Pelepasan Remah 32
Pelepasan
Remah
32
Kisah sebelumnya Klik disini
Malam
memadamkan setengah wajah Reve menjadi buram, kursi-kursi kayu hinggap di atas
meja. Lantai telah bersih dari debu dan sampah-sampah sudah bersemayam di
belakang cafe, menunggu untuk di jemput petugas kebersihan nanti subuh. Para
karyawan beranjak meninggalkan cafe, menyisakan Andi di balik meja kasir.
Berkutat dengan nota dan lembaran uang.
“Are you oke?” tanyanya hawatir saat
melihatku menghampirinya.
Tak
ku jawab pertanyaan itu, kutangkupkan telapak tangan di wajahku. Tubuhku
bergetar dan air mata kembali mengalir, tak lama kemudian isakan mulai
terdengar dari bibirku. Aku benci tampil seperti ini di depannya, tapi aku tak
bisa memendam rasa sakit ini sendiri.
“Kita
putus. Hubunganku sama Willy berakhir,” jawabku dengan hati tersayat. Aku sama
sekali tak percaya jika kami akan berpisah, “rencana-rencana futuristisku
lenyap sudah,”
Detik
berikutnya Andi menyelinap ke arah dapur, dan kembali dengan segelas air putih.
Ia termanggu melihat air mataku yang berhamburan dan nafasku yang hadir
satu-satu. Aku merasa begitu sakit dan dadaku seperti menghimpit.
“Minum
dulu Bell,” perintahnya dengan suara tenang, “biar rada tenang,”
Langsung
kutenggak air putih di depan mejaku.
“Gimana
ceritanya?” lanjutnya ingin tahu.
Satu
pertanyaan itulah yang akan membuat malam ini semakin panjang, kuhela nafas
panjang, siap-siap meluncurkan sebab musabab hingga aku seperti ini, “Kamu
tahukan Ndi, kalau hubungan kita lagi dalam masa jenuh. Sekuat mungkin aku
nglakuin apa aja biar hubungan kita tetep utuh. Tapi dia nyerah dan mutusin
hubungan kita gitu aja, seakan-akan apa yang kita lakuin empat tahun terakhir
nggak ada artinya buat dia,”
“Lha
terus kamu penginnya gimana?” tanyanya mencuatkan sampah-sampah di hatiku.
“Ya
aku penginnya kita tetap bertahanlah,” sahutku penuh emosi, “kita sama-sama
dewasa Ndi, masa iya ada masalah dikit terus pergi gitu aja. Mana pake
alesan-alesan klise lagi! Pengecut banget jadi orang!” lanjutku murka, dadaku
naik turun saat melontarkan kata-kata itu.
Andi
menatapku trenyuh dan kuputuskan untuk menangkupkan tangaku di wajah, air
mataku menderas.
“Aku
cuma mau sama Willy Ndi,” rengekku pilu, “aku nggak mau pisah sama dia,”
tambahku kekanakan.
“Kalian
berdua udah sama-sama dewasa lho, udah bisa bertanggung jawab dengan kehidupan
masing-masing. Sejak awal harusnya kamu paham, kalau kamu berani buat jatuh
cinta ya harusnya kamu juga berani putus terus patah hati juga,”
“Tapi
aku cuma mau Willy Ndi,” ungkapku dalam senggukan, “aku cuma mau sama dia, kamu
sendiri tahu gimana usahaku buat pertahanin ini semua,”
“Usahamu
udah lebih dari cukup Bell, setidaknya kamu udah berjuang buat hubungan kalian
berdua. Kamu kalut, makanya nggak bisa berfikir jernih, mendingan kita pulang
terus istirahat dan jangan pernah berfikir aneh-aneh,” ucapnya penuh penekanan,
aku yang punya riwayat overdosis karena obat penenang tak akan ia biarkan
menghabiskan waktu sendiri dengan keadaan seperti ini.
Tengah
malam kita berdua sampai di rumah minimalis yang di penuhi kaca sebagai pemisah
dengan dunia luar, di ruang keluarga kami makan bubur ayam yang kita beli
sebelum perjalanan kemari. Setelah beberapa kali suap, lambungku tiba-tiba
terasa penuh, kusambar bir dingin di samping lututku dan ku raih bungkus rokok
di depanku, mengambilnya sebatang, menyulutnya dan menghembuskan asap lewat
lubang hidungku saat beberapa kenangan melintas di fikiranku.
Wajah,
senyuman, tubuh telanjang, spontanitas, kecupan mesra, tatapan nakal, bersama
beberapa lagu yang biasa kita nyanyikan mengedor-gedor sudut pikiranku. Aku
kembali tak stabil, aku ingin Willy menenangkanku.
Before the Night Ends
mengawali malam panjang kami, Bady days,
Tears in heaven, Dont You Remember, Broken Vow, Where Did You Go dan Talking to the Moon kita senandungkan
dengan penuh emosi sebelum akhirnya aku hanya diam mendengar Andi memainkan
banyak aliran musik.
“Kita
udah pernah bahas ini sebelumnya, pas kamu mau jalin hubungan sama dia,” kata
Andi memulai sesi malam ini, ia letakkan gitar penuh emblem stiker di samping
tubuhnya, “kita juga sama-sama tahu Bell kalau hubungan yang kalian jalanin itu
nggak ada ujungnya, makanya dulu aku minta kamu jangan pernah jatuh terlalu
dalam, apalagi di dunia seperti ini, tapi sayangnya kamu anggep nasehatku dulu
kaya angin lalu, kamu malah jatuh cinta habis-habisan,”
Sekuat
mungkin aku tak melibatkan emosi saat menjawabnya, “Aku masih inget kok Ndi,
apa yang kita bahas dulu pas aku mulai hubungan sama Willy, aku mikirin itu
mateng-mateng tapi aku nggak berdaya, semua yang aku jalanin sama dia itu murni
spontanitas, dia buat aku ngerasa hidup Ndi. Aku jatuh karena emang takdirnya
aku harus jatuh sama dia, dan aku nggak punya kekuatan buat nyangkal,” kataku
pahit, kutenggak vodka di depanku sebelum melanjutkan lagi, “tapi cinta cuma
sebuah kata sampai kita ketemu sama orang yang bisa kasih definisinya, dan
orang itu Willy Ndi, aku jatuh cinta habis-habisan sama dia. Dia itu pas, tepat
dan komplit buatku,” kumparan rasa sakit menghanyutkanku lagi, sudah terlalu
dalam aku jatuh padanya.
Andi
tersenyum sambil menatapku jenaka, ekspresi yang tak singkron dengan keadaanku
saat ini, “Aku dulu ngiranya cuma sekedar cinta pertama lho Bell, tapi ternyata
kalian lebih intens dari itu, dan itu jujur bikin aku hawatir. Kalian kaya
magnet, kamu gerak, dia gerak, kamu berdiri, dia juga berdiri, apalagi tatapan
Willy saat ngliat kamu, over protektif banget, seakan-akan dia bakal ngajak
anak-anak sekabupaten tempur kalau ada apa-apa sama kamu, segitu intensnya
hubungan kalian, dan kalau udah kaya gini? Kalian berdua juga bakal sama-sama
terluka dari hati, batin sama fisikmu,” katanya dengan tatapan mengambang, aku
tahu benar apa yang sedang ia bicarakan sekarang, kisah cinta yang rumit tak
hanya aku yang mengalaminya, “Mungkin aku nggak bisa bantu banyak Bell, karena
siksa itu nggak bisa di bagi. Banyak orang bilang cinta itu kaya karet gelang
yang di tarik kedua ujungnya oleh dua orang, ketika satu orang melepasnya, akan
menyakiti orang satunya. Itu pasti. Pesenku, jangan pernah macem-macem Bell,”
kata Andi kembali memberiku peringatan.
“Aku
nggak yakin bakal baik-baik aja tanpa Willy Ndi,” tambahku putus asa, “sampai
sekarang aku masih nggak paham kenapa dia mutusin aku, aku nggak tahu salahku
apa,”
“Ya
mungkin udah jatahnya aja kali Bell, hubungan kalian harus berakhir kaya gini.
Nggak semua usaha kita bakal ada hasilnya kan Bell?” katanya seperti bicara
dengan dirinya sendiri, aku paham jika dia sedang mengingat-ingat masa lalunya.
“Tapi
masa nggak bisa di bicarain baik-baik? Kitakan sama-sama dewasa, kalau dia ada
masalah, harusnya cerita, bahas sama-sama terus cari solusi, nggak kaya gini.
Ini kekanakan banget,”
“Mendingan
kamu tidur dulu deh Bell, sekarang itu kamu lagi capek dan kaget, nggak bakal
bisa mikir jernih dan nggak bakal dapet solusi,”
“Hatiku
kacau banget Ndi!”
“Aku
tahu Bell, aku paham, tapi kalau kamu nggak bisa tenang ya nggak ada gunanya,
mungkin kalian sama-sama lagi butuh waktu buat sendiri,”
“Masa
kurang sih waktu yang aku kasih kemarin sama dia?” kataku kembali
mengungkit-ungkit usahaku untuknya.
“Ya
mana aku tahu Bell? Kamu tenangin dirimu sendiri dulu deh, kalau besok udah
tenang, kamu minta ketemuan sama dia atau gimana buat minta penjelasan,”
Tapi
aku tak bisa tenang malam itu, baru setelah ayam mulai berkokok dan adzan subuh
mulai bergema, mataku tak lagi dapat berkompromi. Aku terlelap dengan hati
kalut, air mata merembes dan dadaku remuk redam. Aku sama sekali tak menyangka
jika hal ini bakal terjadi.
Hari-hariku
berlalu suram, mataku selalu mendung dan tatapanku seringkali berkabut. Ku
habiskan lebih banyak waktu dengan diriku sendiri. Melamun, merenung dan
mengandai-andai jika hal ini dan itu tak terjadi dan selalu berakhir dengan air
mata.
Kisah selanjutnya. Klik disini
Daftar lengkap serial Pelepasan
Melajulah "Pelepasan"ku klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
0 komentar: