Pelepasan Remah 21
Pelepasan
Remah 21
Kisah sebelumnya klik disini
Untuk
pertama kalinya, aku menginap di rumah Willy, saat itu ibunya sedang tak ada di
rumah, ia sedang ke jawa timur selama empat hari. Saat aku datang, hanya ada
Willy dan kakak perempuannya, Sandra. Aku kenal Sandra sudah lama, kita kenalan
di club tempat Willy kerja dan dia merayakan ulang tahunnya disana.
Saat
Willy mengenalkanku sebagai pacarnya, tak ada ekspresi tak wajar di wajahnya,
ia biasa saja menerimaku sebagai pacar adiknya. Kesan pertama yang aku suka
dari dia adalah, dia sama sekali tak mempermasalahkan orientasi seksual
seseorang, dia juga bilang “Nak seneng yo
seneng wae, ra enek urusan rep bedo kasta, kelamin, po agama,”
Sandra
adalah party goers-nya Solo, di club
apapun, di ulang tahun anak gaul manapun, selalu ada dia. Selalu berpakaian
seminimal mungkin, dari kaus dan celana. Memiliki tato kupu-kupu dari belakang
telinga hingga pungung, hobby memakai high heels minimum sepuluh senti, wajib
menor di malam hari dan natural di siang hari, rambut tergerai hingga punggung
dengan ujung warna-warni.
Willy
beranjak ke arah dapur dan menyuruhku duduk di ruang tamu bersama kakak
perempuannya.
“Ko ngendi wae?” tanya Sandra santai saat
aku masuk rumah, hari itu hampir petang dan Sandra dalam proses memenorkan
wajah, ia sedang mengoleskan gincu merah darah saat aku duduk di depannya.
“Di
jemput Willy dari cafe,” jawabku seadanya. Berusaha sesantai mungkin di
depannya. Saat duduk berhadapan dengannya, ada sensasi intimidasi yang aku
rasakan. Seakan-akan duduk dengan ratu singa yang siap menerkam kapanpun.
“Wes marai ngaceng po rung tho susuku iki?”
tanya Sandra membuatku shock, ini kali kedua kami bertemu dan dia sudah
segeblek ini.Asem, mbakyu adhi kok podo
wae sifate, batinku dalam hati.
“Wes kok, wes mantep banget,” jawabku kikuk
sambil memberinya jempol dua, aku risih melihatnya membenarkan posisi payudara
di depanku. Seakan-akan aku tidak terlihat.
“Sayange koe ora iso ngaceng yo delok susuku
koyo ngene,” lanjutnya membuatku semakin shock, mataku membelalak mendengar
kalimatnya barusan, “jane koe ki ganteng
lho Bell, tapi sayange ra iso nafsu karo aku,” tambahnya dengan tawa
terbahak.
“Wes, ra sah kakean omong,” kata Willy
menyelamatkanku, ia datang membawa dua gelas berisi minuman bersoda, “sorry, ra enek whisky, bir po anggur,”
“Nak enek yo wes di obong ro bue,” sambar
Sandra lagi, “jaluk duit Will,”
“Koe
arep nek endi neh?” tanya Willy sambil merogoh dompet dari saku celana
belakangnya, mengambil lima lembar uang seratus ribu rupiah dan memberikannya
kepada Sandra.
Dari
arah depan rumah terdengar suara klakson mobil beberapa kali, Sandra lalu
beranjak dari sofa, menghampiriku mengecup pipiku dan mengerling nakal
kepadaku, “Ojo ML nek kene yo, kawine nek
kamar wae,” katanya dengan nada sensual, membuatku shock yang ketiga kali.
“Ojo bali esuk, nak bali awan po sore sisan,”
kata Willy mengingatkan. “sa’ake bue,
wong-wong kene ki rewel,”
“Siap bose!” sahut Sadra lepas sambil
menutup pintu depan.
“Ra sah kaget, Sandra pancen koyo ngono,”
jelas Willy sambil memberiku tisu untuk menghapus bekas gincu di pipiku.
“Ojo lali gowo kondom lho!” teriak Sandra
tiba-tiba, “safety can be fun!”
tambahnya sambil terbahak-bahak, sebelum akhirnya benar-benar meninggalkanku
berduaan dengan Willy.
“Wah koyone Sandra luwih edan soko kowe Will,”
kataku sungguh-sungguh, “fulgar banget
bos omongane,”
“Kui we koe gek ketemu peng pindo Bell, piye
nak koe ketemu pendhak dino? Bakal lancar kosakata selakanganmu,”
“Tapi
asik sih dia, nyablak apa adanya gitu,” pujiku tulus, “kaya kamu,”
Setelah
tur singkat di rumahnya, untuk pertama kalinya aku masuk ke kamar Willy. Cat
merah bata dan cahaya reman-remang seketika menimbulkan suasana suram yang
menganggu. Di pojok kamarnya berdiri sebuah almari kaca yang langsung menarik
perhatianku, almari kaca itu berisi koleksi botol minuman keras yang sudah
kosong, mulai dari Galliano, Jack-D, Chivas Regal, Red Label, Honessy VSOP,
Jhonie Walker dan Black Label.
Disamping
almari kaca itu terdapat rak memanjang berisi televisi LED, komputer, laptop
dan speaker berukuran sedang. Di atasnya terdapat figura foto saat Willy di
wisuda, saat dia menjadi bartender, dan sebagian besar foto-foto di distronya.
Koleksi actions figurenya mendapatkan
tempat khusus, yaitu mengelilingi kamarnya. Diatas sebuah sofa empuk, terdapat
sebuah jendela kaca besar yang langsung menyajikan pemandangan malam.
Aroma
rokok dan bir meneuhi udara, jadi kuputuskan untuk membuka jendela kamar di
lantai dua itu. Kubuang abu dan puntung rokok yang memenuhi asbak di tempat
sampah bersamaan dengan bungkus makanan dan kaleng minuman yang berceceran di
lantai. Kutata majalah-majalah otomotif yang berserakan di atas ranjangnya.
Dari dulu aku memang tak betah jika harus berada di dalam ruangan yang
berantakan.
“Kotor
banget sih kamarmu?” keluhku sunggug-sungguh.
“Ya
makannya aku ajak kamu kesini. Biar dibersihin,” sahutnya menjengkelkan. Ia lalu
duduk di jendela sambil merokok saat melihatku menata ulang kamarnya.
“Tattonya
Sandra keren ya?”
“Tatto
yang mana?”
“Yang
di dadanya,”
“Oh,
tatto peri itu, udah lama lagi. Itu tatto pertama dia kok,”
“Lha
terus kalau tatto kupu-kupu itu?”
“Baru
setahunanlah, katanya sih itu bakal jadi tatto terakhir dia,”
“Reaksi
ibumu gimana pas liat kalian punya tatto gitu?”
“Biasa
aja sih, kan sebelum tatto ijin dulu sama ibu,”
“Kamu
nggak bercandakan?” kataku tak percaya.
“Enggaklah,
ibuku asik lagi Bell. Kalau prinsip dia sih gini, itu tubuhmu, mau kamu tatto
atau rajah sebanyak apapun itu terserah kamu, itu juga tanggung jawabmu, kalau
ada apa-apa ya itu resikomu. Yang penting enggak pakai narkoba aja dia sudah
seneng kok,”
“Tapikan
dia kelihatan-“
“-Islami
banget?”sambar Willy cekatan, “emangnya kalau islam nggak ada toleransi? Dari
kecil ibuku emang sudah make jilbab lebar kok Bell, tapi kerennya dia nggak
maksa kita buat ngikutin jalan hidup dia. Anak-anaknya udah dewasa semua, udah
tahu mana yang salah dan benar, udah bisa dimintain tangung jawab sama hidupnya
sendiri,”
Aku
hanya bisa diam tak berkutik sedikitpun. Aku tak bisa menjawab secara lantang
jika sudah menyangkut topik agama.
“Sebenernya
ibu dan ayahku nikah gara-gara kecelakaan sih Bell, sebelum wisuda ibuku hamil
Sandra. Di keluarga ayahku, ibuku sering kali dianggep nggak ada, dikeluarga
besarnya sekalipun ia juga sering kali nggak keliatan gara-gara aku dan Sandra
luarnya urakan kaya gini. Mungkin cuma Rio yang bisa dia banggain, dia ganteng,
pinter, anak BEM, dan kuliahnya pake beasiswa lagi,”
“Kamu
dari dulu jarang banget lho Will cerita tentang Rio,”
“Lha
mau cerita apa? Orang dia nggak disini, dia kesini cuma pas liburan doang,”
“Lha
emangnya dia kuliah dimana sih?”
“Di
Medan, dari kecil dia emang tinggal sama tanteku. Hampir sepuluh tahun tanteku
nikah tapi nggak dapet-dapet anak, nah, si Rio itu jadi pancingan,”
“Terus
berhasil nggak progam tantemu itu?”
“Berhasil
kok,” sahutnya bangga,“sekarang anaknya yang paling gede udah kelas tiga SMP
dan yang kembar masuk SMP tahun depan,”
“Keluargamu
ada gen kembar?” kataku antusias.
“Ibuku
malah yang kembar. Kalau bukan saudara kembar ya masih mikir-mikir kali Bell,
mau nyerahin anak buat pancingan,”
“Wah,
kayaknya enak ya punya saudara kembar,” ujarku sambil membayangkan, “mau ngapa-ngapain
ada yang nemenin. Jadi, yang kakak siapa? Ibumu atau tantemu yang ada di
Medan?”
“Ibuku
yang jadi kakaknya,” jelas Willy,“mereka baru pisah pas tante nikah terus
ngikut suaminya ke Medan kok,”
“Tapi
aku masih bingung sama ibumu Will, dia dari kecil pake jilbab, terus kecelakaan
pas kuliah. Bukannya kalau orang-orang kaya gitu jaga-jaga banget ya
pergaulannya?”
“Satu
hal yang buat ibuku paling mencolok di keluarga besar adalah karena jiwa
liarnya Bell, yang akhirnya nurun ke aku sama Sandra. Walaupun dia suka pake
jilbab gede, pas muda dulu dia hobbynya naik gunung, panjat tebing, telusur
gua, arum jeram, dia suka banget sama kegiatan-kegiatan pemacu adrenalin. Yang
jelas gini lho Bell, kita nggak bisa nilai orang cuma dari luarnya doang. Aku
sama Sandra emang luarnya berandalan banget, tapi dalemnyakan belum tentu kaya
gitu?”
“Kamu
bener Will, kenapa aku harus kaget ya denger ibumu kaya gitu? Ternyata aku
masih ngotak-ngotakin orang. Belum berfikiran terbuka sepenuhnya,”
“Kamu
harusnya kenal lebih deket sama ibuku kok Bell, woles banget soalnya dia.
Pokoknya bangga deh aku punya orang tua kaya dia, malahan dia dulu pas kuliah
dijuluki ‘pasangan nakal’ lho sama ayahku,”
“Wah
kalau itu unpredicteble banget Will.
Kayaknya seru banget deh hidup ibumu,”
“Ya
mungkin karena dia jalanin hidup cuma buat hari ini aja, dia hidup seolah-olah
ini hari terakhir dia, makanya dia gitu,”
“Kamu
tahu cerita tentang masalalu ibumu darimana?”
“Dia
sendiri kok yang cerita, lagian itu kan cuma kisah masalalu, nggak bakal ngubah
apa-apa kan kalau dia ceritain semuanya?” lanjut Willy lagi, membuatku semakin
kagum dengan ibunya, “bagi dia nggak ada hal tabu sih Bell, kalau mau ngomongin
seks, agama dan lain-lain dia paling asiklah,”
“Wah,
jadi tambah pengen kenal baik ibumu,” punjiku tulus, “eh, si kembar anak
tantemu itu namanya siapa?”
“Vexia
sama Xaveria, kakaknya yang SMP namanya Xavier Xaverio,”
“Lho
bukannya namanya Rio itu Xaverio ya?”
“Emang,”
sahut Willy ringan, “nama mereka emang sama kok, itu bentuk ucapan terimakasih
tanteku sama Rio karena dia mau jadi anak angkat,”
“Wah,
gimana ya rasanya jadi Rio? Punya ibu dua, kembar lagi,”
“Ya
ntar kalau Rio liburan kita ajak jalan-jalan deh, biar kamu puas ngobrol sama
dia,”
“Maksut
kamu tentang ibumu yang diabaikan di keluarga besar itu gimana sih Will?”
“Oh,
tentang itu,” jawab Willy manggut-manggut, “ya mungkin karena banyak orang yang
liat orang dari penampilan dan langsung menghakimi kali ya. Banyak keluarga
besar yang sebel sama ibu gara-gara punya anak berandalan kaya aku sama Sandra,
mereka ngatain ibu gagal dan nggak bisa didik anaknya dengan baik. Pahadalkan,
hey! Emang mereka siapa lihat kita cuma dari luarnya aja? Menurutku ibuku
sukses kok jadi orang tua. Selain jadi E. O. Sandra juga punya butik, aku
selain jadi bartender juga punya distro kok, hidup kita baik-baik aja dan kita
mampu bertangung jawab atas semua itu. Dari uang distro sama butik kita udah
bisa kok buat naikin ibu haji, yang salah apa coba dari hidup kita?”
“Yang
salah cuma sudut pandang orang kebanyakan sayang,” kataku lembut berusaha
menetralisir emosi di hatinya, “masih banyak orang yang yangka orang yang pake
tatto sama tindik itu orang nggak bener. Padahalkan itu sudut pandang lama,
sekarang mah, tatto itu jadi bagian gaya hidup,”
“Nah,
itu dia Bell yang salah sama masyarakat kita. Mereka kebanyakan nggak bisa
berfikir positif sama orang-orang, mereka mikir kalau orang tattoan itu pasti
hidupnya nggak bener, preman, tukang mabuk, suka bikin ribut,ya memang sih ada
orang yang gitu. Tapikan, nggak bisa pukul rata semuanya,”
“Ngerti
kok Will, aku paham,”
“Aku
sama Sandra itu sama. Nggak bisa kalau disuruh nurutin standar orang
kebanyakan, Sandra nggak bisa kalau disuruh pake jilbab kaya ibu, aku juga
nggak bisa disuruh sholat lima waktu, pakai pecis, kerja di kantor dan
lain-lain. Soalnya itu bukan jati diriku, jati diriku ya gini, nggak bisa
diutak-atik lagi. Aku bahagia jalanin ini semua, kenapa masih banyak orang
bawel ya diluar sana?”
“Ya
karena kita nggak bisa maksa semua orang pakai sudut pandang kita Will,’
jelasku langsung, “semuanya butuh proses, apa yang jadi standar orang normal
buat keluarga A sama apa yang jadi standar normal buat keluarga B kan beda.
Nggak ada habis-habisnya kalau kita bahas ini semua,”
“Omongan
kita terlalu serius!” kata Willy sambil terbahak, “aku pernah di lelang lho
sama Sandra,”
Dilelang? Maksudnya?
Kisah selanjutnya Klik disini
Daftar lengkap serial Pelepasan
Melajulah "Pelepasan"ku klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
0 komentar: