Pelepasan Remah 24
Pelepasan
Remah 24
Kisah sebelumnya Klik disini
Sembilan
hari berturut-turut kami tidak bertatap wajah. Aku sibuk mengurusi Reve dan
Willy mengikuti dua pameran sekaligus di Bandung. Hampir tiga bulan sekali
memang ia selalu pergi keluar kota untuk mengikuti berbagai pameran, selain
sebagai ajang untuk memamerkan berbagai rancangan terbaru mereka, Willy juga
kerap kali memakai ajang itu untuk berkumpul dengan teman-teman yang memiliki passion yang sama dan bertukar pikiran
dengan orang-orang yang memiliki dunia kreatif yang sama. Sehari sebelum atau
sesudah pameran mereka sering menggelar acara untuk kumpul-kumpul, sekedar
untuk silaturahmi atau nongkrong bareng.
Biasanya
saat ia pulang dari pameran di luar kota. Ia sering membawakanku tas, kaos,
hem, jaket, celana atau sepatu dari brand-brand yang ia sukai di pameran itu
dan meminta seharian penuh untuk menghabiskan waktu bersama.
Malam
saat ia berada di luar kota selalu menjadi malam yang panjang. Sebelum adzan
subuh bergema, kami terus bercerita tentang apapun hingga menceritakan
kisah-kisah lama yang sudah usang.
Bangku-bangku
kayu sudah dinaikan di atas meja saat beberapa orang mulai beres-beres Reve
malam itu. Di area bar terbuka, aku membantu Andi mengelap gelas-gelas lonjong
yang baru saja ditiriskan dan menatanya di rak gantung di area dapur.
“Willy
udah pulang?” tanya Andi memecah keheningan, volume musik yang biasanya
terdengar riuh, tengah malam itu telah mencapai titik kritis. Sehingga
menciptakan suasana lengang yang asing.
“Belum,”
jawabku ringan, “dia di Bandung seminggu,”
“Kemarin
Ibumu nanyain kamu Bell,” kata Andi dengan suara parau. Ia paham jika sudah
menyentuh areal terlarang di hidupku. Gerakan membasuh gelasku terhenti,
dinginnya udara malam yang tadi merayap pelan kini hinggap di balik punggungku.
Membuat seluruh tubuhku membeku. “kamu nggak ada pikiran buat pulang ke rumah?”
tambah Andi membuatku kelu.
Kuhempaskan
nafas berat setelah beberapa saat aku meggulum kata, “Ndi,” tekanku tajam, “aku
udah di usir dari rumah itu. Aku bukan anak mereka lagi. Kalau kamu nyuruh aku
pulang ke rumah, satu-satunya rumah yang aku tahu sekarang ya rumah kontrakan
kita itu. Nggak ada rumah yang lain,” tambahku ketus.
Lebih
dari dua setengah tahun ini aku tahu kalau ibu dan kakakku berusaha
menghubungiku lewat Andi. Hatiku mendadak membatu saat membayangkan hal itu.
Ada gejolak emosi yang tiba-tiba menggumpal di dalam dadaku. Mendengar nama
mereka saja, mendadak membuatku serasa kembali terpenjara di penjara kasat
mata. Penjara personal di masalalu.
“Udah
cukup Bell kamu bertingkah seperti ini. Hampir tiga tahun lho kamu nyiksa
mereka seperti ini,” jelas Andi seketika membuat sampah hatiku muntap. Jemariku
bergetar, berusaha menahan amarah yang mulai memuncak.
“Nyiksa?”
kataku tersulut emosi. Entah apa yang lucu, tapi tawa tiba-tiba membuncah dari
bibirku. Aku hampir tak percaya mendengar apa yang baru saja Andi ucap, “kamu
bilang aku nyiksa mereka?” ulangku seakan tak percaya dengan apa yang baru saja
dia katakan. Para pegawai Reve langsung berpamitan pulang saat melihat kami
berdua memulai malam panjang. “aku baru minggat dari rumah itu tiga tahun. Dan
kalau kamu bilang aku nyiksa mereka tiga tahun ini, kalaupun kamu nganggep itu
sebuah siksaan, itu belum cukup. Sama sekali nggak cukup. Itu nggak ada
apa-apanya sama yang aku rasain selama ini Ndi. Kamu sendiri tahu gimana
tersiksanya aku selama ini di rumah itu lebih dari dua puluh tahun! Kamu nggak
tahu Ndi rasanya jalanin hidup yang bertentangan sama hatimu. Baru tiga tahun
aku pergi dari hidup mereka dan kamu bilang aku nyiksa? Terus penderitaanku selama
duapuluh dua tahun disana kamu namain apa?” tambahku emosi.
Menit
berlalu dan Andi sengajah membisu. Dalam diam dia menyelesaikan tugas
membersihkan gelasnya sambil menunggu emosiku mereda. Dia memang tak pernah mau
berucap dengan orang yang sedang dikuasai amarah.
“Udah?”
tanya Andi seletah sepuluh menit menyiksaku dengan rasa bersalah.
Kujawab
dengan satu anggukan ringan.
Ia
lalu beranjak ke area dapur dan kembali membawa dua buah bir dingin, “Giliran
aku ya yang ngomong,” ujarnya pelan. Membuat hatiku ngilu, karena terlalu mudah
terbawa emosi, “apa gunanya sih Bell hidup seperti itu?” kata Andi trenyuh,
menohok hatiku dengan segumpal emosi, “mata di balas mata, jari dibalas jari,
tangan di balas tangan. Kalau semua orang hidup kaya gitu dunia bakalan cacat.
Di dalam hidup, banyak orang yang bakal nyakitin kamu, benci sama kamu, nggak
seneng hidupmu berjalan baik-baik saja. Mereka melakukan itu karena mereka
cemburu sama kamu, cemburu karena kamu merdeka menjadi siri sendiri,” godam
kasat mata jatuh tepat di ulu hatiku. Kalimat Andi barusan ternyata mampu untuk
membuat tungkai kakiku lumer, cepat aku meraih pinggiran meja untuk bersandar
agar tak segera ambruk, “jangan benci mereka Bell, jangan jahat sama mereka.
Dunia nggak berjalan dengan cara seperti itu. Cukup merasa kasianlah sama
mereka. Janji sama aku Bell, kamu nggak bakal benci sama orang yang bakal
ngehancurin hidupmu. Setelah kita lahir, bukankah hidup nggak cukup lama buat
kita saling mencintai bukan?”
Tulang
kakiku resmi lumer, aku menjatuhkan diriku di atas lantai berlapis kayu.
Nasehat Andi telak membuatku terpuruk dalam satu pukulan. Aku terdiam beberapa
saat, merenung hingga Andi menyerahkan bir penuh bulir-bulir es ke tanganku,
“Udah, minum ini dulu,” ucapnya pelan. Ia paham jika batinku masih tak karuan,
“maaf kalau ngomong kaya gitu sama kamu Bell, semua ini buat kebaikanmu. Biar
kamu nggak jadi orang egois,” sarannya tulus. Lalu dia duduk di depanku,
bersila dan menatapku erat, “biar kamu nggak jadi pendendam, biar kamu jadi
pelepas. Kamu nggak perlu jadi orang-orang seperti itu, biar karma yang bekerja
dengan sendirinya,”
Aku
kembali terperangah, belum selesai ia meruntuhkan batinku. Dalam keheningan
malam yang menyelaputi udara, kenangan-kenangan masalalu berkelebat cepat dalam
bara api yang menguarkan kabut asap hingga membuat mataku panas dan pandanganku
pekat. Air mata langsung terjun bebas tanpa aba-aba, masa-masa kelabu berteater
di dalam angan. Demdam, egois,
batinku berulang-ulang, kenapa sekarang
hatiku bisa sekeras ini? Bahkan menyadari keegoisan diri sendiri saja aku tak
bisa. Sejak kapan aku jadi manusia pendendam seperti ini?
“Kadang
kita emang harus di gaplok biar sadar,” ucapku setelah sekian lama terdiam.
Berbicara dengan diri sendiri, “kamu bener Ndi, aku emang buta sama banyak
hal,” ungkapku mengakui walau terasa begitu pahit di lidah, “kamu bilang aja
sama ibu atau kakakku kalau aku baik-baik saja. Tapi, kalau mau pulang ke
rumah, aku masih belum bisa,” tambahku serak. Air mata kembali mengalir deras
di wajahku, sedaritadi punggung tanganku sibuk menghapusnya.
“Aku
tahu kalau kamu bakalan bilang kaya gitu,” sahut Andi cepat, “aku udah bilang
sama mereka kalau kamu bahagia dan baik-baik saja. Aku juga bilang sama mereka
aku nggak bisa janji bakal bisa bujuk kamu buat pulang,”
“Makasih
Ndi,” pujiku tulus, “kamu emang sahabat yang pas tuhan kasih buat aku,”
kuhembuskan nafas perlahan, berusaha menetralisir sesak di dalam dada, “besok
kamu ke gereja?”
“Kenapa
emangnya?”
“Besok
kamu kegrejalah,” pintaku, “sampaikan rasa terimaksih ke Tuhanmu,”
Tawa
Andi membuncah, “Kenapa nggak sampaiin sendiri sama Tuhanmu?” katanya
menggodaku dengan tatapan jahil, “iya-iya, besok aku sampaiin,”
Sampai
sekarang, topik tuhan kerap membuat aliran darahku membeku.
Kisah selanjutnya Klik disini
Daftar lengkap serial Pelepasan
Melajulah "Pelepasan"ku klik disini
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
0 komentar: