Pelepasan Remah 13
Pelepasan
Remah
13
Kisah
sebelumnyaklik disini
Lewat
balkon kamarku, kutatap malam yang mulai turun, menelanjangi alam dengan warna
hitam pekat. Seakan-akan ada seekor gurita raksasa di atas sana yang
menumpahkan tinta berwarna kelamnya. Satu persatu lampu ditiang pinggir jalan
menyala, menebarkan pijar keremangan di antara kegelapan yang terus menggerus
perlahan.
Sengaja
tak kunyalakan lampu, kubiarkan diriku tenggelam dalam kelam. Teh yang tadi
mengepulkan asap tipis, kini sudah dingin dan tandas, menyisakan beberapa butir
daun teh yang menggenang di dasar gelas. Pintu kamarku membuka pelan,
menyuntikan cahaya lampu yang mendadak begitu menyakitkan untuk bola mataku,
Willy mendapatiku sendirian disana.
“Kamu
sedang apa?” ucapnya dengan nada jenaka, lengkap dengan sorot mata yang aku
damba, “tak kira tadi kamu ke warung depan lho Bell,” lanjutnya masih dengan
nada gembira. Tapi, wajah cengengesannya langsung berubah saat melihat posisi
kedua telapak tanganku yang menumpuk, “kamu berdoa?” katanya seakan-akan tak
percaya dengan apa yang ia lihat.
Dengan
langkah pasti, ia beranjak menghampiriku. Lalu bersimpuh di depanku, dan langsung
menatap bola mataku.
“Aku
nggak berdoa kok,” jawabku dengan nada mengambang. Aku tahu kalau aku tak
pandani berbohong di depannya. Ku urai tangkupan tangan di depan dadaku.
Suasana canggung lekas menyelimuti kami berdua, terlebih dengan sorot matanya
yang medadak memojokanku.
“Ayolah
Bell, jujur aja kenapa? Doa itu membuat hati kita tentram,” katanya setengah
berbisik, ia genggam erat kedua tanganku. Seakan menguatkanku, “nggak ada
aturan juga kok orang yang lagi nyari agama nggak boleh doa,” tambahnya sedikit
memojokanku.
Kuhela
nafas perlahan, “Kamu benar,” jawabku jujur, lagian nggak ada gunanya berbohong
dengan dia, “aku tadi lagi mau doa, terus kamu tiba-tiba muncul,”
Ada
setitik penyesalan di bola matanya, “Maaf kalau aku ganggu doamu Bell,” ucap
Willy sungguh-sungguh, “yaudah aku tinggalin kamu sebentar aja biar kamu bisa
nerusin doamu,”
Kucoba
mengulas senyum di wajahku, aku benci melihatnya menyalahkan diri sendiri, “Nggak
apa-apa Will, lagian ini cuma doa kok. Kamu duduk disini aja,” pintaku
mempersilahkan dia duduk disampingku, ”aku pengin sandaran sama kamu,”
Aku
tahu kalau kamu sedang bingung, antara ingin memberiku waktu sendiri dan
menemaniku menyudahi waktu sendirianku. “Kamu tadi doa apa?” tanyamu sambil
menempatkan diri disampingku. Memposisikan diri agar kepalaku bisa bersemayam
di pundak lebarmu.
“Banyak
hal Will, tapi intinya aku bersyukur sama hidup yang aku jalani sekarang,”
ucapku penuh syukur, “aku berterimakasih di beri kesempatan buat ada di antara
orang-orang berhati baik, dewasa, suportif, dan berfikiran terbuka kaya kamu,
kaya Andi dan sahabat-sahabatku di Jogja. Mungkin aku nggak bakal bisa ngelewatin
masa-masa sulit kalau nggak ada mereka, orang-orang yang selalu ada buat aku
dan bisa diandalkan kapanpun. Aku sangat bersyukur karena hal itu,”
“Kadang
orang lain bisa lebih bermakna dari keluarga ya?” kata Willy dengan nada suara
bergetar. Seperti ada sesuatu yang menganggu fikirannya.
“Kalau
itu relatif sih Will,” jawabku pasti, sorot mataku masih tenggelam diantara
kelamnya malam yang terhampar di depan rumahku, “kalau dari sudut pandang anak
buangan kaya aku mungkin itu bisa dibenarkan. Tapi kalau dari sudut pandangmu,
masa iya sih?”
“Bell,”
kata Willy penuh penekanan.
“Udah
deh Will, kamu langsung ngomong aja.” Tembakku langsung, “Aku tahu kok kalau
ada yang ingin kamu sampein sama aku, kamu aneh soalnya akhir-akhir ini,”
Iya
terbahak, “Hahaha... masa sih? Segitu ketahuannya apa?”
“Ya
gitu deh.”
“Sebenernya
bukan nyampein sih Bell, tapi penasaran aja,”
“Penasaran
apa?”
“Kita
udah jalin hubungan udah lama. Aku cerita semuanya sama kamu, busuknya aku,
liciknya aku, bangsatnya aku, baiknya aku, hebatnya aku. Semua hal aku ceritain
sama kamu, jujur apa adanya,” jelas Willy dengan nada suara mantap, ”Tapi, kamu
seperti anomali di hidupku Bell. Kamu kaya kabut yang nggak bisa aku genggam.
Awan yang nggak bisa kusentuh,”
“Kamu
pengin tanya apa sih Will? Nggak usah berbelit-belit deh,”
“Aku
pengin tahu masalalu kamu sayang,” serobotnya langsung, hampir menghentikan
detak jantungku, “Aku pengin tahu semuanya tentang kamu, tentang hidupmu,
keluargamu, pilihanmu, kepercayaanmu, mimpimu, sudut pandangmu. Aku pengin tahu
semuanya secara detail, nggak cuma potongan-potongan kecil doang. Aku nggak
bisa selamanya nebak-nebak terus Bell, selama ini aku ngerasa kalau ada sisi
yang nggak bisa aku jamah di hidupmu. Sisi eksklusif yang kamu hadirkan untuk
dirimu sendiri,” tambahnya menguncang hatiku, aku tak pernah menyangka jika ia
akan berbicara panjang lebar seperti itu sebelumnya. Dia benar-benar penuh kejutan, batinku. Tapi batinku juga berkata
lain, ada gesekan yang tak aku suka, gangguan kecil yang tak bisa aku terima.
Mataku
menerawang ke dalam kelam hingga tak sadar jika ada air yang menggenang, kenapa
ada air mata? Apa yang aku tangiskan? Belum cukupkah semua yang aku tangiskan?
“Sayang,
kenapa kamu malah nangis?” kata Willy penuh perhatian. Perhatian yang malahan
membuat air mataku semakin deras. Ada rasa sesal di suaranya.
Andai aku bisa menjawab
pertanyaanmu Will, tapi hal itu pulalah yang aku tanyakan pada diriku sendiri
pada saat ini, apa yang aku tangiskan?
Lalu
Willy duduk di depanku. Melipat kakinya, bertumpu dengan lututnya dan
menangkupkan tanganku di antara telapak tangannya.
“Aku
kangen sama ibuku Will,” kataku jujur, belasan bulan aku menutup segala bentuk
komunikasi, dibuang dan membuang diri, ternyata aku masih menyisakan rasa untuk
mereka, “maaf kalau aku bohong sama kamu pas kita dipantai, ada hal yang sampai
sekarang aku masih bingung mau aku posisikan dalam perasaan yang mana. Kadang
pas lagi sendirian, atau pas lagi mau tidur. Aku sering nangis sendiri keinget
keluargaku, aku kangen sama mereka. Aku kangen sama ibuku, kakakku, ayahku. Aku
kangen mereka semua,” lanjutku sesegukan, masih ada lagi gelombang emosi yang
ingin keluar.
“Lha
kenapa kamu nggak coba buat pulang aja Bell?” tanya Willy polos, membuat sampah
hatiku berontak keluar. “Mungkin aja ayahmu nggak bener-bener serius buat
bilang itu, mungkin itu cuma kebawa emosi aja Bell,”
“Kalau
cuma kebawa emosi nggak mungkin sampai tahunan mereka biarin aku gitu aja dong
Will,” sahutku cepat, sebisa mungkin tanpa berlumur emosi, “Aku dibuang Will.
Aku diusir. Aku udah nggak dianggep anak lagi sama mereka,”
“Nggak
ada yang namanya mantan anak sama mantan orang tua lho Bell,”
“Aku
tahu ayahku Will. Aku paham gimana kolotnya dia. Nggak bakal dia narik
omongannya lagi. Kalaupun aku pulang, aku bakal masuk ke penjara atu ke penjara
satunya lagi Will. Mereka nggak bakal terima ada silsilah gay di keluarga
mereka. Nama baik itu segalanya buat mereka,”
“Tapi
apa iya sih Bell nama baik sama ego itu lebih penting daripada anak sendiri?
Anak yang di damba-dambakan lagi?”
“Lha
nyatanya sekarang gimana? Kita jalani pilihan masing-masing dan baik-baik
ajakan?”
“Beneran
kamu baik-baik aja?’ tanya Willy dengan nada menganggu, sangsi mengatakan jika
aku baik-baik saja. Kadang aku merasa kalau dia lebih paham diriku daripada
diriku sendiri.
“Will,
aku baik-baik aja tanpa mereka,” sahutku ketus.
“Boleh
nggak aku jujur sama kamu?” jawabnya sedikit sengak.
“Yaudah
ngomong aja,”
“Kamu
berusaha nunjukin kalau kamu baik-baik aja tapi sebenernya kamu nggak baik-baik
saja Bell. Udah deh Bell, jujur aja kenapa sih? Kenapa harus malu sama
perasaanmu sendiri?” kata Willy menyentak hatiku telak, ada riak emosi ditatap
matanya, ”kalau kamu ngerasa baik-baik saja, kamu nggak bakal sensitif pas aku
singung masalah keluarga, masalalu, atau agamamu. Tapi nyatanya sampai sekarang
itu masih topik tabukan buat kamu?”
“Will,
aku kan udah bilang. Aku butuh-“
“-Sampai
kapan? Sampai kapan aku harus nunggu kamu jelasin itu semua Bell? Kita udah jalin
hubungan lama Bell. Tapi, sampai sekarang aku masih buta tentang kamu, aku juga
berhak tahu dong tentang kamu,”
“Kamu
pergi,” jawabku ketus. Aku benci jika disudutkan seperti ini, aku benci
kata-kata yang baru saja keluar dari mulutku, ”aku lagi pengin sendiri,”
lanjutku mantap. Aku benci diriku sendiri.
“Okey”
jawab Willy penuh luka, “Aku bakal kasih kamu waktu buat sendiri,” tambahnya
sebelum beranjak pergi dari balkon kamarku yang petang. Aku dengar jelas
langkah kakinya yang menjauh, hingga akhirnya dia menstater motornya dan
meninggalkanku sendirian di rumah dengan perasaan seperti seorang pecundang.
Ingin
rasanya aku berteriak saat itu. Menyumpahi diriku sendiri.
Aku
benci malam itu. Tapi, aku lebih benci diriku yang masih belum bisa membiasakan
diri membicarakan banyak topik sakral di hidupku.
Berondongan
air mataku tumpah ruah. Malam itu aku kembali terluka. Luka yang aku buat
sendiri. Luka dari masalalu yang terkuak. Sampah-sampah hati yang kembali
menyerebak. Ingatan-ingatan panjara masalalu yang membuat muak.
Kupeluk
diri sendiri. Aku kembali menangis. Menangis karena aku yang sampai sekarang
masih tak bisa berdamai dengan masalalu. Yang tak bisa berdamai dengan diri
sendiri. Yang masih tak bisa benar-benar melepas banyak hal dari hidupku.
Aku
menangis karena membiarkan Willy pergi begitu saja. Padahal ia sama sekali tak
salah, ia hanya ingin mengenal lebih baik diriku. Ingin tahu lebih banyak
kisahku, masalaluku, luka lamaku, agar aku tak mengasingkan diriku sendiri.
Memenjara diriku dengan sakit hati yang teramat sangat.
Memenjarakan
diri dengan luka-luka yang belum tuntas.
Ternyata,
aku belum bisa melepas.
.
. . . # # # . . . ...
Aku
ketiduran. Aku terbangun saat ada notifikasi pesan baru yang masuk setengah jam
setelah aku berbaring di kamar, bekas air mataku belum kering benar saat kubaca
pesan itu dengan sorot mata samar. Ternyata SMS itu dari Andi.
Are you
okey? Masih ada di rumahkan? Aku samperin ya?
I’m Okey,
Thnx Ndi. Iya aku di rumah, aku baik-baik aja kok. Tapi aku lagi pengin
sendirian aja. Maaf ya.
Balasku
cepat, pasti Willy yang meminta Andi untuk memastikan kalau aku baik-baik saja.
Aku jadi tak nyaman jika suasana kita bertiga seperti ini. Selalu aku yang
diposisikan menjadi anak bau kencur, karena tingkah kekanakanku.
Pintu
kamarku membuka, menyeruakan sesosok bayang yang aku hafal, “Serius kamu
baik-baik aja?” kata Andi cekikikan. Entah sejak kapan dia sudah ada di depan
kamarku.
“Kamu
kok disini sih?” jawabku sewot menutupi bekas air mataku dengan bantal.
“Ya
suka-suka aku dong. Ini kan rumahku, aku kan masih pegang kunci semua ruangan
disini,” Jawab Andi enteng.
“Tapi
kan rumah ini udah resmi aku beli,”
“Tapi
kan kamu masih nyicil, baru dua kali lagi. Jadi belum sah dong.” Seloroh Andi
membuatku jengkel. “Mana nyicilnya lama amat lagi jaraknya,” tambahnya
cekikikan.
“Udah
deh. Mendingan kamu pulang sana. Aku lagi pengin sendiri nih,”
“Pengin
nangis sendiri maksutnya?” ucap Andi membuatku gerah.
“Udah
deh. Nggak udah rese. Lagi nggak mood nih,”
“Kenapa
lagi sih emangnya?”
“Aku
nggak apa-apa Ndi, suer,”
“Kalau
nggak ada apa-apa ya mana mungkin Willy minta tolong aku buat ngecek keadaanmu,”
“Emang
aku apaan? Pakai di cek segala,”
“Wes lah, ora sah kakean ngeles. Ndadak
nesu-nesunan barang, koyo cah cilik,”
“Sebenere
aku seng salah sih Ndi, Willy nggak salah apa-apa, akunya aja yang terlalu
sensi tadi,” ucapku jujur sebelum memulai sesi curhat malam itu. Sambil
diiringi petikan gitar dan lagu-lagu 80an, aku menceritakan semuanya,
satu-persatu, secara detail dan lengkap.
Kisah
selanjutnya klik disini
Daftar lengkap serial Pelepasan
Melajulah "Pelepasan"ku klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
0 komentar: