REVIEW FILM: Surat dari praha (2015)
Surat
dari praha
Reviewer: Triztan Famous
Ada
tiga alasan kenapa saya menonton film Surat Dari Praha, yang pertama karena ini
film dari Visinema yang di sutradari oleh Angga Dwimas Sasongko, yang kedua
adalah karena Tio Pakusadewo yang notabennya adalah aktor Indonesia favorit
saya selain Reza Rahardian, dan yang ketiga karena film ini mengangkat tema
yang masih anomali karena jarang diangkat oleh sineas Indonesia.
Angga
Dwimas Sasongko yang menawan saya dengan Cahaya Dari Timur: Beta Maluku dan memantapkan
pengalaman cinematik saya dengan Filosofi Kopi yang sampai sekarang masih
menjadi film favorit saya yang pernah ia buat. Semenjak Surat Dari Praha mulai
menjejakkan langkah pertama, konflik langsung dihadapkan kepada kita.
Perkenalan tokoh yang sanggat baik juga semakin memperlancar jalannya film ini,
menit pertama kita langsung diperkenalkan dengan tokoh Dahayu Larasati (Julie
Estele) yang berarti teratai yang cantik dan (Widyawati), yang entah kenapa
wajah mereka terlihat teramat mirip.
Laras
yang sudah lama tak jumpa dengan ibunya tiba-tiba menghubungi ibunya di rumah
sakit untuk meminjam sertifikat rumah guna melunasi hutang yang harus ia
tanggung karena perceraiannya dengan Chiko Jeriko. Ibu laras yang meninggal
setelah operasi meninggalkan sebuah permintaan yang mau tak mau harus Laras
turuti, yaitu mengantarkan sebuah kotak berisi surat dari praha dan meminta
tanda tangan kepada sosok yang ia kirimi kotak tersebut.
Sesampainya
di Praha, ia bertemu dengan Jaya (Tio Pakusadewo) yang kurang lebih memiliki
sifat pahit, egois, dan keras seperti dirinya. Tak mudah untuk Laras
mendapatkan tanda tangan dari Jaya. Jaya yang tak ingin hidupnya kembali
diobrak-abrik, langsung menyuruh Laras untuk meninggalkan rumahnya. Tetapi
karena suatu kejadian, akhirnya Laras menginap di rumah Jaya untuk beberapa
hari dan mulai mencairlah hubungan mereka, hingga menghangat, dan akhirnya
menjadi intim.
Secara
garis besar Surat Dari Praha mengingatkan saya akan beberapa film-film favorit
saya yang saya tonton berulang, seperti memiliki akumulasi rasa dari Trilogi Before
yang fenomenal itu, Lovely Man yang indah itu dan memaafkan masalalu seperti
dalam Filosofi Kopi. Entah mengapa ada rasa yang menganjal saat saya melihat
Surat Dari Praha ini, banyak emosi yang terlalu cepat dilemparkan kepada
penonton sehingga membuat film ini terlalu padat. Tak seperti Filosofi Kopi
dahulu yang membuat saya menitikan air mata di bioskop, di Surat Dari Praha ada
beberapa emosi yang gagal sampai karena kurang banyaknya persiapan sehingga
saya kurang bisa merasakan bagaimana kesendirian Jaya dan Luka yang Laras
rasakan.
Yang
kedua adalah penggunaan Green Scren pada adegan Laras dan ibunya di rumah sakit
yang menurut saya cukup menganggu. Lalu adegan pada saat di rumah duka, Laras
yang baru saja kehilangan ibunya sama sekali tak menitikan air mata. Sampai
sebegitu keraskah hati Laras karena sakit hati dengan ibunya hingga hatinya
sama sekali tak terketuk? Lalu kenapa pada saat dengan pak Jaya dia dapat
dengan mudah mencair dan menjadi pribadi yang hangat dalam beberapa hari? Dan
yang ketiga adalah pemain-pemain figuran di film ini yang berasal dari praha
yang berakting kaku dan asal-asalan. Saya sampai tak percaya bagaimana seorang
Angga Dwimas Sasongko menggunakan Extras seperti itu di dalam film ini. Adegan
perampokan di taksi yang menjadi titik balik di dalam film ini harusnya bisa
jauh lebih baik daripada adegan datar dan buruk seperti itu.
Tapi
selain itu ada banyak adegan yang membuat hati hangat di Surat Dari Praha,
seperti saat Jaya bernyanyi di bar, atau pada saat Jaya dan teman-temannya
dengan reunian di rumah Jaya menyanyikan lagu tentang kuda yang entah apa
judulnya dan lagu Indonesia raya yang saya harus akui dapat membuat haru seisi
bioskop karena dinyanyikan oleh para manusia berideologi kuat yang tidak bisa
kembali ke Indonesia dan yang paling saya akui adalah dipertengahan menuju
klimaks dimana Laras dan Jaya berdebat hebat dengan kata-kata yang menurut saya
sadis dan kasar dengan tehnik longtake yang menakjubkan, walau tidak terlalu lama,
tapi adegan itu membuat saya semakin kagum dengan Julie dan Tio yang berakting
dengan menakjubkan setelah mereka beradu di The Raid 2.
Overall,
Surat Dari Praha adalah film anomali dengan cerita yang jarang diangkat di
dunia perfileman Indonesia yang patut untuk disaksikan di bioskop. Walau
melabeli dengan film shot luar negeri, tapi film ini tidak semata-mata menjual
pemandangan luar negeri seperti kebanyakan film indonesia lainnya, Surat Dari
Praha dengan bijaksana menggunakan setting luar negeri sesuai dengan kebutuhan cerita.
Dengan cerita yang padat dan emosi yang kerap tumpah dimana-mana film ini
menjadi film yang jarang ada di perfileman Indonesia.
Sebagai
film yang menjadi pemula parade film-film yang paling dinanti tahun 2016, Surat
Dari Praha melakukan tugasnya dengan baik. Untuk mengakhiri review ini saya
ingin mengucapkan selamat kepada Angga Dwimas Sasongko untuk meneruskan tradisi
film bagus yang ia sutradarai dan selamat datang untuk Ahhc... Aku Jatuh Cinta,
A copy Of My Mind dan Ada Apa Dengan Cinta yang akan segera menyapa kita...
sekian.
Skor
: 8/10
0 komentar: