ibu
“ Ibu “
Oleh : Triztan
Famous
“ Aku persembahkan segelintir
rangkaian kata untuk malaikat tak sempurna dan tak bersayap tetapi selalu ada,
ibu “
Ibuku bukanlah ibu yang paling hebat di dunia,
dimataku dia memiliki banyak sekali kekurangan yang aku rasa sanggat manusiawi.
Dia sesosok yang tempramental, suka mengatur, galak, dan suka marah-marah dengan
kata-kata yang sesekali membuatku sakit hati. Ibuku bukanlah dewa, tapi dia
jelmaan malaikat sebagai manusia biasa.
Banyak pertengkaran yang terjadi di ruang lingkup
kehidupan kami berdua. Saling lempar argumentasi, pandangan normatif dan
sebagainya. Sebaik-baiknya peran ibu di dalam rumah tangga tak akan ada orang
tua yang mendoakan hal buruk untuk anaknya. Tapi aku ingin ibuku tau jika zaman
telah berganti dan lingkungan telah berubah, tidak sama lagi seperti dulu.
Walau kita memiliki banyak sifat yang sama, tapi
sampai saat ini aku masih memiliki banyak kesulitan untuk mengerti jalan
fikiran dan membuatnya bahagia. Apa memang hubungan darahlah yang membuat kita
dalam keadaan ini? Ada sekat tebal yang membuat hubungan kami terasa hambar,
terkadang aku sanggat ingin berada di depannya sebagai sesosok manusia. Sesosok
makhluk hidup yang sejajar, bukan karena peran ibu dan anak.
Tapi, kita hanya manusia yang sering kali
merangkai keterbatasan. Aku tak pernah menunjukkan rasa sayangku kepada ibuku,
padahal dengan segenap jiwa dan raga ini aku sanggat menyayanginya.
Tapi entah mengapa hanya untuk mengungkapkan hal
itu saja, lidahku tak bisa berucap dengan benar. Benar-benar berat untuk
mengungkapkan hal itu karena sekat ibu-anak ini yang tak pernah dia lepaskan. Aku
sanggat ingin berbagi cerita, pengalaman, canda, kisah, tanya jawab dan
renungan bahkan humor segar dengannya. Tapi bukan sebagai ibu dan anak seperti
ini, aku ingin membagi itu semua dalam kesejajaran. Berulang kali aku takut
terbuka karena takut tidak sesuai dengan harapan ibuku. Beberapa kisah yang aku
lalui aku ceritakan dalam potongan pengalaman yang sudah kusortir agar pas
ditelinga dan hatinya. Aku hanya tak ingin membuatnya kecewa, itu saja.
Sering aku berandai-andai tentang sekat ibu dan
anak yang masih kita jalani sampai saat ini. Alangkah indahnya jika ibuku bisa
merangkap peran sebagai teman, sahabat, dan kakak perempuan, tapi ku rasa itu tidak
mungkin. aku hanya ingin berhubungan dengan ibuku secara murni, tulus dan genap
sebagai sesama manusia, bukan orang tua dan anak dengan batasan tembok berlapis
ekspektasi. Aku hanya ingin sesaat ia menatapku. Aku ingin ia melihatku jika
aku sudah tumbuh, jika aku bukan bocah kecilnya yang dulu. Bocah kecil polos
yang selalu mengekor dibelakangnya.
Apa mungkin saja ibuku takut melepaskan peran
keibuannya karena takut tidak aku hormati lagi?. Mungkin saja begitu. Tapi, aku
sebagai seorang anak juga sanggat takut bertindak orisinal karena takut tidak
disayangi lagi, takut dimarahi, takut di cap tidak sopan dan takut tidak masuk
surga karena tidak menghargaimu.
Lagipula kami sudah terbius di dalam tabir selimut
kejawen. Aku tak mempermasalahkan adat dan latar belakang yang ia wariskan
kepadaku. Tapi, selalu ada saja istilah “unggah-ungguh” yang membentur kita
untuk mensejajarkan diri untuk menjadi sesama manusia. Ibu, aku hanya ingin kau
tau, walaupun kau tanggalkan peran keibuanmu untuk menjadi teman, sahabat
ataupun kakak perempuan, aku akan tetap menghormatimu sebagaimana seharusnya.
Karena kau ibukku.
Aku hanya ingin menautkan perjalanan hidupku dalam
kejujuran murni dan genap. Antar jiwa, dan antar hati yang belum bisa kita
penuhi.
Kadang aku sanggat iri melihat pribadimu diluar
rumah, kau menyapa semua orang. Berbagi cerita dengan orang-orang yang
berpapasan denganmu, menebar senyum hangat, menjabat tangan seperti sahabat dan
kadang menggoda balita sebagai sesosok yang hebat. Aku ingin kau menjadi pribadimu
itu saat kau berada dirumah bersamaku. Hal ini membuatku merasa jika aku belum
benar-benar mengenalmu secara utuh, banyak orang yang bercerita tentangmu,
kadang menengelamkanku dalam ekspektasi, tapi tak jarang membuatku berkubang
dalam lubang-lubang argumentasi.
Ibuku adalah wanita konvensional, tidak suka
dandan, jarang memakai perhiasan ataupun baju mewah. Dia sanggat sederhana
untuk seseorang sebayanya, dia terlampau murah hati untuk berbagi dengan
keadaan. Beberapa kali beliau diberi uang oleh bapakku untuk membeli baju atau
keperluan hidupnya, tapi dia tidak memilih untuk menempuh jalan itu. Ibuku
lebih suka untuk menjajakan uang itu untuk persediaan bahan makanan, perabotan
dapur, atau ditabung untuk keperluan yang mendesak.
Beberapa
kali ia dibelikan baju kakakku untuk hari raya ataupun di hari biasa jika
kakakku mengunjunginya. Dia menerima tapi, masih saja diselipi dengan omelan
jika lebih baik uangnya ditabung untuk biaya sekolah anaknya daripada untuk
membelikannya sepotong pakaian. Sering kali aku iba melihat keadaanya, ia
benar-benar rela mengorbankan kebahagiaannya untuk anak-anaknya, untukku. Aku
hanya ingin beliau tau jika sepotong pakaian sama sekali tak ada gunanya
dibanding keluesan peran yang selama ini telah ia tunjukkan kepadaku dan
kakakku.
Dia tak pernah memikirkan dirinya sendiri, dia
selalu memikirkan orang lain dahulu, dia melakukan hal itu demi sebuah peran.
Peran ibu.
Ibuku juga sesosok orang yang tidak romantis,
sering kali membuat marah bapakku. Namun, dibalik semua kekurangannya itu ia terbingkai
oleh satu hal yang selalu membuatku nyaman ketika aku berada di sekitarnya.
Dia sanggat mudah untuk membuatku nyaman. Dia adalah
ibuku, ibu yang selalu ada untukku, berdoa untukku, sakit untukku dan menangis
untukku dan aku sanggat bangga kepadanya. Bukan hanya karena dia kuat tapi
karena dia selalu ada untukku, dan aku sanggat bangga untuk hal itu. Jika
mataku terpejam bayangan konsisten yang selalu muncul diurutan pertama adalah
ibuku.
Masih hanggat ingatanku dikalaku masih bocah. Kau
menyuapiku dikandang kuda milik tetangga dengan beragam bujukan lucu.
Jika memang dia harus tetap menjalani perannya di
hadapanku, aku tak akan pernah memaksa keadaan lagi. Tapi, untuk sebentar saja
aku ingin posisi kami disejajarkan. Aku hanya ingin mengungkapkan betapa
sayangnya aku kepada beliau, betapa hidupku tak akan pernah benar-benar
berpijak tanpa alas kasih sayang yang telah berlimpah ruah ia curahkan untukku.
Terimakasih ibu, maaf jika aku belum mampu untuk menjadi anak yang terbaik untukku.
Terimakasih juga karena telah memberikan cinta, kedamaian, keindahan dan
berbagai hal positif di dalam hidupku. Aku sanggat bangga kepadamu.
Ini adalah sepihan perasaan murni yang tertuang
dalam bingkai nurani, untukmu ibu.
0 komentar: