Pelepasan Remah 8
Pelepasan
Remah
8
“Jadi?”
“Jadi
apanya?”
“Jadi
kita gimana Bell?” kata Willy gemas. Kembali meminta kepastian.
“Hubungan
kita?”
“Yaiyalah,
apalagi coba?”
“Kita
mulai pelan-pelan ya?” dengan suara hampir tak terdengar Abell menjelaskan,
“kita saling menjajaki dulu sebelum lanjut ke tahap selanjutnya, gimana?”
Lama
Willy terdiam, sudah lama ia mengejar-ngejar Abell, dan segala usahanya selalu
berakhir dengan kekecewaan di pihaknya. Baru kali ini Abell mau memberinya
kesempatan lebih, “Okey, nggak masalah,” jawab Willy dengan wajah masam.
“Kenapa
Will?” tanya Abell rikuh, ia takut jika keputusannya barusan melukai hatinya.
Sudah lama ia menggantung hubungannya dengan Willy, tapi ia masih butuh satu
kepastian lagi. Kepastian dari sahabat dekatnya. Andi.
“Cuma
berandai-andai aja Bell,”
“Berandai-andai
apa Will?”
“Andai
kita nggak ada dalam posisi seperti ini, pasti udah dari dulu aku boyong kamu
kepelaminan. Tadi pagi aja, aku udah ngebet banget pengen bangun tenda di depan
hotel terus ngajakin kamu kawin, hehehe,”
“Dasar
gila kamu!” serobot Abell beringas, ia sama sekali tak pernah membayangkan
hal-hal seperti itu.
“Mungkin
aku memang harus gila biar kamu ada di sisiku terus Bell,”
“Ah,
udahlah. Ngomong sama kamu itu sering ngaconya! Kamu hati-hati ya? Jangan
ngebut nyepedanya!”
“Kamu
juga Bell, hati-hati. Awas ya kalau nanti kecantol sama cowok di jalan!” Abell
tersenyum, ia suka sifat Willy yang posesit dan cemburuan, “aku aja yang
ngejar-ngejar setahun masih digantung,”
“Apaan
sih kamu, aku nggak gampangan kok Will,”
“Tapi
aku kadang mikir deh Bell, kalau kamu emang sengaja buat aku ngejar-ngejar kamu
setahun terakhir,”
“Lho
kok bisa?”
“Soalnya
banyak orang yang bilang kalau masa-masa pendekatan itu lebih indah daripada
pas pacaran. Aku mikirnya kamu emang sengaja buat masa pendekatan kita lebih
lama, sekalian buat kamu jaga-jaga kalau nanti pas pacaran nggak seperti yang
kamu inginkan, hahaha,”
“Ngarang!”
jawab Abell langsung, “Eh, tapi ada benernya juga sih, seumpama nanti pas kita
pacaran sifatmu berubah, kan aku juga yang repot,”
“Nggak
bakal ada yang berubah Bell, di depan kamu aku apa adanya kok,”
“Halah,
nggak ada yang nggak berubah Will di dunia ini. Apalagi masalah pacaran kaya
gini, nggak ada yang pasti,”
“Kalau
mau yang pasti-pasti makanya cepet dong terima tawaran aku Bell, nggak capek
apa kamunya nolak aku terus tiap hari?”
“Lha
kamunya capek nggak nembak aku tiap hari?” serobot Abell langsung.
“Enggak,”
jawab Willy cepat, “perjuangan instan cuma bakal ngasih hal-hal yang nggak kita
butuhkan Bell, hanya pemuas keinginan saja,”
“Nah
itu kamu tahu, keep fighting Will!”
“Oke
deh sayang,”
“Belum
resmi! Nggak usah sayang-sayangan dulu!”
“Emangnya
kalau udah resmi pengennya dipanggil apa Bell? Ayah bunda?”
“Nggak
usah bikin ide aneh-aneh dulu deh! Bikin shock
aja!”
“Bercanda
Bell,”
“Udah
ah. Bye Will, nanti kabarin kalau sudah sampe rumah,”
“Bye
Bell, sebenernya aku pengen cium kamu lagi Bell! Udah nggak tahan daritadi
soalnya! Hehehe,”
“Tadikan
di hotel udah! Ah kamu! Nafsuan!”
.
. . . # # # . . . ...
“Dua
belas menit Bell,” sahut Andi jemu sambil menatap layar jam yang melingkar di
lengan kirinya, “dua belas menit aku sadar kalau omonganku barusan sia-sia.
Kamu kenapa sih? Pulang liburan kok malah nggak fokus kaya gini?” dengusnya jengkel
dengan tatapan kecut.
“Sorry
Ndi, nggak ada maksud buat nyuekin kamu tadi,” kata Abell sungguh-sungguh. Ia
sama sekali tak bisa konsentrasi untuk meeting kali ini. Dari kemarin malam, di
fikirannya hanya ada Willy semata. Wajah menawannya, bibir tipisnya, cara saat
ia menatap, bekas tindik di kedua telinganya, cueknya, sifat apa adanya, cara
dia tertawa, tubuh gempalnya, cengengesannya, ukuran penisnya. Satu persatu hal
itu terbayang, lalu membuatnya membuka handphone dan kembali menelisik
foto-foto yang mereka buat di Selo.
Saat
Abell melamun, tiba-tiba Andi menarik kerah baju yang sengaja ia buat berdiri
untuk menutupi bekas cipokan dari Willy –sebagai kenang-kenangan, katanya-, “What the hell? Koe bar main karo perek?”
“Udu perek Ndi!”
“Lha terus? kok bekase ngasi koyo ngono?”
kata Andi sedikit emosi.
“Aku yo agek sadar mau nak bekase seakeh iki!”
“Ojo kondo nak koe lali bar main karo sopo?”
tuduhnya dengan tatapan tajam.
“Aku
sadar habis cipokan sama siapa, aku tahu orangnya juga, dan aku nggak mabuk,
okey?” jawab Abell lugas, “aku nggak kaya anak-anak yang hobby one night stand Ndi!”
Tapi
tatapan Andi menembus ke dalam dada Abell. Membuatnya kelimpungan dalam rasa
tak nyaman.
“Okey,
okey. Aku ngaku!” jawab Abell jujur, “Aku mabuk kemarin, baru tadi pagi aku
sadar kalau bekas cipokan di leherku banyak banget!”
Tatapan
Andi sedikit melunak, “Dicipok siapa?”
Muncul
jeda cukup panjang sebelum akhirnya Abell berani membuka mulutnya, “Wi-willy,”
jawabnya dengan suara parau.
“Siapa?
Nggak kedengeran!” pancing Andi dengan sorot mata tajam.
“Willy,”
jawab Abell dengan suara bergetar.
Alis
Andi bertaut, keningnya berkerut, “Willy?” tanya Andi kebingungan, mulai
mengurut nama teman-teman kami. Tapi, tak ada nama Willy disana, “Willy yang
mana?”
Abell
cengengesan, “Willy yang pernah aku ceritain itu lho,”
“Willy
yang mana sih Bell?” katanya gusar.
“Willy
yang tempo hari aku ceritain itu,” jawab Abell dengan nada memelas. Berusaha
menahan rasa takut di hatinya.
“WILLY
YANG TEMPO HARI KAMU CERITAIN ITU?” ulang Andi murka, “kamu udah gila ya Bell?
Gimana bisa kamu ketemuan sama orang yang nggak kamu kenal kaya gitu?”
“Ya
nggak tahulah Ndi, spontanitas aja sih sebenernya. Kamu kan tahu kalau aku udah
lama chatingan sama dia. Aku ngerasa klop sama dia, terus dia ngajakin
ketemuan, yaudah deh aku terima aja ajakannya. Lagian, aku juga pas lagi butuh
liburan. Nggak ada salahnya kan?”
“Iya
dan enggak!” balas Andi kecut dengan wajah masam.
“Maksutnya
gimana tuh?” tanya Abell berusaha memberanikan diri.
“Maksutnya
kamu itu luar biasa ceroboh ketemuan, terus ngamar bareng sama orang asing kaya
gitu! Dari grub nggak jelas lagi!” sembur Andi langsung, membuat Abell sedikit
bergidik ketakutan. Ia sama sekali tak suka jika Andi berbicara dengannya
dengan nada suara seperti itu. Tapi disisi lain ia tak bisa lagi berkutik, ia
paham jika Andi hanya hawatir saja, “bahaya tahu nggak Bell! Kamu sendirikan
tahu kalau dunia abu-abumu itu sampai kapanpun nggak bakal dapat pengakuan.
Terus gimana kalau terjadi apa-apa sama kamu? Kamu bukan tipe orang yang bisa
jaga dirimu sendiri Bell! Berantem aja nggak bisa, dasar ceroboh,”
“Aku
emang ceroboh Ndi, tapi-“
“-tapi
apa? Hah?” tantang Andi langsung, “seumpama kalau pas kamu tidur terus dia
ngambil barang-barangmu gimana hah?”
“Tapi
nyatanya kan enggak Ndi? Barang-barangku masih untuh, aku juga masih sehat wal
afiat kok, nggak kurang satu apapun!”
“Yakin
kamu nggak kurang satu apapun?” tambahnya ketus, “kemarin ngapain aja kamu sama
dia? Pakai kondom nggak?”
“STOP
NDI!” kata Abell setengah berteriak, “aku bakal jelasin semuanya asal kamu
tenang! Okey? Jangan ngehakimin aku dulu! Aku paham kalau kamu hawatir sama
aku. Aku juga paham kalau orang tuaku minta kamu buat ngawasin aku selama aku
minggat dari rumah. Aku ngaku kalau aku salah, aku ceroboh dan aku nggak bisa
jaga diriku sendiri,” ucap Abell cepat, fakta bahwa dia bukan tipe orang yang
bisa melindungi dirinya sendiri, membuat hatinya kecut dan berkerut, “aku nggak
minta semua orang paham sama orientasi seksualku yang kaya gini, aku juga nggak
minta mereka buat ngakuin dunia abu-abu ini, yang aku minta cuma pengertian
orang-orang disekitarku. Dan itu kamu Ndi. Aku cuma pengen kamu ngerti kalau
aku butuh dukunganmu untuk hal ini,”
“Untuk
hal apa?” jawab Andi dengan nada suara pelan, tak lagi meledak-ledak. Sambil
menyulut batang rokok, ia menatap langsung mata Abell.
“Aku
ingin menjalin hubungan sama dia Ndi,” ungkap Abell langsung tanpa basa-basi.
“Hubungan
seperti apa yang kamu mau sama dia?” tohok Andi cepat.
“Hubungan
antara hati ke hati Ndi,” jawab Abell tulus, baru kali ini ia tak berusaha
menyangkal apa yang ada di hatinya, “aku jatuh cinta sama dia Ndi,” lanjut
Abell terbata-bata, “aku nggak tahu gimana bisa aku cinta sama dia. Tapi pas
kemarin aku jalan sama dia. Aku tahu kalau dia orang yang tepat. Orang yang aku
butuhkan,”
“Kamu
jatuh cinta sama dia dalam semalam?” tanya Andi sedikit sinis.
“Aku
sudah lama punya rasa sama dia Ndi, tapi semalam adalah penegasan,”
“Kamu
inget nggak kalau dulu kamu bilang kalau kamu nggak mau campurin dunia nyata
sama dunia maya? Sadar nggak kalau kamu sekarang itu lagi ngaduk-aduk keduanya?
Selalu ada batas untuk semua hal Bell. Semua harus kamu fikirin matang-matang,
kita bukan anak kecil lagi. Jangan gara-gara cuma karena cinta dadakan kamu
lupa sama semua hal!”
“Aku
inget Ndi, aku inget semuanya. Aku juga sadar kalau aku nggak bisa megang
prinsipku yang satu itu. Aku minta maaf buat hal itu,” jawab Abell lirih, “jadi
gay aja udah susah Ndi, kenapa cuma jalin hubungan sesama juga harus kamu
tentang?”
“Bagian
mana dari kalimatku yang nentang Bell? Aku cuma mempertanyakan ulang aja.
Tentang batasan-batasan yang dulu kamu buat, tentang prinsip yang akhirnya kamu
langgar, tentang aturan yang kamu bongkar. Aku cuma pengin kamu mikir sebelum
bertindak. Jangan gegabah jadi orang,”
“Aku
juga udah mikirin ini berulang kali kok Ndi, aku juga nggak ngambil keputusan
ini begitu aja,”
“Sebenernya
aku woles-woles aja sih Bell. Terserah kamu mau jatuh cinta sama siapapun. Tapi
satu hal yang harus kamu tahu Bell, jangan jatuh cinta terlalu dalam. Apalagi
di dunia abu-abu kaya gitu. Kita sama-sama tahu duniamu itu kaya apa, hubungan
yang akan aklian jalin seperti apa, resikonya kaya apa. Kita sama-sama tahu dan
paham akan hal itu. Kita berdua udah dewasa, bisa mikir resiko sama
konsekwensinya. Kamu bukan satu-satunya gay yang ada disekitarku Bell, jadi aku
bisa ngomong kaya gini. Kamu sendiri juga kenal mereka, kehidupan mereka.
Resiko pilihan hidup mereka. Apalagi udah puluhan tahun aku kenal kamu. Dengan
semua kepribadianmu. Sekali jatuh, kamu nggak bakalan cuma terpuruk, tapi juga
tenggelam sampai dasarnya. Kemungkinan kamu nggak bakal bangkit juga ada. Aku
nggak ingin kamu dalam posisi seperti itu. Nggak harus kan kita ngerasain jatuh
terus ketimpa tangga cuma buat ngerasain itu semua? Belajar dari pengalaman
orang itu lebih baik daripada harus mengalaminya,”
“Iya
Ndi, aku paham kok sama semuanya,”
“Bagus
deh kalau kamu paham semuanya. Aku nggak bakal ngehakimin apapun yang bakal
kamu pilih. Aku dukung apapun pilihanmu. Satu hal yang harus aku tekankan kalau
kamu bener-bener mau jalanin hubungan sama Willy. Kamu harus tahu kalau
hubungan kalian berdua itu nggak bakal ada ujungnya. Nggak ada legalisasi.
Nggak bakal ada pengakuan. Nggak ada juga cincin pengikat atau keluarga besar
yang bakal ngamuk kalau terjadi apa-apa sama kalian. Kalian hanya berdua.
Kalian harus benar-benar paham atas jalan yang kalian pilih ini.”
“Makasih
buat semuanya Ndi, dukunganmu berarti banyak buatku,”
“Sama-sama
Bell, itu gunanya keluarga,”
“Satu
lagi Ndi,”
“Apa
Bell?”
“Kamu
pernah tanya kenapa selama ini aku nggak pacaran, aku juga yakin kalau tadi
pasti kamu ngira kalau ini cinta monyetku,”
“Kenapa
memangnya?”
“Karena
dari dulu aku nggak mencari cinta Ndi, aku membiarkan cinta yang mencariku.
Karena bagiku, orang disebut jatuh cinta karena dia tak pernah memaksakan
dirinya untuk mencintai seseorang, tapi karena samata-mata ia jatuh tanpa ia
sadari. Hal itulah yang buat aku kelimpungan sama dia. Karena aku jatuh tanpa
aku sadari,”
Andi
manggut-manggut sebelum akhirnya menandaskan batang rokoknya di dalam asbak.
Tanpa berkata apa-apa dia beranjak pergi ke arah dapur, dan muncul beberapa
menit kemudian sambil membawa segelas susu hangat di tangan kanannya.
Meletakkan gelas susu besar itu di depan Abell sebelum akhirnya ia pergi keluar
dan meninggalkanya sendirian.
Di
hadapan segelas susu itu pikiran Abell melayang kemana-mana. Membayangkan
segala kemungkinan yang ada. Masalah yang akan ia hadapi. Rutinitas yang akan
berubah. ketidakpastian-ketidakpastian yang ia benci. Konsekwensi pilihannya.
Tapi juga ada harapan yang muncul disana.
Seulas
senyum terlukis di wajahnya saat dengan penuh semangat ia mengetik sebuah pesan
di handphonenya. Ia yakin jika seseorang itu belum tidur saat ini. Dan
memutuskan untuk tak tidur setelah membaca pesan yang segera terkirim.
Aku mau.
Aku mau jadi pacar kamu.
Pesan
itu terkirim. Abell langsung mematikan handphonenya saat panggilan masuk
langsung menyerbu. Ia langsung tenggak segelas susu itu. Menutup pintu cafe.
Lalu menuju lantai atas, tempat ia meeting
dengan Andi dan klien lainnya. Malam itu ia kesulitan tidur. Senyum terus
terulas di wajahnya. Hingga akhirnya ia dapat terlelap dalam bahagia.
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Daftar lengkap serial Pelepasan
Melajulah "Pelepasan"ku klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
0 komentar: