Pelepasan Remah 22
Pelepasan
Remah 22
Kisah sebelumnya klik disini
“Dilelang?”
kataku kebingungan, berusaha membaca apa yang tersirat di wajah Willy,
jaga-jaga jika kekasihku itu sedang kumat jahilannya. Tapi, ia kelihatan serius
dengan ucapannya, dan itu membuatku was-was,“dilelang gimana maksutmu?”
“Dilelang
di club,” jawabnya santai seolah-olah itu bukan hal besar.
“Dilelang
di club malam?” ulangku dengan nada tinggi. Alisku bertaut saat mendengar hal
itu, jentungku berdebar kencang.
Tawa
Willy berderai, dia paham jika aku akan kaget dengan hal-hal seperti ini, “Iya.
Itu juga untuk pertama kali dan terakhir kalinya kok Bell,”
“Yang
bener?” kataku sangsi. Aku tak percaya begitu saja.
“Iya
beneran. Lagian itu juga pas awal-awal kuliah dulu kok, uang SKSku habis,
padahal seminggu lagi mau tes. Pinjem Sandra dia juga lagi nggak pegang uang,
pinjem anak-anak mereka juga lagi bokek soalnya akhir bulan. Malemnya si Sandra
ngajakin dugem di acara ulang tahun temennya, aku sih iya-iya aja, soalnya udah
kepentok nggak bisa mikir lagi. Di club aku nekat minta Sandra buat lelang aku,
soalnya udah mepet banget, nggak bisa dispen lagi soalnya udah nunggak dua kali
di kampus,”
“Terus
kamu di bawa pulang sama siapa?” tanyaku ketus. Aku sama sekali tak suka
bahasan kali ini. Ada segumpal emosi di hatiku saat mendengar kisahnya barusan.
Tapi itu masa lalu Willy, aku sama sekali tak punya hak untuk marah ataupun
jengkel kepadanya.
“Sama
tante-tante gembrot super binal, udah tua, keriputan lagi. Itu pengalaman sex
paling menjijikan yang pernah aku lakuin,” jelasnya sedikit mengerinyit, “ra bakal tak baleni neh sak jeke urip,”
tambahnya bergidik membayangkan kejadian itu.
“Aku
nggak nyangka kamu bakal segila itu Will,” kataku sinis. Sebal mendengar
pengakuannya barusan.
“Lha rep piye neh tho Bell? Nak ora kepepet
aku yo ra bakal nglakoni kui tho? Pas kui laptop karo motorku mlebu pegadaian
lho,” jawabnya melas. Membuatku merasa bersalah karena mengomentari
masalalunya. Aku sadar, aku tak berhak sama sekali menghakimi masalalu orang
lain.
“Sorry Will, aku sadar nak ora due hak
ngomentari masalalumu, soale aku ora enek nek masalalumu kui,” kataku
tulus, “tapi nggak tahu kenapa, aku kebawa emosi aja pas denger ceritamu tadi.
Gimana ceritanya kok motor sama laptopmu ada di pegadaian?”
“It’s okey Bell, it’s not big deal,”
sahut Willy menentramkanku, memaklumi penilaian sesaatku, “laptop sama motorku
aku gadein buat bayar utangnya Sandra. Dia kalah judi bola online.”
“Judi
bola online?” kataku tak percaya.
Belum satu jam aku mampir di rumahnya aku sudah dibuat shock beberapa kali.
“Dulu
dia hutang sampe dua puluh enam juta, coba bayangin deh Bell.” Ungkap Willy
dengan ekspresi tak jelas antara menyesal dan bangga,“anak kuliahan, cuma kerja
sampingan jaga warnet, sukanya hura-hura tiba-tiba harus bayar hutang dua puluh
enam juta. Ribet banget deh hidup kita dulu. Tapi sebusuk-busuknya tingkah kita
dulu, sebisa mungkin ibu nggak ngerti kelakuan di luar, biar nggak hawatir.
Tapi kalau diinget-inget sekarang cuma bisa dijadiin bahan bercandaan aja,
konyol banget soalnya hidup kita berdua dulu,”
“Tapi
aku suka kok lihat hubunganmu sama Sandra,” Pujiku tulus, mungkin karena
hubunganku dan kakakku tak berjalan seperti itu,dan sekarang kita malah tak
punya hubungan sama sekali, “kalian kakak beradik tapi kompak kaya sahabat.
Enak punya kakak kaya gitu, kaya punya temen main terus di rumah, asik gitu
lihatnya,”
“Nak Sandra ra sah di takoke neh, pancen asik
wonge,” jelas Willy bangga, “tapi dia bakal jadi jahil banget kalau Rio
liburan kesini,”
“Wah
kasian Rio dong kalau gitu,”
“Tapi
nyenengin kok liat mereka berdua,” kata Willy cengengesan, “Sandra yang super
binal sama Rio yang kikuk, pendiam dan rada introvet,”
Aku
terbahak saat membayangkan interaksi yang Willy maksut. Itu pasti konyol sekali.
Malahan sampai-sampai aku ngebayangin interaksi antara tante-tante hipersex dan
seorang perjaka yang pengen ngesex buat pertama kali. Lho kok, kaya familiar banget ya kisahnya? Batinku sambil terbahak
sambil menatap Willy.
Willy
beranjak dari jendela usai menandaskan rokoknya di dalam asbak. Ia merebahkan
dirinya di atas ranjang dan memintaku untuk tiduran di lengannya sambil meneruskan
obrolan kami barusan hingga akhirnya kami terseret ke alam mimpi di malam yang
hampir tandas dalam pekat. Hari itu tak ada mimpi, udara dingin yang mampir
lewat jendela terbuka dan sayup-sayup adzan subuh yang terlampau menggema
membangunkanku.
Kututup
jendela yang terlalu banyak menguarkan udara dingin ke dalam kamar. Willy tak
ada disisiku, jika dia ada aku hanya cukup memeluknya erat dan bersarang
diantara lengan dan dadanya untuk kembali terlelap. Apa dia lagi ke kamar mandi?, batinku. Tapi karena Willy tak juga
kembali setelah lima belas menit akhirnya kuputuskan keluar kamar dan
menelusuri anakan tangga beralaskan kayu.
Dalam
remang, aku telusuri belasan bingkai foto yang tergantung di bawah tangga.
Ujung tatapku hinggap satu persatu diantara belasan gambar yang ada disana, ada
sebuah foto keluarga dalam formasi lengkap disana, mungkin itu sepuluh tahun
yang lalu. Sandra masih nampak belia di potret keluarga itu, Willy masih
seperti anak SD dan Rio masih duduk di pangkuan ibunya dengan senyum sumringah.
Banyak sekali moment yang diabadikan di rumah ini, tapi kebanyakan foto Rio
yang hadir di dinding kenangan itu, masih
dipajang apa enggak ya fotoku di rumah? Kataku miris dalam hati. Hatiku
berdesir saat teringat kenangan terakhirku di rumah itu, ketika aku menelusuri
belasan pigura foto yang terpajang di dinding rumahku. Saat aku mengurut
kenangan yang mungkin akan mereka tanggalkan.
Sesampainya
di dapur, kutemukan sosok yang kucari disana, menghadap sebuah magkok berukuran
lebar di depannya.
“Lho
kok bangun?” tanya Willy sambil menyeruput ramen di depannya.
“Kademen Will,” jawabku sambil
bersedekap, “adzan nek kene kok gemawang
banget yo?” lanjutku menghampirinya di meja makan, menarik mangkoknya ke
arahku dan langsung menyambar sumpitnya. Turut menyantap mie ramen buatannya. “mantep banget mangan ramen subuh-subuh ngene,”
“Piye ra gemawang? Lha masjide we cedhak soko
kene, aku mau tangi yo goro-goro
luwih kok Bell. Kroncongan banget wetengku mau, wes tak merem-merem ke tetep ra
iso turu neh, yoweslah, gawe ramen wae,” ungkap Willy beranjak ke arah
kulkas, menarik sup buah dari dalam sana, “koyoe
wingi bar enek acara ki bue,”lalu meletakkan cawan berukuran besar itu di
tengah meja makan, mengicipinya sesendok, “masih seger kok,” serunya langsung
mengambil satu mangkuk kecil.
“Habis
ini mau ngapain ya? Mau tidur lagi nangung banget, pasti kita ntar bangunnya di
atas jam satu. Mau ke Reve ini bukan jatahku buat jaga,” keluhku, “mau baca
buku kayaknya disini nggak ada buku,”
“Kalau
mau baca komik banyak kok di kamarnya Rio,”
“Nggak
mau ah, tabletmu mana say?” tanyaku sambil menandaskan putaran terakir ramenku,
“aku mau baca CNN aja,”
“Bentar
aku ambilin,” kata Willy beranjak ke ruang tengah, kembali ke dapur beberapa
saat kemudian membawa tablet dan menyerahkannya padaku.
Tak
sampai setengah jam kemudian, setelah ku baca berita-berita pagi, kuletakkan
tablet di atas meja. Beranjak ke kulkas dan meraih air putih dan menenggaknya
langsung.
“Tumben
cepet banget baca beritanya,” sambar Willy mengomentariku, “biasanya kalau
mainan tablet lebih dari atu jam,”
“Lagi
males aja,” sahutku cepat, memberenggut jengkel, “kebanyakan berita buruknya
daripada yang baik,”
“Selamat
datang di Indonesia kalau gitu Bell,” ujar Willy seakan memaklumi
kejengkelanku, “berita buruk lebih menarik sih soalnya,”
”Kadang
aku juga bingung sih sama kebiasaan banyak orang disini, seneng banget sama
berita buruk daripada berita baik. Terus, sukanya juga baca headlinenya doang, tanpa mau klarifikasi
ulang berita yang tayang.” Cerocosku sebal, “padahalkan, nggak semua yang
wartawan tulis itu kebenaran mutlak? Sekarang banyak banget lho media yang
memihak tokoh dan berkepentingan ganda yang akhirnya menggiring opini
masyarakat. Harusnya mereka itu independet, nggak condong ke satu sudut doang,”
“Lha rep piye neh jal?” ujar Willy
melempar bola padaku, “lha saiki won-wong
seng due kepentingan kok seng nyekel media-media nasional, terus terjun ke
dunia politik pada akhirnya. Seakan-akan mereka bisa membuat negara ini lebih
baik,”
“Kamu
terlalu pesimis kalau bilang Indonesia nggak bisa lebih baik lagi Will,” kataku
semangat, “kita punya banyak sekali potensi buat bangun negara ini lebih baik,
tinggal orang-orang yang pegang kekuasaan pada akhirnya. Tapi kalau ngomongin
berita itu lagi ya Will, aku pernah iseng-iseng ngitung berita baik dan berita
buruk dalam satu koran. Tahu nggak hasilnya? Delapan puluh persen berita yang
ditulis di koran pagi yang aku baca itu berita buruk, entah kecelakaan,
pemerkosaan, korupsi, bencana alam. Intinya berita buruk itu lebih menjual
daripada berita baik.”
“Yah,
kalau itu maklumlah.”
“Tapi,
tahu nggak sih Will? Hal-hal kaya gitulah yang pada akhirnya bikin kita apatis,
nggak mau tahu, ora ngagasan, karena
kita tiap hari disuguhi berita-berita buruk kaya gitu. Coba deh kamu bayangin,
kalau berita baik itu posisinya lebih banyak, pasti kita bakal lebih positif
jadi orang. Soalnya yang aku pahami, apa yang kita lihat, apa yang kita baca,
pada akhirnya akan mempengaruhi sikap kita dalam mengambil keputusan dan
akhirnya menjadi kebiasaan kita sehari-hari. Nah, kalau kita tiap hari disuguhi
berita buruk terus-terusan jadinya kaya kamu gitu deh, apatis sama lingkungan,”
“Nyindir
neh,” sahutnya sebal.
“Eh,
kita sepedaan yuk Will,” pintaku semangat saat teringat sepeda ontel di garasi
rumahnya saat tour singkat keliling rumahnya kemarin malam,, “udah lama nih aku
nggak sepedaan, kayaknya asik deh sepedaan pagi-pagi keliling sawah,”
“Jare kademen?”
“Lha makane kui, gen ora kademen ki obah,”
kataku memaksa, “sama lihat sunrise
di sawah kayaknya romantis deh, udaranya seger lagi,”
Kisah selanjutnya Klik disini
Daftar lengkap serial Pelepasan
Melajulah "Pelepasan"ku klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
0 komentar: