Pelepasan Remah 43
Pelepasan
Remah
43
Kisah
sebelumnya Klik disini
#Willy
Dia
seperti bait lagu yang belum usai.
Diantara
ribuan manusia di dunia maya, mataku langsung tertambat kepadanya. Ku lihat
kembali sepasang matanya, mata dengan warna kuning keemasan berbingkai warna
biru pudar. Softlens? Tanyaku
mengerinyit. Tak pernah aku setuju dengan konsep lelaki yang memakai lensa
mata. Tapi dia memiliki sesuatu yang beda, entah apa, tapi membuatku tertarik
dan penasaran. Lalu langsung aku kirimkan pesan singkat saat dia sedang online,
beberapa detik kemudian dia menjawab. Itulah tahap pertama hubungan kami.
Dia
membalasku dengan hangat dan menyenangkan, pertama memang hanya sekedar
basa-basi, tapi kemudian menjadi kebiasaan dan doping baru di hidupku. Setiap bagun tidur, aku langsung meraih
handphoneku dan mengecek akun medsosnya, atau sekedar mengiriminya pesan
singkat sebagai pemacu semangat untuk diriku sendiri. Setelah itu, barulah aku
memulai aktifitas seperti biasa. Ketika malam menjelang, pesan singkat darinya
manjur untuk membuatku mimpi indah dan terbangun dengan senyum tercetak di
wajah.
Satu
bulan, dua bulan, enam bulan, satu tahun, aku belum berhasil mengajaknya
keluar. Semakin lama dia semakin menantang untuk aku taklukkan, semakin
menggebu hasratku untuk mendapatkannya. Untuk aku miliki seorang diri. Selalu
saja sibuk, entah urusan cafe yang sedang dia bangun atau tentang beragam langkah
dan target yang ia persiapkan ke depan. Ia selalu menolakku saat aku ingin
mengajaknya makan atau nonton bersama. Padahal aku tahu jika dia tergila-gila
terhadap film, atau sekedar jalan bersama menemaninya ke toko buku, tapi tak
apalah, mungkin lain kali ia punya waktu longgar.
Satu
tahun berlalu, kami mulai saling membuka diri. Mulai menjajaki masing-masing
pribadi. Tapi satu hal yang membuatnya beda dengan banyak orang yang aku kenal.
Dia terobsesi akan banyak hal, dia terobsesi akan cafenya, terobsesi akan buku,
terobsesi akan fotografi, film, dan mungkin terobsesi dengan obsesi itu sendiri.
Tapi yang jelas, itu yang membuatku terobsesi dengannya. Dia berfikiran terbuka
dan berwawasan luas, jadi kita tak pernah kehabisan topik untuk dibahas.
Terlebih aku suka dengan sudut pandangnya.
Satu
tahun lebih menjalin komunikasi, dia mulai membuka diri dan aku baru tahu jika
dia banyak menyembunyikan luka. Ternyata dia menyibukan diri untuk menutupi
banyak hal di masa lalunya. Dia membuat dirinya terobsesi akan banyak hal
karena masa lalunya. Aku baru tahu kalau dia membuang diri dari keluarganya setelah
mengakui sebagai gay. Dia juga mempersalahkan tentang sudut padang orang tuanya
akan Tuhan. Bagaimana dia di jadikan objek pelampiasan keinginan keluarganya
akan banyak hal hingga akhirnya dia muak dan meledak pada satu malam.
Malam
itu, aku melihat sosok rapuh yang hadir di dirinya. Sosok yang membuatnya
nampak seperti bait lagu yang belum usai. Seseorang yang menyibak kabut di
masalalunya dengan suara bercamput tangis di ujung sambungan telefon.
.
. . . # # # . . . ...
Beberapa
hari setelah hari sakral itu. Aku mempunyai kebiasaan baru. Aku sengaja
mengintai sosoknya dari seberang jalan, walau sudah lebih satu tahun kami
saling kenal. Dia masih belum mau bertatap muka, jadi aku nekat ingin
melihatnya walau dari kejauhan. Di bawah tenda warung kopi di depan cafenya,
aku puaskan hasratku melihatnya.
Aku
perhatikan benar-benar bagaimana dia turun dari motor matic warna putihnya,
cara berjalan menuju cafe, ekspresi wajahnya saat bertemu dengan kariyawannya.
Saat dia membantu kariyawannya menata kursi dan meja kayu di teras depan cafe.
Bahkan dia membantu kariyawannya mengelap meja dan kursi di teras cafenya. Ia
nampak ceria, membuat sekitarnya bahagia, dan aku juga bahagia melihatnya. Dia
terlihat begitu hidup. Aku bahagia melihatnya bahagia.
Sebelum
terlelap, aku biasakan diri untuk intropeksi diri, kebiasaan itu berubah sejak
aku terobsesi satu orang. Aku mendadak menjadi manusia konyol karena satu
orang. Pernah nggak kamu ngerasa kaya gini? Satu tahun menjalin hubungan di
dunia maya hanya bertukar sapa, menghormati keputusannya untuk tidak membaurkan
dua dunia dan kau hanya bisa menatapnya dari kejauhan, melihatnya tersenyum,
dan nampak bahagia, membuat dadamu terdera rasa bunggah hingga ingin meledak? Lalu
berjingkrak-jingkrak kegirangan? Dan merasa seakan-akan kau tak mengingikan
apa-apa lagi. Dia, hanya dengan sebuah senyuman yang aku tatap dari kejauhan,
berhasil mencuri detak jantungku. Tak pernah aku merasa seperti ini sebelumnya.
Aku
harus mendapatkan hatinya.
Ralat,
aku harus mendapatkan keseluruhan dirinya.
Kami
sama-sama menetap di Solo, sangat mudah jika kami ingin bertatap muka atau
sekedar bersalaman sebagai seorang teman. Tapi dia membuatnya seakan-akan kami
tinggal di beda negara. Membuat status pendekatan serasa menjalin hubungan
sejauh ribuan kilometer. Dan anehnya aku mematuhinya kurang lebih satu tahun
belakangan ini, bagaimana bisa dia mengendalikanku seperti ini? Sejatuh cinta
itukah aku dengannya? Mungkin karena hal itu juga yang membuatku terobsesi
kepadanya.
Aku
ingin terbenam di matanya.
Saat
berbicara dengan orang lain, aku selalu menatap langsung matanya. Ada kabut di
matanya saat kami pertama kali jumpa. Kabut yang ingin kusibak. Ia selalu
menghindar saat mata kita saling tatap. Ada rasa malu, rapuh, dan rikuh yang ia
tutupi lewat senyumnya. Senyumnya istimewa, tapi ada kesedihan yang mengantung
setelahnya. Seringkali ia terlihat cangung dan kurang nyaman, dan aku selalu
berjuang untuk memimbulkan tawa, agar ia sedikit santai menghadapi hidup.
Matahari
memangang bumi dan tiba-tiba petir menyambar.
Pernah
aku memikirkan hal ini sejak dulu, tapi selalu berakhir dengan solusi tak baik.
Sekuat apapun kami berjuang, dongeng kami tak akan memiliki akhir bahagia.
Padahal yang aku minta hanya akhir yang indah, untukku dan untuknya.
Petir
siang bolong itu menyambar lewat pemberitahuan singkat sahabatku.
.
. . . # # # . . . ...
Akhirnya,
aku setujui permintaan bangsat itu.
Aku
temui sosok samar di balik hubunganku dan Abell. Sosok yang selama ini menjadi
bayangan. Di salah satu bilik bersekat restoran ternama, aku duduk merunduk di
depannya. Sekilas kutatap iris mata yang nampak persis seperti iris kekasihku. Kami
berjabat tangan singkat sebelum akhirnya dia menyuruhku duduk di depannya. Sore
itu, suasana di restauran tidak terlalu ramai, tapi hening. Hening yang mungkin
bagi banyak orang elegan. Tapi bagi orang di posisiku, hening ini menjadi
penyiksa.
Hampir
dua
“Saya
tahu kamu sudah menjalin hubungan dengan anak saya beberapa tahun terakhir,”
ucapnya membuka keheningan, kata-katanya begitu tertata, mungkin sudah
dipersiapkan matang sebelumnya, “sejak dia memutuskan untuk keluar rumah, saya
selalu memantau dia melalui orang-orang terdekat. Saya tahu bagaimana dia
terluka, bagaimana dia berusaha bangkit dan menyetabilkan hidupnya seperti
sekarang. Dia anak terakhir di keluarga saya dan anak yang paling membanggakan
bagi saya. Saya tak ingin basa-basi dengan kamu Willy. Saya ingin dia kembali
pulang ke rumah dan menjalin hubungan baik lagi dengan orang tuanya, sudah
cukup dia hidup di jalan ini. Saya ingin meminta bantuan kamu Willy,” tambahnya
penuh penekanan.
“Bantuan
gimana Tante?” tanyaku dengan suara serak. Sejak masuk restauran ini, aku sudah
tak nyaman dengan tempat ini, atau tak nyaman dengan orang yang kutemui ini?
Aku ingin segera minggat dari tempat ini.
Hembusan
nafas berat menjadi pemula, “Saya minta kamu agar Abell kembali ke rumah, saya
ingin keluarga saya utuh seperti semula, tidak retak seperti ini. Nggak ada
orang tua yang ingin keluarganya berantakan dan anaknya nggak ada di jalur yang
benar,”
“Saya
nggak yakin bisa bantu tante apa enggak,” jawabku lugas, Abell bukanlah tipe
orang yang mudah dibelokkan keinginannya. Bahkan kadang cenderung keras kepala.
Sebersit
emosi berkilat di matanya, “Apa kamu nggak ingin lihat Abell kembali ke jalan
yang benar Willy? Kalau kamu sayang sama dia, seharusnya kamu melepaskan dia,
bukan mengikatnya. Nggak ada orang tua yang tak menderita melihat anaknya
seperti itu. Saya ingin lihat dia menjalin hubungan dengan wanita, lalu menikah,
punya anak dan bertangung jawab selayaknya seorang kepala keluarga. Tidak hidup
seperti ini,”
“Hidup
seperti apa Tante?” tanyaku sebisa mungkin menekan emosi dalam suaraku.
“Agama
kamu apa Willy? Di agama saya, apa yang kalian jalani itu salah,”
“Saya
dan Abell sepakat untuk menjalankan hal-hal baik dari beberapa agama di dalam
kehidupan kami, tante,”
“Saya
yakin kamu berpendidikan cukup begitu pula Abell. Bagaimana bisa kalian
melakukan hal seperti itu? Kalian berdua terlalu melenceng! Menyalahi kodrat!”
Tapi
aku memutuskan untuk tak terlumat emosi, aku ingin kamu berdua bisa berbicara
dari hati ke hati. Dengan nada merendah aku mulai berusaha, “Kenapa Tante nggak
bisa menghargai pilihan anak Tante sendiri? Dengan sadar dan penuh
pertimbangan, Abell memilih jalan itu, dan dia bahagia. Karena bisa menjadi
diri sendiri,”
“Saya
ingin kalian berdua paham Willy, sudah cukup kalian seperti ini. Sudah cukup
dia tesesat di dunia itu,”
“Abell
nggak tersesat di dunia itu Tante,” jawabku ketus. Aku mulai tak suka bahasan
ini, “Abell sendiri yang memilih dunia ini, sejak SMA dia sudah mulai
mempertimbangkan banyak hal. Lulus SMA dia mulai menerima dirinya sendiri dan
mengakuinya di depan Andi, baru setelah wisuda dia berani mengungkapkan jati
dirinya. Hampir enam tahun Abell mikirin ini semua, selama itu juga dia
tertekan akan banyak hal,”
“Tertekan
apa lagi Willy? Sekarang dia sudah bebas, nggak terikat sama banyak hal,
mutusin hubungan sama keluarga gitu aja. Itu semua udah cukup. Kalau kamu
benar-benar punya perasaan sama anak saya, seharusnya kamu dukung permintaan
saya ini. Tinggalkan Abell, buat dia pulang ke rumah,”
Gelombang
emosi menohok relung hatiku, “Nggak bakal semudah itu Abell pulang ke rumah,”
“Apa
yang nggak mudah? Kamu yang nggak bisa ngerelain Abell atau gimana?” desaknya
dengan suara bergetar.
“Saya
nggak ingin dia tersiksa lagi,” jawabku jujur apa adanya.
“Tersiksa?”
tanyanya getir, titik-titik air mata muncul di pelupuk matanya, “bagaimana bisa
kamu menuduh saya menyiksa anak sendiri? Kamu bukan siapa-siapa Willy, kamu
nggak tahu apa-apa tentang keluarga saya,”
“Saya
memang bukan siapa-siapa Tante, saya cuma benalu yang ingin anda babat dari
keluarga anda. Ijinkan saya jujur, ketidaksadaran itulah yang membuat saya tak
bisa merelakan Abell begitu saja. Ketidaksadaraan yang dulu melukai Abell dan
kelak bakal melukai Abell kembali,”
“Terus
kamu mau terus sama-sama gitu sampai tua? Kamu nggak sadar hidup dimana? Dengan
adat apa? Sistem masyarakat yang gimana? Kamu jangan terlalu naif Will,”
“Mungkin
saya memang naif, tapi saya hanya berbicara dari apa yang saya dengar saja. Tak
melebihkan atau mengurangi apapun,”
“Apa
yang bakal kamu lakuin kalau nantinya Abell nyesel ngelakuin ini semua. Seharusnya
kamu paham kalau hubungan ini nggak bakal ada ujungnya. Nggak bakal berakhir
dimana-mana. Kalian tahu nggak berapa banyak dosa yang sudah kalian buat empat
tahun terakir? Kalau kamu mau dipangang di neraka ya silahkan. Tapi jangan
seret Abell kesana. Saya bakal terima dia dengan orientasi seksualnya. Selalu ada
jalan untuk berbagai cobaan. Saya hanya ingin keluarga saya kembali ututh
seperti semula, tidak berantakan seperti ini. Tolong mengerti Willy, betapa
tersiksanya saya beberapa tahun terakhir,,”
“Saya
nggak yakin bisa melakukan itu semua, saya tak ingin Abell kembali terluka,”
“Sebenarnya
luka apa yang kamu bicarakan daritadi?”
“Anda
memang nggak ngerti, mungkin sampai kapanpun anda nggak bakal ngerti ini semua,”
jawabku sebal. Tak lagi mampu menenggelamkan kekecewaan di dalam dadaku. Lama aku
terdiam, berkutat dengan alam fikirku sendiri. Kenanganku berkelebat sekejab
ebelum terganggu dengan isakan yang semakin menjadi. Hatiku teriris mendengar
isakan itu, kerasnya hatiku mendadak lumer dan mencair. Aku kalah, “saya bakal
nurutin permintaan tante dengan satu syarat,”
Sepercik
harap timbul di matanya, “Apapun syaratnya bakal saya penuhi,” jawabnya yakin,
mulai mengusap tetes air di kelopak matanya.
“Perlakukan
Abell lebih baik lagi, jangan pernah menuntut apapun darinya. Biarkan dia hidup
sesuka hati, bebas melakukan apapun yang dia suka, jangan mengarahkan dia. Anak
anda sudah dewasa, sudah menjadi laki-laki mandiri yang mampu bertangung jawab
dengan hidupnya sendiri. Anda hanya boleh mendukungnya dari belakang, bukan
membelokkan jalannya. Jika dia jatuh, biarkan dia bangkit sendiri, jangan beri
bantuan apapun, karena dia pasti bisa melalui berbagai masalah dan belajar dari
banyak hal. Jika Tante bisa melakukan hal itu, saya akan mundur pelan-pelan
sebelum akhirnya lenyap untuk selamanya dari keluarga kalian. Saya janji,”
Tak
mau buang-buang waktu lagi di tempat itu, aku pergi tanpa mengucapkan salam. Langsung
menuju parkiran, menyalakan mobilnya dan melaju kencang. Fikiranku kalut. Berat
menerima semua hal. Mobilku berhenti di salah satu SPBU, di dalam kamar mandi
air mataku pecah. Keparat! Keparat! Keparat!.
Tanganku mengepal, meninju-ninju keramik pelapis tembok di depanku. Melampiaskan
rasa sakit di dalam hati. Bagaimana bisa aku melakukan hal itu. Bagaimana bisa
aku berjanji seperti itu?
.
. . . # # # . . . ...
Malam
turun secara beringas.
Hitam
sejauh mata memandang. Kelam yang membuat siapapun yang melihatnya seketika
digelayuti rasa cemas. Atau mungkin hanya aku yang berfikir demikian? Alam
seakan-akan memerintahkan seekor cumi-cumi raksasa untuk menumpahkan tintanya
ke seluruh angkasa. BUM! Seketika galap membungkus semesta. Menyisakan kelam di
hatiku.
Sandra
memelukku erat saat aku menceritakan peristiwa siang tadi, dan Andi hanya diam
sambil sesekali menyesap bir di depannya.
“Aku
beneran minta bantuan kalian,” kataku memulai, pahit mengantung di ujung
lidahku, “aku sama Abell harus putus dan dia balik ke keluarganya,”
“Aku
nggak tahu ini jalan terbaik atau bukan Will,” ucap Andi memulai, “kita
sama-sama tahu gimana Abell nanti, dia bakal hancur banget,” tambahnya
sunguh-sunguh. Aku paham itu, tapi apa
yang bisa aku lakukan sekarang?
“Selama
kamu nemenin dia, aku percaya Ndi, kamu nggak bakal biarin dia kaya gitu,”
balasku yakin.
Andi
tersenyum getir sambil menatapku dengan sorot mata tak wajar, “Mungkin kalau
aku di posisi kamu, aku nggak bakal ngambil langkah ini Will,”
“Nggak
ada gunanya kita debat sekarang Ndi,” ucapku mengingatkan.
Andi
menghembuskan nafas penjang dan berat sambil menatapku kembali dengan tatapan
aneh, “Jadi gimana rencananya?”
“Empat atau lima bulan lagi aku sama Abell
bakal putus, aku bakal ninggalin dia dan menetap di Bandung,” pahit aku
mengatakan itu semua, “Aku titip dia sama kamu,”
“Kamu
serius mau tinggal di Bandung?” tanya Sandra.
“Kalau
aku tetep tinggal disini, nggak sampai seminggu aku udah ngajak dia balik lagi.
Abell itu kekuatan sekaligus kelemahanku Ndi,”
“Aku
paham,”
“Setidaknya
kamu harus mastiin bener-bener kalau dia bakal buka hatinya lagi buat
keluarganya pas aku nggak ada buat dia lagi. Soalnya cuma kamu yang dia
percaya, dan mungkin cuma pas diposisi itu dia bisa mempertimbangkan ulang
semuanya,”
“Aku
bakal usahain hal itu,”
Dadaku
terasa begitu menghimpit dan sakit, “Empat bulan ke depan aku bakal pelan-pelan
ngurangi intensitas hubunganku sama dia. Aku bakal kurangin SMS, telefon,
keluar bareng sampe dia ngerasa kalau aku mulai bosen sama dia. Pelan-pelan
mindahin barang-barangku di rumahnya, nggak nginep lagi di sana, dan mulai
nyibukin diri biar aku nggak kepikiran dia terus sampe aku bakal pindah ke
Bandung,” jelasku sebelum meninggalkannya di cafe itu. Memacu langkahku menuju
parkiran, berkumpul bersama teman-temanku, dan mabuk bersama sampai pagi.
Mimpi
buruk itu dimulai hari ini.
.
. . . # # # . . . ...
Alkohol
mengantarku ke alam mimpi.
DANCUK!
Kataku dalam hati, keringat dingin membanjiri tubuhku. Aku bangun dengan dada
pengap, seakan-akan tulang rusukku ringsek dan sengaja melukai tubuhku sendiri.
Matau sulit terbuka karena rasa pening yang terlampau menyakitkan. Kuputuskan untuk
tak masuk kerja hari itu. Meminta Sandra ke apotik untuk membeli beberapa obat
dan langsung kulahap hingga ahirnya aku terlelap kembali dan bangun saat sore
menjelang. Bekas air mata belum kering saat kelopak mataku yang terasa terbakar
membuka, hatiku hampa saat kelebat mimpi menghajar kesadaranku. Aku mimpi
meninggalkan Abell di sebuah stasiun kereta api, ia menangis, dan hatiku
teriris sebelum akhirnya kabut menelan tubuhku dan meninggalkanku dalam
kegelapan selama berhari-hari.
Kusambar
botol vodka disamping ranjangku, kutenggak hingga tandas sebelum akhirnya
memaksa tubuhku hadir di kamar mandi. Lalu merampok banyak makanan dari dapur
sebelum mengunci diriku dalam kamar dan tenggelam dalam fikiranku sendiri. Malam
menjelang lekas seiring dengan dua bungkus rokok yang lenyap dalam tumpukan
abu. Sebelum tengah malam, aku memutuskan untuk keluar rumah, mengajak beberapa
sahabatku dan berjanji disalah satu club favorit kami. Aku menggila, tapi
dengan setengah jiwa, berharap jika hari berlalu dengan cepat masalah ini
segera mendapati solusi.
Pagi
menjelang dan kudapati diriku tertidur di taman kota, dengan wajah tak karuan
dan pakaian berantakan aku pacu mobilku ke rumah. Membersihkan diri lalu memacu
kembali mobilku ke arah Semarang, mengitari jalan-jalan yang belum pernah aku
lalui, mematikan handphoneku, makan di pinggir jalan, terus berkendara hingga
matahari terbenam sebelum menghubungi salah satu temanku disana dan menginap di
rumahnya. Mabuk hingga subuh, tidur, terbangun saat sore menghajarku dengan
sakit kepala yang memuakkan. Membersihkan diri lalu mencari makan sebelum
akhirnya aku pamit dan kembali berkendara tanpa arah dan tujuan. Seharian aku
mengumpat, berteriak, menyumpah hingga tenggorokanku sakit dan suaraku menjadi
serak. Aku rela kehilangan suaraku asal tak kehilangan Abell dari sisiku.
Kenapa
cinta yang dulu begitu menakjubkan dan aku syukuri sekarang menjadi begitu
merusak dan aku hindari?
Isi
lambungku tumpah ruah di selokan pinggir jalan saat tak lagi mampu menampung
alkohol yang terus aku paksa agar bisa memalingkan fikiranku sejenak. Setelah merasa
mendingan, aku kembali ke dalam mobil dan memarkirkan mobilku di parkiran mini
market yang buka dua puluh empat jam, memborong makanan disana dan kulahap di
dalam mobil sambil terus berkendara.
FAK!!
ASU! BAJINGAN! DLOGOK! DANCUK!
Sandra,
Abell dan Andi bergantian menghubungiku lewat berbagai cara sebelum aku matikan
handphoneku dan menenangkan tubuhku di Wonosobo selama dua hari. Berharap jika
aku bisa menghadapi kesedihan yang mendera dada. Di sebuah pom bensin saat aku
memutuskan untuk kembali ke Solo, air mataku tumpah dan aku menangis hebat, tak
pernah aku menangis seperti itu sebelumnya. Aku merasa begitu lemah. Aku merasa
begitu pengecut.
DLOGOG!
Ojo nangis Will, koe lanang, ojo
nangis koyo ngene, kataku dalam hati yang malah memompa
air mataku untuk kembali jatuh.
ASU!
BAJINGAN!
DANCUK!
Air
mataku menderas seiring dengan umpatan dan sumpah serapah yang keluar dari
mulutku.
DLOGOK
NGASU!
Aku
merasa lemah.
DANCUK!
Tubuhku
bergetar karena gelombang rasa yang hadir melumat tubuhku.
ASU!
Andai
aku tak memilih jalan ini. Andai aku bisa berkata tidak saat ibu Abell
memintaku untuk melakukan hal ini. Andai aku bisa menolak dan berkata jujur
dengan Abell tentang semua hal. Tentang betapa aku mencintainya, tentang
bagaimana aku mencintai keseluruhan dirinya. Tentang sudut pandangku
melihatnya.
Apakah
benar jika aku melepasnya dan meminta Andi untuk mengarahkan Abell di saat-saat
terlemahnya untuk kembali ke keluarganya adalah jalan terbaik? Apakah aku bisa
bahagia tanpa dia? apakah aku bisa bahagia saat melihatnya bahagia tanpa ada
aku disisinya? Kenapa hubunganku dengannya menjadi serumit ini?
Apa
rasa hancur yang pasti hadir setelah kami berpisah akan menjadi penguat kami
untuk bangkit atau malahan semakin mengubur kami dalam keputusasaan? Aku benci
menebak-nebak, aku benci tak tahu apa-apa, aku benci diriku sendiri yang tak
bisa berbuat apa-apa.
BANGSAT!
.
. . . # # # . . . ...
Alkohol
tak henti mengelontor ke dalam lambungku, sejak hari laknat itu, sumpah serapah
selalu muncul di setiap perkataanku. Membuatku jadi pribadi bangsat yang terus
berharap waktu bisa berputar dan menyesali banyak hal. Kenapa aku sebodoh itu? Bagaimana
bisa aku merelakan Abell semudah itu? Kenapa aku sepengecut itu? Kenapa aku tak
mengajaknya berjuang bersama-sama untuk melewati itu semua? Kenapa? Kenapa? Kenapa?
DLOGOG!
ASU!
“Koe nekdhi wae ndhes? Meh arep seminggu koe
minggat ra ngei kabar?” kata Andi saat aku memintanya untuk bertemu.
“Nenangke awaku bos, mikir ulang beberapa
hal,” jawabku seadanya, menghempaskan tubuhku ke sofa dan menutup mata. Jariku
mengurut jidatku yang semakin lama terasa seperti ditali kencang dan ditarik
sekuat tenaga oleh sosok kasat mata. Sandra datang dengan tergesa, memelukku
singkat sebelum akhirnya duduk disamping Andi.
“Jadi
gimana?” tanya Sandra setelah menatapku diam lebih dari sepuluh menit.
“Kita
tetep jalan sesuai rencana,” jawabku yakin, kutatap sorot mata terluka dua
orang di depanku, “aku rela terluka jika memang harus begitu jalannya,”
tambahku kecut.
“Terus?
Kalau nggak berjalan nggak sesuai rencana gimana Will?” desak Sandra dengan
suara gamang.
“Aku
nggak bisa main tebak-tebakan sama Abell lho Will,” sambar Andi setelahnya.
“Terus
kalian mau aku gimana? Dateng ke rumah Abell dan bilang aku nggak bisa menuhin
permintaan ibunya? Minta restu ibu bapaknya sekalian terus nikah di Belanda,
terus hidup bareng disini sampai tua?”
Mereka
berdua diam. Emosi melumat dadaku. Aku benci saat-saat seperti ini. Saat-saat
aku tak bisa melakukan apa-apa.
“Kenapa
hidupku jadi ngehek banget ya? Tai banget rasanya,” kataku sambil menengak bir
di depanku.
Sandra
pindah di sampingku, lalu memelukku lama, “Ini resiko buat orang-orang yang
jatuh cinta dengan mempertaruhkan segalanya Will,”
“Kamu
bakal nyesel lho Will,” ucap Andi penuh penekanan.
“Dari
pas ketemu ibunya Abell juga udah nyesel. Tapi sekarang apa gunanya?”
.
. . . # # # . . . ...
Hari-hari
selanjutkan aku habiskan untuk menyusun berbagai rencana untuk meninggalkan
Abell pelan-pelan dan mengumpat kepada takdir yang menggariskan hal ini.
Tuhan, aku tahu kau disana.
Dan aku juga tahu kalau kau
melihatku sendiri disini.
Aku tak pernah menyangkalmu,
Tapi memang aku jarang bicara
denganmu.
Aku mohon maaf untuk hal itu.
Hari ini, ijinkan aku mengeluh dan
mengumpat semauku.
Aku membenci jalan yang kau siapkan
ini.
Apa tak ada akhir bagahia untuk
orang-orang seperti kam Ttuhan?
Apakah orang-orang seperti kami
hanya berhak akan kebahagiaan sesaat lalu sedih berkepanjangan setelahnya?
Apa yang salah dariku?
Apa yang salah dari hubungan kami
sehingga banyak yang ingin mencampuri? Menghujat sana-sini, mendalilkan itu dan
ini,
Seakan-akan dia yang paling benar
dan berarti.
Apakah benar ini jalan yang
digariskan takdir?
Harus seperti inikah?
Harus setragis inikah?
Kenapa harus aku yang merasakan
sakitnya hal ini?
Kenapa kau lakukan ini padaku?
Kenapa kau menciptakan aku berbeda
dari kebanyakan orang yang menganggap dirinya normal?
Kenapa tak dari awal kau memberiku
cetakan yang sama hingga aku dapat terus memujamu dan terus berjalan di jalur
yang baik?
Apa yang salah denganku?
Kenapa kau haarus menghukumku
dengan cara seperti ini?
Kenapa Tuhan?
Kenapa?
Kisah selanjutnya Klik disini
Daftar lengkap serial Pelepasan
Melajulah "Pelepasan"ku klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
3 komentar: