Pelepasan Remah 17
Pelepasan
Remah 17
Kisah
sebelumnya klik disini
Willy
menyusulku saat aku hampir selesai mandi, dibawah kucuran bulir-bulir air dari
shower ia memelukku dari belakang dan mengecup tengkukku hingga membuatku
mengelinjang akan kelakuannya, “Kamu seneng banget sih meluk aku dari
belakang,” tanyaku sambil terus menyabuni diri.
“Ya
karena hanya lewat cara itu aku yakin bisa memilikimu sepenuhnya,”
Cukup
dengan satu kalimat ia membungkam bibirku yang seringkali tak terkendali saat
berucap. Aku memutar tubuhku dan memeluknya lama, tanpa kecupan dijidat, atau
ciuman dilidah. Ia, adalah orang yang membuatku bersyukur akan banyak hal.
Bagiku, satu kalimat indah dipagi hari adalah amunisi untuk menghabisi
rintangan sepanjang hari.
“Aku
milik kamu sepenuhnya Will,” bisikku penuh perasaan dalam peluknya. Posturnya
yang tinggi menjulang, dan tinggiku yang hanya sepundaknya adalah satu hal yang
aku syukuri. Saat kami berpelukan, kepalaku selalu bersandar di depan dadanya
yang bidang dan gempal. Salah satu anggota tubuhnya yang paling aku suka,
karena mampu memberikan perasaan nyaman.
Pelukan
jugalah yang akhirnya bisa menyalurkan perasaan saat kata-kata tak lagi mampu
mengungkapkan rasa bahagia yang meletup indah di dalam dada, perasaan haru yang
begitu hebat, dan beragam beludak rasa lainnya yang membuatku hanya bisa
melampiaskan lewat sebuah pelukan.
. . . . # # # . . . ...
Jika
banyak pasangan yang merayakan hari jadi selama satu tahun di restauran mewah
atau dengan jalan-jalan ke tempat wisata untuk mengumbar kemesraan, hal itu tak
bisa berlaku untuk kami. Kami merayakan hari jadi dengan tidak bertemu dan
tidak berhubungan sama sekali selama kurang lebih satu minggu dan kemudian
merayakannya di rumahku tanpa hadiah satupun.
Pagi
hari tepat saat hari jadi kami, Willy datang membawa satu kardus lilin berwarna
putih dengan berbagai ukuran, seikat bunga mawar dan dua plastik besar berisi
bahan makanan. Sedetik setelah pintu tertutup, aku langsung menghambur
memeluknya. Aku kangen banyak hal darinya, aku rindu bau tubuhnya,
kebiasaannya, hadirnya.
“Baru
nggak ketemu seminggu aja kangennya udah sampe ubun-ubun Will,” kataku sambil
mendekapnya erat.
“Tapi
kalau aku pameran kan kadang lebih dari itu Bell,”
“Tapi
kan kalau ini beda sayang,” ucapku sedikit manja,“pertama karena kita nggak
boleh berhubungan sama sekali, nah, pas kamu pameran kan kita telefonan terus
sampe subuh. Terus yang kedua, karena kita bakal ngabisin waktu bareng setelah
seminggu nggak ketemu dan nggak berhubungan sama sekali.”
“Iya-iya
paham, mau langsung dekor sekarang?”
“Yaiyalah!”
Setelah
memindahkan sofa ruang tengah, dan mengelar karpet tebal di pusat ruangan, aku
langsung memasang lilin-lilin diberbagai tempat dan Willy mulai sibuk didapur
membuat berbagai masakan untuk hari spesial kami ini.
Saat
hari mulai petang dan matahari berganti kelamnya malam, satu-persatu lilin yang
mengitari karpet tebal di tengah ruangan mulai aku sulut dengan api agar
suasana semakin semarak, sayup-sayup alunan musik akustik menjadi latar
belakang kegiatan kami. Sebuah meja di tengah ruangan mendadak penuh saat Willy
mulai memindahkan berbagai masakannya ke ruang tengah.
“Lho
kok ada kue ulang tahun segala?” tanyaku kebingungan saat melihat ia membawa
kue ulang tahun berbalur krim berwarna putih dengan lilin angka satu di
tengahnya. “akukan mintanya makan malam biasa aja,”
“Ya
kan yang ulang tahun hubungan kita,” jawabnya simple, “sekali-kali nggak
masalah kan sayang? Seminggu kemarin ngapain aja?”
“Ngelakuin
banyak hal yang ada di list itulah,” jawabku penuh semangat, “dapet ide
darimana sih kamu?”
“Ya
pengen ngelakuin perayaan yang beda aja sih Bell. Setahun ini kan kita barengan
terus, kamana-mana berdua, nggak pernah pisah. Nah, aku pengen sekali aja kita
nggak barengan. Kita ngabisin waktu sendiri tanpa pasangan. Waktu khusus untuk
diri kita sendiri dan sahabat-sahabat terdekat. Barulah setelah satu minggu
kita nggak ketemu, nggak berhubungan sama sekali. Kita ngerayain satu tahun
hubungan kita berdua aja,”
Setelah
steak spesial tandas dari piring, Willy membawa dua buah botol anggur dari arah
dapur. Bulir-bulir air disekitar botol kaca terasa begitu menggairahkan untuk
segera dikecap. Sesuai kesepakatan, malam itu kami tak saling memberi hadiah
berupa barang, tetapi menghadiahkan diri sendiri untuk pasangan.
Musik
akustik tak lagi menyapa gendang teligaku saat denting gitar mulai bergema di
tengah ruangan. Sambil menyulut batangan rokok, ia memainkan lagu Lovesong
hasil coveran Adele, Bila Aku Jatuh Cinta dan lagu Sempurna sebelum akhirnya
kami bercerita kegiatan kami satu minggu terakhir sambil menyanyikan banyak
lagu cinta bersama-sama.
Usai
makanan tergilas asam lambung dan bulir-bulir fermentasi anggur menguasai
molekul-molekul darah, Willy membopongku dalam pelukannya, aku memagut bibir
tipisnya dan sesaat kita meneguk manisnya asmara. Di atas tempat tidurku ia
turunkan tubuhku dengan pelan, saling melumat dalam jangka waktu yang lama dan
bergegas melucuti baju masing-masing.
Bibirku
bergetar dan jantungku berdetak kencang saat menatap mata Willy, untuk pertama
kalinya aku melihat sorot matanya yang liar dan terlampau nakal terlumat habis
birahi. Malam itu, di depan tubuh telanjangnya aku pasrah, dari belakang
telinga, leher, puting susu, pusar dan selakangan semuanya ia kecup dan
gigit-gigit kecil hingga membuatku tak kuat menahan nikmat yang begitu hebat.
Setelah
mencupang bibirku beberapa kali, ia mulai memasang kondom di penisnya,
mengoleskan cairan pelumas di kondomnya dan di selakanganku. Permainan lidah
liarnya di spot-spot orgasmik membuatku terus menerus mengerang perlahan
menahan rasa nikmat. Sambil memeluk dan memagut bibirku kasar, Willy mulai
memasukkan penisnya ke lubang pantatku. Rasa sakit dan perih yang membakar
membuatku merintih kesakitan. Berulang ia terus berusaha memasukkan batang
kemaluannya ke duburku, saat aku meronta dan berusaha menarik tubuhku menjauh dari
pelukannya, ia langsung menarik kembali tubuhku ke dalam pelukannya, menambah
keliaran permainan lidahnya dalam mulutku.
Teriakan
panjang antara leguhan penuh nikmat dan sakit terdera karena rasa panas di
selakangan menjadi pertanda saat tubuh kami bersatu. Deru nafas Willy terdengar
tak beraturan saat ia mulai menggerak-gerakan batang kemaluannya di
selakanganku. Aku merintih, ia berdesis penuh nikmat, aku kesakitan, ia meleguh
penuh kepuasan, tapi beberapa menit kemudian hanya ada desah penuh nikmat yang
menggema.
“Bell,
aku copot ya kondomnya,”
“Kenapa
emangnya Will?” jawabku ngos-ngosan.
“Kurang
nikmat kalau pake kondom,”
“Terserah
kamu deh, ngikut kamu aja,”
Rasa
rindu yang begitu bertalu membuat seks kali ini begitu liar, aku cukup
kesulitan mengimbangi Willy yang nampak seperti orang kesurupan. Setelah
membolak-balik tubuhku beberapa kali, ia menggedongku, memposisikan tubuhku
agar duduk di atas tubuh terlentangnya, menindihiku, mengangkat tubuhku ke
udara. Beragam gaya kami coba, dari yang romantis hingga buas kita lakukan demi
kenikmatan.
Banjir
keringat membuat bunyi kecipak saat kulit kami bertemu, sudah dua kali penisku
menyemburkan sperma tapi Willy masih ingin terus berpadu denganku. Dengus
nafasnya mulai satu-satu hingga akhirnya dia hanya diam memelukku, keringat
deras mengalir, detak jantungnya terpacu kencang dan kurasakan semburan
berulang di dalam anusku. Kecupan-kecupan ringan terus ia daratkan dikulitku
hingga detak jantungnya normal dan nafasnya tak lagi ngos-ngosan.
Rasa
panas dan perih masih setia mengitari lubang duburku saat penis Willy mengempis
ke ukuran semula. Leguhan panjang dan buangan nafas berat mengakiri seks kami
pada malam itu. Derai keringat membuat kulit kami luar biasa lengket dan
lembab, setelah mengatur nafas beberapa saat, Willy mulai berganti posisi. Ia
merentangkan tubuh besarnya di atas tempat tidur dan mendekapku dalam
pelukannya, ia kecup jidatku lama sebelum akhirnya aku hanya bisa memejamkan
mata di atas dada kenyalnya yang penuh keringatnya. Rasa lelah yang begitu
dahsyat tiba-tiba mendera tubuhku, saat Willy mengajakku untuk membersihkan
diri di kamar mandi.
Saat
akan menyusul Willy di kamar mandi, beberapa kali aku menghentikan langkahku.
Gesekan kulit selakangan saat aku berjalan terlampau perih untuk diabaikan,
tubuhku bergetar saat sensasi terbakar itu kembali menyeruak dari selakanganku.
“Sayang,
kamu kenapa?” tanya Willy memergokiku kesakitan, ia langsung beranjak dari
kamar mandi, memanggulku kembali ke atas ranjang. Memintaku nunging di depannya
dan memeriksa dengan seksama pantatku.
“Aku
nggak apa-apa Will,” jawabku bohong.
“Nggak
apa-apa gimana? Lecet gini lho pantatmu. Maafin aku ya kalau tadi mainnya kasar
sama kamu,” katanya penuh penyesalan, “cepetan bersihin diri dikamar mandi,
terus kita periksa ke dokter,”
“Ini
udah jam sepuluh malem Will, mana ada dokter buka jam segini?” balasku
realistis, aku tak mau jika harus ke rumah sakit karena hal ini.
“Aku
punya kok temen dokter, dia pasti mau bantuin kamu sekarang,” jawabnya cepat,
“bentar, aku telefon dia dulu,” tambahnya cemas.
Saat
Willy menelfon temannya, aku berjalan pelan ke kamar mandi sambil sekuat
mungkin menahan rasa panas yang masih bercokol hebat diselakanganku. Ketika aku
selesai membersihkan diri dari kamar mandi, Willy sudah berganti pakaian dan
menyiapkanku pakaian untuk periksa.
“Udah
deh Will, besok juga udah baikan lho. Nggak usah cemas gitu kenapa?” selorohku
mengajaknya bercanda. Tapi raut wajah seriusnya sama sekali tak bisa diabaikan,
membungkam mulutku dan memutuskan untuk menuruti semua kemauannya.
Dan
esok harinya adalah hari yang menjengkelkan, prostatku memang lecet karena
gesekan penisnya yang terlalu kencang. Dari teman dokternya itu kudapat obat
pereda nyeri dan salep, bahkan pagi harinya aku sudah merasa baikan. Tapi Willy
memperlakukanku bagai orang lumpuh.
Ia
tak memperbolehkanku turun dari ranjang, diatas ranjang aku tak memakai celana,
hanya berselimut sarung saja dan Willy melayaniku apapun padahal aku sama
sekali tak butuh pelayanannya. Bahkan dengan kondisi seperti itu aku yakin
kalau aku bisa kerja di Reve seperti biasanya. Tapi aku malas berdebat dengan
Willy sekarang, dia akan berubah menjadi pribadi yang sangat galak dan
menjengkelkan jika tak dituruti permintaannya.
Kisah selanjutnya klik disini
Daftar lengkap serial Pelepasan
Melajulah "Pelepasan"ku klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
0 komentar: