Malaikat, Mimpi dan Gadis Cacat
gadis cacat
oleh : triztan famous
Crak!! Crack!! Tyarrr...
Begitulah kiranya suara bedebam pintu
almari yang ku banting disusul dengan pecahnya kaca yang menempel di pintu
almari dikamar tidurku. Aku meluap melihat keadaanku, ketidak sempurnaanku,
kecacatan yang ku emban sejak lahir. Dadaku seakan meledak, memuntahkan larva
kemarahan.
Aku membeku melihat pecahan kaca
bergelimangan dikakiku. Telapak tanganku memanas, serasa terbakar akibat menahan
pacahnya kaca dialmari itu. Hanya berupa goresan biasa, tapi bagi anak kelas
empat sd saat itu adalah guratan luka yang besar. Muncul air dipelupuk mataku,
merembes pelan di pipi membuat garis horizontal.
“ Novi cacat..., novi cacat... “
ejekan teman-teman dikelas beberapa jam tadi membuat dadaku sesak. Semua ejekan
menyeruak dari masalalu berpadu mengumpal difikiranku, rengekan yang tadinya
pelan sekarang meledak menjadi tangisan hebat, sampai saat seorang malaikat
datang dikamarku.
Matanya terbelalak melihat pecahan
kaca almari, darah yang mengucur pelan, dibumbui soundtrack air mata. Malaikat
itu merengkuhku pelan dalam pelukan, tatapan matanya berubah menjadi kalem
menenangkan. Aku terisak didadanya, tergagap menceritakan ejekan teman-temanku
disekolah tadi. Air mataku semakin deras menetes baju motif kotaknya, ia
melepaskan pelukanya, mengangkat kepalaku dengan tangan selembut sutra.
Mengaitkan pandanganku tepat dimatanya, tatapanya berubah drastis menjadi
sendu. Muncul air dikelopak matanya tapi tertahan tak ia keluarkan dihadapanku,
ku tatap wajah cantik rupawan dengan rambut sepundak yang tak pernah berubah
modelnya dari dulu.
“ Sstttt “ bisiknya menghapus air mata
dari pipiku, aku masih tersendat-sendat saat akan bercerita lagi “ Ini rahasia
ya, kamu tetep anak ibu yang paling cakep sedunia... “ tambahnya mencium
keningku, entah sindrom apa yang merasukiku saat itu, jiwaku mendadak tenang,
air mataku seperti di stop dan berhenti total.
Ciuman hangat ibu seperti berdaya
magis menyuplay jiwaku dengan energi yang baru, sedikit demi sedikit dadaku
membuncah dengan kegembiraan yang mengalir pelan lewat aliran darahku, menusuk
sum sum tulangku membuatku lumpuh dengan pujian malaikatku itu, ia selalu bisa
menenangkanku dalam keadaan apapun.
Ibu memincingkan mata ke kaca almari disebelahnya
terdapat bercak darah mengering disana, melirik goresan luka ditelapak
tanganku, dan anehnya dia malah tersenyum kepadaku. Membuatku semakin bertanya
keheranan menguap difikiranku, aku tak mengerti sama sekali. Otak kecilku yang
penuh dengan ejekan teman sebaya, membuatku tak berkembang menafsirkan senyuman
ibu itu.
Ia mengandeng tanganku, sentuhan sutra
dengan kehangatan pas yang menjalar diseluruh tubuh, membuatku senang saat ibu
mengenggam tangan kecilku. Ia menuntunku kearah dapur guna menyembuhkan luka gores
ditanganku. Wanita berparas ayu itu membalut tangaku dengan handsaplast, aliran
darahku sudah berhenti dan mulai mengering saat dibersihkanya. Tak lupa secuil kecupan
kecil ia selipkan di atas lukaku setelah terbungkus rapi. Luka ditanganku hanya
meninggalkan sedikit rasa perih saja, tak separah yang kubayangkan tadi, saat
aku mengumbar tangis besarku.
Sore itu berjalan cepat dengan kisah
menakjubkan saat ibu melahirkanku. Saat ia mencium bau surga yang tertinggal
dikulit tubuhku beberapa detik setelah aku menarik nafas didunia baruku. Ia selalu
bercerita betapa beruntungnya dia bertakdir memilikiku, betapa bahagianya saat
ia melihat pipi merah mudaku untuk pertama kali, dan betapa bunggah hatinya
saat ia melihat bagian dari tubuhnya terlahir dari rahimnya. Dengan tatapan
berlinang ia menceritakan semua hal itu. Hal itu selalu berhasil menguatkan
hatiku, malaikat yang berkedok ibu itu selalu berhasil merengkuh diriku dari
kesengsaraan awal kehidupanku.
Jumat pagi aku kembali kesekolah
dengan kebahagiaan yang membuncah, hari ini ada pelajaran mengambar, mata pelajaran
yang paling aku gemari. Satu-satunya hal dimana aku merasa mempunyai bakat dari
yang kuasa, bakat yang ku bawa sejak pertama kali aku terlahir, bakat yang bisa
aku banggakan.
Aku memiliki imajinasi liar kata
ibuku, saat aku memegang pensil warna, aku merasakan kelegaan yang luar biasa
dimana hanya dengan media kertas dan pensil warna saja aku bisa meluapkan semua
hasrat yang berkutat difikiranku. Aku merasa seperti berada diluar angkasa dimana
tubuhku melayang tak tentu arah di antara ruang hampa udara.
Ibuku tak pernah memarahiku saat aku
mengambar ditembok kamarku, hanya ditembok kamarku kata ibuku berpesan. Dia sanggat
mendukungku dalam hal ini, ibu memberikan dukungan penuh untukku. Pertama kali
dalam hidupku dia mengajariku untuk berimajinasi dengan mimpi, ibu mengajarkan
jika mimpi itu sah dan berharga. secara naluriah mimpi itu adalah harapan alam
bawah sadar kita, mimpi adalah target masa depan dimana kita harus
mempercayainya jika kita ingin membuatnya nyata.
Bahkan saat hari ulang tahunku dikelas
empat ibuku mengecat warna dinding kamarku menjadi putih seperti warna kertas,
membuatku semakin bergairah dalam bermain sketsa dikamar. Aku menulis sebuah
cerita berdasarkan flim kartun di tv dan melukiskan kisah ditembok kamarku,
membuat duniaku sendiri. Hal itu memberiku banyak waktu untuk berimajinasi,
bahkan aku sempat lupa makan saking asiknya merealisasikan dunia imajinasi
ditembok kamarku. Memberi waktu untuk mengasingkan diri dari lingkungan
sekitar.
Aku tak berniat keluar rumah setelah
pulang sekolah. Bermain dengan teman sebaya hanya akan memberiku oleh-oleh
ejekan, aku selalu pulang dengan air mata. Betapa rapuhnya aku saat itu.
Seorang anak cacat kelas empat sd menahan ejekan yang terpatri direlung hati,
tanpa seorang teman hidup hanya dengan seorang ibu semata. Tentu aku tak
benar-benar tidak memiliki teman, ada banyak orang yang membantuku di sekolah
tapi bukan karena ingin dekat atau bersahabat denganku tapi hanya karena merasa
kasihan kepadaku saja.
Aku tak menyesali ukuran kakiku yang
berbeda antara kaki kiri dan kanan atau ukuran kepalaku yang lebih besar dari
ukuran kepala anak-anak normal seusiaku. Aku hanya cacat fisik bukan cacat
kepribadian atau cacat mental. Disekolah aku tetap berprestasi, aku selalu
masuk peringkat lima disekolah dasar, aku lulus dengan sebuah sertifikat
menggambar ditahun kelimaku, aku meraih juara dua dan meninggalkan sebuah piala
di mantan sekolahku, dan aku sanggat bangga dengan itu.
Pertama kali ibuku campur tangan
didunia imajinasi buatanku saat aku mulai menginjak smp. Dia menuliskan sebuah
kalimat diatas ranjangku di tembok tepat didepan meja belajarku. Sebuah tulisan
terpampang jelas, mudah terbaca dari
berbagai sudut karena balutan warna cemerlang. Sebuah motto hidup yang ia
salurkan padaku menyerupai sebuah warisan keluarga, seperti sebuah mantra
kalimat itu langsung terserap hebat mendarah daging dan melekat kuat di tubuhku.
Ia menuliskan “ dream, belive and make it
hapend “.
Kalimat penuh semangat
yang memenuhi relung hatiku, dimana aku diajarkanya untuk mempercayai mimpi.
Hampir setiap malam sebelum aku terlelap ia selalu menjejalkan kalimat itu,
semburat warna putih uban mulai mendominasi pelipisnya tapi sama sekali tak
menyurutkan aura kecantikan khas malaikatnya, sampai sekarang aku masih
memujanya.
Beranjak puber pertamaku ibu mengikut
sertakan aku disebuah sanggar lukis ternama dikotaku, disanggar itu aku
menemukan dunia imajinasi kedua setelah dinding dikamarku yang penuh dengan
lukisan liar imajinasiku. Aku bermimpi secara alamiah karena ibu, mimpiku
adalah menjadi seorang pelukis, novelis atau apapun yang berkaitan dengan dunia
imajinasiku. Sesuatu yang pasti akan terwujud suatu saat nanti, setiap hari
minggu ibu mengantarku dengan motor maticnya hampir satu tahun. Sebelum ia
meninggal karena kecelakaan maut itu...
Minggu pagi itu kemarahanku membuncah
saat mengetahui jika ayahku belum meninggal. Ibu telah membohongiku, dan itu
kebohongan terkeji dalam kehidupanku. Ayah meninggalkanku saat aku masih bayi,
saat ia tau ketidaknormalanku, saat ia tau kecacatan yang melekat ditubuhku.
Aku bercermin dikaca pecah didepan almari kamar melihat betapa buruknya diriku
sehingga ditinggalkan ayahku. Seperti segumpal dosa yang melepuh, aku meronta
dengan tangisan paling keras yang pernah kulakukan. Aku membayangkan betapa
jijik saat ayah melihatku pertama kali dari rahim ibuku, betapa memuakan semua
itu, betapa malunya dia setelah menanti sembilan bulan dan ketika aku terlahir
tak seperti harapanya. Hatiku hancur, tak pernah aku terpuruk seperti ini...
Aku mencongkel paksa tutup kaleng cat
minyak dengan obeng. Aku sampai tak sadar jika kuku di jari tanganku terbelah
karena tekanan berlebih yang tersalur kuat diobeng saat ku buka paksa kaleng-kaleng
cat itu dan menghamburkanya ketembok kamarku secara bersamaan. Menciptakan sebuah
goresan menakjubkan sekligus mengerikan, aku merekam celah detik itu dengan
sanggat hati-hati. Cairan kental cat minyak itu menghancurkan dunia kecilku.
Dunia imajinasi yang ku buat sejak sd, media pelampiasan kegetiran hatiku saat
teman sebayaku mengejek kecacatan tubuhku. Dunia yang mengalihkan perhatianku
dari sebuah kata “ teman ”, dunia yang membuatku terasing dari dunia nyata.
Kecelakaan itu begitu cepat, saat ibu memboncengku
dengan paksa, saat air mataku terasa tak akan pernah surut lagi. Dia mencoba
menjelaskan semuanya kepadaku, tapi tuhan memaksakan kehendak lain. Ibu
kehilangan konsentrasi mengemudi hanya agar aku paham mengapa ia melakukan itu,
dan saat sebuah truk menghantam kami, aku terpental jauh kebelakang... melihat
tubuhnya terlindas roda truk. Bermandikan darah segar dan seketika separuh
jiwaku melayang, gelap hanya gelap yang kurasakan.
Selama hampir satu tahun aku tak
mempunyai semangat untuk melanjutkan hidup. Aku ingin ibu... aku ingin ibu...
hampir setiap malam aku memimpikanya. Setiap kali aku terbangun, mataku udah
bengkak dengan air mata yang mengering.
Beberapa kali sodaraku datang
menengokku dan memintaku agar mau diadopsi. tapi kebenciaku membentuk sebuah
benteng tebal di hati, bagaimana saudara-saudaraku itu terlibat sebuah
kebohongan besar itu? Betapa bodohnya aku termakan akting manis mereka, aku
menjalani masa-masa paling suram dihidupku, hidup dari belas kasian orang dan
sodaraku. Kadang aku juga menjual barang-barang dirumahku hanya sekedar agar
bisa makan, keterpurukanku terus berlanjut dimasa remajaku. Dimasa dimana
biasanya remaja seumuranku bergelimang perasaan tak tentu tentang cinta
pertama, hal yang tak berlaku untukku... hahaha siapa yang akan mengencani
seorang gadis cacat sepertiku?
Prestasiku merosot tajam, dari
predikat siswi berprestasi dengan beragam sertifikat mengambar menjadi seonggok
daging tak bernilai. Wali kelasku kerap berkunjung kerumahku hanya sekedar
melihat betapa menyedihkan keadaan muridnya saat itu, yang membuatku bertanya
kenapa ia selalu menahan air mata saat melihatku? Apakah tuhan menakdirkanku
hanya untuk jadi bahan cacian? Hanya jadi jadi tontonan menjijikan? Hanya jadi
alat belas kasian orang lain? Aku tak tau, yang jelas aku mulai menikmati semua
tuduhan orang-orang yang tak memahami duniaku seperti sosok malaikatku. Sosok
ibuku...
kejadian mengerikan itu terjadi saat
aku kelas tiga smp. Berimbas saat ujian nasional, aku tak lulus ujian
bulat-bulat, satu-satunya siswi yang tak lulus di smp terfavorit di kotaku, dan
aku mulai mengecewakan semua orang disekelilingku...
Aku memutuskan untuk tak mengulang
dikelas tiga, aku keluar dari smp itu, meninggalkan rumah dan hidup di sanggar
lukis setelah seorang guru lukis menawariku untuk tinggal di sanggarnya.
Malaikat penolongku itu kupanggil pak pur, dimana dunia imajinasi keduaku masih
utuh, disana aku mulai ia di perkenalkan dengan sebuah kehidupan baru. Ia hidup
dengan dua orang putra dan seorang istri yang luhur budinya, ia tau kehidupan
lamaku dan mengizinkan aku tinggal disanggarnya untuk sekedar bantu-bantu.
Walau cacat fisik tapi aku memiliki tetap mempertahankan “ selera tinggiku “
dalam hal apapun. Pak pur mengajariku melukis dengan Cuma-Cuma, aku merasakan memiliki
sebuah keluarga kembali. Setelah dilatih istri pak pur secara maraton aku mulai
bisa mengantikan masakanya, walau tak sempurna tapi masih bercita rasa.
Lukisanku berkembang dengan dunia
liarku, aku tak pernah menggambar sesuatu dengan normal. Hampir semua gambaranku
mengambarkan ketidaknormalan. Yang dimaksutkan ketidaknormalan lukisanku disini
seperti saat aku mengambar seorang manusia dengan telingga kelelawar, seorang
gadis tanpa pipi bagian kanannya dan yang lainya mungkin itu karena terimplikasi
dari keadaan tubuhku.
Aku berkembang menjadi bagian hidup
keluarga seniman disanggar itu, satu kesamaan antara ibuku dan pak pur adalah
mereka mengajarkanku untuk bermimpi, dan aku menemukan jalanku bersamanya.
Pak pur mengajariku tentang semua hal
yang ia ketahui tentang lukisan, bagaimana menyempurnakan sebuah gambar,
memadukan garis dalam gradasi warna, melakukan finishing gambar. Bagaimana caranya
melihat sesuatu dengan sudut pandang yang berbeda, bagaimana membuat suatu
gambar itu bernilai seni, bertekstur alami, dengan ketelitian tinggi, dan aku
mulai tersadar jika sebagian besar hidupku ditentukan oleh riwayat ibuku.
Betapa sempurnanya dia bisa menyalurkan hasratku didunia yang tepat bersama
keluarga pak pur, bagiku keluarganya adalah jelmaan malaikat pengganti ibuku.
Mungkin ini adalah jalan rahasia tuhan
setelah aku kehilangan satu malaikatnya dia memberiku empat malaikat penggantinya,
untuk pertama kalinya setelah ibuku meninggal aku bersyukur terhadap tuhan.
Kisahku bermula saat salah seorang sahabat
karip pak pur yang sedang menempuh ilmu di isi jogja mampir ke galerynya.
Lelaki itu jatuh cinta pada pandangan pertama ketika melihat lukisan anehku, ia
menyukainya, ia tergila-gila dan berniat membawa beberapa lukisanku untuk absen
dipameranya. Pak pur pun langsung menyetujuinya dan membawakan lukisanku pada
lelaki jangkung berkulit putih pualam, berambut gondrong rapi sepunggung dengan
tatapan mata hitam pekat sanggar.
Sebuah lukisanku terjual seharga motor
matic, betapa bahagianya aku saat itu, saat perlahan mimpiku mulai terwujud.
Saat bab kehidupanku menjadi sebuah pelajaran, saat sebuah kenangan menjadi
batu loncatan, dan saat mimpi yang diwariskan ibuku mulai bisa aku wujudkan.
Perjalanan mimpiku mulai terbagi-bagi seiring
petualangan hidup yang telah aku lampaui bersama orang yang membuat lukisanku
berkubang dalam pameran. Tapi, aku memilih untuk tidak terlena, aku tetap
memfokuskan diri untuk meraih mimpi utamaku terlebih dulu. Dengan hanya
bermodalkan mimpi aku memutuskan untuk meninggalkan keluarga pak pur, bukan
bermaksud kurang ajar atau tak tau balas budi tapi untuk mengejar mimpi. Dia menyetujui
permintaanku itu dan untuk kedua kalinya jiwaku terbagi lagi, aku sanggat
kehilangan keluarga malaikat itu. Hatiku tertinggal disanggar pak pur, sanggar
yang digunakan keempat malaikatku bersemayam, sanggar yang membuatku menjadi
orang, sanggar yang menjadi pijakan pertama mimpiku.
Aku berkelana bersama mas yayan, orang
yang membawa lukisanku pertama kali ke pameran, aku tak paham kenapa mas yayan
selalu baik padaku, bahkan kebaikanya hampir setara dengan pak pur . belakangan aku baru tau jika putrinya
penyandang cacat sepertiku, hanya saja dia lebih parah dariku. Tubuh bagian
bawahnya lumpuh total.
Saat aku melihat intan, anak mas yayan.
Aku seperti bercermin, aku melihat diriku sendiri saat tatapanku jauh
menelusuri mata coklat kalemnya, sebuah ikatan terbentuk langsung, ikatan batin
yang kuat, ikatan sesama manusia yang diberikan kelebihan dari sudut pandangku
yang berbeda. Diulang tahunku yang kesembilan belas aku menggunakan istilah “
kelebihan yang berbeda ” sebagai pengganti kata cacat.
Duniaku sedikit melenceng dari jalur
mimpiku saat aku bersama intan, nama yang sempurna untuknya, dia memberikan
aura kebahagiaan disekelilingnya, kau akan ikut tersenyum saat melihat bibir
kecilnya tersungging lemah. Seperti matahari tenggelam, senyumanya membius,
menghanyutkan dan memberikanku ketenangan yang berbeda. Seperti namanya dia
bersinar untuk sekelilingnya, semua orang menatapnya dengan penuh ketakjuban
tak seperti saat orang-orang menatapku dengan tatapan miris penuh hinaan. Aku
turut berbahagia karena intan memiliki ayah seperti mas yayan.
Bersama mas yayan aku menemukan garis
kehidupan yang berbeda dimana ia mengajarkanku tentang sebuah aliran-aliran
seni lukis yang berbeda. Untuk pertama kalinya aku berlajar kulisan abstrak,
terdapat kebebasan yang tersalurkan dalam lukisan tersebut, dimana aku bisa
melukis sesukaku tanpa sebuah tema yang menjerat.
Aku bebas menggambar sebuah kulisan
dimana aku bisa memadukan gradasi warna yang bertabrakan dengan phytagoras,
jajar genjang dan beberapa bagun ruang. Sebuah lukisan wajah manusia dengan
penempatan indra sesukaku dengan warna sesuai suasana hatiku, aku suka saat
menempatkan mulut di bagian mata kiri, telinga di mata bagian kanan, mata
dibagian mulut secara horizontal dengan warna yang berkilau. Aku sekarang tak
hanya terpaku dengan kaleng-kaleng cat minyak, menurut mas yayan aku sekarang
lebih expresif.
Aku merajutkan beberapa payet berkilau
dibagian gambar mulut membentuk sebuah bendera inggris. Membuat gambar seorang
nenek tua dengan potongan asimetris, membawa sebuah botol minuman kelas atas
dengan tatapan khas monalisa, dan karya yang paling berkesan untukku adalah
saat aku memadu-padankan kain perca bermotif batik dengan beragam tema menjadi
sebuah lukisan raksasa tentang kota jogja, kota dimana aku dilahirkan secara
spesial oleh tuhan.
Keberhasilan menembus pasar seni
dengan ketidaknormalan karyaku membuat diriku cepat dikenal oleh pengamat seni.
Membuatku memberi ciri khas untuk diriku sendiri secara tak sadar, dan membuat
fikiranku dipahami oleh orang-orang. Semuanya mengalir secara perlahan. Hampir aku
tak sadar ketika mimpiku terwujud, benar-benar terwujud secara benar, aku
terlalu menikmati proses dalam meraih mimpiku daripada tersadar ketika semuanya
sudah terwujud.
Lanjutan perjalanan mimpiku berlanjut
dengan sebuah misi sosial saat aku membuat pameran tunggal, aku ingin membuat
sebuah yayasan sosial khusus untuk orang-orang dengan “ kelebihan yang berbeda
” versiku. Aku ingin membagi mimpiku, aku ingin membagi warisan ibuku, aku
hanya ingin semua orang mempercayai mimpinya, jika tak ada hal yang tak mungkin
didunia ini. Aku tumbuh karena malaikat-malaikat yang tuhan berikan padaku, ini
rencana tuhan yang hebat, rencana tuhan yang melingkupi ketidaknormalanku.
Diulang tahunku ke tiga puluh lima aku melahirkan seorang anak normal, aku
menikah dengan putra pertama mas yayan, kakak lelaki intan. Intan menjadi
aktifis diyayan sosialku dia tumbuh menjadi pribadi dengan kecantikan nurani
yang sempurna. Dan soal keberadaan ayah yang meninggalkanku aku tak berusaha
mencarinya, aku tak ingin dia mengusik kehidupan sempurnaku, dia adalah orang
yang tak diharapkan ibuku hadir kembali dikehidupanya, begitupun denganku. Aku tak
ingin menguak luka lamaku, kesedihan abadiku, yang aku tau ibuku bahagia
melihat kehidupanku sekarang dari sisi tuhan yang maha esa.
Dream, belive and make it hapend.....
0 komentar: