Review : Headshot
Review : Headshot
Jangan
pernah berharap berlebihan saat menonton film, terutama untuk film Indonesia
walaupun ada beberapa nama yang konsisten menjaga track record hasil karya mereka, seperti Angga Dwimas Sasongko,
Joko Anwar atau Riri Riza. Tapi, dalam genre action martial arts, jujur The Raid dan Berandal terlampau tinggi
untuk di lampaui.
Dunia
perfileman di Indonesia memang sedang mengeliat dari tidur panjangnya, bertahap
memang, tapi terlihat pasti dan membanggakan. Selain karena semakin banyaknya
genre yang di tawarkan selain horor, drama, dan adaptasi yang terlampau
menyesakkan, masih ada genre action yang memiliki masa depan cerah.
Apa
yang dilakukan Gareth Evans dengan Merantau, lalu The Raid dan Berandal, membuat
saya sangsi jika ada yang akan bisa melampauinya. Banyak yang ikut-ikutan
membuat film sejenis yang akhirnya hadir selintas tanpa bisa memberikan
kenangan di dalam otak. Lalu setitik harapan muncul saat Headshot muncul,
sekilas dari trailernya, saya yakin jika film buatan Mo Brothers ini akan
malesin di sisi drama tapi mempesona disisi aksinya (ada yang ngerasa gitu
nggak?).
Dari
premis memang seperti tak ada pembaruan, dari cerita apalagi, terlalu generik
dan membosankan. Headshot menghadirkan cerita tentang sosok penjahat yang
terdampar di sebuah pulau terpencil, lalu insaf setelah koma panjang. Penjahat
insaf itu bernama Ismael (Iko Uwais), berusaha mengungkap masalalunya yang
hilang, hal berikutnya yang terjadi adalah Ailin (Chelsea Islan), seorang
dokter magang yang merawatnya selama 2 bulan kemudian di culik oleh sosok
penjahat bengis bernama Lee setelah mendengar kabar tentang keberadaan Ismael
yang begitu dikenalnya. Klise memang, tapi jika mau memberi pendalaman lebih
untuk banyak karakter yang tampil begitu datar dan memberikan lebih banyak
waktu untuk membenarkan naskah, niscahya film ini akan tampil lebih mengikat.
Bagi
saya, Mo brother masuk ke dalam radar sutradara yang harus di tonton karyanya
setelah menghadirkan Dara, Rumah Dara, lalu Killers. Saya adalah tipe penonton
bejad dan bangsat yang gemar mandi darah dan menikmati betul adegan-adegan
sadis di dalam sebuah film, dan saya pernah di puaskan dua kali lewat The Raid
dan Berandal yang membuat saya merasa natal dan tahun baru tiba esok hari. Saya
mencintai adegan memecah batok kepala, menyilet leher, mematahkan tulang
belakang, jemari ataupun tungkai kaki. Saya juga gemar adegan menancapkan mata
pisau ke anggota tubuh, menariknya hingga membuat kulit mengganga, dan
menghaburkan isinya keluar. Guyur saya dengan segentong darah dan usus manusia,
saya pasti akan berteriak kegirangan bukannya misuh-misuh penuh rasa jijik.
Saya memang penggemar berat sinema psikopat berkualitas.
Ada
kesenangan memang yang bisa saya nikmati di Headshot, apalagi adegan action di
film ini memang di rancang oleh uwais team yang memang nggak perlu kita ragukan
lagi kapasitasnya merancang aksi-aksi sinematik cantik yang memukau di depan
kamera dalam soal menghancurkan tulang lawan mainnya. Tapi lagi-lagi, saya
telah berharap terlalu tinggi saat masuk ke dalam bioskop yang akhirnya
menyisakan sensasi menganjal saat film ini berakhir. Menyenangkan, tapi tidak
memuaskan.
Tak
ada yang perlu diragukan jika Mo brothers membuat film Triller banjir darah,
tapi yang perlu di hawatirkan adalah kali ini mencoba genre yang berbeda, genre
yang mau tak mau harus kita bandingkan dengan The raid yang berada di
awang-awang. Bukan maksud membandingkan The Raid dan Headshot, tapi mau gimana
lagi? Genrenya sama, alumninya juga pada main disini walau secara karakter
berusaha diubah total, dan hasilnya? Mereka belum beruntung.
Tidak
terasanya ikatan emosi saat saya menyaksikan film ini dan sosok Iko yang
ditampilkan terlalu super setelah menghadapi berbagai pertempuran, membuat saya
tidak terlalu respek dengan film ini. Banyak memang orang yang tak
mempermasalahkan kualitas narasi dan pengembangan cerita, dan memang benar The
Raid mempunyai masalah yang sama. Tapi The Raid berhasil memuaskan kita saat
film berakhir dengan koreografi dan laga yang super duper memukau pada saat
itu, bukannya meninggalkan sensasi nangung karena kurang puas.
Di
sektor teknis, saya acungkan jempol untuk Headshot, terutama karena seni
pergerakan kamera yang begitu dinamis dan mempesona yang tampil begitu juara.
Headshot dianugrahi banyak karakter pendamping yang memiliki ciri khas dan
potensi, sayang, semua itu tidak dimanfaatkan dengan baik. Tapi yang membuat
saya sebal adalah ketika saya berharap Julie Estelle dan Iko akan membuat saya
gregetan saat mereka berantem, ternyata adegannya cuma segitu aja, malah yang
paling lemah di film ini. Walau tidak semua bermain buruk, saya tetap bergidik
ngeri saat melihat Sunny Pang muncul. Angker, sadis, begis, tapi karismatik. Saya
benar-benar suka dengan karakternya.
Selanjutnya
Mo Brothers akan menyuguhkan film action lagi dengan Joe Taslim sebagai pemain
utama dengan judul The Night Come For Us dan yang paling saya tunggu adalah
sekuel Rumah Dara yang banjir darah itu.
Overall,
tentukan sikapmu sebelum menonton Headshot, kamu ingin menyaksikan dramanya
atau aksinya? Jika drama, jangan berharap lebih, tapi jika aksi dan kamu
penggemar berat The Raid, turunkan ekspektasimu. Tapi jika kamu nonton cuma mau
disuguhi adegan brutal ciamik dan darah, maka, bersenang-senanglah.
skor : 2/5
0 komentar: