Untuk Kendeng : Idul Adha dan Tenda Perjuangan
Idhul Adha dan tenda perlawanan*
Oleh : triztan famous
“Sudah lama aku dengar dan aku baca ada suatu
negeri
dimana
semua orang sama di depan hukum. Tidak
seperti
hindia ini. Kata dongeng itu juga: negeri itu
memasyurkan,
menjunjung dan memuliakan kebebasan,
persamaan
dan persaudaraan. Aku ingin melihat negeri
dongengan
itu dalam kenyataan.” –Pramudya A. T.
“Perjuangan
kita masih panjang bu,” letih, suara lelaki itu penuh getar. Getar yang tak
memiliki pijakan yang tepat.
“Iya
pak, perjuangan kita masih panjang.” Kalimat itu meluncur pelan seiring tarikan
berat pemenuh udara rongga dada, “Keadilan harus tetap menang,” ujar wanita itu
teguh, sorot matanya tajam penuh bara. Mengalahkan bara sesungguhnya di dalam
pawon yang ada didepannya, “Walau masih serasa di awang. Tapi, Kita akan tetap
berjuang pak, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
***---***---***
Dari
sekat-sekat udara itu debu masih setia menyelimuti desa Ngablak, dedaunan pohon
Jati yang dulunya memiliki warna hijau berbeda-beda, kini semuanya Nampak sama,
seolah-olah semuanya memakai seragam berwarna kelabu, kelabu penuh debu dan
membosankan.
Perbukitan
dulu yang hijau dan lebat seperti permadani meja bilyard, kini perlahan mulai berganti
wajah. Berganti wajah penuh luka. Sehampar tanah luas seperti sengaja
dicukurkan di tengah rimbunya hutan Jati bumi Rembang. Tanah yang dahulu penuh
gelombang dan bebatuan, sekarang dibuat rata sejajar dengan urukan tanah,
menyerupai lapangan bola yang dibuat melintang.
Subuh
baru saja menjejak rembang saat ibu-ibu desa Ngablak mulai berdatangan, bahkan
saat sulur-sulur fajar belum perkasa menjalari keperawanan bukit rembang,
ibu-ibu bermata teduh itu sudah sampai di tenda, perlahan mereka membangunkan
saudara-saudara mereka yang masih tertidur pulas. sayup-sayup, seruan takbir
penuh kemenangan bergumul dengan hempasan suara angin.
“Budhe, Sholat dulu. ini sudah subuh,
sekarang jadwal saya yang jaga ditenda. Ndang
balio, nyiapke sarapan karo seragam
sekolah ge anakmu.” Berbalut jaket tebal ibu bersorot mata penuh bara
membangunkan rekan seperjuangan. Angin dini hari masih terus berdatangan,
seakan-akan tak rela membiarkan para ibu tidur berselimut rasa hangat dan aman.
“Iya
bu, saya subuhan dulu disini, setelah itu saya ijin langsung pulang kerumah ya.”
“ngih bu, mengkih ngatos-atos
manthuke.”
Di
bawah selembar terpal berwarna biru yang menjadi atap rumah dadakan, belasan
ibu-ibu tertidur pulas. gurat-gurat wajah mereka saat terlelap mencerminkan kekuatan
dan keteguhan hati sesunguhnya. Tiga buah tenda seadanya dibuat di samping
jalan menuju tanah yang dipaksa lapang. Beragam poster dan spanduk perlawanan
saling menjalin dalam kesatuan di sepanjang jalan menuju kawasan yang mereka
namain kawasan “Tolak Tambang”.
Tanpa
bilik bersekat tenda itu unjuk gigi, tenda-tenda itu menjadi saksi sejarah
perjuangan mereka, saat angin pagi hari menghempas, sum-sum tulang mereka seketika
serasa lenyap kena sedotan alam yang melumpuhkan, membuat gigi mereka terus
bergemeletuk kasar dan mengirimkan semacam gelombang kasatmata yang seketika
membuat tubuh meremang dan mengigil tak berkesudahan. Demi sebuah keadilan,
mereka rela tidur di antara pohon jati lebih dari seratus hari.
Kawasan
“Tolak Tambang“ berdiri Empat kilometer dari nukilan jalan raya Rembang-Blora desa
Ngablak. Tiga buah tenda seadanya berdiri di tikungan jalan menuju lokasi tanah
yang akan dijadikan pabrik semen. Dilokasi itu, belasan ibu-ibu secara sukarela
membuat sebuah jadwal untuk bergantian menjaga tenda perlawanan mereka.
Ditiga
buah tenda perlawanan itu beragam kisah banyak terjalin. Ketidak-adilan,
perlawanan tiada akhir dan tipu muslihat orang-orang berpangkat.
Kendeng,
tak pernah istirahat dalam damai. Sejak 2012, gunung kendeng menjadi incaran utama
pabrik semen Indonesia, dengan mengaburkan banyak fakta dan pembayangan
beberapa peraturan, kendeng resmi menjadi daerah sengketa antara pemerintah dan
masyarakat.
Banyak petani yang menolak kehadiran pabrik
semen diwilayah mereka. Tapi, pemerintah menjawab dengan mendatangkan berbagai
alat berat. Saat ratusan ibu-ibu menolak peletakan batu pertama dan bertahan menghadang
beragam alat transportasi di jalan, mereka memperoleh jawaban dari gerombolan
polisi yang berbuat kasar, tubuh renta mereka dipindah secara paksa dari badan
jalan ke pinggir hingga ada beberapa ibu yang pingsan karena tak tahan dengan
sikap petugas kepolisian. Jalan berbatu itu menjadi saksi bagaimana mereka disingkirkan
secara paksa dari jalan utama menuju pabrik semen. Jangan bicara nurani, disini
dia tak punya kekuatan berarti.
Tak
sampai disitu saja, teror aparat kepolisian masih terus berlanjut. Keluarga
mereka dilarang datang untuk mengirimkan makanan dan membuat penerangan di
tenda perjuangan. Tangis penuh kesakitan terdengar menyayat saat sholawat pilu mulai
mengalun perlahan. Dalam deraian air mata, ibu-ibu berpadu mengimani sakitnya
ketidakadilan. Air mata kembali jatuh menghujam bumi rembang, tapi kendeng
masih butuh banyak perjuangan.
Pernah
satu kali aksi masyarakat ini menyedot perhatian gubernur jawa tengah, hingga
memaksa dia datang menyambangi ibu-ibu berhati baja. Dengan bahasa jawa halus
hati mereka berdialog, satu-persatu keluhan mengudara, tapi keluhan itu lenyap,
tersapu angin tak tahu kemana.
“Gimana
ini pak? Kemarin gubernur datang, ngajak musyawarah, tapi kok selama musyawarah
alat-alat tambang tetep oprasi? Terus iki
piye neh pak? Jare Gubernure kae pro rakyat cilik, tapi nak ngene iki
kenyataane awakdewe kudu piye?”
“Sabar wae bune, awakdewe kui
diapiki gur pas arep pemilu thok, bar kui yo uwes. Lali babar blas karo uwong
seng mbiyen milih deknen. Nitipke urip ro masa depan karo deknen.”
Pertemuan
itu, sama sekali tak mempunyai penggaruh. Kendeng tetap ditambang, dan ibu-ibu
tetap berjuang.
***---***---***
Sayup-sayup
gema takbir Idul Adha berkumandang, lantunan seru kemenangan itu terdengar
miris mengecap langit rembang. Satu persatu keluarga bedatangan menuju tenda
perlawan berbalut mukena, baju koko, dan sarung yang diselempangkan.
Dengan
sorot mata berbinar mereka mulai menempatkan diri di atas selembar terpal usai
saling menautkan jari dan mengucap salam. Terpal biru itu terhampar di jalan tikungan
penuh begelombang, Sajadah mulai digelar, dan sholat idhul adha segera
dilaksanakan.
Pagi
itu, Sholat idul adha memiliki wajah yang berbeda, sholat berjamaah di tengah
perjuangan mengajarkan mereka kebersamaan dan arti perjuangan yang sesungguhnya.
Diantara tiga tenda itu, masyarakat ngablak sholat dengan khusuknya, meminta
jawaban dari sang khalik tentang keadilan. Separuh warga ngablak sholat di
masjid desa, dan sisanya sholat bersama di tenda perjuangan, tak ada prasangka,
mereka hanya berjaga-jaga agar tenda mereka tak dirubuhkan aparat.
Haru
menjelma seperti asap kasat mata. Datang menyesakan dada dan langsung menyerbak
tanpa aba-aba, membuat danau disekitar kelopak mata saat sang khotip
menyampaikan khotbahnya.
Belajar
arti kebahagiaan dari anak kecil yang masih bisa mengumbar senyum ditengah
kondisi penuh tekanan, mereka tak ingin terus berkubang dalam kesedihan. Tak
ingin mereka menyia-nyiakan anugerah, usai sholat Idul Adha mereka menggelar
selembar terpal lagi dan makan bersama. Pagi itu tak ada hewan qurban,
masyarakat desa Ngemplak merayakan Idul Adha dengan makan nasi dan sayur
seadanya.
Beberapa
aparat berjaga di sekitar kawasan “Tolak Tambang” berjaga-jaga jika warga
berbuat nekat, beberapa kali mereka ditawarin warga untuk makan bersama.
Merayakan Idul Adha bersama, tapi aparat keamanan itu dengan tegas menolak
ajakan warga.
“Ora-orani panganan ini diracuni
mas, nak panganan iki diracuni, awakdewe wes mati kaet mau.”
Seloroh seorang ibu yang geram terhadap salah satu arapat keamanan. Tak ada
satupun niat terbesit untuk melawan ketidakadilan yang mereka alami dengan
kekerasan. Berbagi diantara ketiadaan membuat mereka iklas menjalani kehidupan
dan masa depan yang semakin suram yang semakin mengancam. Jikapun mereka ingin
melawan dengan kekerasan, pastilah bukan belasan ibu-ibu yang lebih dari
seratus hari tidur di selembar terpal, tapi suami-suami merekalah yang akan
langsung turun tangan. Tapi, mereka tidak melakukan itu. warga Desa Ngemplak
memilih untuk tidak melakukan itu.
Seratus
hari lewat mereka melawan ketidakadilan dengan keteguhan hati dan berharap
kelak keadilan memihak mereka dengan cara yang benar. Membayar perjuangan
mereka dengan harga yang pantas.
Ditengah
acara makan bersama usai Sholat Idul Adha, seorang ketua pemuda karangtaruna
memiliki inisiatif untuk melafalkan sebuah puisi tentang perlawanan.
Bermula
dengan suara selembut awan puisi itu pelahan menampakkan jati dirinya dari baur-baur
suara alam. Satu ketukan, dua ketukan, tiga ketukan, puisi itu berakhir dengan
sebuah teriakan diikuti gema gempita seluruh masyarakat Ngemplak.
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat sembunyi// dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar
mendengar
bila rakyat tak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila
omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila
usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan
dituduh
subversive dan menganggu keamanan
maka hanya ada satu kata : lawan!
“lawan!!!”
“Lawan...!!!”
“LAWAN!!!”
Cukup
dengan satu kata, semangat kembali memuncak, dan hati kembali dipenuhi rasa
hangat. Perjuangan mereka tak berhenti sampai disini.
Solo,
24 Oktober 2014, 02:10
Untuk
kendeng dengan hati yang terlampau nyeri.
*telah diterbitkan di Seruan Perjuangan minggu kedua Oktober 2014
0 komentar: