akhir kasih mahadewi pelacur
“ Akhir kasih
mahadewi pelacur “
Oleh : Triztan Famous
“ Tau ngak za, terkadang cinta itu
untuk selamanya tapi terkadang cinta itu
menyakitkan “ kamu berkata dengan nafas memberat. Lalu kau mulai membelai
rambut merah panjangku, mengurutnya dari atas kebawah secara berulang. Memberi
penekanan dipangkal seolah-olah wangi sampoku akan menetap pada jemarimu,
merasuk ke dalam pori-pori kulitmu dan menelurkan sebuah memory indah tentang
episode kebersamaan kita.
“ Aku tau “ jawabku singkat tapi
pasti, tanpa berniat untuk mengangkat kepalaku yang sedari tadi menempel di
dada bidangmu. Kurasakan kamu kembali membuang nafas berat, tapi kali ini berbeda,
bukan sesak karena berat tengkorak kepalaku tapi karena tekanan sesuatu yang
belum aku pahami. Dan aku tak punya niat untuk memahami.
Aku tak pernah mau tau rahasia apa
yang sedang kau simpan sekarang, kau pernah mengatakan padaku tentang sifat
terbaikku : tidak menganggu. Dan aku tak akan menganggu kamu dengan ruang
rahasianmu.
Cahaya jingga keemasan mulai membaurkan
pesonanya diantara alang-alang yang menjulang tinggi diantara kita. Membuat
perpaduan belang diantara cahaya dan bayangan tubuh kita. Matahari mulai
terbenam dan kita masih tetap merebahkan diri dipuncak bukit tempat kita biasa
bertemu, hanya untuk menghabiskan kualitas waktu dalam satu perpaduan.
Kuresapi bagaimana alunan detak jantungmu
mengalun, ku tutup kelopak mata saat rasa hangat dari kulit dada telanjangmu
berpindah jalur menuju pipiku. Ada sensasi meremangkan bulu kuduk saat
pertamaku lekatkan kulitku dan kulit tubuhmu. Kau mendekapku pelan dan kau
merengkuhku kuat seakan akan tak ingin melepaskan diriku lagi, mengecup jidatku
dengan kecupan panjang untuk menutup hari itu.
Sebuah kecupan indah berbalur perasaan
murni selembut sutra yang hanya datang dari selaput nurani dengan kadar
tertentu saja. Hanya kamu yang bisa melakukan itu, hanya kamu yang bisa meracik
kecupan diatas indah itu. Membuat jiwaku mengalir ke suatu keadaan tenang yang
tak biasa, perasaan tenang dengan kepuasan tak terhingga.
Hanya satu orang yang bisa memberikan
kecupan seindah pemandangan hamparan sawah dengan warna hijau yang berbeda
dikala pagi masih enggan menebar aroma jernih berselimut pesona keperawanannya.
Kamu, hanya kamu yang bisa melakukan itu.
Sepuluh menit kami habiskan untuk
berpelukan, merasakan alam sekitar yang selalu memberi ruang untuk kebersamaan
kita. Langit merekah indah saat kau beranjak berdiri, mengambil baju lengan
panjang kotak abu-abu favoritmu dan mengenakanya.
Tahukah kau jika kau saat itu seperti
mahakarya paling indah yang pernah ku saksikan? Kau berdiri kokoh dengan tubuh
kekarmu. Dengan teguh kau membelakangi matahari tengelam yang sedang melukis
langit dengan warna merah berkobar dan kuning keemasan yang mekar sempurna? Dengan
sigap aku mencetak pemandangan alam dalam kadar kanvas menakjubkan. Aku merekam
setiap detik kejadian itu. Masih kuingat dengan jelas aroma keringatmu yang tak
mau beranjak dari batang hidungku? aroma keringat berbalur wangi parfum yang ku
berikan sebagai hadiah ulang tahunmu ke dua puluh lima tahun. Dan pahatan otot
yang terpilin indah menjerat kesatuan jasadmu. Aku masih menyimpannya dalam
folder ingatanku.
“ Pernahkah kau tau jika tuhan itu
meciptakanmu sebagai malaikat pendampingku? “ bisikku pelan. Lalu berdiri disebelahmu
dan melihat jauh kedalam matamu. Ada secarik lapisan yang asing terasa, lapisan
yang menghambat nuraniku untuk menelanjangi hatimu.
Aku merasakan sebuah ruang kosong yang
terasing. Kau sedikit tersentak dan pura-pura tak terlalu mendengar apa yang
aku katakan barusan. Tapi kau berhasil membaca pesan dari sentuhan bahasa alam
dan mulai mengurai pernyataan dalam pertanyaanku. Lalu kau diam, menungguku untuk
mengutarakan pertanyaanku lagi.
“ Kau baik-baik saja? “ tanyaku pada
evan yang masih sibuk membenahi kancing bajunya. Mendelik perlahan mengamati
kosakataku diantara kerutan jidatmu. Kenapa
kau harus berfikir keras hanya untuk menjawab pertanyaan ringanku? - tanyaku
dalam kalbu.
“ Ya, aku baik-baik saja “ katamu
berdusta, aku tau jika kau tidak baik-baik saja. Ada sesuatu yang kau
sembunyikan dariku, aku lebih memahamimu jauh daripada kau memahami setiap inci
tubuhmu. Bahkan aku hafal setiap partikel yang melekat dalam kulitmu,
menyentuhmu dan meninggalkanmu.
Tatapan matamu yang ku hafal benar,
tak akan mampu untuk berdusta kepadaku. Tapi ada selubung tipis yang menghambat
kejujuran bahasa mata kita. Ku putuskan untuk menunggu. Aku tak akan memaksamu
untuk bercerita tentang apa yang akan kau sembunyikan padaku, biarkan waktu
yang beraksi untuk membuatmu bicara sendiri tentang apa yang sedang bergelut
didalam hatimu.
“ Ayo cepat, tak mau kan bermalam
ditempat ini lagi? “
“ Apapun akan kulakukan, asal dengan mu
“ gurauku, ku ingat terakhir kali saat kita bermalam dibukit ini. Pertengahan
agustus tahun lalu, saat itu kita memang ke bukit saat sore hanya untuk
terlelap bersama dan terbangun saat sepertiga malam menghujam. Dengan sifat
ketidak pedulianmu kita bermalam diatas taburan bintang yang enggan berbagi
malam dengan secuil cahaya bulan. Bergelung dibawah rengkuhan tanganmu dan
berdekapan semalaman, berceloteh tetang hal remeh, saling menasihati masalah
hati sampai saling bertukar mimpi dalam balutan kata mutiara bak seorang
pujangga. Sampai subuh menjelang dengan seberkas cahaya matahari pagi, hanya
untuk menerangi jalan menurun di bukit terjal itu.
Malam itu kau memgelontorkan uang
lebih dari 7000 dolar hanya untuk menemanimu semalaman. Jadi, tak ada alasan
untuk menolak kebersamaan denganmu. Dari matahari membara di saat kita datang
di sebuah cafe tempat kita rutin bertemu, hingga langit menjadi pekat karena
terberenggus hanggus kobaran matahari senja dan menjadikanya sebuah malam hitam
kelam dan kembali menerbitkan cahaya firdaus diufuk timur sisa dari secuil
cahaya dari serpihan penghangusan malam.
Kau mengantarku di depan sebuah cafe
yang masih malas untuk melawan hari, dengan senyuman hangat usai sebuah pelukan
berat, kau meninggalkanku. Untuk beberapa detik selaput tipis itu muncul lagi
memenuhi tatapan sayumu. Ada ruang hampa yang kau tinggalkan di hatiku. Ruang
yang membuat dadaku sesak, penuh dengan pertanyaan menyeruak.
Aku tak berniat langsung pulang ke
kompleks perumahan mewahku atau menelfon supirku untuk menjemputku
dipersimpangan jalan itu. Aku berjalan kurang dari satu kilo meter menuju taman
kota dengan celana biru sejengkal yang melingkupi paha putih mulusku, kaos
polos ketat yang membentuk lekukan sempurna plagiator murni peragawati dunia
ditutup dengan sebuah kemeja panjang kotak-kotak yang menggelambir mesra hingga
lututku.
Tak lupa sebuah sepatu bartabur
mutiara dengan hak batangan emas murni sepanjang duabelas senti. Rambut ikalku
aku kuncir keatas seperti sebuah tumpeng berbentuk oval. Kalung emas menjulur
dari leher indahku sampai ke pusar dalam bentuk sebuah rantai padu padan dengan
corak rumit berukir namaku secara berulang, dompet berisi kartu pintar dan
sebuah smartphone melekat erat dalam
dekapan pelan tangan kiriku.
Aku berjalan ringan dalam kenikmatan
pot-pot bunga yang berjajar rapi di sepanjang jalur buatan dari marmer bertekstur,
membuai diriku dalam gerakan lambat ala-ala flim aksi luar negeri. Dalam sapuan
make-up sederhana aku menempatkan tubuhku relaks disebuah bangku diujung taman,
diantara bunga yang akan mekar.
“ Selamat pagi mba, Queenza “ sapa
tukang koran yang biasa mangkal ditaman itu, ditanganya terlampir berbagai
koran dengan jenis berbeda. “ Berminat untuk mengubris salah satu topik dikoran
yang saya bawa? “ Tanya orang itu sambil menawarkan berbagai topik. Membuka
satu persatu topik utama yang terlampir di exemplar pertama. Menjajakan
dagangannya.
“ Maaf, saya sedang tidak berminat
meludahi monyet-monyet korporasi yang sedang merambati karier dengan otak
mereka yang gersang, sampah “ gerutuku pelan menilat lembaran koran itu “
Membodoh-bodohi orang bodoh saja “
Tukang koran itu mendengus pelan, lalu
menarik nafas pelan-pelan “ Saya juga berfikir demikian mba, “ kata penjual
koran itu ringan “ Hanya tinggal menunggu waktu saja seiring aliran dana di
rekining dan kebrobrokan otak pemimpin dengan raut wajah mati “ kata tukang
koran itu meninggalkanku setelah mengucap permisi.
Ini bukan pertama kali kami
menelanjangi masing-masing persepsi. Beberapa kali aku berdiskusi dengan tukang
koran itu, aku suka saat dia mengatakan padaku jika “ politik itu untuk mengalami, bukan berbagi metafora teori “ dan
dia paham betul saat melafalkan itu semua. Perbincangan yang terakir kami
lakukan ia tutup dengan sebauh kalimat “
dunia akan berjalan dalam poros yang benar jika kita membiarkan nurani yang
menahkodai apapun yang kita lakukan, lakukan dan pahamilah maka alam akan
berterimakasih pada kita “ . aku meralatnya jika alam akan “berbelas asih ” tapi dia tetap kukuh
jika alam akan “ berterimakasih “.
dengan bahasa yang dia kirim lewat
lamunan senja, harmoni angin malam dan dalam desir dedaunan. Aku mulai mengurai
satu persatu pesan firasat. Fikiranku mulai mengambang dalam berbagai cabang
lamunan. Memfotosintesis berbagai keganjilan menjadi sebuah tanda untuk
memperingatkan, atau mempersiapkan kesatuan jasad dan jiwa ini untuk membusuk
dalam bermacam kemungkinan.
Ditaman ini, dan dalam celah detik ini
aku mulai berandai tentang semua hal. Memikirkan duniaku yang hanya berporos
pada seorang lelaki berwajah malaikat. Aku tidak melebih-lebihkan, lekuk
wajahnya merupakan ekspresi klasik dari keindahan maskulin - hidung lurus, alis
tinggi, dagu persegi dan tulang pipi yang terpahat sempurna. Rambutnya adalah
ikal keemasan yang menempel sempurna dalam batok kepalanya, matanya besar dan
berwarna hijau paling murni dan lima garis bayang biru yang melingkari pupilnya.
Singkat kata evan zilqulivus poole adalah godaan besar untuk perawan tersuci
dimuka bumi. Bahkan biarawati akan bertekuk lutut untuk dia.
Sebagian orang mungkin akan mempunyai
percikan prespetif jika aku dan evan adalah pasangan yang serasi, tapi mereka
salah. Ini hanyalah garis perdangangan tubuh manusia yang tercampur dengan
balutan perasaan cinta yang tertuang dalam cawan murni berisi nurani yang telah
menjatuhkan pilihan keji. Hatiku telah memilih evan yang telah ku kotbahkan
sebagai klien tertampan yang pernah
menggunakan jasaku, hatiku telah memilih seorang malaikat tampan dalam
percaturan dunia pelacur tingkat mahadewi. Hatiku telah jatuh secara mendalam
kepada blesteran manusia-malaikat itu. Hatiku telah menjatuhkan cinta kepada
mahlkuk itu.
Alter ego iblisku bersemanyam dalam
tubuh seorang mahadewi yang dipuja ratusan lelaki hidung belang. Dalam balutan
fasilitas satu tingkat di atas mewah aku merawat jasadku dengan perawatan
sempurna. Hanya orang-orang dibawah tangga kebodohan saja yang rela menggunakan
uang hasil korupsi dari dana negara lewat anggaran negara yang mereka
manipulasi, atau uang murni dari pemerasan keringat orang kecil yang berkerja
dibawah alas kaki berlumur dosa, lelaki-lelaki berdasi itu kebakaran dalam
kebahagiaan. Termanipulasi dalam ilusi yang mereka jadikan imaji.
Aku pernah bertemu dengan beberapa
pejabat dan mentri negara yang pernah berdagang denganku, menimbun uang hasil
colongan kekayaan negara hanya untuk diberikan secara sadar dan rela kepadaku.
Hanya untuk sebuah second permainan di atas kasur hotel berbintang lima, mereka
mencari surga dunia dalam lipatan pahaku kecuali evan. Klien spesialku, seorang
pengusaha muda yang telah mencatatkan dirinya dalam salah seorang terkaya di
asia tenggara.
Sejak bertemu denganya aku merasakan
duniaku yang dulu stagnan dalam roda karatan. minggat dipinang poros baru yang
menawarkan sebuah kesucian menggoda secara pas dan dalam takaran sempurna
untukku, tanpa permisi duniaku berpindah kepadanya. Entah bagaimana lagi aku
menjelaskan berbagai kumparan perasaan yang hingga di dahan hatiku bagai
sedardu hewan bersayap.
Taukah kau jika evan itu seperti
matahari di kala malam memberenggut dunia dan sesejuk salju di tengah gurun
sahara? Aku bukan tipe orang yang suka beremeh temeh dengan hal sampah, aku
butuh evan melebihi apapun. Dengan keberadaanya aku tidak mengambang-terbang
atau melayang dalam angan, tetapi berjalan merunut tanah. Sekedar mengurut urat
khatulistiwa bersama. Ia telak menjatuhkanku keluar dari dunia maya dan
melumpuhkanku dalam dunia nyata. Ibarat layang-layang yang bebas dilangit dan
evan adalah benang yang tetap mengikat dan mengingatkanku tentang dunia
berjudul realitas.
&&&%%%&&&
Satu bulan berlalu tanpa secuil kabar
tentang keberadaan evan diduniaku, dia absen dalam dunia imajiku dan berkutat
dalam fantasi ketidakberadaan.
Menyakitkan memang mengingat seorang yang
selalu mengucapkan selamat pagi atau pujian basa-basi lenyap tak berbekas. Terlebih
jika duniamu berporos kepada orang itu, dan ketika orang itu hilang seketika
duniamu stagnan dalam roda karatan. Dan aku mulai mempersiapkan diri dalam
daftar berbagai kemungkinan hasil perenungan di taman, dari pertemuan terakhir
kita aku mulai mengurut semua kejadian lengkap dengan ekspresi muka, tarikan
nafas, tatapan kosong dan ruang kecil yang tak bisa aku sentuh sama sekali.
Semua berpusat pada selubung tipis itu.
Ruang kecil yang ada tapi tak bisa
kujangkau.
Aku sudah biasa terluka, bahkan aku
membiasakan diriku dengan kekecewaan. Aku sadar jika aku tak pernah bisa
mengharapkan orang lain memberiku ekspektasi 100% walau aku telah memberinya
101%. Dari hal itulah aku mulai tak terlalu mengharapkan seseorang bisa
mengembalikan secara utuh apa yang aku berikan secara ihklas seiring dengan
rumitnya kontruksi batin setiap manusia.
Tapi rasa kehilangan ini memastikan
jika setiap inci tubuhku masih menginginkanmu. Jiwa ragaku kesepian tanpa
hadirmu. Aku terlampau lelah untuk mengubris rasa sakitku, aku hanya bisa
merasakan dan ikut hanyut dalam aliran rasa sakit ini saja. Aku belajar untuk
menerima.
&&&%%%&&&
Tiga bulan berjalan dan kehampaan
memenuhi relung hatiku, membuat nafasku terputus-putus dalam pompaan air mata
yang tak bisa kuhentikan. Aku merasa jika ada lubang besar di dalam dadaku yang
melebar seiring berjalannya waktu. Mengangga, menanti cipratan cuka agar
senantiasa merasakan keterpurukan rasa jatuh yang mendalam. Kejadian-kejadian
yang telah berlalu benar-benar menguras emosi, tenaga dan air mataku
habis-habisan. Aku kelelahan menanggung semua beban perasaan ini, aku lumpuh
tertimpa akumulasi kehancuran mental ini, aku berduka untuk sesuatu yang sudah
ku tau pasti tak akan aku miliki. Aku berkubang dalam nestapa ketidakmampuan. Dan
sebuah kabar datang. Menjebloskan mental, hati, fikiran dan perasaanku dalam
sebuah danau ketidaksiapan dan ketidakpastian tentang masa depan yang
menjelang.
Dia telah menikah.
Poros hidupku. Belahan jiwaku.
Pelengkap puzellku.
Duniaku telah menimang dunia baru
untuk dia miliki selamanya.
Kabar pernikahan itu menghantam habis
tubuhku dan aku benar-benar merasakan kelumpuhan mental yang sebenarnya. Aku
kembali mengiba seseorang yang tak bisa aku miliki.
Bagaimana bisa aku masih mencintai
seseorang yang tak bisa ku miliki? Bagiku dulu cinta adalah memiliki, menjaga
dan memahami secara utuh tapi sekarang konsep itu memudar dan tak meninggalkan
bekas sedikitpun. Bagiku sekarang cinta ini adalah merelakan, melepaskan dan
membiarkan sebagian ruang yang ia isi secara penuh dulu menjadi terkuras
seperempat, setengah, hingga kosong dan menjadi ruang hampa yang hidup dengan
mengais sisa-sisa kenangan tentangnya. Ruang hampa yang menunggu seseorang
untuk mengisinya kembali. Dan aku sangsi jika aku bisa menemukan seseorang
sepertimu lagi.
Delapan hari mengalun cepat seiring permintaanmu
untuk bertemu. Kau memintaku untuk datang di cafe tempat kita biasa memadukan
janji, di cafe yang disediakan ruang oleh alam untuk kedekatan kita dulu.
Keheningan merambat pasti, alunan
denting piano menyayat hati.
Kujelajahi lekuk wajah tertundukmu,
ada aura kebahagiaan yang membingkai garis wajahmu. Aku terluka melihat aura
kebahagiaan yang membungkusmu secara rapat, aku membenci diriku sendiri karena
tak bisa memberikanmu lingkup kebahagiaan seperti itu.
Alunan music live membuai indra pendengar, tapi kau masih saja terdiam
dalam laku stagnan. Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi. Tak taukah kau jika
sikap diammu ini perlahan menguliti lapisan terluar hatiku? Membuai dalam
tarburan garam, hatiku miris melihat dirimu.
“ Aku dengar kamu sudah menetap, kamu
juga menemukan seseorang, dan menikah “ awalku dengan nada resmi. Aku mencoba
menahan kegetiran dalam suaraku agar tak terdengar olehnya. Miris mengiris
sayatan lukaku, aku menahan sakit dalam setiap ucapan kataku,
bahwa-dia-sudah-menikah “ Kenapa tidak mengirim undangan? “ tanyaku lagi. Aku benar-benar
membutuhkan jawaban!. Tubuhku bergetar karena guncangan mental yang menghempas
tanpa aba-aba, aku tak membiasakan mengontrol tubuhku untuk tidak bereaksi
apapun dalam keheningan. Apalagi lebih dari setengah jam. Kau sanggat
keterlaluan dalam tingkah mematung itu, seakan minta di sajeni hanya untuk
mengucap jawaban.
Tapi kau tetap diam, sekalipun tak
berani menatapku yang sedari tadi memaksakan tubuhku untuk tegar.
“ Aku benci datang diam-diam tanpa
diundang, aku benci melihatmu terberenggus dalam kebahagiaan, aku benci
kepengecutan sifatmu, aku benci berada dalam kesakralan prosesimu, aku benci
semua itu! “ semburku murka. Entah kapan lagi aku bisa meluapkan beban selama
tiga bulan ini yang tak kunjung padam dari lingkar punggungku. Aku harus
mengungkap endapan unek-unek penggerus mental ini sekarang, membongkar
cor-coran terkutuk tentang rasa sakit dan menghancurkan kepedihan yang harusnya
dirasakan berdua “ Aku berharap jika waktu itu kau melihat wajahku, dan kau
akan mengerti jika untukku ini belum berakhir “
“ Aku tau kau datang menyelinap di
pernikahanku, sudahlah za, kita ngak selamanya bisa bersama, kita menapaki
runutan takdir yang berbeda “ katamu pelan, aku tau jika kau sakit karena ucapanku,
kau memaksakan kehendak yang tak diminati hatimu “ Kita tak akan bermuara dalam
akhir yang sama, maafin aku za “
“ Bagaimana bisa kau membahas tentang
akhir yang berbeda? Menurutmu apa yang kita jalani selama ini? Kita mengalir!
Benar-benar mengalir dan hanyut dalam pusaran “ kabut yang menyesaki rongga di
dada tiba-tiba meronta minta untuk dibebaskan, aku tak bisa mengontrol diriku
untuk tidak melemparkan barang-barang dalam radius jangkauanku “ Baru kemarin
kita bersama, menjalani hidup dalam masa-masa kejayaan “ rengekku dalam tarian
air mata yang tak mampu untuk ku hentikan. Air mata yang ingin melihat sebab
dari munculannya.
“ Maafin aku za, bersama dia mimpiku
jadi kenyataan, dia memberiku hal-hal yang tak bisa kau beri untukku “
Kau telak membungkamku. Memberenggus
oksigen disekitarku.
“ maaf itu mudah van, tapi maaf itu
bukan jaminan untuk melupakan, maaf tak berarti menghapus ataupun
menghilangkan, maaf itu memberi ruang untuk mengihklaskan, memberi ruang yang
aku coba berikan kepadamu “
Ujung bibirmu tertarik ke atas untuk
sekian saat, kau jelas ingin mengubrisku tentang sudut pandang pengertian maaf
yang bertolak belakang denganmu. Tapi kau menahannya, entah mengapa “ Maaf za,
kita ngak perlu membahas perbedaan prinsip yang ujung-ujungnya menyekap kita
dalam sekat tebal, kita sama-sama paham apa yang bisa dan tidak kita lakukan,
aku kira kau sudah mengerti ini semua za ” tapi kau sekarang lebih memilih
jalan yang aman, tidak seperti kau dahulu.
“ Aku paham van, aku paham tentang itu
semua, aku salah jika memaksakan apa yang tak mungkin bisa aku lakukan, ini
semua salahku, aku membiarkan hatiku masuk “ ku telan nafas cepat-cepat, menahan
air mata yang masih tak bisa berhenti untuk sekedar memberi jeda untuk
mengungkap kata, aku mulai mengulas ketenangan dari serpian lubuk hati untuk
sekedar memulai proses kedewasaan “ Dan aku yang menjadikan semua ini runyam, rumit
yang malahan memperkeruh keberadaanku sendiri, aku terjebak dalam keadaan yang
tak ingin aku lewati, semua ini jelas salahku 100% salahku van, seharusnya aku
ngak main perasaan sama kamu, seharusnya aku ngak mencintai kamu sampai seperti
ini, aku yang salah van “
Kegetiran dalam selaput bola matamu
memudar seiring pengakuanku yang sedari tadi kamu tunggu. Aku merasa tak berhak
menjadikan perasaanku ini sebagai rahasia lagi, kamu berhak tau kebenarannya. Raut
wajahmu bergati cepat dengan ruang kegembiraan asing yang belum pernah ku lihat
terjadi padamu. Apa kau bangga karena aku telah berhasil mengakui itu semua?
Dalam sedakan tangis aku menggubris
keadaanmu “ Ada yang ingin kamu sampaikan lagi selain ini van? “ jiwaku
berkecamuk tentang dirimu, setengah mengihklaskan kepergiaanmu dan sisanya
meminta kehadiranmu untuk tetap ada.
“ Dia hamil, sudah satu bulan! “
ungkapmu dengan gembira tanpa bisa memahami kegundahanku seperti dulu. Aku
senang melihat kau bahagia seperti itu, memancarkan kepolosan anak kecil yang
akan diajak ke pasar malam. Tapi separuh jiwaku menolak untuk memaklumi
kebahagiaan itu, separuh jiwaku masih kelam seperti langit di pasar malam.
Dan seketika air mataku mulai terpompa
lagi, aku kalah telak. Kubiarkan amarah menguasai tubuhku hingga otot-otot
tubuhku menegang. Berulang ku menarik nafas panjang dan menghembuskannya
perlahan, berfikir tentang berbagai kenangan indah dan hal yang menentramkan.
Kuproses emosi yang menguasai tubuhku dan menghanyutkanya dalam ketenangan. Kulepaskan
semua emosi itu, tak ada gunanya lagi
berdebat dalam perbedaan prespektif kataku dalam hati. Mungkin ini
waktunya.
Kutenangkan tubuhku dalam hitungan
detik, berfikir sekilas tentang beberapa opsi yang dulu aku persiapkan untuk
keadaan seperti ini, keadaan yang pernah ku duga sebagai pertanda akhir. “ Sahabat
lama “ kataku setengah berbisik, kuputuskan untuk tidak menyebut namanya. Hanya
untuk sekedar menegaskan status yang dulu dan kini mungkin akan kami jalani “ Kanapa
kau sanggat pemalu? Dasar pengecut! Kau tak bisa menahan dirimu untuk
bersembunyi dalam kebohongan, seperti bukan dirimu saja “ aku berbicara dalam
bingkai alter egoku. Pergolakan terjadi di dalam jasmaniku. Ada pertarungan
antara dua alter ego yang mendesak untuk mencuat keluar. Tak mungkin aku bisa
menjabarkan beberapa opsi yang telah ku matangkan lewat diri queenza yang
biasanya. Tapi diri queenza yang biasanya masih keukuh untuk menguasai
kesadaran jasmani ku.
Matamu membelalak, seiiring dengan
perubahan nada bicaraku, gestur dudukku dan kedewasaan kosa kataku. Kau
mencari-cari orang yang mengatakan itu barusan, dan setengah tak percaya kau
menemukan mataku. Untuk pertama kalinya setelah setengah jam mata kita
berinteraksi.
“ Queenza? “ katamu dilumat tanya.
“ Jangan hawatir, aku akan menemukan
seseorang sepertimu “ ucapku pasti, ku yakinkan diriku jika aku bisa melewati
ini tanpa rasa sakit yang selalu kembali mendera. Aku berharap bisa
mengendalikan rasa sakit ini seperti aku memproses emosiku, aku menempatkanmu
sebagai emosi dan perlahan aku coba melepaskamu. Pergolakan kedua elter ego ini
selalu menguras kewarasan tenaga batinku “ Aku berdoa yang terbaik untuk kalian
berdua, ku mohon jangan lupakan aku “ tapi sekarang queenza kalah dalam
pergulatan batiniah ini.
Tatapan asing menguasai celah matamu,
mengutitiku cepat. Tentu kau heran dengan ini semua, queenza lenyap. Sekarang hanya
ada kepribadian gandaku saja.
“ Aku ngak bakal lupain kamu za, ngak
mungkin aku bisa lupain kamu “ kamu memaksakan dirimu untuk berucap, aku tau
jika ini berat untukmu. Kau berpura-pura tegar dihadapanku, menyungingkan
secuil senyuman “ Kamu masih inget apa yang aku bilang sama kamu di bukit itu?
“ katamu tergagap, aku paham jika kenangan kita bersliweran mengitari jasadmu.
Aku mengangguk pelan.
Kau menarik nafas dalam-dalam dan
berucap perlahan dalam hembusan udara dari indra penciuman “ Terkadang cinta
itu untuk selamanya, tapi terkadang cinta itu menyakitkan “ ucapmu pasti,
menatapku dengan tatapan menyejukan. Tatapan yang dulu slalu untukku. Tapi
sekarang sudah tidak.
Aku tersenyum simpul, lalu mengeleng
pelan. “ Kamu salah. Mungkin, bagiku untuk sementara waktu definisi cinta kita
- aku berdehem dengan suara berat, sekedar meralat jika sudah tak ada komitmen
lagi diantara nama kita - definisi cintaku tak akan seperti itu, terkadang cinta
itu selamanya menyakitkan. Kita bukan tuhan yang bisa bermain dadu dengan masa
depan, tak bisa menerka berbagai hasil akhir beragam kesimpulan. Aku hanya
ingin menikmati saja sekarang. Siapa yang bakal tau betapa pahit manisnya rasa
ini? Penyesalan dan kesalahan itu adalah hasil dari kenangan bukan?, doa
terbaik untuk kalian berdua, aku turut berbahagia “
Dengan langkah pasti aku beranjak
meninggalkannya, sengaja aku ulang kalimat terakhirku agar ia paham jika aku
sudah merelakannya sekarang. Aku merelakan pelengkap kepingan puzzel hidupku
untuk memadu hidup bersama wanita lain. Waktu kembali memberiku berbagai
pelajaran, nuraniku akhirnya menemukan jawaban atas segala pertanyaan yang
membayang. Aku merasa jika aku hanya takut jika hidup tanpa dia, tapi kadang
kita harus memaksakan diri kita untuk sebuah pilihan. Sekedar untuk menyiapkan
diri kita tentang berbagai hal yang akan terjadi, hal terbaik untuk keluar dari
dalam ketidakpastian adalah melepaskan ketidakpatian tersebut. Mengalun indah
bersamanya, loncat dan jatuh bersamanya, bahkan jumpalitan bersamanya dan
terbang bebas untuk melupakannya.
Waktu akan mengkristalkan penyesalan
dan kesalahan menjadi kenangan. Jadi, daripada membiarkan amarah dan emosi
menghasut tubuh kita hingga menimbulkan kebodohan sifat manipulatif, lebih baik
kita memproses mereka dan melepaskannya secara perlahan. Belajar untuk
melepaskan, belajar untuk menerima, belajar untuk tidak memaksakan perasaan.
Aku berhenti menjadi pemuas nafsu
serta objek pelampiasan nafsu bejat para lelaki hidung belang. Entah mengapa
aku tak lagi merasa dalam koridor yang pas. Pahit manis perasaan ditinggalkan
seseorang yang sanggat aku cintai menjaga hidupku untuk tetap waras. Aku
menjaga perasaan ini untuk membuatku sadar jika dia yang dulu pernah selalu
ada, tetap nyata. Dan itu lebih dari cukup.
Penyesalan dan kenangan adalah hasil
dari kenangan.
“ someone like you ”
0 komentar: