Pelepasan Remah 28
Pelepasan
Remah 28
Kisah sebelumnya klik disini
. . . . # # # . . . ...
“Will,
besok aku sama anak-anak Reve mau ke panti asuhan, kamu mau ikut nggak?”
“Dalam
rangka apa emangnya?”
“Hari
ulang tahunnya Reve,”
“Lho?
Bukannya kemarin udah dirayain dua hari berturut-turut di cafe ya? Mau di
rayain lagi emangnya?”
“Kalau
yang besok khusus pas tanggalnya, kemarin kan acaranya sengaja di majuin pas
weekend biar meriah aja,”
“Wah
kalau gitu mendingan aku nggak usah ikut deh Bell, soalnya kayaknya acara ulang
tahun itu personal banget buat kalian semua. Kalian yang bangun Reve
bersama-sama, sekali-kali kalian nikmatin deh ngabisin waktu bareng-bareng kaya
gitu,”
“Kalau
sekedar ngabisisn waktu sih kita sering hangout atau nonton bareng Will,”
“Tapikan
itu hari sakral buat kalian semua, jadi aku sebagai orang luar nyumbang doa
biar meriah dan bermakna deh acaranya,”
“Makasih
sebelumnya Will, buat doanya. Beneran kamu nggak mau ikut?”
“Nggak
Bell, have fun ya,”
“Oke
deh sayang, makasih ya,”
Seperti
biasa, Willy mengantarku sampai Reve sebelum akhirnya ia jaga distro miliknya,
saat aku datang, ternyata anak-anak sedang memasukan beberapa barang ke dalam
bagasi mobil. Andi memberiku cangkir berisi susu sapi rasa original saat aku
menghampirinya, “Lho Willy nggak ikut?”
“Dia
nggak mau ikut, menurut dia hari ini hari sakral buat kita semua jadi dia nggak
mau ikut ke panti,”
“Maksudnya?”
“Ya
maksudnya dia pengin hari ulang tahun Reve di panti khusus buat anak-anak Reve
aja, dia nggak mau ganggu,”
“Owh
gitu,” kata Andi sambil menyeruput susu panasnya.
“Udah
beres semuanya?”
“Udah,
tinggal berangkat aja. Ntar kita sarapan di jalanan aja ya, biar ntar pulangnya
kita bisa buka rada sorean,”
“Oke
deh. Manut aja kalau jadwalnya udah kamu atur,”
Hari
ulang tahun Reve kembali kita rayakan di panti asuhan untuk anak-anak Down sindrom, bukan bermaksud dok ingin
jadi relawan atau karena hal lain. tapi, mengunjungi anak-anak penderita
kelainan kromosom yang membuat mereka menderita hambatan kecerdasan dan
bercetak wajah datar, menjadi hal yang selalu kami nantikan tiga-empat bulan
sekali. Pelipur lara dan pembagi kebahagiaan yang akhirnya menjadi candu.
Sejak
waktu SMA dulu, disela-sela waktu kami berwirausaha, aku dan Andi memang sering
menjadi relawan, bahkan kami berdua saling bersaing. Kami berdua bersaing
banyak-banyakan menghabiskan waktu di panti asuhan dan panti jompo, waktu itu
memang jiwa muda kami mengelabui apa yang sebenarnya kita berdua sering
lakukan. Tapi, akhir-akhir ini kita tahu apa yang sebenarnya kita lakukan saat
menjadi relawan.
Di
tempat spesial itu, kami bisa mengambil banyak pelajaran tentang kehidupan,
memang tak ada obat untuk menyembuhkn mereka, karena sebenarnya memang kondisi
mereka sama sekali tak bisa dan bukan untuk di sembuhkan. Banyak orang yang
bilang kalau anak-anak down sindrom
itu tak normal, walaupun aku sama sekali tak tahu standar normal mana yang
orang-orang itu sebut. Tapi ada satu hal yang membuatku tak ingin jauh-jauh
dari mereka untuk waktu yang lama, kepedulian. Anak-anak down sindrom itu
membuatku peduli terhadap mereka dan mereka juga kerap kali menunjukkan
kepedulian yang lebih besar terhadapku.
Sering
kali kita dibuat tersentuh dan hampir menangis oleh mereka. Saat kami datang,
pelukan dan senyuman mereka seketika meruntuhkan dinding pertahanan ego kami.
Pernah suatu kali saat aku berulang tahun dan membuat syukuran kecil-kecilan
bersama mereka dan sahabat-sahabat terdekat, seminggu kemudian mereka
memberikan kartu ucapan terimakasih. Kartu ucapan iterimakasih itu tidak dibuat
dengan bagus, karena tangan mereka sama sekali tak bisa membuat sesuatu dengan
rapi. Tapi, sekedar membaca apa yang berusaha mereka katakan dengan bahasa kita
effeknya sanggat luar biasa terhadapku.
Setelah
kira-kira satu jam kami bermain bersama mereka, aku dan Andi keluar ruangan.
Sekedar mencari udara segar dan mencairkan beludak macam perasaan yang membuat
dada kami mendadak sesak.
“Udah
deh, kalau mau nangis, nangis aja. Nggak usah malu. Kaya lagi sama siapa aja,”
seloroh Andi langsung menyentuh perasaanku, “lagian nggak semua air mata itu
jahat kok Bell. Kalau kamu masih bisa menangis, tandanya kamu masih punya hati,
jadi menangislah,” tambah Andi pelan, sekilas kulihat matanya berkaca-kaca saat
mengatakan itu, “bagiku, anak-anak itu adalah orang-orang jenius di dunia ini
Bell,”
“Lha kok iso Ndi?” jawabku dengan suara
parau dan nada bergetar. Akhirnya air mataku tumpah juga di depannya. untuk
kesekian kali aku tak bisa menahan air mata di hadapannya.
“Karena
mereka mengajari satu bahas penting di dalam kehidupan ini Bell,” katanya
pasti, mengulurkan sapu tangannya padaku, ‘mereka mengajarkan apa yang dimaksut
bahasa emosi,”
Aku
mengangguk setuju sembari mengusap air mata yang sedari tadi tak kunjung
berhenti.
“Kita
emang nggak bisa Bell bicara secara intelektual ama mereka, kita nggak bisa
bahas teori-teori fisika kuantum atau flat
earth sama mereka. Kemampuan mereka merangkai kata-kata sama sekali nggak
lancar, tapi mereka bisa langsung tahu apa yang sedang kita rasakan, entah
suasana hati kita lagi baik, jelek apa kecewa,
cuma lewat satu tatapan,” jelas Andi tenang, kata-katanya merasuk ke dalam
hatiku, “mereka mengajari kit bahasa itu, Bell. Bahasa yang enggak mikirin
orang, tapi bahasa untuk merasakan orang. Mereka adalah orang yang paling peka
yang pernah aku tahu. Mereka adalah para jenius bahasa emosi. Kita belajar
banyak sama mereka bagaimana caranya peduli sama mereka, saat kata-kata tak
lagi bisa mengungkap makna.”
“Satu
hal yang aku suka dari kamu Ndi, kamu selalu bisa melihat banyak hal dari
kacamata yang berbeda,” ucapku tulus, sering aku merasakan hal itu, hal yang
baru saja Andi katakan, tapi aku tak tahu bagaimana caranya untuk mengungkapkan
apa yang ia sebut bahasa emosi, “mungkin karena itulah aku selalu menantikan
saat-saat seperti ini. Belajar dari belas kasih memberi kita banyak
kebahagiaan,”
“Tentu,”
jawab Andi pasti, “kita belajar makna kehidupan sama mereka Bell, teori-teori
asik dan renyah yang sering kita debatin nggak bakal ngasih makna kehidupan
secara mendalam sama kita. Atau ilmu-ilmu yang kita pelajari di sekolah,
semuanya itu hanya kerangka dasar saja. Saat itulah aku sadar kalau makna
kehidupan ini adalah memberi tanpa pamrih, berbagi
kebahagiaan sama banyak orang. Hidup bukan tentang apa yang bisa kita kumpulkan
sebanyak-banyaknya, tetapi apa yang mampu kita lepas dan beri
sebanyak-banyaknya.” Senyum tulus menghiasi wajah Andi menjelang siang hari
itu. Matanya berbinar, wajahnya sumringah. Aku tahu jika bibit-bibit
kebahagiaan tumbuh pesat di dalam hatinya.
“Udah
yuk masuk, ntar bisa-bisa kita sampai malem disini kalau acaranya nggak
dimulai-mulai,”
Saat
aku dan Andi menghampiri anak-anak down
sindrom itu kembali, mereka langsung berlari ke arah kami, menghambur
dengan pelukan hangat. Di tempat ini, dengan mudah kami memetik kebahagiaan
yang melimpah ruah. Anak-anak ini, tak akan pernah bertengkar dengan kami soal
agama, ideologi, pandangan politik, orientasi seksual, ilmu pengetahuan atau
beragam hal lain yang membuat kita mengotak-kotakan diri. Meeka langsung
memeluk ketika mereka tahu kalau kita membutuhkan pelukan, mampu menerima
kehangatan mereka, adalah satu hal terbaik yang bisa kita lakukan di dalam
kehidupan.
Kunjungan
yang kami niatkan singkat selalu menghabiskan waktu kami hampir seharian
sekedar untuk menemani mereka bermain atau hanya menunggu mereka di ujung
ruangan. Saat kami pamitan untuk pulang, pelukan hangat menghantar kami hingga
gerbang.
Ratapan dan tangis sendu membuat kami semakin
tak tega meninggalkan mereka. Setelah berjanji untuk kembali lagi, mereka
akhirnya memperbolahkan kami untuk pergi, lambaian tangan kuat-kuat hingga
mobil kami tak lagi tampak di pelupuk mata menyisakanku dalam dera air mata
panjang.
Tiga
malam setelah hari ulang tahun Reve, Willy pulang ke rumahku dengan keadaan
memprihatinkan.
Kisah selanjutnya klik disini
Daftar lengkap serial Pelepasan
Melajulah "Pelepasan"ku klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
0 komentar: