Review : Istirahatlah Kata-Kata
Review
: Istirahatlah Kata-Kata
Saya
mengenal Wiji Thukul karena doktrin seorang mentor dalam banyak hal, dia
memujanya seperti memuja Pramudya Ananta Toer, tapi saya merasa dia lebih
menggilai Thukul daripada Pram. Film ini saya niatkan untuk membuka lembaran
manis saya menonton film Indonesia di tahun ini sebelum saya dijebak
teman-teman muda dewasa yang masih sering kumat alaynya untuk menonton drama
paling nggak penting di awal tahun, Promise. FTV yang di pindah ke bioskop,
bahkan saya melihat banyak FTV lebih bagus daripada film Promise yang hanya
bisa nikmati setting luar negerinya saja, kembali lagi ke Istirahatlah
Kata-Kata.
Istirahatlah
Kata-Kata mengupas tentang Wiji Thukul yang terkenal menyuarakan keadilan pada
rezim Orde Baru, dia dituduh bertangung jawab dibalik pengerahan massa seperti
beberapa aktifis lainnya hingga dia harus meninggalkan istri dan anaknya di
Solo dan bersembunyi di Pontianak selama kurang lebih delapan bulan dan kini
tak diketahui keberadaannya. Selama di Pontianak, secara berkala dia harus
berpindah-pindah tempat untuk menghindari intel dan aparat. Di Solo, istri dan
anak-anaknya bahkan di interogasi untuk memperoleh keberadaannya. Film ini
kebanyakan sepi, mencekam penonton degan rasa tak nyaman karena kesepian itu
sendiri. Sepi yang membantu kita untuk menyelami bagaimana situasi Thukul saat
sendiri, bagaimana paranoidnya dia jika disergap diam-diam yang membuat
penonton semakin tak nyaman.
Adalah
akting brilian Gunawan Maryanto yang fasih menerjemahkan gerak-gerik, ekspresi
wajah, dan laku Thukul dengan begitu mempesona, dan jangan lupa saat dia
mengalunkan puisi-puisinya yang membuat hati kita tersayat-sayat. Bagaimana
rindunya dia untuk bertemu Sipon yang dimainkan begitu luwes oleh Marissa Anita
dan peran-peran pendukung yang pas dan tak mubaazir. Hingga akhirnya kita akan
dihantam oleh emosi besar saat film ini berakhir.
Saya
yakin para aktifis di Indonesia tahu betul siapa Wiji Thukul seperti mereka
tahu siapa Pramudya itu sendiri, tapi film ini penting untuk generasi muda
seperti saya untuk tetap mengingat bagaimana dia berjuang, melawan dengan
kata-kata hingga akhirnya lenyap entah dimana. Dan meninggalkan kata-kata yang
dipaksa untuk beristirahat.
Film
ini seindah puisi, tanpa musikalitas berlebihan tapi pas dan kebanyakan
menghadirkan sunyi. Begitu pula dengan jalan ceritanya yang lamban, dan penuh
dengan adegan one take yang menakjubkan, luar biasa dan cantik sekali. Belum
lagi dengan deretan dialog natural dari para pemerannya, puisi-puisi yang
dinarasikan dengan menyayat hati, duh, beneran film juara, film ini benar-benar
penghormatan bagi Wiji Thukul. Mengingatkan saya akan film-film bangsat
Indonesia tahun lalu, Atirah, A copy of My Mine dan Surat Dari Praha, film
dengan kualitas diatas rata-rata tapi mendapat jatah layar di bawah rata-rata
film-film sok baper yang nggak berguna.
Memang,
tipikal film seperti ini bukan untuk dikonsumsi banyak orang karena mengalun
lambat, sunyi penuh bahasa gambar absurd tapi punya maksut tertentu dan
berhasil menggambarkan suasana pengasingan Thukul dengan kenunyian dan paranoid
intel dan aparat keamanan yang mencari dirinya. Benar-benar film super yang
akhirnya mampu membawa mood saya kembali cerah untuk menonton film-film
Indonesia lagi. Film ini penting, berdialog natural, berakting juara, dan
sangat puitis. Jauh dari glorifikasi dan sangat membumi. Indah.
Ayo
cepat ke bioskop, sebelum ini turun dari layar. Biasanya film-film seperti ini
tak akan sampai dua minggu karena sepi peminat. Andai, film-film seperti ini
mendapatkan jatah layar lebih banyak di bioskop J
Kemerdekaan itu nasi, dimakan jadi tai.
Puisi singkat tersebut membuat Thomas dan Martin, kedua sahabat Wiji Thukul,
spontan tertawa. Saya juga ikut tergelitik tanpa menyadari makna dahsyat yang
terkandung dalam puisi tersebut. Tampak seperti lelucon, tetapi kemudian olahan
kata ciptaan si penyair kerempeng yang sedang melarikan diri dari kejaran rezim
bangsat tersebut, lambat laun berhasil menghantui saya sewaktu sedang
asyik-asyiknya buang hajat. Lebih menghantui ketimbang adegan kepala nongol
dari toiletdi film Telaga Angker (1984), mimpi buruk tersebut bikin saya tidak
berani berak malam-malam sewaktu kecil. Orang yang merdeka itu bisa berak
kapanpun dia mau, tanpa harus terpenjarakan oleh rasa takut. Orang merdeka itu
beraknya tidak perlu sembunyi-sembunyi, karena takut digerebek sama aparat. Istirahatlah
Kata-Kata itu
menyadarkan arti bebas dan merdeka, meskipun Yosep Anggi Noen menjelaskan hanya
bermodal adegan Wiji Thukul jongkok berak sambil cengar-cengir berbisik “bau
tai” kepada Sipon. Bahasa visual Anggi dan kekuatan kata-kata Wiji Thukul
kompakan menciptakan kedahsyatan dalam Istirahatlah Kata-Kata.
Sebait kisah pelarian Wiji Thukul sampai ke Pontianak memang
disampaikan tak banyak bicara, tapi selama 90-an menit, dengan penampakan yang
sederhana itu, Anggi danIstirahatlah
Kata-Kata-nya mampu membuat saya mengerti beraneka ragam rasa yang
terperangkap dalam raut muka seorang Wiji Thukul. Rasa yang nantinya akan
terbebas kala Wiji Thukul melampiaskannya di atas secarik kertas kucel. Istirahatlah
Kata-Katamenyiulkan kegetiran yang tersembunyi di antara kesunyian.
Menyuarakan kepedihan yang terbungkam dalam kebisuan. Bisikkan kepiluan yang
tergeletak tertutup oleh bayang-bayang malam. Istirahatlah Kata-Kata pun meneriakkan ketidakadilan yang
semakin mencekik kala listrik sedang padam. Namun nyanyian perlawanan tidak
akan pernah bisa dipadamkan, masih ada terang cahaya lilin hasil beli di
warung. Istirahatlah Kata-Kataadalah
sebuah peringatan, mengingatkan lagi bahwa dulu negeri ini pernah punya masa
dimana orang bisa terenggut kemerdekaannya untuk berak dengan tenang, hanya
karena dia membuat puisi jujur tentang rezim yang zalim. Rezim yang takut
dengan laki-laki ceking yang berani berkata-kata soal kebenaran.
Dalam Istirahatlah Kata-Kata,
kita tidak sekedar menonton, tapi diajak berdialog, mengobrol, layaknya adegan
Wiji Thukul bercengkrama dengan dua sahabatnya di pinggiran sungai Kapuas.
Blak-blakan bercerita, tidak melulu harus serius tapi adakalanya dibawa duduk
santai dengan seteguk guyon dan cemilan humor, agar kita bisa sedikit nyengir
memperlihatkan gigi-gigi yang kuning. Obrolan yang tak selalu berkomunikasi
lewat kata, meski begitu Anggi mampu menyampaikan apa yang sedang dirasakan
oleh Wiji Thukul, bukan hanya tentang ketakutan bakalan ditangkap, tapi juga
soal kerinduan dengan Sipon. Istirahatlah Kata-Kata tak mau kalah dengan Habibie
& Ainun, maka Anggi turut juga mencelupkan kisah asmara
sepasang suami istri yang terpaksa terpisah jarak. Cinta-cintaan yang tidak
pakai adegan hiperbolik untuk mengungkapkan rasa sayang, sesederhana membelikan
istrinya sebuah celana sebagai oleh-oleh, bagian manisnya adalah Wiji tidak
lupa untuk mencucinya terlebih dahulu. Istirahatlah Kata-Kata membuat kita tak saja dekat dengan
sosok Wiji Thukul, sisi emosional kita pun “dipaksa” untuk melekat dengan
hubungan antara Wiji dan istrinya, Sipon.
Wiji Thukul mengambilkan segelas air untuk menenangkan Sipon,
dia lalu pergi, dalam hati saya berharap Wiji kembali dari dapur membawa kacang
goreng, lalu film berakhir bahagia. Detik demi detik berlalu, tapi batang
hidung peseknya tak kunjung muncul, barangkali Wiji sedang berak, saya masih
berharap dia muncul. Setelah Sipon menyudahi tangisnya, dia berdiri berlanjut
dengan menyapu, layar kemudian gelap. Ah! tai benar Anggi dengan segala
metafora bangsatnya. Adegan pamungkas di Istirahatlah Kata-Katatersebut
mungkin akan berbeda efek serta rasanya, apabila Anggi tidak berusaha membuat
kita lengket dengan Wiji Thukul dan Sipon, yang dilakonkan Gunawan Maryanto dan
Marissa Anita dengan penuh penjiwaan, performa dengan totalitas yang
menggetarkan. Istirahatlah Kata-Kata benar-benar mengesankan bukan sekedar
karena adegan penutup yang berhasil menghantam dan menghancurkan, keseluruhan
durasinya dibuat penting, semua adegan menyatu untuk membuat film ini menjadi
tontonan yang istimewa. Karya yang memberi penghormatan sekaligus penolakan
untuk melupakan. Karya yang menyadarkan sekaligus mengingatkan.
0 komentar: