Pelepasan Remah 31
Pelepasan
Remah
31
Kisah sebelumnya Klik disini
“Enek masalah opo bos? Kok dengarenmen ngajak
ketemu wong loro thok, enek seng penting po?” sapa Willy sumringah seperti
biasa. Menyambut Andi yang baru saja datang.
Tapi
Andi hanya membalasnya dengan senyum kecut, menatapnya lama dengan sorot mata
mengambang. Makanan yang sedari tadi ia pesan sama sekali belum tersentuh,
hanya air minum dan putung rokok yang bergantian mengisi bibirnya.
Dua
pengamen baru saja berlalu tapi Andi masih belum mengatakan alasan mengajaknya
bertemu empat mata, “Sebenernya ada apa sih Ndi?” tanya Willy lagi, sejak
notifikasi pesan dari Andi masuk ke handphonenya, ia paham jika ada hal
mendesak yang harus mereka bicarakan. Tapi, saat mereka bertemu, Andi tak lekas
berkata-kata.
“Ini
tentang Abell Will,” ucap Andi seperti orang malas. Asap rokok berdesis pelan
dari rongga bibirnya.
“Abell
kenapa lagi?” tanya Willy dengan ekpresi jenaka. Setahu dia, tak ada masalah sama
sekali dengan kekasihnya itu.
Tapi,
malam itu Andi sepertinya sedang tak berselera dengan candanya. Membuat kening
Willy berkerut, bertanya-tanya sebenarnya ada masalah apa.
“Sakdurunge Sorry yo Will,” kata Andi
memulai dengan penekanan yang menarik seluruh perhatiannya,, “jane aku yo ra gelem, tapi yo rep piye neh?
Deknen mekso terus soale. Ngasi aku ora iso nolak, Ibunya Abell maksa buat
ketemu sama kamu,” tambahnya dengan parau.
Ada
jeda lama dimana Willy hanya diam, bingung ingin menangapi bagaimana. Ia merasa
jika baru saja di siram air es saat sedang nyenyak-nyenyaknya tidur. Ia tahu
sejarah pahit antara Abell dan keluarganya. Sekilas tahu bagaimana karakter
orang tua kekasihnya walau hanya dari satu sudut pandang.
“Kita
sama-sama tahu kalau kalian bertemu akan berakhir bagaimana,” lanjut Andi
pelan, “ibunya Abell itu sedikit konservatif dan kolot, dia minta ketemu sama
kamu dua hari lagi, nanti alamatnya aku kirim. Tapi kalau kamu nolak-“
“-aku
bisa kok,” jawab Willy pasti.
“Kamu
serius?” tanya Andi memastikan. Dia sama sekali tak menyangka kalau Willy akan
mengiyakan permintaan gila itu.
“Aku
sadar kok Ndi kalau hari ini pasti datang,” aku Willy dengan sorot mata
menerawang, menatap lalu lalang kendaraan di depannya, “nggak mungkin keluarganya
bakal nglepas Abell gitu aja, di jalan seperti ini lagi,” tambahnya dengan
senyum pahit, “aku tahu kalau Abell itu tumpuan harapan seluruh keluarganya,
dia pinter, ganteng, sukses, dan mandiri sekarang. Aku sadar kalau keluarganya
pasti bakal bawa Abell balik lagi kesana,”
“Kita
bakal debat lama kalau bahas tentang semua itu Will, tapi kalau itu
keputusanmu, aku hargai,” kata Andi mantap. Ia tahu jika drama baru akan di mulai,
seakan-akan ia tahu jalan cerita yang akan digelar oleh takdir, “tapi atu hal
yang aku minta ya Will, tolong pikirin perasaan Abell dengan segala perjuangan
dia di jalan ini,”
Willy
mengangguk mantap.
“Semua
aku lakuin buat dia kok,”
Tiga
hari kemudian berlalu cepat. Willy datang ke Reve tepat saat Abell tak ada
disana. Dengan tatapan bingung Andi menghampiri Willy yang nampak tak seperti
biasa. Ia kalut.
“Aku
butuh bantuanmu,” ucap Willy sungguh.
Andi
terkisap, hari itu segera tiba.
Sandra
menyusul mereka sepuluh menit kemudian, langsung nimbrung dengan segala
kemungkinan.
.
. . . # # # . . . ...
Lebih
dari empat puluh enam bulan kami terikat dalam hubungan sakral berlumur dosa.
Hampir setiap minggu kami membasuh tubuh dalam peluh dan desahan erotisme
pengobral tiket neraka. Seakan-akan kami peduli dengan apa yang menanti kami
disana.
Untaian
jam berubah menjadi hari, hari bermutasi menjadi minggu, minggu menjelma bulan
dan bulan berakhir menjadi tahun. Rasa cinta yang dahulu membara dan
meledak-ledak. Kini tak terlalu terasa hangatnya. Ada yang berubah pada Willy,
perubahan yang sulit untuk aku jabarkan. Perubahan yang membuatku butuh
sepercik bara untuk kembali menghangatkan hubungan kami.
Berulang
aku intropeksi diri, menurut ulang ingatanku yang mulai kusut, mencari-cari
alasan apa yang mampu membuat hubungan kami bersekat. Seakan-akan ada jarak
kasat mata yang terus tumbuh dan melebar di antara kami.
Aku
tahu kalau Willy juga merasakan hal yang sama, hal yang membuat kami sama-sama
merasakan gamang saat bersentuhan. Sudah kucoba segala hal untuk melenyapkan
jarak dan sekat yang tiba-tiba menguat, mulai dari nasehat bijak dan humor
segar, tapi selalu saja berakhir tak menyenangkan.
Satu
persatu barang pribadinya lenyap dari rumahku dan kehadirannya mulai jarang. Ia
selalu bilang kalau dia baik-baik saja, tapi aku tahu ada masalah yang ia
sembunyikan dan membuatnya terluka hingga berimbas di hubungan kita. Ia tak
baik-baik saja. Tapi aku tak ingin memaksa dengan bertanya kenapa, aku ingin
dia bercerita sendiri tanpa ada sedikitpun paksaan.
Kelamaan,
ungkapan sayang menjadi hambar dan tak lagi terasa punya makna. Aku sering
menangis di tengah malam, aku merasa tersiksa oleh sesuatu yang tak bernama
tetapi ada. Dua manusia yang sudah bercinta dan melekat bertahun-tahun dalam
gairah tiba-tiba enggan untuk kembali bersentuhan. Ada yang berubah dengan
tatap matanya, sentuhan tangannya, pelukannya dan raut wajahnya.
Tiba-tiba
aku ingin menangis. Takut jika hal buruk akan menimpa kami berdua. Takut jika
hubungan kami tak lagi baik-baik saja.
Lalu
sampailah aku pada analogi saat orang jatuh cinta, jika jatuh cinta di ibaratkan
bagai air yang jatuh dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Maka cinta
kami seperti aliran cadas yang menghempas habis bebatuan curam di bawah sana. Kita
jatuh, meluncur, jumpalitan, lompat indah, dengan cepat dan penuh gelora, tapi
tak bertahan lama setelah aliran itu sampai tujuan dan bermuara di aliran yang
tenang.
Aku
tak ingin mengambang di aliran tenang, belum saatnya kita berdua berada di
tahap itu. Aku ingin kita berdua seperti dulu, melakukan banyak salah,
menertawakannya, menjadikannya pelajaran, mencoba banyak hal lagi dan melakukan
hal-hal yang belum kami lakukan karena hidup terlalu singkat untuk kita
habiskan dalam duka. Dan sekarang aku menjelma sebagai pecundang yang merenungi
luka tak bernama.
Semua
hal aku lakukan untuk bertahan, dari yang biasa aku lakukan hingga hal-hal yang
jarang aku lakukan, mengiriminya makan siang, menyempatkan lebih banyak waktu
dengannya, membentuk badan agar dia senang, liburan bersama, memberinya banyak
kejutan. Tapi semua usahaku itu tak memberiku hasil yang aku harapkan. Aku
mulai kalut.
Aku
takut jika semua usaha yang aku lakukan untuk mempertahankan hubungan ini akan
berakhir sia-sia. Aku tahu jika Willy paham bagaimana hubungan ini akan
berakhir jika kita tak saling mempertahankan. Tapi, aku berusaha sekeras
mungkin untuk membungkam apa yang di hadirkan indraku dan mengatakan kepada
diriku sendiri jika semua akan baik-baik saja. Seakan-akan tak melihat belati
yang terus mempertegas jarak diantara kita berdua.
Hubunganku
dan Willy kini berada dalam tahap diam di tempat, tak ada yang benar-benar bisa
aku lakukan. Beragam hal yang kita lakukan untuk memulihkan hubungan kami,
malahan hanya semakin mempertegas adanya jarak yang semakin menjadi.
“Kamu
lagi ada masalah?” tembakku langsung saat ia datang ke rumahku. Mengambil sisa
bajunya yang masih bercampur dengan baju-bajuku. Aku tak ingin selamanya diam,
aku tahu jika ada sesuatu di balik sikap willy yang serba kaku dan dingin
akhir-akhir ini.
“Masalah
apa?” tanya Willy balik kepadaku dengan sorot mata sendu.
“Jangan
bohongin aku Will, kalau kamu ada sesuatu yang nggak bisa kamu jelaskan
sekarang. Aku nggak masalah. Tapi jangan pernah bohongin aku,” kataku sungguh,
aku tak ingin dia pergi dari hidupku.
Lama
ia diam sebelum akhirnya mengenggam erat jari-jari tanganku, tersenyum kecut
dengan sorot mata hampa, “Aku nggak lagi bohong atau nutup-nutupi sesuatu Bell,
aku lagi butuh waktu buat sendiri dulu,”
“Kalau
memang itu yang kamu butuhin buat saat ini, aku setuju. Aku bakal kasih kamu
waktu sendiri sebanyak yang kamu mau. Tapi kamu harus ingat Will, saat semua
hal itu selesai, aku ingin kamu seperti dulu lagi. Aku ingin kita seperti dulu
lagi,”
Lalu
dia mengecup keningku sebelum meninggalkanku sendirian di kamar dan menangis.
Satu bulan berjalan tanpa arti, Willy meninggalkanku dengan sepi. Ia mulai
jarang menginap di rumahku dan mulai malas membalas pesan singkatku.
Mengungkungku dengan perasaan takut jika ia akan meninggalkanku.
Kuhabiskan
waktu lebih sering dengan Andi dan beberapa sahabatku di Solo, tapi pikiran
tentang Willy masih terus menghantui. Sampai kapan aku harus seperti ini? Apa
belum cukup waktu yang aku berikan?
.
. . . # # # . . . ...
Hujan
di pagi hari membuat wajah Solo kelabu saat aku datang ke cafe dengan langkah
tergesa menghampiri Andi yang sedang sibuk di meja kasir, “Ndi, aku mau cerita
sesuatu sama kamu,” sambarku langsung, lalu menyeretnya ke lantai atas. Aku
mulai frustasi dengan hubunganku dan Willy beberapa minggu terakhir ini.
“Kamu
mau cerita tentang apa?” tanya Andi saat kami sudah sampai di lantai dua dan
duduk menghadap jalanan.
“Willy,”
kataku pasti.
“Willy?
Emang dia kenapa?”
“Kaya
ada yang nggak beres sama dia akhir-akhir ini, aku ngerasa kalau ada yang dia
sembunyiin sama aku,”
“Ya
mungkin dia lagi butuh waktu buat sendiri kali Bell, atau mungkin dia lagi ada
masalah yang nggak bisa dia ceritain sama kamu. Kalian kan sama-sama dewasa,
menjalin hubungan dewasa pula, banyak hal yang nggak bisa langsung kita
jabarkan saat itu pula kan?”
“Iya
sih Ndi, tapi kayaknya ada masalah berat yang lagi dia pendam deh.” Kataku
yakin, “kurang lebih tiga minggu ini dia kaya orang asing di mataku,”
“Orang
asing gimana maksutmu?”
“Empat
tahun terakhir kita jalin hubungan dewasa yang amat sanggat intim Ndi. Aku tahu
dia, dia paham aku. Kita sama-sama telanjang saat membangun hubungan ini. Dan
sekarang kamu bertanya seakan-akan aku nggak kenal siapa itu Willy?”
“Kalau
kamu kenal Willy sampai segitunya, harusnya kamu paham apa yang sedang dia
butuhkan sekarang,”
“Oke-oke,
Aku tahu apa yang dia butuhkan. Aku cuma butuh pendapat kedua oke?”
“Dan
jawabanku sekarang sudah menggenapkan pertanyaanmu,” jawab mantap, meninggalkanku
dengan lamunan.
Perasaanku
tak menentu.
Aku
benci hal ini.
.
. . . # # # . . . ...
Dua
minggu hadir kelabu dan penuh sendu, sebuah notifikasi pesan baru masuk ke
Handphoneku dan memicu semangat di dalam diriku. Membuatku mengulas senyum pagi
itu, Ia mengajakku bertemu, di salah satu pantai tempat kita berkencan dulu.
Akhirnya,
kutemukan kembali senyum dan semangat dari dalam diriku.
“Ndi,
aku mau ke Jogja,” pintaku beberapa setelah jam makan siang berakhir. Senyum
sumringah masih enggan pergi dari wajahku. Ingin rasanya aku terbahak dengan
diriku sendiri.
“Sekarang?”
“Iya,”
“Sendirian?”
“Willy
ngajakin buat ketemu disana soalnya, kayaknya dia udah selesai sama masa sendirinya
deh,” ucapku bahagia. Senyum terus mengembang di wajahku.
“Oke,
hati-hati ya,”
Dalam
hati, aku berharap jika hubunganku dengan Willy yang kini berwujud balok es
bisa mencair dan lumer, berdoa jika percik bara dapat menjadi penyelamat
hubungan kami. Saat berjalan menuju parkiran, serasa aku mengambang diantara
awan menyongsong matahari di ujung sana.
.
. . . # # # . . . ...
Aku
sengaja datang tiga jam lebih awal dari waktu kita bertemu hari itu, aku ingin
menghabiskan waktu dengan diriku sendiri. Di pantai itu, aku kembali mengurut
urat lautan, memenuhi jari kakiku dengan butiran pasir berwarna jingga dan
menikmati sensasi saat pasir yang aku pijak surut terbawa air laut. Ku nikmati
benar deburan ombak yang begitu merdu dan kuhabiskan waktu menunggu matahari
tenggelam dan terganti malam. Willy datang saat aku selesai makan malam.
Senyum
sendu Willy lemparkan padaku saat dia datang menghampiriku dengan tatapan dan
gerak tubuh yang membuat hatiku berdesir pelan. Tubuhku bergidik. Angin
beberapa kali menghempas saat kami sama-sama berjalan dalam diam dan membuang
pandang ke garis pantai yang tak berujung. Ia kemudian memintaku berhenti dan
duduk bersama saat kami sudah jauh dari keramaian.
Dan
ternyata dia mengucapkan kata itu.
Air
mataku koyak, tubuhku terus bergetar akibat deraan beragam rasa sakit yang
silih berganti menghajarku. Setelah lama terdiam akhirnya Willy menyentak, ia
tak lagi ingin hubungan ini berlanjut. Walaupun aku sempat memprediksi hal ini,
tapi saat menyapa kenyataan, batinku kehilangan pegangan. Aku tak lagi bisa
menapak. Batinku koyak.
Senyumku
mendadak lenyap, tersapu dinginnya angin laut yang terlalu dahsyat hingga mampu
mengoyak hatiku. Mengulitiku seakan-akan aku telanjang. Aku remuk redam karena
satu kata yang mampu menyakitiku bagai peluru. Tanganku terus bergetar tak beraturan
dan aku gamang.
“Kamu
serius?” tanyaku memastikan, jika ini lelucon, ini sama sekali tak lucu.
Tapi
Willy hanya diam menatapku trenyuh.
Aku
tak percaya. Sama sekali tak percaya dengan apa yang belasan menit lalu keluar
dari bibirnya. Air mataku jatuh tanpa aba-aba, mengaris pipiku dan meresap di antara
butiran pasir. Segumpal emosi tiba-tiba menghantam dari dalam diriku, membuatku
sulit bernafas. Rusuk di dadaku terasa begitu menghimpit.
“Iki tenanan?” tanyaku satu kali lagi.
Dengan suara parau penuh getar. Aku benci melihatnya diam saja, seolah-olah aku
manekin yang tak memiliki perasaan.
Dia
kembali diam, tak meresponku sama sekali.
Aku
benci melihatnya seperti ini.
“Terus
habis ini gimana lagi? Kamu sendiri, aku sendiri, kenapa kita nggak berdua lagi
aja? Aku, kamu, kita. Aku nggak bisa mikir jalan sebaik ini lagi,” kataku
berontak, setelah diam usai mendengar satu kalimat pemecah keheningan setengah
jam terakhir. Lalu keteguhanku mulai goyah, suaraku tak bisa lagi tenang, “aku
nggak mau kita jadi gini Will,” pintaku memelas, memohon jika ini bukan
kenyataan, “aku nggak bakal bisa. Kamu tahu gimana hidupku. Kamu tahu gimana
perjuanganku. Aku nggak nyangka kamu bisa setega ini sama aku,” tambahku tak
lagi bisa mengontrol diri.
Angin
pantai tak lagi terasa lembut saat menerpa kulitku, dan deburan ombak yang dulu
ku tasbihkan sebagai suara alam paling merdu, kini terdengar seperti suara
penggorok nurani. Jauh-jauh hari aku mulai berspekulasi tentang hal ini.
Berusaha mempersiapkan diri atas kemungkinan apapun, tapi sekuat apapun diriku
bertahan dengan beragam kemungkinan, aku tetap luruh juga. Saat kenyataan itu
muncul, saat rasa kecewa mendera, senantiasa aku tak bisa menerima. Aku tak
mampu mengantisipasi kesendirian.
Aku
cuma butuh dia, dan dia tak lagi membutuhkanku.
Tapi
Willy hanya diam. Membuang pandangan ke arah laut yang menghitam. Hampir aku
menghantam wajahnya dengan kepalan tangan.
Bangsat. Keparat.
Kataku dalam hati, aku mulai merutuki diriku sendiri.
Palu
kasat mata melayang dari angkasa, jatuh tepat di hatiku. Telak membuatnya
retak. Jauh disana, di tempat yang hanya aku bisa tahu, seseorang tanpa wujud
membombardil hatiku, hingga hancur bersisa serpihan. Aku meringkuk, menempelkan
kedua kakiku masuk ke dalam dada. Memeluknya erat-erat, berusaha membuat
tubuhku tak terpisah, walau hatiku kini luluh lantah.
Tapi
Willy diam, sama sekali tak bergeming dalam kebisuan.
“Plis
Will, jangan lakuin ini sama aku. Kamu tahukan apa aja yang udah aku lakuin
buat kamu? Aku nggak mungkin bisa tanpa kamu,” pintaku terisak, memelas. Udara
yang aku hirup tiba-tiba terasa pahit dan menyiksa, saat terhela memenuhi
rongga dada, seketika aku ingin muntah.
Deburan
ombak tak lagi mampu mengusir perasaan negatif yang membayang bagai hantu di
sudut-sudut hatiku. Kelopak mataku kini berawan, menghitam dan mulai
menghujankan air mata. Tubuhku terus bergetar karena serbuan perasaan yang
menyakitkan.
“Kalau
kamu jenuh sama hubungan ini,” kataku tajam, “kamu nggak berhak buang aku gitu
aja. Aku punya hati, aku punya perasaan, kita sama-sama manusia Will,”
kubenamkan wajahku diantara lutut yang semakin erat kupeluk. Berusaha
menyembunyikan wajahku dari kenyataan. Air mataku terus turun pelan, dan aku
biarkan seperti itu.
Tapi
kau diam. Lagi-lagi kau hanya diam.
“Ngomong
dong!” pintaku sengit, “kamu itu punya hati nggak sih? Apa yang kita lakuin
empat tahun terakhir nggak berarti lagi buat kamu ya?” ocehku terus. Berusaha
membuatnya bicara, “kamu itu-“
“-Cukup
Bell,” katamu pertama kali setelah setengah jam berlalu dalam diam. Menyentak
batinku, membungkan mulutku, “aku nggak lagi jatuh,” jelasmu membuatku menunggu
dalam laku gagu, “hubungan kita udah stagnan, jalan di tempat. Kita cuma
melakukan rutinitas aja, sebatas pemenuhan tanggung jawab, bertahan untuk
saling menghargai. Kamu nggak layak untuk itu,”
Air
mataku menderas. Rasa sakit ini lebih menyayat daripada diusir dari rumah dan
tak lagi dianggap anak. Apa karena dulu aku sudah menyiapkan diri dan sekarang
aku diserang tanpa aba-aba?
“Kamu
akan menyesal,” kutuku pelan, kubentangkan wajah kecewaku tapi kau memasang
ekpresi menjengkelkan, seolah-olah berkata: mungkin
iya, mungkin tidak, siapa yang tahu?
Dan
demi Tuhan, ekspresimu itu meledakan serpihan hatiku untuk kedua kali, terbang
mengikuti arah angin laut yang menambah rasa sakit di hatiku. Saat itu,
seakan-akan aku bisa meraba takdir yang akan aku jalani beberapa bulan kedepan.
Aku merasa mengambang di tengah laut, sendirian.
“Aku
mencintai kamu seperti aku mencintai diriku sendiri Will, gimana caranya aku
pisah sama diriku sendiri?” ungkapku sungguh. Tak lagi aku libatkan amarah di
posisi riskan seperti ini. Punggung tanganku tak lagi sibuk menghapus air mata
yang tak bisa dibendung.
“Aku
paham Bell,” jawab Willy lembut, memenangkan dan menyakitkan, “aku ngerti, kamu
cuma butuh waktu buat-“ lalu dia diam, tak lagi melanjutkan. Membuatku bingung.
Aku
mengeleng pelan. Berusaha menahan air mata yang terus terpompa.
“Ini
yang terbaik buat kita. Bukan cuma buat aku sama kamu, tapi kita semua,” lalu
kedua tanganmu muncul, berusaha merengkuh tubuhku. Refleks aku mundur,
menyangkal gerakmu, “lanjut maka salah satu dari kita bakal mati. Aku nggak mau
kita terus bersama cuma karena tak tahu bagaimana caranya menangani kesendirian.
Bukan cuma kamu yang jatuh cinta habis-habisan, aku juga jatuh cinta sama kamu
habis-habisan sama kamu, tapi aku harus ngelakuin ini buat kita berdua. Kamu
yang ngerti ya,” pinta Willy kembali memicu air mataku.
Kembali
Willy berusaha memelukku, saat aku sangkal lagi pelukkannya, ia langsung
mendekapku erat. Aku menolak, tubuhku berontak. Luka dan amarah meledak. Tapi
ia tetap bertahan. Memaksaku untuk berpelukan. Sesaat aku berharap jika dia
bisa merasakan semuanya. Lalu aku mulai meronta, meraung-raung bagai binatang terluka,
masih berusaha melepaskan diri dari pelukanmu.
“Aku
mohon,” pintanya sendu, menohok hatiku, “pikirin ini baik-baik. Bukan cuma kamu
yang sakit, aku juga sakit. Tapi harus ini yang aku pilih Bell, untuk masa
depanmu, untuk masa depanku, untuk masa depan kita. Selamanya aku tetap sayang
sama kamu, aku nggak bakal ngelupain kamu,”
Ku
buang jauh-jauh wajahku saat kau tetap tak mau bergeming merengkuh tubuhku ke
dalam pelukanmu. Segala macam cara aku kerahkan untuk melepaskan diri dari
pelukanmu, tapi kau bertahan. Sekuat apapun aku menyangkal. Kau tetap bertahan.
Hingga
akhirnya aku menyerah, kau dekap diriku semakin erat. Hangatnya pelukmu mencairkan
sedikit perasaan yang telah membeku beberapa bulan terakhir. Amarah dan rasa
sakitku perlahan melumer saat air mataku seakan-akan tersendat dan tak bisa
lagi mengalir. Berangsur, aku lelah meronta. Aku tak lagi berkekuatan untuk
menyangkal. Otot-otot tubuhku yang menegang, kini mulai melemas. Dan aku
kembali menangis. Tangis memberondong yang entah datangnya dari mana, tangis
yang kembali terpompa. Aku tak pernah menangis sesakit itu sebelumnya.
Kurebahkan
kepalaku di dada bidangmu, dengan isakan tertahan yang tak kunjung padam,
berusaha aku menerima dan menolak apa yang baru saja terjadi. Tubuhku bergidik,
memikirkan masa depanku tanpamu. Semua rencana-rencana yang sudah aku tulis
untuk aku jalani denganmu, kini musnah sudah. Tak menyisakanku apa-apa.
Menyisakan
hampa yang menyiapkan ruang siksa untukku diriku sendiri.
Lalu
kau terisak, memberiku alasan untuk kembali mengelontorkan air mata. Lenganku
mengantung di pundakmu, kau mempererat jeratan tanganmu, kita resmi berpelukan
dalam haru. Membiarkan hati bicara saat kata-kata tak lagi punya makna.
Menjelang
malam, baru kita beranjak dari pantai. Tak ada satupun kalimat yang terucap
saat kita menjemput motor di parkiran. Selama perjalanan pulang, Willy
mengawalku di belakang. Berulang aku berusaha menyibak kabut yang terlampau
kemelut di dalam hatiku, tapi aku tak kuasa. Kabut yang terlalu pekat itu
kelamaan semakin menjadi, membuat mataku pedih, hingga kembali meneteskan
bulir-bulir selama perjalanan pulang.
Kisah selanjutnya Klik disini
Daftar lengkap serial Pelepasan
Melajulah "Pelepasan"ku klik disini
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
0 komentar: