Pelepasan Remah 4
Pelepasan
Remah
4
Hujan
melumat tubuhku dalam kuyup. Air terus mengucur deras dari baju yang melekat
tubuhku, dan kini menetes-netes di wajah keramik. Di kontrakan salah satu
sahabat terbaikku, aku mengais bantuan. Berharap dia mau mengurusku selama
beberapa waktu kedepan saat aku kalut.
Handuk
dan cangkir teh panas menyapa diriku pertama kali saat aku mengetuk pintu rumah
kontrakannya. Dia yang tahu sejarah kelam dirikupun tak menyangka jika aku
bakalan benar-benar menganku kepada keluargaku. Satu tahun terakhir, aku selalu
membagi rencana gila ini padanya.
“Kadang
aku nggak habis fikir sama kamu Bell. Menurut standar banyak orang hidupmu
mendekati sempurna lho! Keluarga berada, lulus caum laude dari kampus ngetop,
ganteng iya, pinter apalagi. Eh, malah ngaku sama ortu kalau kamu Gay. Bell,
Bell, nyia-nyiain hidup kok kaya gitu banget,” cerocosnya sambil
mengeleng-gelengkan kepala. Terheran dengan langkah yang aku pijak.
“Ndi,”
kataku pasti penuh penekanan. Satu tahun terakhir ini dia selalu berusaha
mengalihkan keinginan gilaku, enek jika malam ini dia akan menceramahiku lagi,
“dari awal kita temenan dulu, aku selalu jujur cerita kamu tentang segala hal.
Taiknya aku, bangsatnya aku, babaiknya aku. Kamu tahu. Semua hal aku ceritain
sama kamu tanpa tedeng aling-aling atau editing. Jadi aku mohon, jangan marahin
aku malam ini, biar aku marahin diriku sendiri hehehe... sudah lama ini jadi
keputusanku, ok? Kamu juga tahu ini,” kataku pasti setelah mengeringkan
rambutku. Kusambut cangkir teh panas di depanku, kudekap dengan telapak tangan
mengkerutku sambil menyeruputnya perlahan.
“Kamu
juga tahu kalau Bell, kalau aku selalu dukung apapun pilihanmu. Seratus persen
malah. Tapi aku ngomong gini cuma ngingetin kamu satu hal aja Bell, penyesalan
itu datang paling akhir. Aku cuma nggak mau kamu nyesel aja nantinya,”
“Udah
nggak ada gunanya Ndi, mau nyesel apa nggak sekarang. Lagian langkah ini udah
aku ambil. Tapi yang jelas aku nggak bakal nyesel sama keputusanku ini,”
yakinku pasti. Kutenggak genangan teh hangat dalam mulutku, menggelontorkan
masuk ke dalam tenggorokanku, berusaha menyelinapkan kehangatan di dalam
tubuhku, “mungkin lima atau sepuluh tahun lagi aku bakal kembali
mengingat-ingat saat ini, kenapa aku ngelakuin hal ini? Atau kenapa aku bisa
seceroboh itu? Tapi bagiku itu sepadan Ndi. Dua puluh satu tahun aku jadi yang
mereka mau, nurut, manut semua yang mereka pengin.
“Kamu
tahu sendirilah gimana perjuanganku buat ngebahagiain mereka. Wujudin
keinginan-keinginan mereka. Tapi kita juga sama-sama paham Ndi kalau manusia
itu nggak pernah tahu pasti kapan mereka harus terus dan berhenti. Sampai
kapanpun mereka nggak bakal puas. Ayahku punya harapan sendiri, ibuku juga,
kakakkupun juga seperti itu. Selama ini, aku hidup buat wujudin harapan-harapan
mereka. Mimpi mereka. Terus yang nanti bakal wujudin keinginan sama mimpiku
siapa Ndi? Anakku? Ini lingkaran setan. Sama sekali nggak adil untuk siapapun.
Bagiku semuanya sudah cukup. Aku hanya ingin jadi diriku sendiri. Nggak jadi
orang lain, atau wujudin mimpi-mimpi orang lain. Apapun yang terjadi nanti, aku
terima. Aku iklas. Aku anggap ini tiket bebas yang harus aku bayar untuk jadi
diri sendiri.”
Hujan
masih mengiris-ngiris angkasa saat aku dan Andi memutuskan diam untuk beberapa
saat. Aku tahu jika mulutnya gatal untuk membalasku, tapi malam itu ia memilih
untuk tak melanjutkan topik ini. Dan aku sanggat menghargai hal itu.
Berbulan-bulan kami berdebat tentang langkah dan akibat saat aku akan
mengungkapkan jati diriku. Malam inipun, aku mengira jika akan kita berdua
habiskan dengan perdebatan kolot. Tapi dia hanya diam, tak ingin menambah beban
untuk hari ini.
Ia
lalu beranjak ke dapur, membuatkanku makan malam. Membantuku mengangkat
beberapa barang ke kamar, lalu menyuruhku membersihkan diri. Guyuran air di
kamar mandi menyadarkanku akan sudut bibirku yang robek dan hidungku yang
memar. Hantaman tangan ayahku membuat bibir dan hidungku ringsek. Darah segar
masih senantiasa menetes dari lubang hidungku saat aku mandi.
Ku
biarkan rasa sakit itu mendera, luka di sudut bibir, hidung dan yang paling
terasa, luka di dalam diriku. Di bawah kucuean shower kulepaskan semua emosi, aku bebaskan air mata yang tadi
tertunda dan darah yang mengalir sebagai jika masalaluku telah berakhir
sekaligus sebagai tanda kelahiran sosokku yang baru. Sosok yang kini sebatang
kara menantang dunia.
.
. . . # # # . . . ...
“Tumben
kontrakan ini sepi, Daniel sama Febri nggak pulang?” tanyaku seusai mandi,
berjalan menghampiri Andi di bagian belakang rumah.
“Palingan
mereka nggak pulang. Daniel lagi sibuk sama program-program baru di
organisasinya. Kalau Febri paling tidur di kost ceweknya, lagian hujan juga.
Nih, makan,” kata Andi sambil menyodorkan sepiring omlet di depanku.
“Wah,
makasih banget mas bro. Mbok yo seng
kerep masake konco koyo ngene, hehehe,”
“Halah,
ki ge ngompres lambemu, hahaha,” ia
letakkan baskom berisi potongan-potongan es dan kain untuk membungkusnya, "pasti
kenceng banget ya bapakmu tadi mukulnya, sampai jontor gitu bibirmu,”
“He’em.
Ngasi ra sadar pas aku mau digampar.
Sadar-sadar aku keliyengan di
lantai,” jawabku datar, “koe kan reti
dewe Ndi, nak bapakku ki awake gede, koyo wong arap. Sekali gampar yo langsung
tepar,”
“Lha terus saiki piye Bell?” tanya Andi
dengan suara bergetar, membuatku sedikit terganggu dengan penekanannya yang
berlebihan.
“Piye apane Ndi?” tanyaku bingung, “piye rasane di gampar opo piye rencanaku
ngarepe?”
Andi
tersenyum simpul, “Perasaanmu Bell, gimana perasaanmu sekarang?”
“Campur
aduk Ndi, tapi seng jelas, saiki aku lego.
Serasa plong aja pas nafas. Tapi, sedih juga pas lihat ibu sama kakakku nangis.
Mereka shok denger aku ngomong gitu. Yoweslah,
meski enek konsekwensine nak aku mileh dalan iki. Penginku, mereka paham
kenapa aku begini. Kenapa aku pilih jalan ini.harga yang harus kubayar mahal
Ndi,”
“Hal
ini nggak ngaruh sama rencana kita ke depankan?” ujar Andi memastikan.
“Tenang,
aku profesional!,” jawabku congak, “apapun yang terjadi rencana kita harus
berjalan sebagaimana mestinya. Itu kan mimpi kita bersama.”
“Ya
syukurlah kalau gitu Bell,”
“Jadi
positif kalau kita bakal bongkar toko bangunan sama toko cat disebelahnya?”
tanyaku memastikan. Sudah hampir lima bulan terakhir kita membahas rencana ini
semenjak kita berhasil membuka delapan belas cabang both kopi dan susu di beberapa kampus dan mall di Solo, Karanganyar
dan Klaten.
“Untuk
awal, kita bakal bongkar toko bangunannya terlebih dahulu. Baru kalau cafe ini
kedepannya jalan, kita bongkar toko cat disebelahnya,”
“Jadi,
kapan kita mulai bersih-bersihnya?”
“Nanti
aku kabarin, proses negonya belum rampung,”
.
. . . # # # . . . ...
Sekilas
tentang hubungan Andi dan Abell, mereka berdua selalu bersama sejak TK. Andi
anak tunggal dan Abell anak terakhir dari tiga orang bersaudara. Kedua ayah
mereka merintis karir di perusahaan yang sama dan akrab sejak pertama kali
mereka berjumpa. Di Jogja, kedua keluarga itu hidup di kompleks yang sama.
Semenjak
TK, Abell dan Andi selalu bersama-sama. Sekolah di SD yang sama, SMP yang sama,
SMA yang sama dan Universitas yang sama pula. Mereka tumbuh bersama layaknya
seorang saudara. Andi yang lebih tua beberapa bulan daripada Abell dan memiliki
postur tubuh yang lebih menjulang dan proporsional, selalu menganggap Abell
sebagai adik kandungnya. Dan Abell juga menganggap Andi sebagai kakak
kandungnya. Terlebih pada saat Abell mulai dijadikan bahan ejekan banyak orang
karena kelainan genetik pada matanya sehingga membuat banyak orang mengira ia
memakai lensa mata. Sejak lahir dulu, Abell tak memiliki pupil berwarna hitam
atau kecoklatan seperti orang Indonesia kebanyakan. Ia memiliki pupil berwarna
kuning keemasan dengan sedikit semburat warna biru.
Sejak
SD Abell selalu menjadi bahan ledekan, bahkan hal itu semakin menjadi-jadi saat
ia memasuki SMP dan SMA. Abell yang selalu diam dan tak berani melawan menjadi
sasaran empuk teman-temannya. Banyak yang mengatakan jika ia anak haram antara
ibunya dan orang luar, bahkan banyak yang menghinanya sebagai manusia
berkelamin ganda karena dikira memakai lensa mata. Tapi, semua olok-olokan itu
mereda jika ada Andi disisinya, dia yang tak segan-segan menghantam orang yang
menganggunya membuat banyak orang diam dan menyimpan olok-olokan itu jika Abell
sendirian.
Banyak
perbedaan diantara mereka berdua, tetapi mereka tumbuh bersama sebagai sahabat
karip yang saling melengkapi. Kemana-mana berdua, membolos berdua,
berjalan-jalan bersama. Andi adalah sosok populer dari SMP sampai SMA dan Abell
adalah kebalikannya, ia susah akrab dengan orang, kikuk dan lebih suka
menyendiri. Baru di depan Andilah ia berani menjadi dirinya sendiri.
Saat
lulus SMA Ayah Abell memutuskan untuk pensiun terlebih dahulu, ia lalu
memutuskan untuk pindah ke pinggiran Semarang untuk menghabiskan hari tuanya.
Anak pertamanya kini tinggal di Sidney dengan keluarga kecilnya, anak
keduanya sebentar lagi menikah dan Abell baru saja masuk kuliah. Abell kemudian
memutuskan untuk kuliah di Solo, begitu pula Andi walau akhirnya mereka
mengambil jurusan yang berbeda. Dua tahun kemudian, Ayah Andi juga pensiun dan
memutuskan untuk menghabiskan hari tuanya di Karanganyar.
Sejak
SMA, Andi dan Abell menggeluti bidang yang sama. Mereka sama-sama suka
berwirausaha, mulai dari berjualan bakso dan sosis bakar, baju, jam tangan
hingga ternak kelinci pernah mereka lakukan. Bahkan pada saat mereka kelas dua
SMA, Andi dan Abell mulai berani memotret di acara-acara kawinan. Hingga
akhirnya mereka mulai membuka both
kopi dan susu di daerah kampus mereka sebelum akhirnya berkembang seperti
sekarang.
Pada
saat lulus SMA, barulah Abell berani jujur tentang dirinya kepada Andi. Bekas coret-coretan
pilox masih menempel di kulit dan rambut saat mereka berdua dan keenam temannya
memutuskan untuk menginap di pantai sebagai ritual kelulusan mereka. Ikan bakar
dan botol-botol kosong minuman masih berserakan saat kumpulan anak muda itu
mulai berpencar. Ada yang tidur-tiduran di mobil. Ada yang ngopi di warung. Ada
pula yang berjalan-jalan menyusuri garis pantai. Menyisakan Andi dan Abell
berdua berhadapan dengan api unggun yang koyak dihempas angin. Memalui satu
botol minuman beralkohol, di mulailah sesi pembicaraan ngalor-ngidul.
“Suatu
hari, aku bakal bikin rumah di kaki pegunungan, deket kali atau sawah. Aku
bakal punya istri cantik dan tiga anak, dua laki-laki satu perempuan. Anak kami
lucu dan cerdas, pinter main game juga. Setiap akhir pekan kita makan di
halaman belakang rumah, sambil lihat gunung dan sawah” kata Andi sambil
tertawa. Wajahnya merah padam, alkohol mulai menguasai dirinya.
Abell
juga tertawa, menyahut impian Andi di masa depan. Berulang ia menenggak minuman
beralkohol di depannya.
“Kalau
kamu mimpinya apa Bell? Setelah kita sukses nanti?”
“Nggak
tahu Ndi,” jawabku ringkas.
“Kamu
nggak pengin nanti nikah terus punya anak?”
“Pengin,
tapi nggak tahu juga. Kalau masalah anak, dari dulu aku pengin punya anak,”
“Kalau
istri? Kamu pengin yang gimana?”
“Yang
jelas, yang mau terima aku apa adanya,”
“Nggak
seneng yang seksi?”
“Enggak,”
“Yang
cantik?”
“Enggak,”
“Lha
terus? Kamu mau istri yang gimana Bell?”
“Yang
terima aku apa adanya Ndi,”
“Udah
cuma itu doang syaratnya?”
“Iya,”
“Simpel
amat syaratnya Bell,”
“Soalnya
aku nggak seneng sama yang ribet sih Ndi,”
“Oh,
gitu?”
“He’em.”
Debur
ombak menjadi pengisi hening saat Abell dan Andi memutuskan untuk diam sejenak.
Alkohol dan keripik pedas bergantian masuk ke dalam lambung mereka. Di kejauhan
salah seorang teman mereka bermain gitar, menyenandungkan lagu-lagu pop lama.
“Ndi,”
panggil Abell penuh penekanan. Memandang sahabatnya yang rebahan di atas pasir,
memandang bintang yang jarang-jarang.
“Apa?”
“Aku
pengin buat pengakuan sama kamu,” jelas Abell singkat. Menjemput kesadaran Andi
yang mulai mengawang.
“Pengakuan
apa?”
“Ehm,
gimana ya? Aku sulit buat jelasinnya,”
“Udah
ngomong aja, biasanya juga kamu langsung nyerocos,”
“Tapi
ini bukan hal remeh seperti biasanya Ndi, ini tentang diriku,”
“Udah
deh, nggak usah berbelit kaya gini. Ribet amat sih,”
Setelah
menenggak kembali alkohol di depannya, Abell lalu memantapkan niatnya, “Aku mau
minta maaf dulu sebelumnya kalau perkataanku ini nanti bakal nyingung kamu atau
bikin kamu nggak nyaman lagi Ndi. Tapi aku udah mutusin kalau mau jujur sama
kamu. Terserah kalau kamu nanti bakal ngehindar atau musuhin aku. Lagi pula
habis ini aku pindah ke Semarang, dan kamu tetep di sini,”
“Blibet
banget kamu ngomongnya Bell,” potong Andi tak sabaran, “langsung ke intinya aja
kenapa sih? Kepalaku udah mulai pening nih, bentar lagi tepar,”
“Aku
sebenernya-,“
“-Gay?”
serobot Andi cepat. Abell shok tak karuan. Ia merasa jika baru saja diguyur air
es di tengah malam.
“Kok
kamu-,”
“Kok
aku tahu?” sambar andi cepat, Abell mengangguk pelan, masih tak berani menatap
Andi, “aku udah tahu lama Bell, cuma nunggu kamu buat ngaku aja,”
“Lha
kok gitu?” jawab Abell melempem.
“Ayolah
bell, itu bukan masalah besar! Kamu kenal aku dari kecil, kita SD sampai SMA
selalu barengan. Dan kamu ngira kalau aku bakal marah, risih atau musuhin kamu
cuma gara-gara prefensi seksualmu? Aku orang bebas Bell, aku berfikiran
terbuka. Lagian Gay itukan nggak nular, jadi apa masalahnya?” kata Andi santai,
tak ada aliran emosi sedikitpun di ucapannya, “abell, abell,” lanjutnya sambil
geleng-geleng kepala, seolah memandangku seperti anak kecil yang baru saja
berak di celana, “jadi kamu nunggu moment seperti ini dengan cadangan pindah
rumah dulu baru kamu mau ngaku?”
“Ehm,
sebenernya bukan gitu Ndi,” Jawab Abell kikuk. Bingung dengan alasan yang mau
ia keluarkan.
“Sebenernya
temen-temen yang lain juga udah tahu-?”
“-Jadi
satu sekolahan sudah pada tahu?” sahut Abell panik. Ia tak tahu harus bagaimana
lagi jika hal itu terjadi.
“Bukan,
cuma temen-temen yang ikut kita bakar-bakar malam ini aja. Sebenernya, kalau
kamu nggak ngaku tadi, kita bakalan nyekokin kamu pakai minuman keras terus
maksa kamu buat ngomong, hahaha. Tapi bohong. Kita nggak mungkin setega itu
sama kamu,”
“Sejak
kapan kalian tahu?” tanya Abell rikuh. Lesu. Sama sekali tak berdaya. “Tapi kok
kalian nggak jauhin aku? Apa kalian nggak risih sama keadaanku?”
“Kamu
kira kita tipikal temen yang kaya gitu apa? Apa kalau salah satu diantara kita
kejerat narkoba, langsung kita jauhin? Kamu picik kalau mikir kita kaya gitu,”
lalu Andi bangun, duduk bersila, menempelkan rokok di sela bibirnya lalu
menyulutnya, “kita berteman karena kita saling memanusiakan satu sama lain.
Kita memberi hak, kita memberi pilihan, lagipula kita juga membebaskan, nggak
saling menjajah atau mengendalikan. Kita berteman secara murni Bell, tanpa
saling mengharap apapun. Kita juga saling membantu dan mengingatkan, kita nggak
pernah ambil pusing kamu mau jadi gay, hetero, atau biseks sekalipun.
Bersama-sama, kita jadi manusia Bell. Belajar jadi manusia yang memanusiakan
orang lain,”
“Makasih
Ndi,” jawab Abell dengan suara bergetar. Air matanya hampir tumpah saat ia
mendengar jawaban Andi barusan.
“Yaelah,
cengeng amat.”
“Mau
lanjut kuliah dimana?”
“Di
Solo, aku pengin mulai hal baru di sana, kamu?”
“Nggak
tahu, lihat ntar aja,”
Debur
ombak dan angin malam melumat api unggun di tengah mereka. Alkohol menggenang
di dasar botol, udara dingin menyapu kulit mereka. Tapi tidak untuk Abell, ia
merasakan hangat di dalam dirinya. Hanggat yang mampu membakar semesta. Ia
bersyukur untuk malam itu. Untuk persahabatan yang tak lekang, pemercik bara
yang hangat.
Kisah selanjutnya Klik disini
Daftar lengkap serial Pelepasan
Melajulah "Pelepasan"ku klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
2 komentar: