Pelepasan Remah 33
Pelepasan
Remah
33
Kisah Sebelumnya Klik disini
Pagi
menjelang dan aku masih tetap tak bisa memejamkan mata, dia masih membayang.
Sayup adzan menggema dan kuputuskan untuk menengak pil tidur untuk membuatku
terlelap. Bahkan di dalam mimpipun, aku masih terdera rasa sakit.
“Will,
kamu bajingan,” rutukku pelan dengan air mata yang mulai berjatuhan, rasa rindu
mendalam dan benci yang mulai menggumpal menjadi pengantar tidurku dini hari
itu.
Saat
sore menjelang dan matahari tertutup awan, aku terbangun dengan sisa-sisa air
mata yang belum kering benar. Entah sampai kapan aku terbangun dengan perasaan
hampa yang menyakitkan. Tubuhku lunglai dan aku tak mau melakukan apa-apa.
Semangatku tandas tanpa sisa, dan aku hanya ingin sendiri.
Kuminum
vodca sisa mabuk semalam sebelum akhirnya menyulut rokok dan mulai beranjak
dari ranjang, memunguti baju-baju kotor yang berserakan di lantai kamar sebelum
akhirnya aku semayamkan di samping mesin cuci. Kurapikan ruang tengah tempat
aku dan anak-anak mabuk semalam, kubuang bungkus makanan ringan dan abu rokok
yang menggunung ke dalam tempat sampah. Membuka semua pintu dan jendela agar
sirkulasi udara berjalan lancar.
Kulucuti
semua pakaian di tubuhku sebelum akirnya kutenggelamkan diri di bawah kucuran
air dingin yang menghujam. Kenangan tentangnya berkelebat, kutahan kuat-kuat
kelopak mataku yang memanas agar tak lagi menumpahkan air mata. Asu! Bangsat! Keparat!, makiku pada diri
sendiri, plis, jangan begini, aku mohon,
pintaku pada sepi.
Sesuatu
membumbung dari dalam diriku, naik ke tengorokan, membuatku tersedak dan
terbatuk-batuk hebat. Tubuhku mengigil dan punggung tanganku tak lagi mampu
menghapus air mata yang berpadu dengan dinginnya air yang menerjang tubuhku.
Lemas,
aku tak lagi mampu bertahan. Tubuhku tergelincir, terpuruk di atas ubin kamar
mandi. Aku merasa sangat lemah, caci maki terus terlontar di dalam diriku.
Menyumpahi diriku yang tak mampu menahan dera. Will, jangn begini, pintaku lagi dengan suara mengambang, pedih menghajarku
saat kudengar suaraku sendiri, aku mohon.
Matahari
terbenam saat aku kembali melipat tubuhku di bawah selimut. Sebutir obat tidur
kembali bermigrasi ke dalam tubuhku, membuatku terlelap lagi saat kuhitung
waktu yang berdetak.
“Tangi Bell,” kata Andi memaksa, menarik
tubuhku dari tumpukan bantal dibawah selimut, ”mangan sek,”
Kubuka
setengah kelopak mataku, menatap bubur ayam terpuruk di dalam mangkok bening,
bersama segelas air putih di atas nampan. Andi duduk di ujung ranjang,
memainkan game di tablet dan sesekali menyesap batangan rokok di depannya.
Satu
suapan, dua suapan, tiga suapan dan berhenti di suapan kelima saat aku tak lagi
mampu memaksa tenggorokanku lagi menelan bubur itu.
“Dulu
pas kamu di usir dari rumah, kamu nggak sampai segininya lho,” kata Andi sebelum
mengusir mangkok berisi bubur dari hadapanku. Kutengak air putih di dalam gelas
dan kembali kutengelamkan diri dalam tumpukan bantal dan selimut tebal.
Meninggalkan Andi dalam keheningan.
Kembali
kuhabiskan malam dengan obat tidur, tanpa butiran pil itu, aku tak mampu
terlelap. Seringkali aku terbangun dengan bercak air mata, hampa yang merangsek
di dalam dada dan perasaan di pecundangi sang punya hidup. Saat beranjak dari
tempat tidur, kenangan tentangnya selalu berkelebat dan kembali menyiksaku.
Membuatku merintih sambil memangil namanya.
Aku
mengingatnya di setiap sudut rumahku, saat kita bercinta di atas meja makan,
melihat hujan halaman depan rumah, menikmati senja di balkon belakang. Saling
menelanjangi diri di kamar mandi, berpankuan di depan televisi. Semua tempat
seakan-akan berkompromi untuk mengingatkanku tentang kehadirannya yang kini tak
lagi bisa ku genggam.
Saat
aku menuruni anakan tangga aku terpuruk, aku tak lagi kuat dengan kenangan yang
begitu menyesakkan dada. Aku masih ingat saat kami seharian telanjang keliling
rumah dan bercinta dimana-mana karena desakan nafsu perayaan hari jadi yang
terlampau mengebu-gebu untuk segera di tuntaskan.
Angin
yang menyapu kulitku saat daun jendela kubukapun melemparkan ingatanku saat aku
berkunjung kerumahnya pertama kali dan beberapa potong kenangan kami saat
menandaskan waktu di pantai. Senja yang
biasanya kuhikmati, sekarang berubah menjadi kelabu karena suasana hatiku.
Setelah waktu berlalu beberapa saat, hatiku masih terpaut dengannya. Kucoba
untuk sekedar keluar dengan teman-teman dari akun Facebookku, tapi itu tak
merubah banyak. Ada beberapa orang yang menarik, tapi aku telah jatuh cinta
habis-habisan dengan seseorang. Aku tak lagi punya cinta untuk sosok yang baru.
Hidupku
hampa, hampa yang menyiksa. Saat sendiri, tak terasa air mata jatuh perlahan.
Saat berjalan-jalan aku malah menapak tilas semua tempat yang sering kita
kunjungi, saat ke bioskop, sengaja aku pilih film penguras air mata sebagai
kambing hitam agar bisa kusalahkan kenapa lagi-lagi aku menangis. Bahkan, saat
ke gramedia, sengaja kupilih pojokan untuk membaca banyak-banyak buku yang
membuat mataku kembali tersembur asap pemicu air mata.
Aku
akan misuh-misuh tak karuan jika mataku bengkak dan perih karena tak dapat
menangis lagi, selalu ada kesedihan yang membayangiku kemanapun aku pergi. Aku
benci itu tapi aku tak mau memisahkan diriku dari hal itu, karena dari
kesedihan inilah aku sadar jika Willy itu nyata. Karena kesedihan inilah aku
yakin dia pernah ada dan akan selalu ada. Walaupun kini tak lagi bisa kuraba.
Pagi
hari, sisa-sisa air mata kering menjadi saksi dera alam mimpiku. Bahkan setelah
dua bulan berjalan aku masih tetap melihatnya di banyak tempat, mengiriminya
pesan singkat, email bahkan surat yang sengaja aku titipkan untuk temannya yang
sekarang menjaga distronya. Saat aku bertanya tentang keberadaan Willy,
teman-temannya kompak menjawab tidak tahu, ia tak bertemu dengan Willy beberapa
bulan ini. Aku benci dengan keadaanku sendiri, tapi aku kehilangan arah tanpa
dia disisiku.
Seminggu
sekali sengaja aku lewatkan motorku ke depan jalan rumahnya, berharap-harap dia
muncul dan akan aku sergap. Tapi, dia tak pernah muncul. Bahkan saat aku nekat
ke rumahnya dan bertanya langsung dengan ibunya, aku tak pernah pulang dengan
jawaban memuaskan.
Nomor
Willy lebih dari tiga bulan tak aktif, tapi hampir sehari sekali aku terus
menelfonnya dan terus mengiriminya pesan singkat tentang keadaanku sekarang, berharap-harap
dia akan mengerti keadaanku sekarang dan akan kembali kepadaku.
Alkohol
dan puntung rokok tak pernah lepas dari tangaku, aku lebih butuh alkohol
daripada air putih. Malam hari aku berkeliaran di sekitar Solo, mengitari
jalanan tempat kita sering memacu motor dengan kecepatan rendah dan berbicara
tentang apapun. Tapi sekarang hal itu hanya jadi kenangan yang terus aku
pertahankan, malam murung saat aku tiba-tiba mencari gara-gara dengan orang di
pingir jalan, aku babak belur karena memang aku tak bisa melindungi diriku
sendiri.
Esoknya
Andi memarahiku habis-habisan tentang kecerobohanku kemarin malam,
bertanya-tanya kenapa aku bisa sebodoh itu, tapi aku jawab semuanya dengan
singkat, “karena aku ingin Willy datang membantuku,”
“Willy
bukan superhero Bell,” katanya geram, “dia nggak bisa ngelakuin itu!”
Aku
hanya diam, setidaknya rasa sakit yang hinggap di tubuhku bisa mengalihkan
pikiranku yang terus berpusat dengan Willy. Tiga hari kemudian aku datang ke
tempat tatto dan menatto dada kiriku dengan namanya. Aku ingin mengenangnya
seumur hidupku. Begitu berarti dia untukku.
Satu
kali aku mengobrak-abrik tempat dugam di Solo untuk mencari Sandra, lalu
menyeretnya ke luar. Ia yang paham kalutnya aku langsung memelukku lama,
membuat mataku berkaca-kaca.
“San,
aku mohon, aku pengin ketemu sama Willy,” pintaku memelas, “aku nggak mau kita
berakhir kaya gini,”
Tapi
Sandra malah menggeleng pelan, manatapku penuh iba, membuatku jengkel dan
memicu emosiku memuncak, “Maafin aku Bell, aku nggak bisa bantu kamu. Ini buat
kebaikan kalian berdua,”
“Kebaikan
kita berdua?” tanyaku sangsi, emosiku mengelak, “apa kamu sekarang lihat aku
baik-baik saja?” tambahku muak, “AKU NGGAK BAIK-BAIK SAJA SAN! Aku nggak
baik-baik saja tanpa Willy,” kataku sambil mengusap air mata yang kembali
meluncur tanpa bisa dikendalikan. Lalu aku meraung bagai binatang kesakitan,
terpuruk di hadapannya, “please San,
bantu aku, aku butuh dia,” kurasakan hancur yang semakin dalam.
“Maafin
aku Bell,” ucapnya lembut sambil memelukku, “Aku nggak bisa bantu kamu Bell,
kata Willy kamu itu orang kuat, kamu pasti bisa ngelewatin ini semua,”
Kutatap
Sandra sengit sebelum meninggalkannya di parkiran. Aku pergi dengan luka
berkali lipat. Sandra tahu, dia tahu dimana Willy tapi tak memberi tahuku. Aku
merasa di pecundangi orang-orang yang aku percayai.
Kisah selanjutnya Klik disini
Daftar lengkap serial Pelepasan
Melajulah "Pelepasan"ku klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
Ayoo cepet update udah gak sabar :D
ReplyDelete