Pelepasan Remah 25
Pelepasan
Remah 25
Kisah sebelumnya klik disini
Setelah
sembilan hari tak bertatap muka dengan Willy, malam hari ke sepuluh ia langsung
menghampiriku di Reve dengan wajah berbinar. Jaket biru bergambar ukiran rumit
dan sepatu santai warna merah padam ia sodorkan padaku dalam balutan tas
berwarna coklat tua. Setelah menungguku di Reve hingga dua jam, ngobrol dengan
Andi dan bersantai di lantai dua, kita meninggalkan cafe dengan hati sumringah.
Ingin cepat-cepat sampai rumah agar rindu yang melilit dada, dan membuat nafas
tak beraturan cepat tandas.
Setelah
mampir membeli martabak, roti bandung dan satu kresek besar berisi aneka
cemilan di alfamart. Kami langsung beranjak ke halaman belakang rumah,
menyalakan belasan lilin di bawah sisa jemuran yang belum kering benar. Denting
gitar mengocok keheningan malam saat aku beranjak dari dalam rumah membawa
Jhonie Walker dan Jack-D. Setelah lewat beberapa tengak, malam mendadak riang,
dan hatiku gembira. Dimulai dari serangkaian lagu The Beatless, I Wan’t Hold Your Hand, A Day In The Life,
Strawberry Fields Forever, Abbey Road Medley, While My Guitar Genty Weepss,
dan Something menjadi lantunan yang
begitu membakar.
All You Need Is Lovemenjadi
penutup sesi pertama saat Willy mulai berceloteh tentang sembilan hari yang ia lalui
di Bandung, kuletakkan kepalaku di atas pahanya saat ia bercerita tentang
desaign-desaign yang ingin ia buat setelah terinspirasi banyak hal selama dua
kali berturut-turut pameran. Ia bahagia industri yang membakar passion-nya berkembang pesat akhir-akhir
ini.
Di
bawah taburan cahaya bintang dan belasan lilin yang berjuang melawan kelam,
kuperhatikan wajah Willy dari bawah, cara dia bercerita, bibir tipisnya yang
berkecap saat dia mengucapkan kata, sungingan senyum saat dia berbicara dan
lensung pipit di sisi kiri pipi tambunnya. Kurekam moment itu erat-erat dan
takkan kulepas. Aku jatuh cinta dengannya lagi dan lagi, dan aku harap itu
untuk seterusnya.
I’ll Be There
milik King Of Popmerutuki malam saat
aku bangkit berdiri dan mulai membebaskan diri mengikuti nada yang dipetik,
hatiku bertabur kebahagiaan malam itu. Berulang aku menyimak dan ikut
menyanyikan lagu-lagu yang kami tujukan untuk mengoyak keheningan malam.
Kusahut rokok yang baru saja Willy sulut, aku hirup hingga masuk kerongkongan
dan kuhembuskan lewat hidung. Baju yang melekat di tubuhku terlampir di tali
jemuran, malam itu suasana membuatku gerah. Aku menari mengikuti alunan
lagu-lagu yang dimainkan oleh Willy.
Saat
tubuhku terlampau lelah untuk mengikuti irama gitar, aku merebahkan diri dan
bersandar di pundak Willy, membantunya menyulut rokok sekali lagi, “Coba deh
Will kamu rokok semuanya ini, kayaknya seru deh kalau di foto,” bujukku sambil
mengoyang-goyangkan bungkus rokok yang masih penuh.
“Ayo dijajal,” sahut Willy mengiyakan
permintaanku, lalu aku keluarkan semua rokok dari dalam bungkusnya,
membentuknya dalam satu lingkaran di sekitar bibir Willy dan menyulutnya. Aku
terbahak melihat ekspresi wajah Willy yang konyol. Flas kamera handphone
berpendar sesaat ketika aku mencupang leher Willy.
“Bagus
nggak fotonya?” tanyaku sambil menyodorkan layar handphone ke arah Willy.
“Keren!
Tapi lebih keren kamu kalau foto sambil nyupang selakanganku,” jawabnya jahil
sambil menghembuskan asap super tebal. Flas kamera kembali berkelebat di tengah
kelam saat aku menggigit bibir bawah Willy yang masih menghembuskan asap dari
belasan rokok.
“Kalau
ini gimana?” tanyaku lagi meminta pendapatnya.
“Mendingan
kamu nyupang leherku bentuk segitiga atau melingkar seleher sekalian biar kaya
kalung,” ujarnya santai, sambil menenggak minuman keras langsung dari botolnya.
Lalu
kuturuti permintaannya, mencupang leher Willy dengan pola melingkar menyerupai
kalung, ia masih mendesah panjang saat aku selesai, “Kaya gini?” tanyaku
setelah memotret lehernya beberapa kali, menyodorkan layar handphone di depan
wajahnya yang memerah.
“Sekalian
di badanku Bell, bikin pola vertikal biar kaya kancing baju,” pinta Willy
langsung aku iyakan setelah menenggak alkohol beberapa kali. Kuhirup asap rokok
yang masih bersarang di dalam bibir tipisnya dalam sebuah ciuman penuh maksiat.
Aku
tak tahu kapan tapi tiba-tiba baju dan celananya sudah tanggal menyisakan
celana dalam berwarna biru kelam yang mencetak jelas kemaluannya yang mulai
mengeras, “Kenapa sih Bell kamu sayang sama aku?”
“Will!”
kataku setengah membentak, sesaat kemudian aku terbahak mendengar pertanyaan
itu, “kita udah jalin hubungan lebih dari satu tahun, dan kamu baru tanyain
pertanyaan klise itu sekarang?”lalu aku tangkupkan telapak tangan di wajah
rupawannya. Mencari-cari jejak lelucon disana, tapi tidak ada, ternyata dia
serius dengan pertanyaan itu. Aku cium dengan kasar bibir tipisnya.
“Arep klise kek, ora kek, ra tak gagas.
Penting di jawab,” jawab Willy gusar membalasku, ia gigit tipis bibir
bawahku.
“Karena
kamu membuatku ngerasa komplit,” kataku menerbitkan senyum di wajahnya, “aku
suka sama usahamu buat dapetin perhatianku, kasih sayangku dan seluruh diriku.
Aku belum pernah diperlakuin kaya gitu sama orang lain, tapi yang paling aku
suka dari hubungan kita adalah proses pendewasaan kita. Kamu ngajarin aku buat
jadi orang jujur, apa adanya, dan merdeka menjadi diri sendiri tapi tetap
bertangung jawab sama banyak hal,” ku kecup kedua kelopak matanya sebelum
melanjutkan, “karena kamu spontan, penuh kejutan dan posesif nggak ketulungan.
Pas kamu lagi gila-gilaan aku nggak mau apa-apa lagi di dunia ini, Tuhan ngasih
kamu buat ada di hidupku itu udah lebih dari cukup,”
“Sadar
nggak Bell, kalau orang-orang kaya kamu di masa lalu itu kaya bom waktu?” tanya
Willy dengan paras yang membuatku ingin mengulum bibirnya terus.
“Sangat
sadar kalau tentang itu Will,” jawabku mantap, “dulu aku juga mikir kaya gitu,
kalau terus-terusan tiap hari aku nimbun sampah di hati, tertekan sama banyak
hal, dituntut macem-macem, aku bakal meledak dan ngancurin semuanya. Walaupun
sekarang hubunganku dengan keluarga rusak, tapi ibu dan kakakku terus berusaha
buat memperbaiki lagi semuanya. Ya mungkin karena aku sama ayahku sama-sama
keras kepala kali ya, jadinya nggak ada yang mau ngalah,”
“Mungkin
mereka penginnya kamu singgah ke rumah mereka sebulan sekali Bell, sekedar say hello atau bilang ‘yah, bu, aku
bahagia dan aku baik-baik aja’ bisa aja lho. Kalau nggak kamu sekedar mampir
bentar, basa-basi, terus pulang lagi ke rumah ini,”
“Sebenernya
aku nggak masalah sama hal itu Will, tapi aku masih ngerasain sakit pas mau
masuk komplek rumah orang tuaku. Dadaku masih sesek inget rasa sakit yang itu,”
“Ya
kalau kamu ngerasa gitu pertanyaanku berubah jadi gini, sampai kapan bersikap
kaya gitu? Sampai kapan kamu menghindari rasa sakit yang harusnya udah kamu
atasi sebelum menjadi orang yang bener-bener bebas?”
“Sampai
batinku bener-bener siap dan merekonsiliasi hubungan kami,” jawabku lantang
membuat Willy terdiam, “selama tiga tahun ini, ibu sama kakakku masih
menghubungiku lewat Andi, mereka pengin aku pulang ke rumah, memperbaiki
semuanya. Tapi ada yang ganggu dari permintaan mereka, mereka minta aku buat
memperbaiki jati diriku atau hubunganku sama mereka?” tambahku dengan sorot
mata menerawang, “kalau mereka nyuruh aku buat perbaiki jati diriku sebagai
gay, itu nggak mungkin. Tapi kalau mereka mau aku perbaiki hubunganku sama
mereka, itu mungkin, tapi bakal butuh waktu yang lama,”
Willy
hanya diam, menenggak minuman keras dan menyerap lintingan rokok sesekali, “Kita
udah lama nggak wisata kuliner lagi ya?” kata Willy membuat fikiranku melayang,
aku lalu teringat saat pertama kali kami makan sate luwak di Karanganyar, lalu
walang goreng di Wonosari, sate ular kobra, rica-rica anjing, sate kuda, dan
babi guling.
Aku
terbahak sendiri, “Tapi yang paling menjijikan buatku pas kita minum susu sapi
langsung setelah diperas, nggak dimasak dulu, langsung di telan. Kadang aku
masih inget rasanya pas susu itu masuk ke tenggorokanku, mana bau lagi,”
“Sampai
kapanpun kamu nggak bakal lupa lho Bell sama hal-hal kaya gitu,”
“Pengalamannya
yang buat kita nggak bisa lupa,” sahutku riang, “kalau kamu? Kenapa kamu sayang
banget sama aku?”
“Karena
cuma kamu yang mencintaiku dengan cara yang tepat, pas dan lengkap,” ucap Willy
sebelum memagut bibirku lama, melucuti celana panjangku hingga akhirnya
sama-sama telanjang bulat dan memulai malam panjang penuh desahan nikmat.
. . . . # # # . . . ...
Deru
angin, kelebat pakaian koyak dan sengatan sinar matahari menjemput kami dari
alam mimpi. Berbalut selimut tipis kami berdua terlelap di balkon belakang
rumah. Aku biarkan Willy kembali terjerat alam mimpi saat aku mulai mencabuti
sisa-sisa lilin yang menempel di lantai semen, lalu mengumpulkannya ke dalam
kotak martabak dan kubuang ke tempat sampah bersama satu plastik berisi bungkus
makanan ringan dan botol minuman keras.
Handphoneku
berdering kencang usai aku membersihkan diri, tumben Andi telefon sepagi ini, batinku, “Hallo-,” jawabku ringan
penuh semangat.
“-GOBLOK!!!”
teriak Andi di ujung telefon, menyentak seluruh kesadaranku, membuatku mengigil
ketakutan.
“Koe nopo tho?” ujarku berusaha santai, “enek masalah opo Ndi?”
“Bell,
kalau kamu nggak kuat mabuk, mendingan nggak usah pegang hape! BUKAFACEBOOK SEKARANG!”
Langsung
kuputus panggilan Andi, dan kubuka halaman facebookku,
tanganku bergetar hebat dan keringat dingin langsung membebat.Nafasku lenyap
saat menatap apa yang tersaji di hadapanku. Bangsat,
makiku pada diri sendiri. Foto-fotoku semalam dengan Willy, foto saat kami
balapan menitup kondom menjadi balon, foto saat aku berpose seperti kelinci
dengan telinga dari balon kondom, foto saat aku mengigit kulit kemaluan Willy,
foto saat aku mengulum kemaluan Willy, foto saat kami berciuman dan masih
banyak lagi foto-foto fulgar yang aku tandai ke banyak temanku. Tak sampai satu
menit kemudian aku langsung me-nonaktifkan akun facebookku.
Mendadak
kepalaku pening bukan main, bukan semata-mata pening karena efek minuman keras,
tapi pening karena ketololanku tak bisa mengendalikan diri saat mabuk.Kenapa aku bisa seteledor ini? Kenapa aku
segoblok itu? Kenapa aku kemarin ngepost foto-foto bangsat itu di facebook
segala? ASU!, makiku tanpa suara.
Kisah selanjutnya klik disini
Daftar lengkap serial Pelepasan
Melajulah "Pelepasan"ku klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
0 komentar: