, menunggu kue yang baru saja mereka buat
matang. Simbah memanggil-manggil namaku, saat Candra mengangkat tubuhku dan
merebahkannya kembali diatas ranjang reyotku. Kondisi ini mengingatkanku
tentang Onche dan kejadian itu yang terus beropera didalam fikiranku. Candra
menelfon Via agar segera datang kerumahku karena dalam pingsanku aku hanya
melafalkan nama seseorang yang tak dikenalnya secara berulang. Via langsung
mendatangi rumahku saat Candra menyebutkan nama Onche di dalam percakapannya.
Via menceritakan semua kejadian, Candra hanya bisa
membelalak dengan mulut membuka lebar. Saking terkejutnya ia sampai lupa
menutup mulutnya hingga kram. Jelas Candra tak akan meyangka jika hidupku dulu
serumit itu, atau lebih tepatnya sekonyol dan semiris itu.
“ Gw beneran ngak nyangka vi, kalo miss apem itu
nyimpen masalalu seserem itu, jadi merinding gw. Jadi salut gw gara-gara sifat
konyolnya dia masih bisa bertahan sampe kaya gini “
“ Ya mau gimana lagi ya can? Emang takdinya mochi
gitu kali. Sekalinya jatuh cinta langsung pahit, bertepuk sebelah tangan,
dipermaluin di kantin sekolah lagi. Dua kalinya jatuh cinta, tambah pahit lagi
kaya dicekokin brotowali sewaterboom “
“ Apa gara-gara dia kangen sama Onche kali ya dia
jadi kaya gini? Setahu gw kan tu spesies tipe yang suka mendem perasaan “
“ Ya, mungkin aja can, Mochi lagi kangen sama
onche, dulu hampir tiga bulan tanpa alpa, mochi kekuburan Onche terus tiap
pulang ngampus “
“ Tapi kok gw ngak pernah liat dia punya kegiatan
lain selain ngampus, tidur dama nulisin mimpi-mimpinya? “
“ Dia mutusin buat ngak mau kebayang-bayang terus
sama masalalu, termasuk sama Onche, jadi dia mutusin buat ngak tiap hari
kekuburan Onche lagi, ya walau kadang-kadang dia masih nyempetin juga sih “
Sesekali Via mengecek keadaan Mochi yang terlelap
dengan tubuh pucat. Kulitnya sedingin balok es dan mulutnya secara berulang
mengucapkan satu nama. Seperti terkenan dejavu, Via merasa ada yang menyentak
dadanya. Apa yang terjadi dengan Mochi sekarang sanggat mirip dengan kenangan
terahirnya dengan Onche.
&&&%%%$$$%%%&&&
Seperti televisi bobrok pandanganku terdistorsi.
Muncul garis-garis hitam bergelombang yang terus bergoyang-goyang. Aku merasa
menapak di dimensi waktu dan ruang yang tak ku kenal. Semuanya terasa molor,
melambat dan memanjang melenyapkan waktu dan ruang.
Aku bangkit dengan rasa pening yang tak hentinya
menyelekit. Buku diary pemberian Via yang sudah kubakar tiba-tiba tergeletak
tanpa cacat di atas meja belajarku. Bagaimana bisa buku itu kembali? Tanyaku
sembari mengulurkan tangan menyentuh diary itu. Kobaran api tiba-tiba tersulut,
satu detik usai kusentuh buku diary itu.
Kobaran api itu membesar, membakar koleksi komik
jepang di atas meja belajarku. Melumat gorden yang melambai ringan, lalu
merambat menghanguskan origami bangau yang berjejer tak beraturan. Kobaran api
itu semakin meluas, hingga akhirnya membakar rak bukuku hingga jatuh menimpa
ranjang reyotku dengan hujan buku-buku yang berkobar.
Kobaran api itu meluas cepat. Menghempas gua
beruangku yang penuh dengan beragam kertas. Aku terjebak di dalam kamarku yang
terbakar. Kedua kakiku melumpuh saat aku akan melompati jendela kamarku untuk
menyelamatkan diri. Kedua kakiku merapat hingga kulitku melekat kuat. Muncul
ribuan sisik dari dalam pori-pori kulitku beserta lendir bening. Kurasakan
perubahan drastis tubuhku, aku telanjang dan rambutku memanjang. Sisik
kehijauan merambat perlahan hingga menutup setengah payudaraku. Rambut pirangku
menjuntai menutupi sebagian besar dadaku. Aku mengelepar, persis seperti ikan yang
mengais-ngais air saat terlempar dari kolam.
Aku meronta meminta pertolongan, menangis dengan
air mata yang berubah menjadi butir berlian. Sekelebat bayangan menangkapku,
mendekapku dalam pelukan dan melesat. Tepat sebelum atap di kamarku itu rubuh
dalam kobaran.
Dalam kecepatan tak masuk akal, aku melirik
bayangan yang telah menyelamatkanku dari kebakaran. Seketika aku melonjak saat
melihat sesosok yang menenteng tubuhku sebegitu mudahnya. Sekelebat bayangan
itu vampir...
Dengan taring yang siap mengoyak leherku, kuku
jari yang membentuk cakar dan keberingasan yang mengerikan. Aku bergidik
ketakutan. Ini bukan pertolongan, ini sama saja keluar mulut singa kejebur di
lidah anaconda. Tak sampai lima menit kemudian usai menembus hutan. Sesosok
berjubah hitam itu melemparkan tubuhku dari atas jurang, menghempas danau di
bawah air terjun.
“ Dia ada disana! “ teriak seorang lelaki beringas
dengan sebilah samurai ditangannya. Dengan sekali kibasan samurai itu hampir
membabat kepalaku. Kukibaskan ekor dan siripku bersamaan, menyelam ke dalam
badan sungai yang menghitam.
Tapi, rencana itu gagal seketika. Kurunut ulang
niatan untuk bersembunyi di dalam danau saat mendengar tangis suara bayi. Dalam
gerakan pelan aku bersembunyi debelakang bebatuan melihat situasi sekitar.
Kosong. Tak ada apa-apa di sekitar danau itu, tak ada manusia beringas itu
lagi. Tangis suara bayi itu masih menggema saat ku pastikan ulang jika tak ada
manusia di sekitar danau itu. Hampir dua kali sudah aku berenang mengitari
danau itu, tapi tak menemukan tanda keberadaan dari pemilik tangis itu.
“ Hey ikan bodoh! “ kuikuti asal suara itu.
Ternyata berasal dari ujung air terjun. Lelaki beringas itu melambaikan samurai
dengan tangan kanannya dan menenteng tangan mungil seorang bayi di tangan kirinya.
Entah kenapa adrenalinku terpacu melihat hal itu, bayi itu meronta-ronta dalam
tangisan.
Tapi sesuatu yang tak terduga terjadi. Sebilah
parang menembus kepala lelaki beringas hingga menyembul keluar lewat mulutnya.
Bayi itu meluncur bebas, menuruni aliran air terjun.
Sekilas kuperhatikan sesosok hitam yang telah
membunuh lelaki beringas itu. Onche, lelaki yang telah menusukkan parang hingga
menembus kepala si lelaki beringas itu ternyata onche. Ditengah cahaya bulan
yang temaram, onche melambaikan tangan usai mencabut sebilah parang dari kepala
lelaki beringas itu.
Aku berenang cepat menuju tempat pendaratan bayi
malang itu, tapi aku salah. Bayi itu terenggut sekelebat bayangan yang
menghambur bebas diantara bayang-bayang jamur raksasa yang tumbuh liar di
sekitar tebing. Perasaanku mendadak pahit, mata onche membelalak. Ia melompat
dari bibir air terjun, menghempas sekelebat bayangan itu dan menceburkan diri
dalam kegelapan. Aku mendelik tajam, seperti ada duri yang tumbuh di
tenggorokanku.
Aku menghambur kedalam pertarungan onche dan
bayangan itu. Yang kufikirkan hanya keselamatan bayi mungil itu saja. Gelembung-gelembung
udara menyembul berulang beserta noda darah. Di dalam danau yang pekat bayi itu
mengambang dengan leher mengganga.
Amarahku meledak, ini semua ulah si vampir.
Kurenggut jasad bayi itu, lalu kuletakkan di atas batu di sisi sungai. Kuselimuti
jasad bayi itu dengan anyaman ganggang hidup di dasar danau.
Bayangan dua sosok menghambur keluar dari
kepekatan air danau. Meloncat keluar dengan kucuran air dari sekujur badan.
Hampir menyerupai ninja, bayangan onche dan si vampir berkelebat saling
membabat. Berulang noda darah muncrat dari segala arah. Aku terdiam waspada
melihat kedua lekaki itu bertarung dari bawah lapisan air danau yang bergelombang.
Hingga akhirnya sesosok bayangan berdiri gagah di atas tumpukan batu curam.
Bayangan itu tertawa dengan suara menggelegar.
Menenteng sebuah kepala yang masih tampak samar karena tertutup kegelapan. Aku
berenang mendekati bayangan itu dan perasaan kebas, nyilu dan kram menyerangku
mendadak. Si vampir menenteng kepala onche yang masih mengelontorkan kucuran
darah. Kubekap mulutku dengan kedua tanganku. Kukibaskan cepat sirip dan
ekorku. Aku berenang menjauhi sosok itu.
Tapi vampir itu terlalu cekatan. Kepala onche ia
lempar. Mengenai jasad bayi yang ku selimuti anyaman gangang hingga meluncur
jatuh tengelam ke dalam sungai. Gerakan sirip dan ekor aku percepat. Vampir itu
mencakarku dengan kuku jarinya yang tajam. Menyambar setengah wajahku. Vampir
itu menciduk perutku dengan tendangan. Tubuhku terpental keluar danau. Terbang
melayang dan mendarat di atas bebatuan terjal.
Kepalaku menghantam sebuah batu cadas. Perih
menjalar rata kesekujur tubuhku. Beberapa siripku patah dan siripku sobek.
Mungkin tulangku patah, jadi kupastikan untuk menyeret tubuhku dan berniat
menjatuhkannya ke danau. Baru setengah tubuhku terjebur ke danau. Vampir itu
menarik ekorku dan mengunyah siripnya. Meludahkan lendir bening yang selalu
setia menempel di sisik bagian luar. Kukibaskan kuat-kuat ekorku hingga
menamparnya agar bisa lolos dari vampir gila itu. Tapi kuku-kuku vampir itu
mencengkram tubuhku terlalu dalam hingga mengalirkan darahku bewarna kehijauan.
Sorot mata vampir itu berubah drastis ketika
melihat darah mengalir diantara sisikku. Wajahnya mendadak beringas menakutkan.
Dengan satu tangan vampir itu membantingku hingga setengah kesadaranku musnah.
Ia memamerkan kedua taring diantara giginya dan mengeram keras. Ia meringkus
tubuhku dalam satu rengkuhan dan menancapkan taringnya dileher bagian kiriku.
Seketika fikiranku melayang tersedot labirin hitam yang tiba-tiba melumatku
dalam ketidaksadaran.
Aku dimuntahkan di dalam sebuah tempat yang sama
sekali tak wajar bagiku. Pohon-pohon tumbuh terbalik, ukuran tubuh hewan semua
berkebalikan. Gajah berukuran mungil mengelus-ngelus kakiku dengan belalai
abunya. Hadir dengan guncangan seekor kucing raksasa berlari kencang dikerjar
tiga anjing berukuran dua kali lebih besar. Aku termenung di samping air terjun
coklat panas, memikirkan keanehan tempatku berada. Dua buah cerry seukuran sapi
mengalir tenang diatas aliran coklat. Kurenggur rumput di samping tanganku,
ternyata segenggam rumput ditanganku itu adalah permen.
Kujejalkan ke dalam perutku bermacam batu di
sekitar air terjun. Batu yang aku makan bertekstur keras di luar tapi lembut di
dalam bagian dalam mirip seperti telur. Cangkang batu itu renyah seperti
krupuk, di bagian dalamnya terdapat berbagai macam kejutan. Dari tiga batu yang
aku makan yang pertama berisi keju dengan bau menyengat tetapi sanggat enak
saat bercinta dengan lidahku. Batu yang kedua berisi selai kacang dengan
taburan kacang-kacangan super renyah dan yang ketiga adalah rasa semriwing khas
daun mint.
Aku memiliki dua sayap transparan berwarna
menakjubkan. Setiap aku mengepakkan kedua sayapku muncul serpihan
bintang-bintang kecil yang bertebaran indah. Dengan gaun dari jalinan akar
tumbuhan dan kelopak bunga raksasa aku melangkah dengan anggun.
Kuputuskan untuk menyusuri tempat aneh itu, tapi
kesalahan fatal terjadi. Kakiku tergelincir lumut berwarna merah jambu, aku
tercebur ke dalam air terjun dan tenggelam di dalamnya. Aku berteriak minta
tolong, tubuhku melepuh ditengah aliran coklat panas, hingga akhirnya aku tak
sadarkan diri.
Pandanganku terdistorsi kembali, dengan tubuhku
yang biasa. Mendadak aku mual, isi perutku terpilin, ususku melilit. Melihat
pemandangan didepanku.
Simbah, Candra, Via, dan semua orang yang aku
kenal menumpuk dengan luka di leher mereka. Jasad mereka menggunung di depanku,
membaui udara dengan bau busuk menyengat. Isi perutku bergejolak, kubekap
mulutku dengan kedua tanganku. tubuhku limbung saat melihat tanganku penuh
dengan bercak darah. Ada yang masih mengalir dan ada yang sudah mengering.
Kuputar tubuhku kebelakang, menghadap cermin setinggi dua meter.
Pantulan bayangan di depan cermin itu menghantam
dadaku. Kulihat tubuhku bersimbah darah, bercak dan noda darah dimana-mana
dengan dua buah taring tersumpal di mulutku. Aku langsung pingsan usai melihat
tubuhku dalam wujud vampir.
Lubang hitam muncul dari kelopak mataku. Dari arah
cermin lubang hitam itu melumatku mentah-mentah. Gemericik hujan
membangunkanku, mengetuk ringan jendela kacaku dan mengantar nyawaku kembali ke
jasad bobrokku. Aku terbangun dengan tubuh transparan berwarna kelabu. Cahaya kuning
dari lampu di meja belajar menembus kulit tanganku. aku kelabakan, kucari
cermin di laci meja belajarku dan tak nampak wujudku sama sekali di kaca itu.
Kali ini aku berwujud hantu.
Tubuhku terasa sanggat ringan. Berjalan membuka
jendelapun serasa terbang. Kutarik tirai biru berpola luar angkasa, belasan
origami burung bangau menyambutku. Kulepas pengait jendela dan tiba-tiba aku
tersedot keluar.
Aku terlempar di pinggir jalan, tepat di samping
jembatan. Ditempat itu aku melihat matahari terbenam, menyebarkan warna merah
merekah ditengah cakrawala. Mengaduk langit biru, dan warna hijau anakan bukit
menjadi kekuningan. Garis-garis cahaya matahari masih terlihat jelas dari
jembatan itu sejenak aku terpaut dalam pesonanya. Aku masih duduk-duduk manis
dipinggir jembatan ketika waktu mengelincir seperti bongkahan es ditangan.
Cepat, dingin dan tak bisa dikendalikan.
Suasana hening pegunungan merambat cepat diantara
kikikan serangga. Sebuah motor matic meluncur cepat, dan kecelakaan itu terulang
cepat. Kali ini sosok hantuku hanya berperan menjadi penonton saja. Melihat
sosokku yang lain terpental dari boncengan Onche. Menghantam batang pohon,
menenbus tubuh transparanku dan terperosok ke dalam semak belukar. Hatiku
berdesir melihat Onche kehilangan kendali, truck yang menghempas tubuh dan
motor maticnya. Hingga tubuh Onche yang terlempar dan mendarat dengan wajah
bagian kanan memarut aspal.
Berulang aku berusaha menyelamatkan Onche, tapi
semuanya sia-sia. Tubuh transparanku tak bisa menyentuh apapun, aku berusaha
mengangkat motor matic yang menindihnya tapi tak ada reaksi apapun yang
terjadi. Entah mengapa aku merasa Onche diantara titik ketidaksadarannya
tersenyum melihatku. Hatiku bergetar, nuraniku tersentak, fakta berbicara dan
sejarah mencatat. Dengan sanggat jelas kulihat Onche tersenyum kepadaku.
“ Maafin aku ya chi “ kata Onche pelan. Walau tak
terlalu jelas, tapi telingaku menangkap apa yang ia katakan. Seketika air
mataku memberondong keluar, mengalir dari berbagai sudut mataku. Dalam keadaan
seperti itu ia masih menyempatkan tubuhnya untuk meminta maaf kepadaku. Ucapan
Onche menyentak rekontruksi batinku. Tapi bagaimana bisa dia berbicara denganku
yang notabennya sekarang menjadi hantu kelabu?. Sesaat ini cukup
membingungkanku.
Ku tatap wajah Onche sesaat. Sorot hangat dari dua
bola mata besarnya, setengah wajah yang terbalut darah segar, dan tangan yang
berusaha menggapai-gapai tubuh transparanku. Kurekam detik itu dan ku genggam
erat-erat. “ Kamu ngak salah che, seharusnya aku yang minta maaf sama kamu. Aku
ngak dateng pas acara pemakaman kamu, aku pingsan pas kamu sekarat, dan
bodohnya aku sadar pas kamu dah dua hari dimakamin. Maafin aku che, aku beneran
nyesel, semua itu bikin aku nyesel banget “
“ kamu ngak salah kok chi, memang dari sana
jalannya gini. Ngak ada yang perlu disesalin chi, aku dah tenang disini, aku
seneng kok dah bisa ngungkapin itu semua sama kamu. Jangan nyesal laagi chi,
sejak tuhan meniupkan ruh, kita dah tanda tangan kontrak jalan hidup sekalian.
Cuma kita dibikin lupas pas lahir didunia ini, makanya semua itu jadi misteri
hidup. Apa kamu masih mikir hidup kami sial kalo sebenere kamu dah dikontrak
gitu?, ngak kan chi? “
Aku masih terisak, darah membanjir dari luka
parutan wajahmu yang baru saja beradu dengan aspal jalanan.
“ Maafin semua ketidakberdayaanku ya che “
“ Untuk apa aku memaafkan peristiwa yang memang
sudah takdirnya? Ngak ada gunanya kamu minta maaf chi, memang takdirnya begini
kok “
“ Tapi aku nyesel banget che, aku kebayang-bayang
terus kejadian itu, aku ngrasa kalo aku kaya pembunuh! “
“ Kamu bukan pembunuh chi. Jangan pernah sesali
apa yang sudah terjadi chi, ngak ada yang perlu kamu sesali. Manusia itu diuji
sama tuhan di titik yang paling lemah dan sensitif. Titik kelemahan orang itu
beda-beda chi, pada titik itulah manusia diuji sama tuhan secara berulang.
Semakin kamu dihadapkan tuhan sama keadaan terburuk dan kamu mampu bertahan.
Maka kamu akan menjadi sosok yang lebih kuat. Tuhan nguji kamu supaya kamu jadi
manusia yang lebih kuat chi, kamu harus bisa terus bertahan chi. Jangan pernah
nyerah, buat aku “
“ Sampe sekarang aku ngak pernah berani kerumah
kamu che, aku pingin banget bicara hati ke hati sama ibu kamu, aku pengen minta
maaf juga “
“ ibuku dah maafin kamu kok chi, coba kamu kerumahku,
dia pasti nerima kamu apa adanya “ untuk kedua kalinya Onche tersenyum
kepadaku. Ia nampak kelelahan, wajahnya pucat dan memandang satu titik di atas.
Karena penasaran akupun mengurut pandangan Onche.
Terpampang jelas bulan dan ribuan bintang yang berkedip indah diantara
kegelapan malam. Lampu kota membentang dan membuat semua nampak seperti satu
bidang. Dalam air mata yang mendera, secerca kebahagiaan terumbar di hatiku.
Kembali terbesit diangan ketika onche
mengungkapkan perasaannya kepadaku. Ciuman hangat dikening, ilalang yang
membayang, dua hati yang menghangat, senyuman yang memberkas di wajahku.
Semuanya begitu ketara nampak didepan mataku. Jelas tanpa tedeng aling-aling.
Kali ini setengah penyesalan itu memudar.
Menyisakan permintaan hati hanya untuk dituruti.
Lorong hitam itu kembali menyedotku bagai debu.
Terangkat kilat, tak berbekas. Seseorang menggengam erat tangan kiriku di
samping ranjang, dengan tatapan cemas ia memberikan senyuman saat melihat
kesadaranku pulih.
&&&%%%$$$%%%&&&
Masih
kurasakan bagaimana perasaanku menggila, melebur, dan memancarkan kebahagiaan
tak terperi
Masih
ku ingat bagaimana dada ini bergetar nyeri karena sengatan kosmik di dalam hati
Berwujud
aurora, bergambar supernova, melingkariku bagai bimasakti berpola cinta
Rinduku
meretas bagai jentik-jentik air hujan
Mengendap
di bongkahan tanah dan membuncah dengan wujud gelombang yang teramat megah
Sudikah
kau mencicipi rasa cinta ini?
Masih
inginkah kau tau betapa hebatnya cintaku ini?
Gengam
jantungku dan hitung detaknya, sebanyak itu pula rasa cintaku ini menyublim
mengurai makna
Mengumbar
kata dan mengkristalkan satu nama
Dia...
tentang dia.
&&&%%%$$$%%%&&&
“ Chi? “ ucap Via pelan. Ia menggengam tanganku,
ada kehawatiran tersirat jelas di pelupuk matanya “ kamu ngak papa kan? “
Kuringkus semua kesadaranku, aku baru saja
bermimpi. Bermimpi tentang sebagian mimpiku yang bercampuk aduk menjadi satu.
Menguliti satu persatu ketakutan, imajinasi dan penyesalanku. Dan dia datang,
Onche datang ke alam mimpiku hanya untuk menasehatiku.
“ Aku ngak papa vi, Cuma pening dikit doang kok “
kurunut ulang semua mimpi yang baru saja aku alami. Kutatap Via sekali lagi,
hanya untuk memastikan jika aku sudah benar-benar menapak di alam realitas.
Cahaya matahari senja menerobos kamarku lewat bayang-bayang origami bangau. Aku
hanya pingsan sebentar saja, tapi tubuhku terasa sanggat lemas.
“ Tapi, lu tadi pingsan “
“ Cuma telat makan doang kok vi “
“ Simbah mana vi? “
“ Simbah lagi keluar chi. Tadi simbah hawatir
banget sama kamu chi, sekarang dia lagi ke apotik sama candra beliin obat yang
biasa kamu minum, mereka kira penyakit kamu kambuh “
“ Akhir-akhir ini lu keliatan aneh chi, lu ada
masalah? mungkin lu butuh tempat cerita? Kita tukeran tempat deh, sekarang gw
yang jadi tempat muntahnya “
Kupaksakan senyum menghias diwajah letihku,
memberi kepastian Via jika aku baik-baik saja “ Gw Cuma keinget onche aja vi,
mungkin gara-gara kangen berlebihan gw mimpiin dia “
“ Lu masih belum bisa lupain dia ya?, dah setahun
lebih lho chi, kapan-kapan gw anter lu ya ke makam dia? “
“ Iya vi, makasih “ kataku pelan. Kurubah
posisiku, tubuhku terlampau lemas untuk sekedar tiduran. Kuputuskan untuk duduk
menghadap via dengan dua bantal menyangga punggungku “ Vi, Onche tadi nemuin gw
di mimpi “
Mata via membelalak, baru dua detik kemudian ia
angkat bicara “ Lu ngak bercanda kan chi?, apa jangan-jangan luka dikepala lu
setahun yang lalu kambuh? Jangan aneh-aneh deh chi pake bawa-bawa nama Onche
lagi, ngeri tauk. Lagian Onche dah tenang chi disana, jangan diungkit-ungkit “
“ Gw beneran vi, suer ngak bohong “ kubentuk
jari-jari tanganku membentuk huruf “v” “ Kemaren gw juga pernah mimpiin Onche
vi, tapi konyol banget. Tapi buat yang ini gw berani sumpah demi tuhan vi, gw
ngak bohong “
“ Sejak kapan lu mau pake istilah tuhan lagi?
Bukane lu marah ma tuhan gara-gara kejadian setahun yang lalu ya? “
“ Dengerin gw dulu vi, gw... “ kuceritakan semua
mimpiku secara detail kepad Via, dari mulai diary yang terbakar hingga
kecelakaan di gunung. “ ... Manusia itu diuji sama tuhan di titik yang paling
lemah dan sensitif. Titik kelemahan orang itu beda-beda chi, pada titik itulah
manusia diuji sama tuhan secara berulang. Semakin kamu dihadapkan tuhan sama
keadaan terburuk dan kamu mampu bertahan. Maka kamu akan menjadi sosok yang
lebih kuat. Tuhan nguji kamu supaya kamu jadi manusia yang lebih kuat chi, kamu
harus bisa terus bertahan chi. Jangan pernah nyerah, buat aku... Onche bilang
gitu vi “
Hampir setengah menit via terdiam menatapku.
Matanya berkaca-kaca, hanya dengan sentuhan bulu angsa saja pasti danau di
pelupuk matanya itu akan pecah.
“ Sebenernya
gw masih ragu sama cerita lu chi, tapi kata-kata yang barusan lu bilang ma gw
itu nasehat Onche yang dari dulu dia bilang ma gw pas lagi sakit hati. Pertama
kali dia bilang gitu ma gw pas smp chi, sampe sebelum dia ngak ada dia masih
bilang itu ma gw. Ini gila chi, ngak rasional sama sekali, gw masih percaya
ngak percaya. Sahabat Onche Cuma kita berdua dari sd sampe mau kuliah, keluar
palingan ma kita juga, jadi ngak mungkin juga dia nasehatin semua orang gitu ya,
mungkin onche sedih liat lu gini chi, makane dia nemuin lu “
“ Gw ngak maksa lu buat percaya ma mimpi gw vi,
itu Cuma mimpi aja kok, bunga tidur vi. Onche juga nyuruh gw ngak boleh
nyeselin hidup lagi vi, dia kasih pesen ma gw buat main kerumahnya, nemuin
ibuknya “
“ Gw dari dulu juga pengen usul ma lu gitu chi,
tapi gw ngak sampe hati soalnya lu keliatan tertekan banget sama kejadian itu.
Lagi pula lu bilang ma gw kalo ngak mau kebayang-bayang terus sama kejadian itu,
yaudah deh, gw urungin aja niat itu chi “
“ Keluarga Onche masih tinggal di rumah yang dulu
vi? “
“ Iya chi, mereka masih tinggal dirumah yang dulu,
mau gw anter kesana? ”
“ Ngak usah, ntar minggu gw mau kesana sendirian “
&&&%%%$$$%%%&&&
Minggu pagi aku menyambangi rumah Onche dengan
angkutan kota. Rumah Onche terletak dipinggiran kota, jadi tidak terlalu sumpek
tapi juga tidak terlalu sepi. Sekilas rumah Onche nampak seperti kebun raya,
tanaman menggelantung disana-sini. Pot-pot bunga menghias setiap sudut rumah,
teras rumah hingga balkon. Ditambah dengan 5 buah pohon besar yang membuat
rumah Onche nampak sanggar.
Ku hembuskan nafas perlahan, sudah lama aku tak berkunjung
ke rumah itu. Pribadi Onche yang tidak terlalu bisa membuka diri dengan
pergaulan membuat rumah itu sepi dari persingahan teman. Sampai sekarang hanya
aku dan Via saja yang rutin mengunjungi rumah itu. Sekedar membajak koleksi
komik atau pas ibu Onche sedang membuat makanan.
Kupencet bel di samping gerbang. Nampak keterkejutan
di sorot mata ibu Onche tapi semua itu musnah tergilas kebahagiaan yang
tiba-tiba mendera.
“ Sudah lama tante nunggu kamu chi “ kata ibu
Onche usai memelukku.
Aku duduk di teras belakang rumah Onche, menghadap
taman kecil di samping kolam ikan. Pagi itu ayah dan saudara Onche yang lain
sedang pergi memancing. Jadi pembicaraanku dan ibunda Onche mengalir begitu
saja. Kami bicara dari hati ke hati. Antar nurani, kami membagi perasaan.
Kuungkap semua penyesalan dan ketidakberdayaanku
semua. Satu persatu kejadian kuceritakan secara lengkap. Begitu pula dengan
mimpi yang terselip didalam robohnya tubuhku. Satu-satunya hal yang tak bisa
kuterima adalah saat ibu onche hanya tersenyum melihat air mata yang tak
hentinya terpompa.
“ Ngak ada yang harus disesali chi, tante dah
iklas kok sama kecelakaan itu. Itu semua bukan salah kamu, itu semua takdir
tuhan chi. Onche dah tenang di alam sana, ngak ada gunanya kita
ngungkit-ngungkit masalalu “
“ Tante ngak marah sama supir truck yang nabrak
onche? “
“ Namanya juga manusia chi. Dulu iya, tapi
sekarang ngak. Tante dah maafin orang yang nabrak onche chi, ngak ada gunanya
marah-marah, bikin capek aja. Yang seharusnya terjadi ya emang harus terjadi
chi, ngak usah disesali, kamu jangan nyesel terus “
“ Kenapa tante bisa setabah ini? Sampe sekarang
aja aku masih kebayang-bayang terus sama Onche tan “
“ Tante dah tau chi kalo semua itu mau terjadi,
makanya tante doong onche buat bilang semua perasaanya sama kamu. Dari smp Onche
dah suka sama kamu chi, dia tiap hari cerita sama tante “
“ Maksut tante dah tau kalo itu semua bakal
terjadi apa? “
Lagi-lagi ibunda Onche tersenyum hangat kepadaku “
tante bisa mendengar bisikan yang tak terdengar, tante bisa melihat apa yang
tak bisa dilihat dan berbicara dengan yang tak lagi berwujud “
Aku tersikap, otakku bergerak cepat mencari dan
mencocokkan jawaban. Mungkinkah ibunda Onche itu memiliki kelebihan
supranatural, ari-ari dua lapis atau indra keenam? “ Tante indigo? “
“ Salah satu definisinya demikian chi, Onche juga
bisa lihat “
“ Masa? Tapi kok dia ngak pernah bilang apa-apa ya
sama saya apa Via tant? “
“ Dia tipe orang yang suka memendam chi, dia suka
banget nyimpen sama ngrasain sendiri semua hal yang Onche alami. Cinta saja dia
bisa pendam lebih dari lima tahun. Gimana sama hal yang kaya gituan? “
“ Di dalam mimpiku kemaren tan, pas aku jadi
hantu. Onche Cuma tersenyum, dia ngak kesakitan sama sekali, aku bingungnya
disitu. Dia bisa liat sama komunikasi sama aku tan, apa pas dia sekarat dia
lihat aku ya tant? “
“ Mungkin aja chi. Tuhan kan maha segalanya chi,
dia bisa melalukan semua hal. Ngak ada yang mustahil di dunia ini. Mungkin
hanya lewat cara inilah dia menguji kamu lewat Onche, biar hati kamu kuat “
“ Tant, maafin mochi ya kalo ada salah sama tante.
Dari setahun yang lalu Mochi ngak berani kesini gara-gara mochi takut sama
tante, sama om, sama kakak ma adek onche. Mochi ngrasa bersalah banget tante “
“ Ngak ada yang salah kok, tante bakalan maafin
kamu kalo kamu dah bisa maafin diri kamu sendiri, bentar ya, tante ada sesuatu
buat kamu “
&&&%%%$$$%%%&&&
Dengan sebuah pelukan hangat kembali aku dapat
saat aku pulang menuju rumah dengan sebuah buntelan besar yang ku masukkan ke
dalam tas. Sesampainya dikamar kubuka buntelan besar itu. Ada tiga buah buku.
Buku pertama adalah buku harian Onche tentang
semua kegiatan hariannya hingga kegiatan hatinya. Buku itu saksi kunci
pertautan hati Onche denganku di pertengahan kelas 2 smp. Aku benar-benar
tertipu dengan sosok Onche selama ini. Di dalam buku hariannya itu terdapat
banyak puisi dan rangkaian kata mutiara untuk menggambarkan perasaanya. Ada
jiwa pujanga di dalam tubuh manusia konyol seperti Onche.
Usai membaca jurnal harian Onche aku merasa bodoh
karena tidak sadar telah dicintai seseorang sehebat itu. Aku benar-benar buta
dalam segala arti.
Di buku kedua, Onche membuat komik tentang dirinya
dan aku. Dari pertama berkenalan di sekolah dasar hingga lulus dan masuk
perguruan tinggi bersama. Seperti dokumentasi komik itu mengingatkanku akan
beberapa kejadian usang yang tak mampu otakku produksi lagi. Buku kedua ini
semakin mengingatkanku akan besarnya cintaku kepada Onche yang tak akan pernah
musnah. Pengharapan, menyimpan perasaan hingga menjadi tong sampah dan dewa
penyelamat di dalam kehidupan amburadulku.
Di buku ketiga yang nampak dibuat onche sendiri
ternyata adalah sebuah album foto. Salah satu hobby Onche adalah fotografi,
tapi aku sama sekali tak menyangka jika dia diam-diam mengambil gambarku sebanyak
ini. Aku melihat banyak gambar diriku diantara tempelan bunga kering, rumput
yang diawetkan, rangkaian kata-kata indah dan bermacam ilustrasi yang terselip
diantaranya. Dari masa culun di smp hingga masa-masa tak karuan di sma semuanya
tercetak jelas. Di dalam album itu kebanyakan foto-fotoku diambil pada saat
sma.
Kebahagiaan muncul lewat genangan air mata saat
kulihat foto-foto bunga mawar terhampar di dua halaman. Dari mulai pembibitan,
Onche dengan setia memotret pertumbuhan bunga itu dari minggu ke minggu hingga
akhirnya bibit tanaman itu memekarkan bunga berkelopak putih yang sudah lama
dinantikan. Tepat saat valentine Onche memanen bunga itu beserta akar-akarnya
yang masih bergelung tanah dan memberikannya kepadaku.
Hatiku trenyuh akibat kebodohanku yang sama sekali
tak memahami perasaan Onche sebagai sahabat. Aku sahabat yang buruk karena sama
sekali tak bisa melihat perasaan Onche sama sekali hingga sekian lama.
0 komentar: