Pelepasan Remah 34
Pelepasan
Remah
34
Kisah sebelumnya Klik disini
Di
lantai tiga cafe itu, aku dan Andi merenung, hampir dua minggu aku tak
berkunjung ke tempat itu. Aku mengungsikan diri ke Jogja, menginap di tempat
beberapa sahabatku di sana. Entah sampai kapan aku akan begini, tapi selama di
Jogja, aku malah mendatangi tempat-tempat favorit kita untuk menggenapkan
kenangan dan patah hati yang sekarang aku rasakan. Dua buah minuman dan sebuah
mangkuk kripik kentang menyapaku sebelum akhirnya Andi datang.
Andi
datang dengan wajah berbinar, menyambutku dengan pelukan sebelum duduk santai
di sampingku, “Willy ngubah banyak hal yang aku tahu tentang kamu Bell,”
celetuknya langsung mengungkit rasa sakitku. Perih yang masih terus mengiris.
Nama itu masih menjadi candu, dulu yang membuat ngilu karena rindu, sekarang
hanya membuatku terpuruk dalam haru.
“Maksud
kamu?” sahutku sambil berusaha menjejalkan senyum di wajahku, tapi aku tak
bisa. Aku tak mampu merasakan kebahagiaan belakangan ini. Aku masih
menginginkan Willy, membuatku bingung menentukan banyak hal.
“Abell
yang dulu aku kenal, paling benci sama asap rokok, sekarang kamu nggak bisa
lepas dari rokok. Bakal mabuk parah kalau udah beberapa kali tenggakan,
sekarang hampir tiap malam kamu ngajakin anak-anak buat mabuk. Hidupmu dulu
tertata, bangun di jam khusus, sarapan dua tangkup roti, nyetel lagu buat
bangikit semangat dan dateng ke cafe sambil senyum-senyum nggak jelas.
Sekarang? Kamu nggak ada bedanya sama orang-orang yang hidup di jalanan, ragamu
hadir, tapi jiwamu entah ada dimana,” ucapnya santai, seperti sudah ia
persiapkan sebelumnya. Aku tahu jika dia sedang menyindirku, tapi di sisi lain
aku juga tahu jika itu fakta.
Kusesap
rokok di jariku sebelum menjawabnya.
“Gimana?
Masih dalam proses patah hati?” tanya Andi lagi dengan nada pengusik hatiku.
Aku benci jika dia berbicara dengan nada seperti itu. Tapi aku sadar, dia
berhak memperlakukanku seperti ini.
“Masih,
dan kayaknya belum ada rencana buat berhenti,” jawabku ketus, tanpa emosi
sedikitpun, “aku tahu kalau aku salah, nelantarin banyak hal terus ngilang
beberapa hari beberapa kali, ok?”
“Dua
minggu,” ralat Andi membenarkanku.
“Oke,
dua minggu. Maaf Ndi,” kataku tulus, “tapi setidaknya kamu juga ngerti posisiku
dong,”
“Aku
paham posisi kamu Bell,” jawabnya melunak, ”tapi setidaknya kalau kamu masih
nganggep aku abangmu, kamu bilang dulu kalau mau nginep di Jogja dua minggu
atau mau kemana dulu kan bisa ijin, bilang kek mau merek bentar ke Jogja atau
mau kumpul-kumpul sama grub LGBT pasti aku ijinin. Aku paham keadaanmu
sekarang, tapi kamu juga punya tanggung jawab disini,”
“Iya
Ndi maaf,”
“Jadi
gimana perasaanmu sekarang?”
“Aku
masih kacau tanpa dia Ndi, kaya nggak punya arah. Cuma Willy yang aku butuhin,
aku samperin ke distronya, sekarang posisi dia di pegang Sandra, aku pergi ke
klub, dia udah nggak kerja disana. Aku ke rumahnya, kata ibunya sekarang dia
kerja di Bandung, aku mau nyusulin dia kesana Ndi,”
“Kalau
dia tetep mau putus sama kamu? Atau nggak mau ketemu lagi sama kamu?”
“Setidaknya
dia ngasih pejelasan kenapa kita harus pisah, kita udah bangun hubungan ini
sama-sama, saling ngorbanin banyak hal, masa iya nggak bisa di omongin
baik-baik?”
“Kalau
hubungan kalian emang udah kadaluarsa? Dan nggak bisa di daur ulang lagi?”
“Kamu
suportif dikit kenapa sih?” kataku sengit.
“Bukannya
nggak suportif Bell, cuma ngasih opsi cadangan aja biar omonganmu nggak
ngelantur kemana-mana. Kamu nggak mau ngelepas dia? Udah hampir empat bulan lho
kamu kaya gini? Nggak capek apa hatimu nangung perasaan itu terus-terusan? Dia
juga berhak bahagia lho, hati itu makanannya damai sama bahagia biar tubuhmu
nggak kenapa-napa,”
“Setidaknya
aku butuh satu kepastian lagi kenapa dia ninggalin aku gitu aja, sebenernya aku
juga capek gini terus. Aku kangen sama hidupku yang dulu, hidupku sebelum ada
Willy. Seperti yang dulu kamu bilang, hubunganku sama Willy itu sangat intens,
aku pengen lepas dari dia, tapi aku sadar itu bakal sulit Ndi. Tiap malam, aku
selalu mikirin dia, mikirin kenangan-kenangan kita, tapi aku juga nggak mau
hidup kaya gini terus,”
“Setidaknya
kamu sudah ada di pilihan yang benar Bell, tiap malem kamu nangis, kebayang
kenangan tentang dia, terus sakit hati, kecewa, nyari-nyari kesalahan sebelum
tidur pakai obat tidur. Sampai kapan kamu mau kaya gitu terus? Sampai kapan
kamu mau nyakitin dirimu terus? Kenapa kamu nggak ngelapsin semua ini dan
biarin semuanya berlalu?”
Alisku
bertaut, menimang-nimang apa yang baru saja Andi katakan, asap rokok kamu
berdua membumbung ke udara sebelum menjadi kasat mata.
Andi
menenggak air minum di depannya sebelum kembali melanjutkan, “Sebenernya nggak
ada yang salah sama kenanganmu, yang salah cuma sudut pandangmu. Dulu, pas kamu
sama Willy buat kenangan itu, bikin kamu ngerasa sakit hati atau kecewa apa
nggak? Tapi kenapa sekarang pas kamu inget kenangan itu buat kamu sedih? Itu
cuma soal persepsimu aja Bell. Emang begitu jalannya, itu rutenya buat
nglepasin semuanya. Kamu nangis, kamu kesiksa, kamu kecewa, itu proses yang
wajib kamu lalui dengan sepantasnya aja, jangan kamu hancurin kenangan indah
yang kalian buat selama beberapa tahun cuma karena kalian putus,”
“Terus
habis ini aku harus gimana Ndi?” ucapku seperti orang bodoh, aku benar-benar
tak tahu apa yang harus aku lakukan.
“Jujur
aja ya Bell, sebenernya aku takut kamu terpuruk lebih lama lagi Bell, aku takut
kamu terbiasa dengan ini semua. Masa lalu itu bisa kita ibaratkan seperti
penjara dengan jeruji terbuka, kita bisa kapan aja keluar dari tempat itu,
sering kali kita sendiri yang memilih bertahan, kaya narapidana yang sudah lama
tinggal disana, dia bakal takut keluar dari sel itu karena sudah terbiasa.
Saking nyamannya sama penjara itu, kita terbuai dengan kenyamanan palsu.
Padahal kita bisa lho jalan keluar begitu aja, simpelkan?”
“Itu
cuma sebatas teori aja Ndi, praktinya lebih susah daripada itu,”
“Pertama
kamu harus yakin Bell, kamu ngelepas Willy itu bisa dan baik untuk kamu
lakukan, tanpa keyakinan itu kamu cuma berjalan di tempat aja. Kamu ngelakuin
itu bukan buat aku, atau siapapun, tapi buat kebaikan dirimu sendiri. Terus
kamu ngomong sama dirimu sendiri, sudah cukup buat tersiksa, sedih, kecewa,
patah hati. Bilang kalau kamu ingin bahagia dan sekarang jatahnya kamu buat
bahagia. Gampangnya gini Bell, anggap aja kamu sekarang ada di pinggir jurang
dan di depanmu ada sebuah tangga ke nirwana, kamu punya pilihan buat naik
tangga dan terjun ke jurang. Kamu mau pilih yang mana?”
“Yang
menuju nirwana,”
“Nah,
kalau kamu mau ke nirwana, kamu harus ambil sebongkah batu di pinggir jurang
itu, visualisasiin semua masa lalumu di situ, hal-hal yang kamu lupakan, luka
yang hanya menambah dera, pengalaman-pengalaman burukmu, kalau perlu tulis
‘MASA LALUKU’ di batu itu, terus kamu buang ke jurang dan janji nggak bakal
ngungkit-ngungkit hal itu lagi. Kita berdua sama-sama tahu gimana kerjanya alam
bawah sadar saat menghadapi trauma. Jika kita punya trauma atau konflik batin
yang belum selesai, maka alam bawah sadar bakal terus-terusan memunculkan
situasi dimana kita terus menghadapi trauma dan konflik batin itu sampai
selesai dan tuntas. Seperti itulah keadaanmu sekarang Bell, sekuat mungkin kamu
menyangkal, sekuat itu pula alam bawah sadar bakal menghadirkan hal itu untuk
segera kamu tuntaskan. Sekarang mendingan kamu pulang ke rumah, singkirin
barang-barang yang ngingetin kamu sama dia,”
“Hampir
semua barang-barangku di rumah itu bisa ngingetin aku sama Willy Ndi,”
“Ya
udah kalau gitu kamu mulai sekarang tidur di rumahku aja, ambil beberapa baju
sama kebutuhan pribadimu disana terus kamu stay
di rumahku dulu,”
“Kamu
takut aku bakal aneh-aneh ya?”
“Anggap
aja buat jaga kesadaranmu tetep utuh Bell,”
Sejak
saat itu tinggal di rumah Andi dan lebih sering meluangkan waktu bersama
anak-anak down sindrom. Saat aku datang, aku mendapatkan pelukan erat dari
mereka. Hampir air mataku tumpah saat mendapati pelukan dari belasan anak-anak
itu. Mereka memberiku kehangatan hati yang aku inginkan. Beberapa kali aku
mengunjungi mereka, sekedar mengajari mereka menggambar, bermain bersama dan
menyuapi mereka saat makan. Mungkin aku melakukan ini semata-mata untuk
pelampiasan atas rasa sakit hatiku saja, tapi aku tak peduli.
Usai
mengurus cafe, sore hari kuhabiskan keliling Solo tanpa arah hingga matahari
benar-benar tenggelam, ke bioskop, menonton dua film sekaligus, makan, lalu
kembali ke rumah sebentar lalu kembali ke tempat andi dan bersemayam disana
sampai pagi. Jika akhir pekan, aku berkumpul bersama anak-anak, mabuk bersama,
atau sekedar jalan-jalan bersama ke Jogja, menonton festifal musik atau pameran
disana, nongkrong sampai pagi, jalan-jalan ke objek wisata baru, dan
menghabiskan waktu dengan mereka sebanyak mungkin. Berusaha mendetoksifikasi
diriku dengan mereka kembali.
Sekuat
tenaga aku tak menyempatkan diri untuk berkubang dalam rasa sedih, kujaga cafe
dari pagi sampai malam bergulir, bekerja dua kali lipat, membaca lebih banyak
buku, menonton lebih banyak film dan memotret lebih banyak objek hingga aku tak
punya waktu untuk melamun dan membayangkannya kembali.
Tapi,
jauh di lubuk hatiku, aku tahu jika itu hanya untuk sesaat. Aku masih sering
memikirkannya di malam hari dan kembali mencari obat tidur untuk terlelap
bersama gelapnya malam.
Saat
aku menginap di rumah Andi, aku terbangun dalam keadaan linglung, berlarian
keliling rumah dalam keadaan bingung, mencari-cari keberadaan Willy seolah-olah
ia kemarin hanya pergi sebentar untuk pameran. Saat aku sepenuhnya sadar dengan
beragam ornamen dan perabot di rumah itu, barulah aku diam terpaku. Kesadaran
menyakitkan hinggap di alam pikirku.
Lesu
aku kembali ke kamar Andi, meringkuk di bawah selimut merutuki diri, sebegitu
parahkah aku kehilangan sosok itu? Lalu aku terlelap dan terbangun ketika sore
hari, berlari ke kamar mandi saat aku merasakan desakan dari dalam tubuhku yang
ingin keluar. Aku memuntahkan udara kosong, dadaku sesak dan jemariku
mendingin. Kuselipkan kembali tubuhku kebalik selimut.
Kusuarakan
tangisanku, tak mampu lagi kumenahannya lagi. Tubuhku bergetar, lututku lemas,
aku terpuruk di atas karpet berbulu. Pandanganku mulai kabur, pandanganku
terdistorsi, seperti televise rusak, entah berapa obat tidur yang aku telan
tadi. Tapi efeknya begitu kuat aku rasakan, atau gara-gara sebutir pil mungil pemberian
kawan di Jogja yang aku telan tadi sore untuk sekedar relaksasi? Aku tak tahu,
tapi tubuhku mengambang. Aku hanya ingin mengapresiasi hal yang belum pernah
aku rasakan sebelumnya.
Melihat
bayangan tubuhku di cermin, aku terbahak, entah apa yang lucu, tapi aku tertawa
keras dan lantang. Tawa yang luput dariku selama beberapa bulab terakhir. Aku
tertawa hingga perutku sakit dan kelopak mata berurai butiran air. Pandanganku
kabur selama beberapa saat, aku merasa jika sedang mengambang, serasa berpijak
di atas awan.
Kedua
lenganku bergetar hebat, saat pandanganku menemukan titik fokusnya, kurengut
botol vodka dari atas meja, kubenturkan dan membuatnya berhamburan. Kuambil
salah satu pecahan kaca yang bertebaran kemana-mana.kugariskan di atas nadi
tangan kiriku. Darah mulai mengucur kencang dari luka goresan di tanganku.
Lalu
mulai kujilati alirah darah itu, menyesapnya, kudapati aroma kehidupan disana.
Tubuhku kembali berguncang, tangisku berbalut tawa saat kuraih selembar kertas
di atas meja dan sebuah pena. Mulai menulis sebuah pesan.
Kisah selanjutnya Klik Disini
Daftar lengkap serial Pelepasan
Melajulah "Pelepasan"ku klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini
2 komentar: