akulah mochi, sang juru mimpi

5:30:00 AM Admin 0 Comments

Akulah mochi,
sang juru mimpi
Oleh : triztan famous


Aku merangkak dibalik batu besar sebisa mungkin menutupi jasad ini agar tak manarik perhatianya. Memincingkan pandangan pada seorang wanita berparas ayu didepan danau samping rumahku. Wanita rupawan itu menangis sesegukan memeluk bayi dalam balutan selimut woll putih tebal. Bayi itu baru beberapa detik keluar dari rahimnya membawa bau surga sisa perpindahan alam.
Dalam ketakutan wanita rupawan berkulit putih pualam itu kebingungan. Entah apa yang ia fikirkan, ia menyembunyikan jabang bayi itu dibalik sebuah batu tak jauh daritempatku bersembunyi. Aku ngeri melihat wajah polos bayi yang masih segar itu. Miris kenapa wanita itu membuangnya didekat danau? Apa salah malaikat kecil itu? Darahku bergejolak tak terima dengan perlakuan wanita itu terhadap bayi yang masih terbalut darah segar itu, merah merekah tertidur didalam balutan kain berbulu.
Tapi wanita itu lari menjauh sebelum aku memergokinya. Rambut hitamnya terurai sepunggung, terkoyak angin dalam alunan langkah cepat. Ia terjungkal, kakinya menabrak batu kali, tersuruk di atas tanah kering beraroma kasar, dengkul kirinya terhantam batu cadas. Dalam sesegukan dan air mata yang terus terpompa ia menahan rasa perih yang mulai berakumulasi di tubuhnya. Berurai darah segar didaster bagian paha wanita itu berusaha bangkit menahan rasa sakit yang terus terpatri, mengerogoti satu persatu persendian tubuhnya. Perlahan tapi pasti.
Jejak kaki kasar menghampirinya, dengan nanar wanita itu menatapnya. Ia mulai menyuarakan tangisannya.
“ Ternyata disini pelacur itu! “ ujar seorang laki-laki beringas dengan sebilah samurai ditanganya. Lelaki itu menendang wanita cantik itu hingga kembali terkapar ditanah, dengan gerakan gontai wanita itu membalik tubuhnya dan menyangga berat tubuhnya dengan kedua siku. Ia berusaha memohon maaf.
“ Aku tak salah “ renggek wanita itu. Wajahnya penuh debu beraroma tanah kering, menggaris horisontal sejajar bekas air mata saat ia terjerembab tadi.
Aku mengendap-endap mengambil bayi itu, ada perasaan hangat yang tak biasa saat kurengkuh pelan tubuh mungil manusia kecil itu dalam pelukanku. Hanya dengan melihat wajahnya sudah membuatku bahagia.
Cuiih. Lelaki tegab berbadan hitam itu meludahinya, tepat diwajah diantara rambut hitamnya awut-awutan tak kenal arah. Sekilas seperti orang gila. Menjijikan.
  “ Aku mencintainya “ air matanya kembali menetes pelan menghapus bekas tanah yang menyelimuti wajah ayunya secara samar. Ia meronta dalam tangisan tanpa suara, menahan sayatan luka dalam yang sudah mulai mengeroposi sum-sum tulangnya. Bukan hanya luka fisik tapi batinya juga disinggahi luka yang enggan membuatnya sendiri.
“ Kau hanya membuat aib didesa ini, pelacur bangsat! “ umpat laki-laki itu  sambil mengeluarkan bilah samurai dari sarungnya. Dalam sekali gerakan samurai itu melayang tajam, membelah udara dan langsung melesat memenggal leher wanita itu. Darah mengucur seperti air mancur. Kepala wanita itu mengelinding bebas, terjebur kedalam aliran tenang danau disamping rumahku. Meninggalkan potongan jasad tubuhnya yang teronggok menjadi bangkai, makan malam istimewa untuk hewan penghuni danau.
“ Aargghhhhggggh!!!! “ aku terbangun dengan teriakan menggema diruangan kamar 2x3 meter itu, nafasku bersusulan keringat dingin meluncur indah dikulit wajahku. Hanya mimpi aku meyakinkan diriku berulang. Entah mengapa mimpi dengan narasi yang sama itu mengulang. Ini sebuah rekor fantasiku tentang mimpi, entah apa yang kulakukan berulang di alam tidurku mimpi itu selalu muncul  bagai benalu, selalu mimpi itu.
“ Nduk, kamu ndak papa? “ dengan suara parau simbah menyapaku agar cepat enyah dari kamarku, dia mengetuk kencang pintu kamarku yang terbuat dari kayu tripleks dalam hentakan tepuk pramuka. Walau sudah menginjak kepala enam wanita tua itu masih mempunyai ketajaman dalam indra pendengarannya.
“ Ndak papa mbah, Cuma mimpi saja “ jawabku sekenanya ketika aku beranjak turun dari ranjang reyot yang selalu berdecit pelan dengan harmonisasi nada sumbang sesuai tumpuan tubuhku di atas besi rongsokan itu.
“ Makanya kalo mahgrib itu bangun, jangan tidur terus, ndak bagus anak perawan tidur terus mbok ya cari aktifitas seng luwih ngunani dari pada baca komik atau tidur seharian “
“ Ngih mbah “ kataku pelan membukakan pintu untuknya. Dengan tatapan tajam ia mengamati wajahku yang berantakan dengan rambut awut-awutan memenuhi hampir setengah garis mukaku, baju lecek penuh lipatan tak karuan akibat bangun tidur dan iler kering sisa penciptaan pulau kapuk.
Sudah rutinitas wajib mbah putri melemparkan letupan-letupan nasehat yang selalu muncul dari bibir tipisnya hanya untuk mengomeliku seharian. Menurutku tak ada aktifitas lain yang lebih membuatnya hidup selain memarahiku disetiap kesempatan yang ada, dan... kesempatan itu selalu ada. Kesempatan untuk mengomeliku setiap saat, atau sekedar membanding-bandingkanku dengan cucu temannya atau tetangga. Akhirnya semua itu cukup kujawab dengan putaran bola mata. Simbah-simbah kenapa kau tak pernah menerima takdirmu jika cucumu aku?
 Sebenarnya tak mudah untuk mengambaikan simbah, dia seperti hantu yang bisa muncul dimana saja. Ia bisa menjelma Seperti obat yang harus ditelan rutin setiap pagi, siang, malam bahkan sorepun simbah selalu menasehatiku tentang segala hal yang harus aku lakukan dan tidak aku lakukan. untungnya selalu ada cara ampuh yang selalu aku lakukan jika hobby simbah ini sedang kumat-kumatnya, yaitu berpura-pura mendengarkan dan menganggap selentingan-selentingannya sebagai angin lewat saja. Masuk lewat telinga kanan dan bablas langsung keluar lewat telinga kiri tanpa meninggalkan kesan.
“ Ojo gur ngih thok rungokke seng tenanan, koe ki putuku sithok dewe, wedhok sisan. Wes, lak ndhang adus kono “ kalimat simbah berdengung bebas ditelingaku dengan nada 5oktaf, dengan gerakan promodial. Simbah selalu mengomeliku dengan emosi yang meluap, membuatku selalu berfantasi, membayangkan dia sebagai tokoh kemerdekaan. Ngomel sana ngomel sini, membuat kuping panas para pejuang dengan kalimat pengobar semangat hingga akhirnya sebuah granat berguling menghampirinya dan meledak tepat di depan wajahnya untuk membuatnya diam, hahaha betapa kurang ajarnya diriku.
Tapi disisi lain Aku gembira melihat simbah saat marah, entah kenapa aku merasa jika dia seperti mengungkapkan betapa sayangnya dia padaku dari luapan kata-katanya yang berhamburan tak beraturan dari mulut keriputnya. Hanya saja dengan versi yang berbeda dengan manusia normal lainya, simbahku itu unik, menarik dan ajaib. Aku sanggat mencintai simbahku karena tinggal dia satu-satunya keluarga yang aku miliki setelah ayah dan ibuku pamit untuk bertemu dengan sang pemilik hidup.
“ Nduk, simbah ke warung dulu, mau belanja bulanan “ ucap simbah dengan kalimat memudar saat kututup pintu toilet dibelakang rumah.
Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya menghinggapi jasadku, aku berjalan gontai menuju kamar mandi dibelakang rumah. Dirumah bergaya belanda itu kamar mandi dibuatkan bangunan sendiri yang memisahkan diri dari bangunan utama, beberapa kali aku  meminta simbah agar membuat toilet di dalam rumah. Tapi dengan segala macam alasan bertele-tele yang ku buat, aku tak pernah berhasil meyakinkan simbah untuk membangun sebuah kamar mandi dibagunan utama.
Simbah selalu beralasan agar aku mau keluar kamar setelah pulang kuliah. Biasanya aku keluar kamar jika mau ke kamar mandi atau saat makan saja, selebihnya aku menengelamkan diriku dalam buaian pulau kapuk dikamar.
Jika sudah diatas kasur atau mencium bau bantal dua kelopak mataku langsung tertutup dan tak mau membuka sebelum pintu kamarku digedor-gedor simbah, jika tidak aku bisa menghabiskan waktu seharian ditempat tidur. Mungkin jika ada gempa atau bencana alam lainya aku akan tewas ditempat karena gaya tidur ngebo-ku sama sekali tak ketulungan. Hari ini hari minggu tepat tanggal 8 agustus 2013, tiga bulan lagi aku ulang tahun ke duapuluh. Aku kuliah disalah satu perguruan tinggi disemarang, di fakultas seni semester dua.
 Namaku Sagita mochi erawati, nama yang aneh bukan? Entah bagaimana keluarga besarku menyematkan nama yang tak padupadan ini kepadaku, bagaimana bisa aku disamakan dengan nama makanan khas jepang yang ibuku sukai dengan nama zodiak? Jelas jika sagita diambil dari kata “sagitarius” lalu darimana nama erawati? Saat kutanya kenapa tersemat nama erawati sebagai penutup nama tak wajarku simbah bilang “ gen ono jowone, koe kan wong jowo nduk! Dadi njawani sithik jenengmu “ apa itu bukan sebuah keanehan yang tersinergis secara rancu?.
Mungkin karena nama yang asal-asalan keluarga besarku sematkan. Aku menjadi gadis asal-asalan yang tak tentu seperti ini, bukankah nama biasanya identik dengan doa? Lalu bagaimana mereka tetap bersikukuh memberikan kesatuan kata tanpa makna itu sebagai namaku? Sudahlah tak ada artinya lagi aku memperdebatkan nama itu, lagi pula masa depan tak ditentukan oleh gabungan nama jawa, makanan jepang dan zodiak bukan?. Hehehe... seolah aku punya masa depan saja.

&&&%%%$$$%%%&&&

“ Woy, miss apem tumben mandi? Dapet wangsit darimana? “ dengan teriakan bar-bar, Candra memandangku dengan wajah terpesona yang dibuat-buat. Seakan-akan sebuah mukjizat besar jika aku mempunyai waktu luang untuk membasuh diri dengan air. Dasar manusia kurang ajar, batinku. Candra tak pernah absen memanggilku miss apem, sebuah julukan yang digunakan beberapa sahabat dekat untuk memanggilku. Menurut mereka nama -apem- lebih pantas disematkan dalam namaku daripada nama Mochi yang sama sekali tak meninggalkan kesan jepang ditubuhku.
Aku tau jika sebenarnya itu bukan sebuah ejekan, apem memang lebih pas jika disandingkan denganku, 11, 12. Kali ini dia numpang makan malam dirumahku, lagi!. Hampir setiap akhir bulan Candra rutin  menyambangi rumahku hanya untuk numpang ngisi perut, seperti biasa dia ongkang-ongkang kaki di depan tivi menonton acara sepak bola. Dia menganggap jika rumahku seperti rumahnya sendiri, bahkan dia tak jarang jika menggangapku sebagai sesosok mahkluk astral. Bersliweran tak jelas.
“ Kok tau? “ jawabku ringan, nyengir lalu nylonong masuk kekamar.
“ Bau sampo “ katanya pelan, matanya kembali fokus ke layar cembung tivi 23 inc-ku. Apa sebegitu mencoloknya jika aku menyempatkan mandi untuk membuat simbahku senang?
“ Tumben kamu ngak ngajak Via kesini, sudah tiga harian tu anak kaga’ mangkal disini “ dengan suara sumbang tak karuan aku berteriak dari kamar sambil mengganti bajuku. Dengan kolor batik lusuh dan kaos kegedean aku melenggang santai menuju kedapur.
“ Dia kan lagi pulang kesolo, mbaknya lagi ada hajatan “
“ Wah enak dong, sms-in gih suruh bawa makanan yang banyak biar lu kaga absen kerumah gw terus “ kataku dengan tawa yang mulai meletup.
“ Santai bos, dah gw antisipasi. Dia dah gw wanti-wanti sejak mau berangkat kesono kok “ kata Candra ringan dengan tawa khasnya. Ia benar-benar tipe manusia ndableg, sama sekali tak goyah dengan sindiranku. Candra adalah seorang lelaki jangkung dari tangerang. Kostnya tak jauh dari rumahku, hanya beda desa saja. Dia pindah kesemarang sejak kenaikan kelas tiga sma, dan entah kenapa ia bisa cepat masuk kedaftar teman baikku. Dia tipikal orang yang tak tau malu, apa adanya, ceplas-ceplos dan mempunyai sifat seperti slogan polisi,  mengayomi.
“ Lho, simbah mana can? “ kataku celingukan. Memutar pandangan mengelilingi rumah, lalu megecek setiap toples, berharap simbah terselip disana.
“ O.., simbah lagi keluar tadi pas lu mandi, mau keluar bentar katanya “ aku teringat pesan simbah tadi sore, jika ia akan keluar sebentar untuk belanja bulanan. Didekat desaku ada sebuah supermarket tempat simbah biasa belanja kebutuhan sehari-hari, jadi aku tak perlu menghawatirkannya. Simbah cenderung mandiri dimasa tuanya. Apalagi tak mungkin juga dia bergantung padaku, cucu yang sama sekali bisa ia harapkan.

&&&%%%$$$%%%&&&

“Le, tolong bawain belanjaan simbah kedalem njih “ perintah simbah saat ia masuk ke dalam rumah. Dengan menjinjing sebuah keranjang belanja berwarna kuning, simbah menunjuk ranjang belanja bulanan yang sudah menunggu.
“ Ngih mbah “ kata Candra sopan. Walau sudah dua tahun di semarang Candra tetap saja tak bisa melafalkan bahasa jawa dengan baik dan benar sesuai ejaan yang sudah disempurnakan. Candra hanya dapat mengerti apa yang simbah katakan saja, ia belum terlalu berani menimpali interaksi simbah, karena takut di geplak jika menggunakan bahasa jawa campur aduk seperti yang sering aku dan Via gunakan. Menurut simbah, mengaduk berbagai bahasa menjadi satu adalah bentuk tidak menghargai kepaduan budaya, yang sayangnya simbahpun suka mencapur bahasa jawa dan bahasa indonesia sesuka udel keriputnya sendiri. Candra bergegas menuju teras rumah saat pertandingan sepak bola setengah main, dengan cekatan ia menuju dapur dengan dua buah kerdus dan sebuah kantong plastik besar berisi bahan makanan.
“ Wah, kaya mau lebaran aja mbah banyak banget makanannya “ candra tertawa dengan senyum misterius di mimik mukanya “ Jadi suka “ tambahnya, disusul dengan bunyi orcrestrasi dari dalam perutnya.
“ Ge sesasi le, belanja bulanan “ balas simbah dengan nada suara lembut. Sanggat berbeda saat simbah bicara padaku, dia selalu berteriak seperti tarzan.
“ Dibawain ojek mbah belanjaannya? Kenapa ngak ngajak saya aja tadi, saya kan bisa lebih berguna daripada miss. Apem “ celetuk Candra membawa-bawa namaku.
“ Sekalian suruh gendong simbah yo rapopo “ celetukku dari depan tivi. Ruang tivi bersebelahan dengan dapur, hanya terpisahkan sebuah partisi tipis dari kayu. Dipartisi itulah puluhan buku berjubel di dalam rak tua. Di saat seperti inilah keberadaanku tak dirasakan oleh simbah dan Candra, suaraku mengantung seperti angin lalu, aku dianggap sebagai mahkluk astral berwarna kelabu. Kadang aku merasa kalau Candra lebih cocok jadi cucu simbah daripada aku, dan menurutku itu jauh lebih baik.
“ Lha koe gek delok bal ngono dadi simbah yo ra penak. Koe ki koyo kakung le, nag wes delok bal serius, dadi ra iso diganggu babarblas “
“ Kenapa ngak ngajak miss apem wae mbah “ dengan logat yang dibuat-buat Candra menemani simbah membongkar belanjaan. Meletakkannya di atas meja, dipilah simbah berdasar jenisnya.
“ Dra... dra... cah kae kok di jak blonjo, ngasi bodo kucing yo ora lak mangkat, mendingan berangkat sendiri saja “ kata simbah berujar, memasukkan bermacam bumbu dan buah ke dalam kulkas.
“ Ganti aku aja mbah cucune “ kata Candra cengegesan, disambut senyuman luwes simbah. Dengan cekatan candra memasukkan bahan makanan diatas meja ke rak-rak yang menggantung di bagian atas tembok.
“ Nak koe dadi cucuku, sopo neh seng gelem ngangep Mochi putu selain aku? “ dengan terampil simbah memainkan tanganya memotong-motong daging ayam sebagai campuran nasi goreng. Tak seperti orang tuaku, simbah sanggat jarang memanggil nama depanku. Biasanya dia menyebutku wati, mungkin karena dia yang memberikan nama itu langsung untukku.
“ Mbah cerita dong “ pinta Candra sambil mengocok telur, membantu simbah membuat makan malam. Dari dulu Candra memang senang mendengarkan cerita dari simbah, dari masa penjajahan hingga saat ia masih muda. Simbah dulu adalah seorang guru bahasa di sd, jadi bukan hal sulit untuknya berurusan dengan rangkaian kata-kata untuk sebuah cerita.
Jika keadaan sudah seperti ini, saatnya aku merebahkan diri diatas sofa hijau panjang didepan tivi. Dengan alunan musik koesplus aku melayang dalam dunia imajinasi. Entah kenapa aku seperti ayahku yang meletakkan hatinya pada koesplus, aku sanggat mengemari lagu-lagu yang terasa menakjubkan untukku. Jika aku mendengarkan lagu-lagu koesplus aku seperti terhenti dalam zaman yang berbeda, imajinasiku melesat bebas seperti di jalan tol.
Ada gunanya juga jika Candra disini, dia bisa membuatku bebas omelan simbah, walau hanya untuk beberapa saat saja. Aku tak punya bakat sedikitpun dalam dunia masak-memasak, terakhir aku mencampur kopi dengan garam dan mengira kecap adalah susu kental manis yang berakhir dengan runtutan omelan panjang simbah yang tak ada habisnya selama satu minggu.
Sebuah buku tebal duduk dipangkuanku dengan bolfoin biru terlipat ditengahnya, sudah kuputuskan untuk menulis mimpiku menjadi sebuah cerita.

&&&%%%$$$%%%&&&

Siang itu janinku terlahir sebagai seorang bayi...
Perasaan campur aduk mengaduk perlahan kewarasanku. Aku baru saja melahirkan seorang anak gadis di gubuk pinggir sawah, tempat seorang dukun bayi tinggal dan sekarang aku berlari menghindari kejaran warga kampung yang kesetanan. Mereka ingin membunuhku.
Ku tahan rasa perih yang berkedut kencang diselakanganku. Noda darah merembes cepat didaster tipis yang terlampir dibadaku, dengan mengedong bayi yang masih berwarna merah dalam balutan woll putih tebal aku berjalan tergopoh menaiki bukit diujung desa. Aku bersembunyi dibelakang sebuah batu besar usai menyembunyikan bayiku disisi bukit, tempat warga desa sebelah biasanya mencuci baju. Berharap jika terjadi apa-apa padaku, bayiku tetap harus selamat bagaimanapun caranya. Aku percaya jika masih ada nurani di dalam dada warga desaku.
Butir-butir keringat terjun bebas dipori-pori kulitku. Membuat rambut di sekeliling wajahku menjadi lembab membasah seperti usai membasuh muka. Aku berdoa agar bayiku tak menagis dan lekas ada warga desa sebelah yang memungutnya. Kecemasan mengelayut cepat di fikiranku, menjadi bom waktu yang bisa meledak kapanpun hanya dengan sebuah rasa sakit ataupun emosi yang terkoyak. Dengan mata yang tercetak dikepalaku, aku melihat kekejian warga yang membunuh mas Eko dengan sebilah parang. Mereka dengan keji membelah kepala mas Eko menjadi dua. Dan sekarang mereka memburuku menuju kematian. Mereka menuduhku dan mas Eko membuat aib dikampung kelahiranku.
Tanpa ikatan pernikahan aku mengandung buah cintaku dengan mas Eko yang bersetatus suami sepupuku. Mas Eko dan sepupuku yang bernama Ratri menikah karena perjodohan orang tua. Seluruh keluarga besarku tau jika aku menjalin asmara dengan mas Eko, tapi mereka malah menjodohkan mas Eko dengan Ratri yang juga terlanjur mengandung satu bulan.
Aku tau jika anak yang dikandung Ratri itu bukan benih mas Eko, tapi Ratri kukuh kalau dia telah diperkosa mas Eko kepada orang tuanya. Karena status orang tua Ratri sebagai orang terpandang didesaku, Seminggu kemudian mas Eko dan Ratri dinikahkan untuk menutupi aib keluarga yang lebih besar.
Aku hancur mendengar pernikahan itu dan mengira mas Eko telah menghiatatiku. Tapi, malam itu mas Eko datang kekamarku lewat jendela dan mengatakan semuanya jika dia tak pernah menyentuh Ratri sama sekali. Dia mengatakan jika dia dijebak Ratri. Mas Eko juga sudah menjelaskan semuanya kepada orang tua Ratri. Tapi, mereka pura-pura tuli, mereka hanya butuh mas Eko sebagai status suami dari anak Ratri kelak. Sejujurnya orang tua Ratri sudah tau semuanya, tapi untuk menyelamatkan nama baik keluarga, mereka memaksa mas Eko menikahi Ratri dan menjadikanya tumbal agar nama baik mereka tak tercoreng. Terbuai dari kesungguhan hati mas eko saat menceritakan semua itu, ditambah rasa cinta dan sakit hati yang berpadu, kami melakukan hubungan itu.
“ Ternyata disini pelacur itu! “ ujar seorang laki-laki beringas dengan sebilah parang ditanganya. Lelaki itu menendang perutku dengan sepatu but penuh lumpur yang mengeras hingga aku jatuh terkapar ditanah. Aku  membalik tubuh menahan rasa nyeri yang kertutat hebat diperut dan selakangaku, sembari berusaha memohon ampun.
“ Aku tak salah “ kataku parau dengan tangisan yang memecah, di siang hari tepat saat matahari mendadar panas diatas ubun-ubunku. Air mata menggaris horisontal pipiku yang berdebu.
Cuiih...
Lelaki tegab berbadan hitam yang berdiri didepanku meludah dengan tampang beringas, tepat diwajahku ludahnya mendarat. Aku merengek memohon ampun tapi hanya tatapan jijik tergaris di mimik mukanya. Dititik itulah aku merasa benar-benar rendah, harga diriku sudah melumer tanpa sisa.
  “ Aku mencintainya “ air mataku terus pecah, mengalir disela-sela rambut keiritng hitamku yang tak beraturan.
“ Kau hanya membuat aib didesa ini, pelacur bangsat! “ lelaki itubertampang beringas itu mengeluarkan bilah parang dari pinggir pingangnya. Dalam sekali gerakan parang itu melesat cepat membelah udara panas, memenggal leherku. Darahku mengucur cepat seperti aliran air sungai. Kepalaku menelinding bebas menuruni bukit tanpa mengucapkan selamat tinggal terhadap potongan jasad yang sudah tiga puluhan tahun menopangnya.
Usai melakukan tugasnya, lelaki itu menatap jasadku dengan tatapan hina dan sekali lagi meludahiku setelah mengencingi jasad panasku.

&&&%%%$$$%%%&&&

Di ambang cakrawala itu aku bersuka
Membagi mimpi dalam remah fantasi dan imaji
Memaksa sejarah untuk mencatatnya dalam lembaran kertas
Diantara ruang dan waktu yang mengkirstalkan momentum akbar

Hampir satu jam aku berkelana didunia imaji, berbagi waktu dengan bagian mimpi yang aku modifikasi ulang dalam sebuah buku tua yang sudah menemaniku hampir tiga tahun belakangan. Di buku biru bergambar batik itu aku menulis semua petualangan mimpiku. Bukan mimpi yang ingin aku capai dengan ambisi tapi sebuah mimpi dari bunga tidurku, satu kebiasaan rutinku adalah menulis mimpi.
“ Woy nona apem, mau makan kaga? Dah siap ni nasi gorengnya “ panggil candra kencang dari dapur. Teriakan bar-bar candra berhasil menguncang dunia imajiku.
“ Iya bentar “
“ Tak kira kamu tidur pem, kaya biasa “
“ Aku lagis dapet wangsit buat nulis ni... “
“ O.... “ dan mengalunlah sebuah o yang panjang dari mulutnya.
Makan malam berlangsung damai, tenang, dan indah tanpa omelan simbah yang biasanya mengomentari setiap hal yang aku lakukan. Candra sangat bisa memenuhi fikiran simbah dengan ucapan-upanan tak bermutu, hingga tak menyisakan tempat celaan simbah untukku. Sekitar pukul sebelas usai sebuah flim yang dibintangi daniel radclif selesai, Candra lenyap tak berbekas.
Dia seperti drakula yang datang dan pergi sesuka hati setelah perutnya terisi. Hanya jika drakula minum darah dan Candra menambah darah.

&&&%%%$$$%%%&&&

Angin menerpa rambut pirangku dari atas tebing curam tempatku berdiri. Apa yang kulakukan ini benar? Apa aku harus mati menghantam karang? Hahahah... aku tertawa geli melihat beberapa orang yang menyuruhku mengurungkan niat untuk bunuh diri. Mereka berteriak kencang, memamerkan otot-otot lehernya yang bertonjolan tak tentu arah. Mereka berteriak-teriak bahkan ada yang memaki agar aku mengurungkan niat bunuh diri. Bunuh diri? Enak saja siapa yang berniat bunuh diri?
Dasar manusia bodoh, mengambil kesimpulan dari satu persepsi saja. Sekali mata melihat, mereka langsung menyimpulkan tanpa berfikir panjang. Karena itulah salah satu faktor kenapa para manusia itu melakukan banyak kesalahan. Mereka meliliki ruang otak yang luas tetapi hanya mengisi sekedarnya, seenaknya dan sesukanya. Tidak pernah benar-benar mengisi otak untuk kepentingan kedepanya.
Hembusan nafasku terasa berat saat angin laut menerpa mukaku, membuat dadaku sesak untuk beberapa saat. Sekali lompatan aku terjun dari atas karang tertinggi dipantai tak jauh dari rumah singahku. Sekilas aku melihat manusia-manusia itu beteriak kencang, melepas diriku berpindah ke alam lain. Aku melompat untuk melepaskan. Melepaskanku kemuakanku untuk mereka, mahkluk bermuka dua. Bukankah ini tontonan yang hebat dipinggir pantai? Tepat hari libur pula, sempurna bukan untuk mengisi perbincangan ngalor-ngidul mereka? ku harap mereka puas.
Buih-buih air dari sisa ombak menghempas kulit wajahku, waktu aku hampir menyentuh riuh lautan. Masih kudengar gemuruh suara manusia-manusia di bibir pantai, bahkan ada beberapa yang sengaja menjeburkan tubuhnya untuk sekedar menemukanku. Saat tubuhku menghantam air, seketika tubuh bagian bawahku terselimuti sisik berwarna perak kehijauan. Muncul selaput bening setipis kulit bawang diantara ruas jari-jari tanganku. Garis-garis insang bertonjolan di belakang kedua telingaku.
Pakaianku lenyap, sengaja ku lepaskan semua agar tak menggangu proses transformasiku. Beberapa kali aku mngalami kesulitan saat melakukan perubahan tanpa melucuti semua pakaianku. Hal ini mengharuskanku untuk telanjang dada - hal yang wajar untuk spesiesku - hanya rambut pirang panjangku yang menutupi kedua buah dadaku yang menyembul diantara serat kasat mata dan berbaur dengan sisik di sepanjang lekuk tubuhku. Menutupi setengah payudaraku. Dan untuk sentuhan terakhir sepasang cangkang kerang kutempelkan diatas sisik ikan yang menutupi setengah payudaraku.
Aku berubah menjadi seekor putri duyung. Satu hal yang jelas tentang diriku, aku tidak berlendir.
Beberapa orang yang berenang dibelakangku tersentak melihat perubahan wujudku, bahkan ada yang tersedak saking kagetnya melihat perubahan wujudku. Ia lupa jika tak ada oxigen yang bisa ia hirup di dalam laut. Kukibaskan ekorku sejenak, hanya untuk menggoda mereka. Mengerlingkan bola mataku dan mulai menyelam melawan deburan ombak. Secara konsisten meluncur disatu garis lurus.
Aku mengambang diantara hamparan warna koral, berbisik dengan beberapa spisies ikan mungil dan berbasa-basi dengan beberapa ekor lumba-lumba. Keheningan palung lautan merupakan terapi paling ampuh untuk terhindar dari stres berkepanjangan. Keindahan pemandangan bawah laut adalah spa pemanja kelopak mata tiada duanya. Bagiku tak ada tempat yang bisa mengantikan lautan. Tak akan pernah!. Mungkin karena aku terlahir sebagai putri duyung, tapi aku juga hidup di daratan beberapa kali jadi aku paham betul bagaimana sekat tebal kedua dunia ini.
Dengan sapuan senyum sinis aku menyelam kedasar laut, meninggalkan mantan duniaku diatas sana. Ku titipkan salamku ini kepada ketiga pemuda yang mengekoriku. Salah satu diantara mereka sudah berenang megap-megap mencari udara. Sedangkan dua lainya masih tak bisa bergerak, jauh di pelupuk matanya menggunung ketakutan yang berkelebat cepat sebelum tersadar jika mereka harus menuju daratan. Sebelum mati kehabisan nafas.
Tak ada yang lebih aku inginkan selain membuat ketiga orang itu dianggap gila dan menjadi benar-benar gila karena perubahan wujudku. Siapa yang akan bertahan dengan kewarasannya jika tetap melihat hal seperti itu? Juru dongeng? Mungkin, karena aku punya seorang teman yang menganggap jika dirinya seeorang utusan poseidon.

&&&%%%$$$%%%&&&

 “ Mo!!!, woy bangun betmen, dah siang ni... “ satu lagi manusia bar-bar datang menganggu tidurku. Dengan mencipratkan air putih disamping tempat tidurku Via berteriak-triak memanggilku dengan gerakan hula-hula.
Hampir setiap hari jika tak ada kegiatan Via selalu singgah dirumahku, dan hampir setiap saat dia bertengger diteras depan hanya untuk ngecengin beberapa cowok dalam daftar incerannya. Atau jika dia sedang butuh teman untuk bercerita tentang urusan seabrek kisah cintanya yang tak kunjung menemui titik temu. Sosok pendengar setia sepertikulah yang ia butuhkan, bodoh dalam urusan hati, mudah dikibuli, bisa dijadikan pelampiasan dan yang paling penting tidak akan mengajukan pertanyaan sehingga tidak mengganggu prosesi curhat sebelah tangan. Via lebih sering berperan sebagai saudara perempuanku, aku mengenalnya sejak sd dan bersahabat dengan mahkluk itu sampai sekarang.
Entah ada ikatan struktural apa hingga sosok sepertiku, si gadis penunggu gua berlapis kasur bisa berjodoh dengan sesosok nenek lampir metropolitan. Ada satu nilai tambahan di luar sosok Via yang selalu up-to-date, dia selalu mengurusi kehidupan berantakanku di tengah kesibukan dunia stagnan-nya. Kadang dia selalu meluangkan waktunya untuk mengerti sedikit duniaku, tapi sebagai imbalannya dia bebas menjadikanku tumbal disaat takdir hati yang ia petakan tidak sejalan dengan keinginanya.
Tapi di samping itu semuanya Via tetap mampu bertahan jadi sahabatku selama belasan tahun. ia butuh diapresiasi, tak ada orang yang betah hidup berdampingan denganku selain simbah dan candra yang sekarang sudah mulai masuk dalam daftar nominasiku. Tapi itulah Via, sahabat terbaikku.
“ Apa “ jawabku pelan tak mampu melihatnya. Dari ukuran kelopak mataku yang belum mampu untuk terbuka, pasti dia hanya mengibuliku saja. Dan benar saja ini masih jam sepuluh pagi, selain berisik dan bawel sifat buruk Via adalah sanggat menganggu.
“ Chi, jalan-jalan yuk. Bosen ni gw “
“ Ogah, ngajak cowok lu aja sono “ jawabku ringan, kubenamkan lagi wajahku ke lipatan bantal super empuk favoritku. Bantal besar berwarna biru lusuh itu menyimpan hampir seluruh kehidupan dan mimpiku. Di bantal itu aku tumpahkan seluruh perasaan dalam jiwaku, dia mengertiku dalam diam. Dia bergeming dalam balutan bahasa perasaan. Bahasa tanpa teks yang mampu berujar dari hati kehati. Dari hatiku menuju hati benda mati.
“ Ah, lu lebih setia sama bantal itu daripada ma gw “ rujuk Via beranjak keluar dari kamarku menuju ruang keluarga dan menonton teve bersama nenekku.
Ini adalah ritual yang biasa kami lakukan sejak dulu. Dia membangunkanku, memberi waktu untukku agar kembali ke alam realitas, dan jika tetap belum terbangun ia akan menyambangiku ke kamar untuk kembali menjadi member cerita cintanya. Akulah mochi sang pendengar setianya.
Aku memang akan memilih bantal biru lusuh bergambar salah satu tokoh kartun itu daripada Via, jika ia memang menyuruhku untuk memilih. Aku memiliki ikatan psikologis dengan bantal itu, lebih tepatnya ikatan batiniah dengan orang yang membelikan bantal itu untukku. Satu-satunya orang yang pernah membuka pintu hatiku, satu-satunya orang yang menutup secara paksa pintu hatiku hingga tak bisa terbuka lagi, ia masih membawa kuncinya. Kunci yang bisa membuka pintu yang hanya terbuka untuknya.
Lima menit kemudian setelah ia mencuri beberapa toples makanan dari kulkas simbahku. Via kembali menjajah kamarku. Seperti penyiar radio, Via begitu fasih bercerita dalam beberapa bahasa. Dari bahasa tubuh sampai bahasa isyarat hanya untuk membagi secuil kisah hidupnya yang tak kunjung berakhir.
Via jauh lebih gila dariku, kadang ia bisa melakukan banyak hal sekaligus. Ia bisa managis sesuai kegalauan hatinya, tertawa karena sok menguatkan diri, mengapai-gapai tubuhku karena ingin memelukku untuk berbagi kesedihan dengan ingus belepotan sambil makan cemilan yang ia colong karena lapar. Spesies yang aneh.
Satu kelebihan kisah-kisah yang memberondongku bagai letupan peluru dari bibir meriam hati via. Ia terlalu konsisten dan sangat menakjubkan karena tak pernah bergeser sedikitpun dari topik yang menurutku sudah terlalu kadaluarsa. Bayangkan saja dari pertengahan smp sampai di bangku kuliah hanya tentang putus, jatuh, selingkuh dan diselingkuhi?
Dia hanya membutuhkanku untuk dijadikan pendengar. Via bisa menyembuhkan dirinya seketika, menyembuhkan hatinya dalam hitungan jam dan merubah watak psikologisnya seketika. Sungguh sosok sahabat yang mengerikan. Kurang dari satu jam Via sudah mulai menceritakan beberapa calon pacar idamanya, calon pacar yang biasanya sebentar lagi ia dapatkan. Dan memang begitulah takdir biasanya mengamini semua kemauan Via.
 Jika sudah mulai begini, saatnya aku mulai membentuk pulau-pulau dari air liur di dunia bantalku. Kerap aku menjadikan curhatan via sebagai dongen pendorong nafsu tidurku. Dan aku mulai tertidur kembali...

&&&%%%$$$%%%&&&

Aku terbangun dari tidur panjangku...
Reruntuhan tanah hinggap di mukaku, menimbulkan aroma basah memuakkan. Sudah hampir dua minggu aku tak menjejalkan darah segar ke perutku, entah kenapa aku tak bisa memahani kenikmatan rasa makanan khas manusia yang dulu menjadi konsumsi rutinitasku. Daging, buah, sayur, semua hanya meninggalkan rasa anyir mendalam saja di lidahku. Membuat perutku bergejolak dan ahkirnya muntah.
Beberapa kali aku menyayatkan taringku ke leher rusa atau beruang gunung disekitar tempat tinggalku. Tapi, tak ada kepuasan yang ku dapat, malahan hanya meninggalkan rasa setengah yang mengantung begitu saja. Aku terasing dan hidup sedirian disebuah gua ditengah hutan yang masih liar, dengan semak kehidupan pribadi penuh semak belukar yang tak pernah bisa aku pahami.
Puzel ingatanku mulai bertebaran di sekitar kepalaku, aku merunut urat ingatanku sejenak. Mulai mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum kejadian itu menimpaku. Dihari saat aku berkemah dengan keluargaku digunung terbesar di provinsiku. Tak ada hal yang aneh sama sekali, semua berjalan normal, sebelum wanita itu datang.
Dia melewati lahan perkemahan keluarga sebagai malaikat. Dengan rambut coklat emas yang menggurai indah, warna mulut yang merekah alami, mata berkilauan, wajah rupawan dengan tubuh mendekati sempurna dan langsung membuatku meneteskan air liur saat melihatnya. Dengan ukuran buah dada diatas rata-rata dan tubuh berlekuk seperti boneka, ia mengerlingkan mata saat melewatiku. Dadaku bergetar hebat, jantungku berpacu kencang, entah karena cinta atau nafsu birahi semata, tapi mata hatiku mendadak buta. Aku mulai mengikutinya.
Wanita itu menghilang dalam kerjapan mata. Meng-hi-lang, benar-benar menghilang dalam penalaran sudut pandang manapun. Aku bergidik ketakutan dan tercengang saat mulai sadar jika aku menempatkan jasadku dihutan yang sama sekali tak pernah berkenalan denganku. Lagipula akupun sama sekali tak punya niatan untuk mengenal hutan di pegunungan ini.
Tersadar saat tubuhku menjadi partikel asing disuatu tempat yang masih perawan, diantara aroma segar pohon pinus aku mulai menapaki jalan yang ku tempuh sebelum terjebak ke tempat ini. Tapi aku tersesat, aku kembali ke tempat awal disaat aku kehilangan gadis jelmaan malaikat itu.
Tak ada penyesalan dihatiku, bagiku penggalan kisah tersesat ini sudah impas karena bisa bertemu sesosok wanita yang begitu sempurna dikehidupanku. Fantasi nakalku mulai berbinar disela langkah kaki yang tak hentinya berpijak untuk mencari jalan pulang, aku mulai membayangkanya wanita itu mulai melepas dua kancing bagian atasnya. Aku tertawa kegirangan ditengah wajah merona dan mata yang menyiratkan seberkas kehawatiran. Entah apa yang tuhan tanankan di dalam otakku sehingga aku memiliki fikiran yang sama sekali tak waras seperti ini. Aku bahagia sekaligus takut, jiwa rapuhku khawatir ditengah nafsu birahi yang tak kunjung berakhir.
Dan yang bisa aku lakukan hanya cengegesan di tengah hutan, sembari sesekali berdoa kepada yang punya hidup. Aku tau jika ini cara berdoa yang salah, tapi jiwaku tak bisa menyingkronkan fikiran dan hatiku yang terlanjur memilih jalan masing-masing.
Malam menghujam siang tanpa belas kasian, ia hanya tiba dan memberengusnya ke dalam lubang hitam. Jiwaku mulai gentar terperosok dalam kegelapan hutan, dan dalam hitungan milisecon fantasi nakalaku buyar. Mataku mengerjap-ngerjap menyesuaikan kemiskinan cahaya yang tiba-tiba mendera, tanganku meraba diantara jejak langkah yang mulai berkurang kejantanannya.
Aku mati langkah sebelum mendengar sebuah debuaran air di ujung jalan, ada setitik cahaya yang seakan menuntun jalanku kearah air terjun itu. Fikiranku tiba-tiba mulai melumer kembali, jika aku sudah berada di dekat sumber air secara otomatis kemungkinanku bertemu kembali dengan keluargaku semakin besar. Setetes kebahagiaan diseruput hatiku setelah rasa ketar-ketir menstunami hatiku.
Mungkin akibat kelelahan atau otakku yang sudah terkontaminasi dengan hal-hal nakal, fikiranku kotor kembali  berbentuk fantasi. Mataku berpijar melihat sebuah pemandangan yang sudah lama aku impikan, lebih tepatnya aku idam-idamkan. wanita pujaan yang membuatku tersesat ditengah hutan itu tiba-tiba hadir didepanku dalam keadaan telanjang bulat!. Telanjang bulat dengan dua bulatan yang nyata.
Ia sedang membasuh tubuhnya ditepian air terjun. Tidakkah ia merasa kedinginan? Mandi di tengah malam? Di aliran air terjun lagi? Hehehe... tapi siapa yang peduli? Apakah dia membutuhkan kehangatan? Rambut panjangnya terurai basah menutupi hampir seluruh punggungnya, tapi tak berhasil menutupi lekuk indah pesona tubuhnya. Jantungku berdentum hebat sampai-sampai serasa ingin meloncat keluar dari dadaku. Aku hanya melihat wanita itu mandi dari belakang, bagaimana jika aku melihat wanita itu dari depan? Pastilah aku langsung mati dibuatnya. Jantungku langsung meloncat keluar! Hahaha.
Kuberanikan jejak kakiku yang tak hentinya bergetar melangkah diantara terjalnya bebatuan. Aku ingin mendekatinya, hanya itu saja yang terpatri di fikiranku sedari tadi dan tak hentinya beranjak pergi meninggalkan otakku yang memang tak ku usir pergi. Aku ingin melihatnya secara utuh - hanya itu -.
Tapi langkahku terhenti saat mataku bertautan dengan mata kuning berkilauan itu, tatapanya membara penuh dendam seakan-akan bersiap menerkamku. Dan memang benar, ia bersiap-siap menerkamku. Mulutnya terbuka dan menampakkan dua taring yang tersemat diantara giginya, kakiku tergelincir saat aku menarik tubuhku untuk mulai menjauh.
Wanita itu terbang tanpa sehelai pakaian membalut tubuh sempurnanya, rambutnya bekelebat dan tubuh telanjangnya langsung menghempas tubuhku dalam basah. Ia menempel seperti sebuah tas dipunggungku. Kaki dan tangannya melingkari tubuhku, wanita itu mengunci gerak tubuhku.
Aku meronta tapi dalam satu gerakan aku mulai kehilangan kesadaran dan jatuh pingsan. Wanita itu menancapkan taringnya di leherku dan menghisap darahku hingga aku megap-megap sepeti ikan yang terlempar jauh dari aquarium, sekilas aku merasa jika ini adalah akhir hidupku.
Mati di terkam wanita sempurna. Bukankah itu cara meregang nyawa yang paling sempurna?

&&&%%%$$$%%%&&&

Via berjalan berjingkat memasuki kamarku. Dalam sebuah gerakan sigap ia menarik bantal biru yang selama ini menjadi kendaraanku menuju dunia mimpi. Aku terhenyak saat kepalaku membentur bantal yang lebih rendah posisinya dan lebih keras. Mimpiku terhenti dan mataku membuka sempurna melihat via cengegesan di samping tempat tidurku.
Entah kapan dia meninggalkan wilayah kamarku, yang jelas seperti biasa. Aku tertidur pulas karena dongeng curhatnya.
Emosiku terpompa tanpa bisa dikendalikan, tanganku mengepal menggemgam guling disisi tanganku dan dalam satu pukulan keras. Guling itu menghempas wajah penuh polesan rias Via. Melencengkan tatanan bulu mata palsu dari sarangnya, aku tertawa puas saat berhasil membuatnya murka. Satu hal yang pasti jika kau bertemu dengan Via, jangan pernah kau mengacaukan dandanannya atau kau harus bersiap untuk menghadapi kematian secara mendadak.
Tentu ia tak akan tinggal diam dengan seranganku barusan. Kedua tangannya bersatu dalam genggaman bantal biru kesayanganku dan dalam sekali pukulan telak berhasil menamparku hingga tersungkur dari atas ranjang reotku, kuat juga cewek metropolis ini, batinku.
Aku bangkit dan dalam sekali dekapan tubuh via berada dalam pelukanku. Ku banting tubuhnya di atas singgasana mimpiku, tak sempat ia membalas perlakuan nekatku kedua tangaku sudah berada di titik lemahnya. Ia meronta, memohon-mohon padaku agar aku menghentikan gerakan jemariku di atas kedua pinggangnya, tapi aku malah tambah beringas menggelitiki pinggang sahabatku itu hingga ia mengelenjar dalam tarian cacing terpanggang. Ia menagis, tertawa dan tersedak dalam waktu bersamaan. Aku tertawa lepas melihat penderitaan sahabatku itu, tapi aku lengah dalam tawa kebahagiaan itu.
Via berhasil membalik tubuhnya hingga kedua tanganya bisa membalas perlakuanku, ia menempelkan secara paksa kesepuluh jemarinya di pinggang dan langsung membalas mengerjaiku. Aku memohon ampun padanya tapi tak akan ada ampun jika sudah begini adanya, yang ada hanya membalas dendam saja. Aku tertawa terbahak sanggat keras dengan umpatan beberapa sumpah yang akan aku limpahkan padanya jika ini sudah berakir.
Kami tertawa bersama, menangis bersama, menahan sakit bersama, melampiaskan perasaan kesal bersama, tersedak bersama dan yang paling jelas inilah waktu kita bersama. Waktuku dan waktu Via bersama tanpa ada perbedaan prinsip tentang merk pakaian ataupun majalah aneh budaya eropa, diwaktu ini kami menjadi diri sendiri, bocah polos tanpa dosa. Sepasang sahabat sejati.
Lelah secara mudah menjalar. Membuat persendian kram, menghentikan kami dalam nafas tersengal-sengal dan tubuh penuh aliran peluh. Kami membiarkan tubuh kami melumer kehabisan tenaga, dengan fikiran melayang kami mulai mengatur nafas yang masih belum taratur.
Kami terduduk bersandar di ranjang besi reyotku, melepaskan semua perasaan yang berkecamuk untuk sesaat. Sebuah perasaan lega yang sanggat indah menghampiri nurani kami dalam waktu yang lama.
Persahabatan itu akan menjadi benar-benar indah jika kita berbagi dengan apa adanya dan meluruh diri kita secara utuh.

“ Sudah lama ya, kita ngak ngedan kaya gini “ kata Via perlahan “ Ini keren mo, kayak ada beban yang hilang gitu aja, terhempas lah kalo pake bahas loe “ ujar Via apa adanya. Untuk sementara ia tak memperhatikan polesan makeup warna-warni di wajahnya, bulu mata atau rambut acak-acakanya.
Ia nampak seperti... manusia biasa. Sahabat kecilku yang polos, sahabat yang apa adanya, sahabat yang belum terkontaminasi dengan kehidupan melenium walau di dalam dirinya maemunah.
“ Iya vi, ampe lemes ni tubuh gw, tapi gw rasa lewat keringet ini masalah gw yang ngendep cair and kelar sendiri “
“ Yaelah mo, mo... ngak segitunya kali neng “ kata Via mencorongkan mulutnya saat mengucapkan “ mo “. “ Dah ah, mandi dulu gw mo, ngak mungkinkan gw meluncur dari gua lu dalam keadaan begini?, turun harga dong gw ntar “
“ Keren kali vi “ ucap mochi sekenanya melihat keadaan sahabatnya. Hampir seperti korban kecelakaan, terbawa angin puting beliung, mendarat di atas rumah tergelincir dari atas genteng dan jatuh tertimpa tangga. Mochi hanya tersenyum melihat keadaan sahabatnya yang beranjak dari sampingnya, Via kembali bertransformasi menjadi sosok manusia melenium lagi. Dari dalam laci meja belajarnya mochi meraih sebuah buku cerita.
Kugenggam bolpoint biru dari dalam tekukan buku tebal itu, kuletakkan erat-erat disela jari tanganku dan sebuah perjalanan magis terjadi. Aku menulis kedua mimpiku dalam hitungan menit dan selesai sebelum Via mendatangi kamarku usai membasuh diri. Aku menuliskan kisah tentang putri duyung dan vampir dalam versi asli mimpiku, tanpa embel-embel perubahan lagi. Menurutku mimpi versi asli terasa lebih murni ketika kurunut ulang dengan fantasi liar yang sering berkembang saat berpapasan dengan untaian kata di buku cerita “mimpiku “.
Tepat jam tujuh malam saat candra sudah menghempaskan kedua bongkahan pantatnya diatas kulit sofa di depan teve-ku Via meninggalkan kami bertiga. Ia tidak jadi ikut numpang makan malam bersama kami karena keburu ada janji dengan pacar ke limanya. Bagiku via seperti seorang petani yang menggembala para lelaki untuk dijadikan koleksi ternaknya. Satu hal yang membuatku iri pada sahabatku itu adalah kemampuan untuk memulihkan perasaanya yang begitu sempurna. Saat patah hati, ia bisa menghabiskan satu harian untuk bercerita, mengeluh, mengamuk, menangis dan melampiaskan rasa sakit hatinya pada apapun hanya dalam satu hari saja. Usai satu hari itu selesai, ia bisa kembali menjadi Via si manusia melenium seperti seharusnya, seperti tak terjadi apapun.
Tapi Via bukan sepertiku. Jika pulau di hatiku tak akan sembuh usai di hantam tsunami besar, pulau di hati via akan langsung lenyap di terjang tsunami besar. Hilang tak berbekas tapi akan muncul pulau yang baru. Jika pulau itu kembali dihempas tsunami masih ada pulau cadangan sebagai jalur evakuasi perasaannya dan itu terus berlanjut. Dan selalu belipat ganda.
Andai pulau dihatiku bisa memperbarui dirinya sendiri hingga tak bisa tergerus sakitnya diterjang tsunami hati. Tapi, pulau di hatiku akan selalu merapuh sebelum ada orang yang bisa menghentikan tsunami itu datang.
Kurenggut sebuah buku tebal berwarna merah muda dari bawah ranjang reyotku, buku harianku dari pertengahan smp sampai pertengahan akhir sma. Hatiku bergetar saat jemariku meraba sampul berdebu buku pemberian Via saat ulang tahun. Langsung ku buka di halaman terahir, masih ada sebuah foto yang dulu kurobek lalu aku satukan lagi menggunakan selotip. Ku baca lagi beberapa garis kalimat yang aku pahat di selembar kertas bergradasi biru muda pink dengan gambar rapunzell. Dan kejadian itu kembali membayang

&&&%%%$$$%%%&&&

Aku berlari dari arah kantin menuju lorong sekolah dan berharap bisa menyelinap ke kamar kecil tanpa ada yang tau keberadaanku. Air mataku seakan terpompa secara alamiah untuk menjadi donatur di wahana air yang tak kunjung berhenti. Aku merasa ada yang menarik jantungku yang masih berdetak untuk keluar dari rongganya. Menginjak-injaknya dengan sepatu berduri penuh lumpur, menggerus-gerusnya di jalanan aspal  lalu melemparnya lagi ke dalam rongga dadaku yang kopong menganga.
Aku masih tak bisa berkata apa-apa saat harapan yang aku pupuk secara indah dan mendalam selama tiga setengah tahun hancur menjadi tontonan orang banyak. Menjadi lelucon akhir tahun, hiburan mewah yang akan membekas pahit dalam ruang hatiku. Kini satu sekolahan sudah tau semuanya. Aku bingung, aku malu, aku pusing. Bagaimana bisa aku bersikap tak serasional itu? Bagaimana bisa aku sekonyol itu? Bagaimana bisa aku menjadi badut akhir tahun? Menjadi bahan tertawaan penghuni sekolah. Aku mengigil sendirian melihat kekacauan masa depanku. Aku masih belum tau caranya untuk membuang wajahku di depan mereka semua, haruskah ku hanyutkan wajahku di toilet atau saluran pembuangan?.
Sesuai saran yang di berikan Via kepadaku, aku harus mengungkapkan perasaanku kepadanya. Ini tentang sosok lelaki yang sanggat aku idamkan sejak dari kelas tiga smp. Vino pindah ke smpku saat kenaikan kelas tiga dan sejak itu aku menjadi penggagum rahasianya, berada di satu kegiatan extra kulikuler bersamanya dan menjadi manajer tim renangnnya.
Tiga setengah tahun aku habiskan untuk mengaguminya dan setelah ada waktu yang ku rasa tepat untuk mengungkapkanya. Dia menolakku!, menolakku mentah-mentah di depan umum. Satu-satunya harapanku adalah semoga cerita tentang penghinaanku ini tidak terlalu bergaung di sekolah. Ini adalah jam extra kulikuler, jadi tak banyak siswa yang bertahan di sekolah. Tapi mengingat siswa-siswa yang mengikuti extra kulikuler adalah orang-orang tenar dengan beragam tingkat kepopuleran di sekolahku, kuduga besok pagi aku sudah resmi menjadi bulan-bulanan mereka.
“ Percaya sama aku sekarang? “ kata Once saat melihatku mengendap dari belakang pintu toilet. Ia celingukan sebentar sekedar memastikan jika tak ada orang yang memergokinya saat menyelinap masuk toilet perempuan. Membantuku memasung harga diri yang terlanjur lumer di lantai loitet. Ia melihatku saat melarikan diri dari kantin sekolah, lalu menguntitku sampai disini.
“ Pergi, aku lagi ngak ingin kamu ganggu che “ kataku ketus dengan mata yang perlahan mulai memperlihatkan titik bengkaknya. Air mataku masih terus menghujam bongkahan pipiku.
“ Aku benar kan? “ Onche masih saja ngotot. Ia tetap saja memaksaku untuk mengakui kebenaran pendapatnya, dengan senyum menghina ia menunggu persetujuanku. “ Aku kan udah bilang sama kamu chi, rencana Via ini ngak akan berhasil!, dia baru aja putus sama rachel jadi dia butuh waktu buat sendiri “
Dadaku naik turun, terisak dalam penggalan nafas.
“ Kamu tuh buta gara-gara cinta tak terbalas ini!, gimana bisa kamu jadi mendadak bego kalo ngebahas tentang Vino? Dah lah chi jadi manusia realitas aja, kamu bukan cinderela yang bakalan nemuin pangeran gara-gara sebelah sepatu doang, kamu itu upik abu! Aku harap kamu sadar sekarang chi, pake nuranimu buat mikir mana yang nyata! Ini bukan bagian dunia mimpimu “
Dalam ragam sentakan nada menghujatnya Onche berhasil membanting perasaanku dan membuatnya terberai dalam kepingan kaca yang tak mungkin untuk disatukan kembali dalam kuluman lem kastol.
Aku tolol dalam pengertian yang sebenarnya. Tingkahku jelas-jelas konyol, aku membutakan diriku hanya untuk seorang yang akhirnya mempermainkan ketulusan perasaanku. Dan selalu seperti ini. Kenapa semua yang Onche katakan selalu benar? kenapa harus Onche yang menyadarkanku? Membuatku kapok dengan laku konyolku? Mengoreksi setiap langkah kakiku?. Mungkin, memang takdir Onche untuk selalu melakukan pembenaran garis hidupku.
Rentetan cercaan once itu membawaku terhenyak dari dunia mimpi yang selama ini ku buat untuk melingkupiku. Selaput abu yang ku pasang untuk membutakan indra penglihatanku. Magnet pesona yang membuai hati dan jiwaku untuk sebuah langkah palsu. Aku sadar jika aku bukanlah tokoh di dalam dongeng. Aku hanya mendongengkan hatiku untuk menjaga kewarasan hatiku untuk perasaan rumit ini, aku bersedih untuk diriku sendiri. Aku bersedih karena tak bisa mengontrol diriku untuk tetap memijaki realitas, bukannya terbang menuju dunia hayal. Aku bersedih karena menciptakan obsesi untuk hatiku sendiri.

Aku benar-benar bingung
Hingga merasa mampu untuk menenggak bianglala
Sejatah hidupku meleburkan akal sehat
Ditimang dan dihempaskan sekali lempar oleh hal kasat mata
Inikah cinta buta atau dirikulah yang membutakan cinta?

Onche adalah teman baikku, sahabat yang selalu ada untukku dan orang yang paling sering menjengkelkanku. Onche adalah tipikal mahkluk yang selalu memberikan humor segar untukku, tokoh yang memberikan nasehat hidupku dan sesosok yang selalu meluruskan lingkaran takdirku. Dan entah mengapa apa yang ia katakan selalu benar seakan-akan ia selalu mendapatkan wangsit tentang biografi hidupku.
Seperti apa yang diperingatkan Once, Vino akan menolakku, dan benar saja. Vino memang menolakku, menolakku mentah-mentah di kantin sekolah. Sosok yang aku idolakan tiga setengah tahun ternyata orang dengan kepribadian yang tidak baik. Tega-teganya vino mempermainakan ketulusan perasaanku. Tapi setidaknya aku baru tau salah satu sifatnya terbarunya, ia memiliki sifat menghargai sesama yang sanggat buruk!.
Samar-samar kudengar suara cekikikan tawa dari ujung koridor sekolah. Pasti ketahuan jika aku akan melarikan diri, pikirku. Onche mengumpat tiba-tiba dan tanpa aku sadari dia menyeretku ke bagian dalam toilet perempuan dan mendekapku ke dalam bilik kamar mandi saat suara sepatu nyaring melewati kami. Nyaris saja kami ketahuan, bagaimana jika mereka tau keberadaanku dan onche berduaan di dalam toilet perempuan? Pasti akan heboh sekali, cukup untuk menguncang satu sekolahan dalam gempa gosip skala richter.
“ Tadi liat ngak cewek peranakan alien itu lari keluar dari kantin? “ kata seorang cewek dengan nada gembira, lalu ia tertawa terbahak.
“ Yaiyalah tau, pristiwa momumental akhir taun masa mau dilewatin gitu aja? puas banget liat si Vino bikin kapok si cewek kribo, biar dia malu and sadar diri sekalian “
“ Iya, itu cewek seleranya kaya pohon palem, ngak nyangka gw kalo dia bakalan senekat itu, di kantin lagi “
“ Hahaha, kamu inget ngak kemaren pas pulang exkul? Dia kan pake kaos pink, rompi ijo, sandal kuning, rok merah sama tas warna-warni “ kata cewek satunya sambil menyemburkan tawa yang membahana. Wajahku merah dibuatnya, jelas yang sedang mereka bahas itu aku. Berani-benarinya mereka menertawakanku, emosiku meluap, aku ingin memberontak tapi tubuhku tersekap dalam genggaman tubuh Onche yang tak inginkanku menambah daftar pristiwa konyol disekolah “ Mecing banget tuh orang kaya toko permen jalan “
Dan kedua gadis itu meninggalkan toilet dalam keadaan tawa menggema.

&&&%%%$$$%%%&&&

Bedebam suara buku diary itu ku banting, sentilan memory ini harus ku hentikan segera sebelum semua luka masa laluku kembali mengangga. Aku tak akan membiarkan lagi potongan puzzel masalaluku ini tetap utuh dan kembali bertahta. Buru-buru aku berjalan menuju dapur, mencari minyak tanah dan korek api. Simbah yang sedari tadi sedang sibuk menyiapkan mie goreng telur ceplok untuk makan malam keheranan melihat tingkahku. Ia hanya melirikku sebentar dan seperti biasa dia kembali mengabaikanku.
Kubuang buku diary pemberian Via itu ke tong sampah di pojokan pagar rumah. Ku siram langsung dengan minyak tanah lalu kulemparkan pentol korek api di tumpukan sampah. Aku tertawa sendirian dengan tangan menengadah ke atas, aku tertawa bahagia di tengah adzan melihat kobaran api menjilat-jilat potongan puzzel masalaluku. Kunci masalaluku menuju kenangan-kenangan burukku sedang dalam proses pemusnahan. Serasa aku ingin menari-nari mengelilinginya. Lewat jendela dapur yang bertatapan langsung dengan tenpat sampah tempat ku membakar buku diary simbah mengerutkan dahi. Diambilnya seember air cucian piring bekas tadi siang dan disimramkan ketubuhku.
Aku berteriak kesetanan. Aku Gelagapan, tubuhku kaget mererima serangan dadakan dari simbah. Aku sama sekali tak menyangka jika simbah akan mengambil tindakan se-anarki itu kepadaku. Cucunya sendiri. Kebahagiaan di wajahku menyusut secara drastis, wajah sebal langsung ku pasang.
“ Simbah!!! “ aku mencak-mencak tak terima diperlakukan seperti itu. Tanganku gregetan melihat simbah nylonong pergi meninggalkan senyum simpul, meninggalkanku sendirian disamping tong sampah. Apa simbah tak merasa berdosa sedikitpun usai menyiramku dengan air bekas cucian piring? Bercampur dengan sanggitnya bau sampah yang terbakar? Heh, aku benar-benar jengkel dengan tingkah simbah hari itu.
Kutarik beberapa potong pakaian dari jemuran dan langsung ku benamkan tubuhku di kamar mandi.
Makane ndak mahgrib-mahgrib itu jangan ngrerong di kamar terus, lak kesurupan tho dadine koe ki? “ teriak simbah dari dapur yang berjarak tiga meteran dari kamar mandi. Suara nyaring simbah tetap saja terdengar seperti berteriak satu senti dari daun telingaku.
“ Simbah! Aku ngak kesurupan! “ balasku ketus dari kamar mandi. Di dadaku mengumpal rasa sebal karena bau yang tak kujung minggat dari tubuhku. Kugosok-gosok terus kulitku dengan sabun cair, mahgrib itu aku mandi tiga kali. Hal yang sanggat jarang terjadi padaku.
Lha trus, kalo bukan kesurupan apa namane? Dari kamar tiba-tiba nyari minyak tanah sama korek api trus bakar buku, ketawa-tawa sendiri karo ndhaplang-ndhaplang koyo wong kenthir, jan koe ki tho nduk, nduk!!
” Aku tadi Cuma kegirangan aja simbah!! “ ujarku geram. Kuberikan penekanan panjang di akhir kalimatku.
Kegirangan kok koyo wong edan ngono? Apa kamu memang dah mulai merasakan gejala sakit jiwa po nduk? Ealah sak akemen putuku “ tambah simbah cekikikan. Dari lubang ventilasi kulihat simbah tertawa terpingkal-pingkal di depan partisi jendela dapur melihatku tak berkutik di hadapanya. Suara adzan berhenti bergaung saat simbah mulai menyalakan radio kembali dan mulai keroncongan seperti biasa.
Hampir setiap saat lagu-lagu keroncong selalu menemani aktifitas simbah di dapur. Beliau tak pernah memintaku untuk menemaninya memasak ataupun mengajariku mamasak. Mungkin karena simbah bosan dengan segala macam alasan berujung penolakan yang sengaja aku susun dengan baik agar tak menganggu jam tidurku. Atau mungkin dia tak mau lagi aku merecoki hasil karyanya yang selalu turun pasaran jika terkena campur tanganku. Kalian boleh menjitak kepalaku karena aku sosok cucu kurang ajar yang suka bertingkah tak karuan, tapi mau gimana lagi? Akulah mochi si cucu kurang ajar.

&&&%%%$$$%%%&&&

Aku punya kenangan konyol tentang kehidupanku dan via. Bukan tentang candra, bukan tentang cinta pertama atau kisah terluka, tapi tentang dikejar orang gila.
Siang itu matahari tepat membakar ubun-ubun hingga muncul kemelut asap di batok kepala. Cuaca panas memeras tubuh hingga keringat meretas, angin menghempas ketiak menebarkan bau terasi sambal pedas dan di tengah jalan kadal gepeng terlindas di atas aspal panas. Saat itu kami masih kelas 2 sma, tepat pulang sekolah. Siswa bertebaran di gerbang, nagkring di warung makan dan nongkrong di tempat jajan. Aku, Via dan Onche mendadar diri menunggu angkutan kota, berharap kebagian tempat duduk sebelum mandi keringat.
Angkot datang, kami masuk duluan dan mendapat tempat duduk di bagian paling belakang. Onche duduk di samping supir yang sedang bekerja, mengendarai angkot supaya baik jalannya. Tuk.. tik.. tak.. tik.. tuk.. tik.. tak.. tik.. tuk.. tik.. tak.. tik.. tuk.., tuk.. tik.. tak.. tik.. tuk.. tik.. tak.. suara orang gila. Karena udara panas dan sibuk mangipas tubuh dengan majalah bekas, kami tak sadar jika hanya aku dan via yang berjubel di mobil mungil itu. Semua siswa menyingkir menghindari angkot, onche terpingkal-pingkal di samping jendela. Ada yang tak beres, batinku. Dan benar saja, ada orang gila duduk di belakang supir. Aku berteriak ketakutan sambil menempelkan tubuhku di kaca belakang, diikuti Via yang baru tersadar jika ada penumpang tak diundang. Via histeris begitu juga aku. Orang gila itu telanjang bulat dengan rambut keriting kuncir rafia, mengipas-ngipas jamur diselakangnya dengan lagak orang kaya.
Lebih dari sepuluh menit aku melihat orang gila dan supir angkot saling tarik menarik hingga akhirnya si orang gila mau turun dari angkot setelah serak menghantam suaraku dan Via. Harga diriku benar-benar lebur usai menjadi tontonan di gerbang sekolah, makeup Via luntur menyisakan bercak maskara, dengan segukan ia menyapu wajahnya menggunakan tisu. Masih dengan terpingkal Onche masuk angkot, duduk disebelahku sambil memeganggi perutnya yang kaku. Hampir selama perjalanan pulang tawa onche terus membahana, ia terus tertawa walau menjadi objek pelampiasanku dan via. Esok harinya aku dan via membolos berjamaah dua hari berturut-turut, kami belum siap menjadi bulan-bulanan masa karena orang gila.

&&&%%%$$$%%%&&&

Ku buka jendela oval kamarku, memberi ruang udara pagi untuk menganti udara malam yang telah jemu melingkupi mimpiku. Rumah-rumah berbentuk jamur raksasa menjulang menutupi sejumput cahaya mentari pagi. Kutarik nafas dalam-dalam, semerbak aroma bunga langsung memenuhi rongga dadaku. Kuhembuskan nafas secara perlahan, merasakan wangi kepuasan tak terhingga diantara uraian ketenangan.
Hampir setiap pagi aku melakukan hal itu. Sengaja ku tanam serangkaian kembang di balkon kamarku, membiarkan wanginya meyelubungi ragaku ketika akan menantang hari. Aku percaya jika pagiku dimulai dengan aroma wangi dan keindahan kelopak bunga maka hariku akan berjalan sempurna. Tak ada kegiatan spesial hari ini. Tak ada sekolah, tak ada kerja paruh waktu, aku bebas dengan duniaku sendiri. Kutata ulang rambut bergaya tumpeng diatas kepalaku, disesuaikan dengan gaun merah muda dari kelopak bunga yang dirajut menjadi satu.
Kuputuskan untuk jalan-jalan hari itu. Usai menyantap sebongkah madu untuk sarapan aku beranjak pergi meninggalkan rumah tercintaku. Dengan selembar daun yang dijahit dengan serat tumbuhan hingga membentuk sebuah tas punggung aku terjun dari atas balkon kamarku. Ku kepakkan kedua sayap lebarku. Sebuah sayap kupu-kupu perpaduan warna jingga dan ungu, dengan semburat merah diantara garis saraf yang berkutat sinergis dengan gradasi biru di bagian bawah sayapku. Aku masih selalu terpesona dengan keajaiban sayap transparanku karena selalu mengeluarkan serpihan bintang-bintang saat aku terbang.
Aku melayang lambat diatas rumah penduduk, menikmati atap-atap jamur raksasa mereka yang dicat dengan berbagai pola menakjubkan. Ada yang membuat pola bintang untuk menutupi bulatan putih di atas warna dasar atap jamur mereka. ada pula yang memlukiskan cerita diatas atap rumah mereka dengan berbagai warna mencolok dan karakter-karakter mitos yang masih sering kami jumpai sekarang walau dengan perubahan bentuk raga.
Di dunia manusia kami sering di juluki kurcaci, tapi kami lebih suka menyebut diri kami peri tanaman. Manusia biasa tak bisa melihat kami jika kami tak menghendaki hal itu terjadi. Duniaku terletak di antara sebuah taman dan lubang pembuangan air. Di taman itulah biasanya aku duduk sendirian dan mulai melakukan proses magis dengan tongkatku.  Tapi karena hari ini hari spesial, aku akan melakukan hal yang tidak biasa aku lakukan. Aku akan menelusuri arah pembuangan air yang menjadi batas wilayahku dan wilayah manusia.
Dengan sekuntum bunga yang aku petik dari balkon kamarku aku mengambang diatas kali mungil itu usai kuubah kelopak bunga menjadi besar yang sekiranya cocok untuk tubuh kecilku. Aku melaju mengikuti aliran air membawa kapal bungaku, terbawa suasana baru yang belum pernah aku nikmati. Bau menyengat bersliweran di batang hidungku untuk beberapa saat, saling bergantian dengan bau tidak sedap dari onggokan sampah yang membusuk. Tapi itu tak mengurungkan niatku untuk tetap menelusuri ujung aliran pembuangan itu hingga seekor ular mencaplok kapal bunga dan tubuhku sebagai sarapannya.
Petualanganku berakhir di tempat pembuangan yang lain. Tubuhku berakhir ditempat pembuangan ular, diperut ular tepatnya. Berbagai usaha telah aku lakukan dari mengunakan keajaiban dari tongkat ajaibku, tapi semua sia-sia. Aku terperangkap di perut hewan melata ini.

&&&%%%$$$%%%&&&

Aku ingin cerita kepada kalian, tapi kali ini bukan tentang mimpi-mimpiku. Ini tentang sebuah kejadian yang membekas di tangga harga diriku dan Via. Sebuah kejadian yang mungkin tak mungkin akan cepat lenyap dalam ingatan kami. Kejadian ini terlalu momumental untuk sekedar dilupakan.
Sejumput sinar matahari menembus kumpulan awan yang ogah-ogahan untuk tersibak. Hari itu suasana dikampusku cukup ramai karena acara wisuda. Dari pagi hari taburan kendaraan pribadi dan kendaraan umum membetahkan diri untuk nongkrong seharian menunggu wisudawan yang namanya tercetak jelas di jendela kaca mereka.
Halaman kampusku yang biasanya hijau dalam hamparan permadani rumput berubah menjadi area wisata keluarga untuk pesta kebun dadakan. Tikar-tikar digelar tanpa aturan dengan tumpukan makanan dan mantan wadah bungkus makanan yang berimbang. Banyak anak-anak kecil yang lari bersliweran dengan beragam bentuk balon mainan di dalam genggaman. Bapak-bapak dan para lelaki merokok, berbincang dan tidur dengan koor dengkuran, sedangkan para ibu mengamati anak mereka yang masih berkutat dalam radius aman.
Kantin tempatku biasa nongkrong bersama Via penuh sesak dengan keluarga wisudawan. Mengharuskan kami berdua untuk menyumpal raungan perut kami untuk sebuah sarapan yang tertunda. Sampah berserakan di jalanan dan srett... bagian bawah sepatuku yang melicin karena sudah tak memiliki gerigi untuk berdiri tegak tergelincir karena kulit pisang.
Tak pelak karena reflek sesaat untuk mempertahankan pendirian tubuhku agar tidak jatuh, aku memegang tangan Via. Tapi seharusnya aku sadar jika itu pilihan yang salah, tubuh Via ikut terpelanting diatasku, hak sepatunya patah. Jelas jika Via akan memarahiku habis-habisan karena kejadian ini tapi sayangnya kejadian ini tak berahkir di sini saja.
Pintu gedung serba guna membentang lebar dengan senyum bermekaran dari wajah-wajah penamat kuliah. Senyuman mereka semakin mengembang melihat perkara di hadapan mereka, dua orang gadis tiduran di atas aspal. Seorang gadis menjadi tikar dan gadis satunya membentang dengan hak sepatu patah. Senyum lebar wisudawan berubah menjadi cekikikan dan cekikikan bermetamorfosis menjadi selembar tawa lebar.
Mereka menikmati kejutan di akhir wisuda mereka. Tawa mereka masih terdengar mengiris telingga saat kami dikerubungi bapak dan ibu saudara wisudawan yang berniat membantu kami atau sekedar melihat kekonyolanku.
Hal pertama yang mereka lakukan adalah mengangkat tubuh via yang terpenlanting dalam gerakan kayang, punggungnya berbernuran dengan punggungku. Dengan cekatan Via langsung melepas sepatunya tanpa mempedulikan nasipku yang masih bermesraan mencium aspal, langkah kedua yang diambil para saudara wisudawan adalah membangunkanku yang berterimakasih sambil menyerapah karena melihat Via yang ngibrit meninggalkanku. Via meninggalkanku dalam keadaan dejavu, ditertawakan orang banyak dalam sebuah tingkah konyol yang berasal dari lakuku.
Aku memilih untuk tidak mempedulikan sekitarku, terlebih mereka sudah menjadi wisudawan. Jadi mereka tak akan menetap lagi di kampus ini, sekiranya untuk mengumbar kekonyolanku hari ini. Jadi apa gunanya untuk memusingkan ini semua? Buang-buang waktu saja.
Hampir satu bulan aku didiamkan Via karena kejadian itu. Aku sudah meminta maaf lewat beragam cara, tetapi tak ada respon sama sekali dari nyai metropolitan itu. Entah apa lagi yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahanku kepada sehabatku itu, ada rasa hening yang tak biasa tanpa curhatan kisah-kasih via tentang beragam persoalan cintanya. Rasa hening yang hambar.
Tapi, pagi itu berubah. Tepatnya usai subuh di hari minggu via mendobrak kamarku dalam tampilan puting beliung. Make-up yang selalu terpoles di wajahnya rusak karena aliran air mata yang diseka sembarangan, bajunya terkoyak dan rambutnya acak-acakan. Via tampak sanggat kacau.
Aku terhenyak dari ulasan mimpiku, menepuk-nepuk punggung Via yang terlebih dulu memelukku. Aku tersadar karena ketidakwajaran ini, ia menangis sejadi-jadinya dalam pelukanku. Aku sempat membatin jika pasti ada kejadian besar yang melatar belakangi ini semua, hingga Via yang mendiamkanku selama hampir satu bulan rela subuh-subuh mendobrak pintu kamarku.
“ Kamu kenapa vi? “ tanyaku dalam kesadaran yang belum sepenuhnya berpulang.
“ Aku takut chi, Tomy ternyata psikopat! “ ujarnya dalam sedakan air mata. Tomy? Nama baru lagi, siapa lagi orang itu?.
Aku terdiam. Membeku seketika, kesadaranku yang belum kembali sepenuhnya tidak bisa mengurai perkataan Via dalam sekejab. Beberapa detik kemudian barulah sadar aku dari kelambatan daya fikirku usai bangkit dari dunia mimpi. Otot-otot tubuhku menegangang, tak bisa menerima kejadian yang baru saja dialami via, sahabatku.
Aku melepaskan pelukan Via, dan memastikan jika kejadian yang baru saja memberenggusnya tak menggoreskan luka fatal di tubuhnya “ Kamu ngak apa-apa kan vi? Kamu di apain sama pacar barumu itu? “ ku raih gelas isi air putih di ujung meja belajar yang menempel di ranjang besiku. Ku sorongkan ke mulut via perlahan.
“ Dia mau perkosa aku chi, kalo ngak ada satpam yang denger teriakanku pasti dia sudah merkosa aku “ aliran air mata via menderas. Seakan terpompa saat ia memaksakan diri untuk mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Aku benar-benar terperagah, aku tak pernah menyangka jika hal ini sampai terjadi “ Tomy narik-narik aku, nampar aku, mbekap mulutku. Tapi aku sempet bisa lari gara-gara aku tendang selakangannya, terus aku teriak-teriak minta tolong ampe pak satpam dateng nolong aku chi, aku bener-bener ngak habis fikir dia bisa nglakuin ini sama aku “
Kulihat pipi lebam Via sekilas, di balik sapuan make-up pipinya tercetak jelas warna merah membundar dengan semburat kehitaman tak jelas. Lalu aku perhatikan sobekan baju di lengan dan punggung Via yang mengangga, jelas jika ada tarik-menarik saat kejadian itu. Ada empat goresan kuku di punggung via. Usai meminum air putih dan memeluk bantal tebal seperti biasa, air mata Via jelas tak akan berhenti sebentar lagi. Aku bersyukur Via lolos dari kejadian itu, bagaimana jadinya jika tak ada satpam yang siaga di saat subuh? Tangan-tangan tuhan pasti masih mendekapnya erat.
“ Chi aku takut, aku takut banget “ kuselimuti tubuh Via yang tak hentinya mengigil karena udara subuh dan rasa takut yang mengerogoti tubuhnya. Tomy sudah menjadi momok dalam kehidupan Via, ia akan menjadi trauma hebat.
“ Kamu yang sabar ya vi, aku ngak tau mau ngomong apa lagi, aku juga shock denger ceritamu ini, jadiin pelajaran aja vi, lain kali kalo mau pacaran sama cowok harus lebih selektif, cari tau dulu latar belakangnya biar ngak ampe gini lagi, aku takut kalo terjadi apa-apa sama kamu “
“ Chi, buat sementara aku hidup disini dulu ya, aku takut kalo pulang ke kost, aku takut kalo tomy nyamperin aku ke sana “ kata Via dalam suara bergetar, sesekali tubuhnya menggigil karena rasa takut berlebihan yang tak bisa tubuhnya tahan.
Aku mengangguk “ Iya, ngak apa-apa, kamu tiduran gih, tomy ngak balakan kesini, jadi kamu aman dirumahku vi “
“ Makasih banyak ya chi “
Aku kembali mengangguk pelan. Via meringkuk dibawah selimut seperti binatang terluka, hatiku getir melihat keadaan Via seperti ini. Tidak seperti Via yang biasanya aku kenal, Via yang hidup dengan keceriaan metropolitan.
“ Maafin aku juga ya chi, aku ninggalin kamu pas kejadian itu, aku bingung chi... aku juga malu jadi bahan ketawa segitu banyak orang “
“ Ngak papa kok vi, aku juga minta maaf dah masukin kamu dalam kekonyolan itu, tapi kan ada Candra yang siap sedia bantuin kamu “
“ Iya, dia yang bantuin aku pulang chi, kebetulan dia ada kegiatan organisasi di deket wc itu “ kata Via masih dalam sesegukan “ dia juga bawain aku sandal anak organisasi buat gantiin sepatu aku yang kamu patahin “
“ Nanti aku ganti kok sepatumu vi, aku lagi nunggu honor buat cerpenku yang mau terbit, aku janji “
“ Ngak usah chi, ngak papa kok “
“ Ngak usah sungkan gitu vi, aku tau kok kalo itu sepatu kesayanganmu “
Sebersit senyum kaku membingkat garis bibir via selama hampir dua detik. Lalu, senyum itu kembali amblas dalam momok ketakutan yang melingkupinya.
Dalam balutan selimut tebal Via terlelap usai meminum segelas coklat hanggat, kali ini aku tak akan gagal untuk urusan dapur. Apa susahnya coba? Tinggal tuang air panar masukin isi se-sachet coklat dan aduk sampai rata. Via memasuki alam mimpi dalam guratan garis trauma yang masih membekas.
Tak tega aku melihat penderitaan Via pagi itu. Jadi, kupastikan untuk membagi kisah itu lewat telfon dengan Candra yang notabennya hobby begadang sampai pagi. Ternyata Candra mengenal lelaki yang sedang dekat dengan Via, yaitu Tomy. Dengan amarah yang membuncah Candra berulang kali melemparkan pisuhan, sumpah serapah dan beragam kata-kata kotor untuk melampiaskan kekesalannya melihat apa yang baru saja terjadi sama Via.
Sekitar jam sembilan pagi Candra datang ke rumahku dengan sepeda motor maticnya, dengan mulut berdarah ia bercerita kalau dia baru saja menghajar tomy karena sudah bertingkah keterlaluan terhadap Via. Anak-anak kost di sekitarnya tak ada yang melerai pergulatan antara Candra dan Tomy, mereka diam saja karena mengenal Candra yang aktif di banyak organisasi kampus dengan kepribadian mudah bergaul dan menghargai sesama manuisa. Candra tak akan semarah itu jika tak ada kejadian hebat yang telah melatarbelakangi itu semua.
 Hantaman kepalan tangan Candra berhenti usai ia merasa cukup dan puas untuk sementara waktu, ia meninggalkan Tomy dalam keadaan babak belur bersimbah darah di halaman kostnya. Baru setelah melihat Tomy tak berdaya ia menyuruh teman-teman organisasinya untuk menyeret tomy masuk ke dalam kamar kostnya. Candra hanya ingin memberi tomy pelajaran tentang bagaimana cara bekerjanya rasa menghargai sesama, jika ingin dihargai orang lain maka selayaknya kita harus menghargai orang lain terlebih dahulu. Candra menceritakan semua itu usai melihat Via yang masih terlelap sambil sesekali mengigil, beberapa kali Candra juga mengusap bibir bawahnya yang pecah.
Pagi itu juga aku dan Candra langsung membuat kesepakatan. Kami tak akan membahas hal ini lagi di depan Via, pemberian pelajaran Tomy kami tutup perlahan. Via tak akan pernah tau kejadian itu jika tak ada anak organisasi yang tahu, dan itu adalah tugas candra selanjutnya. Sebisa mungkin kami berharap jika Tomy akan benar-benar lenyap dari dunia via. Kami ikut sedih melihat keadaan Via yang tak kunjung mendingan setelah satu minggu berlalu begitu saja. Via trauma atas apa yang telah ia alami. Kejadian itu benar-benar mempora-porandakan rekontruksi batin Via, meluluh-lantahkan kepercayaan diri nyai metropolitan.
Tapi sebagaimana celah waktu bergulir dalam detik, trauma Via lenyap kurang dari satu bulan. Dia kembali berpoles dalam sapuan warna make-up yang hampir tak pernah lepas dari jeratan kulit wajahnya, bahkan sekarang lebih heboh dari sekedar kesan spektakuler. Laku Tomy memang masih membayang tapi ia tak sudi untuk sekedar membuatnya menjadi pengganjal kenangan. Via belajar dan memulihkan diri dengan sanggat cepat seperti pesantren kilat. Ia belajar untuk lebih selektif memilih orang-orang yang akan berada dalam lingkup oksigennya, ia memulihkan luka dengan kegiatan metropotilan yang tiada berguna. Belanja, jalan-jalan, makan, cuci mata dan semua hal yang dulu pernah melekat erat di dalam kehidupannya sekarang dua kali lipat lebih menjerat.
Dan sebagaimana peranku di dalam kehidupan Via, tempat sampah ada jika dia membutuhkan wadah untuk sekedar muntah. Via masing sering mengujungi rumahku, membawakan serabi untuk nenekku dan menjajah gua persembunyianku. Bahkan beberapa kali Via membawa teman-teman lelakinya untuk sekedar memasarkanku sebagai barang dagangan edisi terbatas, tapi tak laku-laku. Hal itu sanggat mengangguku, sejak kejadian itu Via merasa jika dia mempunyai kewajiban untuk menjajah kehidupanku.

&&&%%%$$$%%%&&&

Suasana dingin ditaman kota menyeruak hebat menghempas tubuhku, melumerkan saraf dan sum-sum tulangku dalam sekali hentak saat sisa hujan masih meretas. Aroma tanah kering masih membaui taman sehabis terguyur hujan dalam sekala sedang, air menggenang memenuhi lubang-lubang dalam tanah bergelombang. Menyisakan ribuan embun yang menggantung di bawah dahan untuk pagi yang tak kunjung datang.
Sunyi lengang. Bahkak jangkrikpun tak sudi untuk sekedar berdendang.
Dibawah cahaya temaram lampu taman aku mempercepat langkah, aku merasa jika sedari tadi gerak-gerikku telah diawasi oleh seseorang. Berulang kali aku meratapkan nasip sambil berdoa, sekedar meminta tuhan untuk melancarkan jalanku pulang.
Darahku berdesir hebat saat kudengar jejak langkah berat membututiku. Bulu kudukku meremang dan tubuhku menggigil kencang, aku benar-benar berada dalam tahap ketakutan yang sanggat mengguncang.
Sebuah bayangan kelam menunjukkan wujudnya, dalam balutan baju hitam sosok itu menarik tubuhku hingga terjungkal. Aku berteriak ketakutan, tapi tak ada yang mendengar. Air mata mulai meretas bagai gerimis, menghujani sudut-sudut kelopak mataku. Punggung tangannya melesat, membabat pipiku dalam luka gampar. Membuyarkan setengah kesadaran, aku tak ingin pingsan. Sekuat mungkin aku menopang tubuhku untuk sebuah kesadaran.
Sosok itu menarik keras pundakku hingga posisi kami berhadapan. Sekuat tenaga kupaksakan diri untuk menarik tudung kepala yang dipakainya, tapi ia bereaksi cepat. Ia lalu menumbuk perutku dengan dengkulnya, isi perutku seketika melilit menjadi satu, sensasi mual mendatangiku cepat. Aku tersungkur di depannya dalam posisi berlutut memeganggi perut. Aku benar-benar tak habis fikir dengan sosok yang menghajar wanita di malam buta. Siapakah dia? Apakah aku akan diperkosa? Aku panik, ku siapkan sisa tenaga untuk mengambil langkah terakhir. Tapi sebuah pisau menggores lenganku sebelum aku sempat melarikan diri.
Sosok itu membuka jaket dan tudung wajahnya, Onche? Aku terperangah sampai-sampai merasa kebas untuk beberapa saat. Sayatan di lengan membuat kesadaranku bertahan. Bercak darah di lapisan stainlees pisau ia jilati seperti kucing, dengan mata membelalak, Onche melemparkan senyum lebar. Senyum tak wajar, senyum orang gila, senyum psikopat!.
Aku tak bisa mengontrol diriku untuk tidak berteriak, aku tak mau mati di tangan sahabatku sendiri. Onche mendekapku dalam pelukan, tapi aku terus meronta, ku lakukan semua gerakan perlindungan yang aku bisa. Aku menyepak, aku menggeliat, aku menggigit, aku mencakar hingga akhirnya Onche melepaskanku dengan sebuah tinju dipelipis kepalaku. Aku tersungkur mengendus beceknya tanah sehabis hujan, saat onche menindih perutku. Aku meronta saat melihat sebilah pedang yang keluar dari sisipan celana bagian belakang. Aku menangis, memohon dan meminta tolong dalam sumpah serapah dan berbagai umpatan kasar. Tapi Onche tak tergerak sedikitpun dengan penderitaanku, ia malahan terlihat semakin beringas. Satu tamparan kembali terlempar, menghantam pelipis kanan, mengantarkanku ke alam tidak sadaran.
Sebilah pedang itu mengoyak daging dadaku, membukanya secara paksa, mematahkan tulang iga, dan keluar setelah menggengam sebuah jantung yang telah berhenti berdetak. Dalam balutan darah segar, onche mengeluarkan jantungku, membauinya dan mengecupnya perlahan. Lalu ia lenyap diantara kabut malam, menyisakan jasad rusak dan roh penasaran.  

&&&%%%$$$%%%&&&

Dengan cucuran keringat yang tak berhenti meretas, aku menghela nafas dalam cemas. Aku benar-benar tak mengerti, bagaimana bisa aku memimpikan hal yang sama sekali tak mungkin terjadi? Onche sudah tiada, aku tak ingin mengusiknya. Apa mungkin jika aku terlalu merindukannya sehingga menjadikannya pemain opera mimpiku? Atau hanya sekedar efek dari trauma dari Via hingga masuk ke dalam dunia mimpiku? Aku tak mengerti, benar-benar tak bisa memahami.
Satu-satunya manusia yang ingin aku lupakan justru hadir dalam dunia mimpiku.
Kenangan masalaluku mendadar satu persatu. Luka lama menyayat kulit hatiku secara perlahan. Penyesalan masalalu membuat isi perutku terpilin. Aku ingin muntah melihat diriku sendiri di masalalu.

Kau tau jika aku sudah terjerembab dalam jurang itu bukan?
Dasar jurang ini terlampau beku untuk sekedar dihangatkan
Melumat kewarasanku dalam remah hati
Sungguh mengerikan, malaikat maut pemilik alam kubur pun tak mau tau tau rasa sakit yang masih menggantung di sela serpihan diri

Dadaku sesak karena rasa takut yang terus mendesak. Aku ketakutan untuk apa yang tak mungkin terjadi hingga sejumput siang melenyapkan pagi aku masih tak bisa terlelap kembali.
Berulang kuberikan sugesti terhadap diri, jika itu hanya mimpi. Tapi, tak ada yang bisa mengusir rasa takut yang terus menggerusku dalam kepungan imajinasi yang mulai tak bisa aku bedakan.
Hari berjalan cepat saat kuputuskan untuk pergi menghibur diri. Tapi aku salah mengambil keputusan. Berbagai kenangan yang kubuntal rapat dan kulenyapkan justru malah menjadi hantu masalalu yang terus membayangiku. Aku pergi ke taman kota, ke bioskop favorit kami, toko buku di dalam pusat perbelanjaan dan alun-alun dimana kita sering menjemput malam. Hampir semua tempat kesukaanku adalah tempat bermain manusia itu.
Aku merasa ada yang salah dengan diriku hari itu. Aku mengenang seorang yang aku sakralkan bagai seorang pahlawan, tapi mengambil hal yang paling berharga dari diriku seperti pencuri di tengah malam . Aku melihat wajahnya dibanyak wajah. Aku melihat senyumnya bertebaran di banyak tempat seperti selebaran. Aku merasakan angin membisikkan bagian dirinya dan gesek dedaunan mengumandangkan namanya. Aku melihat onche dimana-mana.
Ini benar-benar tak wajar.
Aku terbangun di ujung malam usai kedua kalinya dalam minggu itu aku memimpikannya. Dalam satu bulan aku memimpikanya kurang dari enam kali. Kesetabilan hidupku mulai terguncang, aku merasa jika onche ingin mengatakan sesuatu denganku. Rentetan mimpi itu membuatku merasa buruk.
Aku merasa jika ada perasaan lain menyelimuti jasadku. Perasaan lain yang terbawa dari alam mimpi burukku, perasaan yang menunggu untuk meledakanku, perasaan yang belum mempunyai nama, tapi ada untuk sekedar membayangi kehidupanku. Perasaan yang hidup untuk kehancuranku.
Mimpi itu mengingatkanku akan luka yang tak pernah sembuh, trauma masalalu yang terus mengangga dan rasa sakit yang tak hentinya mengguliti. Aku teringat Onche, hembusan nafas yang terus tersengal, kejadian itu, aliran darah yang tak bisa berhenti  dan air mata yang meretas menjadi deras. Aku menangisi kejadian yang sama untuk kesekian kalinya. Aku menangisi diriku sendiri, menangisi masalalu, menangisi ketidakberdayaanku.
Kenangan itu terus membayang dan air mataku masih tetap menggenang. Fakta bicara dan sejarah mencacat penyesalanku.

&&&%%%$$$%%%&&&

Ada dua kebahagiaan besar yang aku rayakan sore itu. Yang pertama karena kelolosanku masuk universitas yang aku dambakan, yang kedua karena hatiku telah dipilih. Hatiku telah dipilih Onche untuk bersanding dengan hatinya sebagai sebuah pasangan dengan cara yang sama sekali tak pernah kuduga. Bahkan aku tak pernah menduga jika sahabatku itu memendam perasaan untukku.
Awalnya kita berdua hanya jalan-jalan kepuncak untuk sekedar merayakan keberhasilan kami berempat untuk masuk universitas, tapi ternyata ada rencana khusus yang telah disiapkan untukku. Selalu Via, selalu saja gadis metopolitan itu, sampai sekarang aku masih menduga jika itu semua rencana Via. Aku hanya tak percaya jika itu rencana Onche seorang. Bukan berniat meremehkan tapi jika dilihat dari sifat dan penampilan Onche yang setara denganku, dia tak mungkin berfikir sampai di jalan itu.
Hari itu kami berencana untuk menginap semalam di rumah saudara Via, yang bertempat di badan merapi yang mempesona. Hawa dingin melarut cepat diantara sum-sum tulang, memberikan efek kebas dan kaku seketika dibadan. Tapi tak ada yang lebih layak di dalam perayaan tanpa acara makan-makan, dihalaman samping rumah saudara via kami sulap menjadi arena perkemahan. Di depan gazebo yang menghadap lukisan tuhan tentang jagad raya yang membentang, kami membakar jagung, ikan dan sosis yang kami beli dalam perjalanan.
Dibantu sepasang suami istri dan dua keponakan Via, malam itu cukup semarak dengan cahaya bulan yang terang, bintang benderang dan lampu kota yang seakan menjadikan itu semua terlukis dalam satu bidang. Rumah yang kami singgahi berada di ujung bukit, sehingga memudahkan kami untuk memperkosa pemandangan alam secara serakah.
Acara belum berakhir, tapi Onche memaksaku untuk mengikutinya ke suatu tempat. Dia mengajakku menuruni lereng dibelakang rumah saudara Via, walau dengan perasaan gentar karena rasa takut berlebih tapi Onche berhasil meyakinkanku untuk tetap berada di dekatnya.
Di tengah hamparan bintang, bulan dan lampu kota yang benderang Onche mengungkapkan perasaanya kepadaku, awalnya aku kira itu hanya sebuah lelucon belaka. Tapi, ketika melihat sorot matanya aku baru yakin jika dia sungguh-sungguh akan hal itu. Aku terperangah karena ketidaksiapan, aku mati gaya didepannya.
Awalnya dia berbelit dengan beragam aksara yang menjerat bibirnya, tapi usai memberi jeda dirinya untuk tenang. Dengan lancar Onche menletupkan sisi lain dirinya yang tak pernah aku ketahui, dia berbicara begitu lantang, gila, konyol dan indah secara bersamaan. Dia menceritakan semua bagian hidupnya saat tergila-gila dan hancur karenaku. Onche menceritakan betapa butanya aku karena sama sekali tak bisa menyadari hal itu. Dengan sebuah kecupan dikening ia melunasi hutang perasaan yang selama ini membayangi hidupnya.
Ia merebahkan diri disampingku ditengah bayangan ilalang yang menjulang. Disaat aku masih membeku karena badai yang menghempas tanpa himbauan untuk was-was, Onche tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi konyolku yang masih belum sadarkan diri untuk kembali kedunia realitas.
Aku tak mempedulikanya, aku hanya mempedulikan perasaan aneh yang tiba-tiba menyerbu dan merontokkan dadaku. Aku tak pernah merasa sebahagia itu, aku merasa jika dunia memang terlahir untuk memberikan ruang untukku. Aku baru  menyadari jika diriku membutuhkan kehadiran Onche lebih dari apapun, hanya saja aku terlambat untuk menyadarinya.
Kurunut ulang semua memori di arsip otakku. Kuputar lagi detik-detik keberadaan onche di dalam hidupku, dan semua itu memang benar, aku juga mencintai Onche. Aku hanya membuat ilusi palsu tentang cinta pertama yang kukarang, hanya untuk mendapatkan sambutan dan akhirnya dipermalukan di kantin sekolah. Aku menyadari jika saat itu aku hanya terobsesi dengan Vino yang jelas-jelas kubuntal sosoknya dengan aliran imajinasiku tentang cinta dan romantisme yang terus meretas, tapi itu semua hanya imajinasi belaka, hanya ilusiku saja.
Angin malam tak henti-hentinya menghempas, tapi senyuman di wajahku tak pernah melemas. Cinta didadaku terus meretas.

Perasaan tak berwujud itu datang mengetuk pintu hatiku
Beramah-tamah dengan batinku
Merekontruksi ulang jiwaku
Dan memenuhi sanubariku dengan serial terbaru
Melumatku dalam kebahagiaan haru biru
Bocah kecil di dalam diriku keluar dari sangkarnya
Menantang dunia dengan sang belahan jiwa

Kami memutuskan begadang untuk menutup malam perayaan itu, hingga jam tiga pagi kami bertekuk lutut akibat akumulasi rasa lelah dan ngantuk yang bertumpuk. Sekitar jam tiga sore kami memutuskan untuk pulang, tapi karena hujan yang tiba-tiba mendera kami memutuskan untuk menunggu hujan hingga reda dahulu. Hujan mereda, menyisakan gemiris usai adzan isya menggema.
Onche memboncengku dengan motor maticnya, kami sempat berdebat sesaat karena bisikan setan lewat. Tapi itu semua berlalu cepat, di tengah jalanan yang menurun dan gelap. Onche terus bercerita tentang kanakalan di masa kecilnya untuk sekedar membunuh perasaan sepi ditengah perjalanan pulang. Sebagian jalan yang kami lewati masih berupa hutan atau lahan garapan dengan penerangan yang sanggat buruk, bahkan tanpa penerangan sama sekali. Jarak antara kendaraan Via dan motor yang kami kendarai terpaut jarak yang cukup panjang, karena jiwa pembalap onche yang tak bisa ditentang.
“ Che awas! “ teriakku kencang sambil mencengkeram baru Onche. Spontan Onche membanting kemudi ke kiri hingga ban belakang membentur palang jembatan. Aku panik sehingga peganganku terlepas, tubuhku mencelat melompati pagar jembatan membentur dahan, masuk ke dalam semak-semak di samping jembatan. Sesaat aku tak sadar, tapi luka-luka sayatan yang hinggap di kulitku tak mengizinkanku untuk tidak mencicipi rasa pedihnya. Aku terperangkap dalam semak berduri, tak bisa bergerak dengan pusing bukan kepalang. Perih merambat pelan di belakang kepalaku, berdenyut-denyut pelan dalam bentuk benjolan besar.

Andai aku memiliki kekuatan untuk mengoyak belenggu
Satu-satunya belenggu yang ingin kudobrak adalah takdir
Suratan tuhan sebelum meniupkan ruh, ingin aku teliti ulang
Tak akan aku tanda tangani kontrak itu untuk hal ini, aku tak siap untuk menggalami

Onche kehilangan keseimbangan, dia panik melihat tubuhku terlempar dari dudukan motornya hingga ia kehilangan konsentrasi. Motor Onche oleng sehingga tak bisa dikendalikan arah stirnya, melintang ditengah jalan ketika sebuah truk muncul dari ujung belokan yang mengarah langsung di jembatan. Tabrakan itu terjadi begitu cepat, aku tak terlalu melihatnya karena terhalang semak.
Nafasku tertahan, aku tau jika ini bukan hal ringan. Suara benturan motor Onche dan truck itu terus menggema ditelingaku. Menetap difikiranku, bercampur dengan teriakanku dan suara klakson truck. Pandanganku mulai kabur tapi aku masih ingat saat Onche terlempar lebih dari lima meter bersama motor kesayangannya. Meluncur di ata aspal dengan motor matic diatas tubuhnya. Truk itu terus melaju, mereka memilih untuk melarikan diri daripada berurusan dengan polisi.
Baru sekitar lima menit kemudian Via datang. Pacar Via berlari menghampiri Onche yang masih tertindih motor kesayangannya, menggangkat sepeda motor itu dari atas tubuh Onche, lalu memindahkan tubuh Onche keseberang jalan. Separuh wajah Onche terparut aspal, bajiran darah mengalir deras di setengah tubuhnya. Melukis bercak darah di kaos oblong putih polosnya.
Tapi Onche masih bertahan dengan sisa kesadarannya, dia memberitahu Via keberadaanku. Onche menujukkan keberadaanku dalam keadaan setengah sekarat. Via berteriak-teriak mencariku dengan deraian air mata, memencet-mencet tombol di handphonenya, berteriak-teriak meminta rumah sakit untuk mengirimkan ambulans. Aku pingsan setelah melihat Onche dipindahkan pacar Via diseberang jalan.
Via berteriak-teriak mencariku, handphonenya terjatuh karena kepanikan yang tak bisa ia kendalikan. Onche menunjuk-nunjuk semak di belakang jembatan, pacar Via dengan sigap mencari tubuhku disana, lalu mengangkatku ke badan jalan. Membaringkanku di samping Onche dengan nafas tersengal. Via lunglai melihat keadaanku, tubuhku penuh luka sayatan semak berduri ditambah dengan darah yang mengucur pelan menelusuri rambutku. Via menelfon saudaranya karena ambulan tak bisa datang, dengan sebuah mobil bak terbuka mereka membawa kami berdua ke puskesmas terdekat.
Onche meraba-raba tangan Via, meminta untuk digenggamkan ketanganku, Via menurut dan melakukannya. Dalam sesegukan Via mendekatkan telinganya ke mulut Onche yang terus bergerak berulang-ulang, melafalkan apa yang tak bisa kata yang tak bisa di dengar. Via kebinggungan, kulit Onche memucat ditengah baluran darah kering disetengah wajahnya. Dipeluk tubuh Onche kuat-kuat. Muncul suara aneh mengerikan dari tenggorokan Onche, dada dan perut Onche tak lagi bergerak. Onche berhenti bernafas. Via menatap Onche mata dalam-dalam lalu menangis dengan hebatnya karena hanya kekosongan dengan selaput tabur yang tak bisa tertembus yang tergambar jelas.
“ Dia telah pergi, Onche sudah pergi “ ucap Via ditengah tangisnya, ia menutup kelopak mata Onche dengan tangkupan tangannya.
Tuhan tak berbelas asih untuk kami, dia mengirimkan malaikatnya di tengah perjalanan ke pukesmas. Dia mencabut nyawa Onche tanpa sepengetahuanku, meninggalkan penyesalan yang tak akan pernah padam digerus zaman. Tuhan menyiksaku lewat kejadian ini, hingga membuatku trauma.

&&&%%%$$$%%%&&&

Ada saat aku berusaha melumat nyawaku dan menarik pelatuk untuk jiwaku sendiri
Merendahkan agama, meludahi kitap dan mengencingi runutan takdir
Semesta mempermainkanku,
Dzat pemilik hidup bermain dadu dengan runutan masa depanku
 Aku kalah, aku dipecundangi takdirku sendiri
Belas kasihan tuhan itu hanya tai, aku menyesali apa yang sudah seharusnya terjadi
Aku muak untuk diuji, matilah engkau pemberi hidup ini

&&&%%%$$$%%%&&&

Rasa pening di kepalaku masih tak mau beranjak hingga siang membentang. Hari itu aku bolos kuliah, mimpi itu memberikan beban mendalam untukku, membuat tubuhku ambruk. Berulang ingatan tentang masalaluku dan Onche mencuat bergantian dalam berbagai format. Dadaku sesak oleh kenangan, bon restoran, tiket bioskop bahkan cacatan yang sengaja Onche torehkan dibuku untuk mengejekku masih aku simpan rapi sebagai dokumentasi. Semua barang kenanganku yang berhubungan dengan Onche masih ku simpan, semua kuteliti kembali, meninggalkan desiran perasaan perih. Perasaan yang membuatku tetap waras untuk perasaan yang dulunya pernah berjaya. Kuputusan untuk terlelap sesaat.
Cahaya jingga matahari sore menerobos jendela kamarku, mencetak bayangan origami burung bangau di antara wallpaper yang mengelupas. Salah satu kebiasaanku adalah membuat origami bangau dan menjadikanya aksesori gua persembunyianku. Selain digantung sebagai tirai-tirai pembatas atau dijadikan penghuni toples kaca berbentuk tabung, aku juga kerap kali menempelkan puluhan origami bangau itu sebagai penunggu ranting pohon yang melintang di depan jendela kamarku, dengan lem kertas kuposisikan mereka dalam opera sabun di depan jendela kamarku. Ada perasaan gembira saat membuka tirai jendela dan melihat gerombolan bangau kertas itu bertengger, menyapaku dengan aneka warna dan seakan mempersembahkan pertunjukan untukku setiap harinya.  Tapi itu tak berarti untuk dua hari ini.
Aku terbangun dengan cucuran keringat dan jantung yang berdetak kencang. Kulirik jam dinding berbentuk kepala kucing di ujung kamarku, jarum panjang menunjuk angka 4 dan jarum kecil menunjukan angka 5. Aku tidur tak sampai satu jam, tapi serasa sudah terlelap hampir satu bulan. Kepalaku tetap saja pening, kutarik ujung bantal kedalam pelukanku. Aku meringkuk seperti trenggiling, dengan posisi lutut menyentuh dada diatas ranjang besiku.
Ada lubang yang menghantam dadaku, seperti sesuatu yang mendorongku jatuh dan menghempaskanya kejurang kecewa. Aku mencari sesuatu yang tak aku tau, aku dibelenggu perasaan tertinggal dan dipecundangi.

&&&%%%$$$%%%&&&

Penyesalan itu masih menggantung di rahang jiwaku
Mengelupas dan menyublim diantara jahitan luka bagai hantu kelabu
Menggangu kewarasanku, mengutuk keterbatasanku
Dia yang telah pergi membingkai makam dan nisan sebagai sisa kenangan
Kapan penyesalan ini akan pergi?
Menguap hingga akhirnya lenyap tanpa bekas
Wahai tuhan, aku tau jika kita tak saling bicara,
tapi kita tau jika kita sama-sama ADA
Harus dengan prosesi apa aku menebus penyesalan ini
Izinkan aku mengumpat kontrak takdirmu
Kau membingungkanku, penyesalan ini merobohkan pondasi jiwaku

&&&%%%$$$%%%&&&

Petir menyambar, dan langit kelabu meluas dari arah utara. Bagaimana bisa akan terjadi hujan jika sinar matahari masih bersinar terang? Rasa penasaran memaksaku untuk melihat keluar. Mengelupas tubuhku untuk mencari sekedar jawaban dari pertanyaan yang tak ada. Kupaksakan tubuh lunglaiku untuk berlari keluar, ototku menegang karena kajutan. Tanpa adanya energi yang ku masukkan ke dalam tubuhku sedari tadi pagi, aku ambruk didepan pintu kamar. Kepalaku terantuk pinggiran rak buku di samping pintu kamarku, simbah menghampiriku dalam langkah renyahnya.
Sore itu Candra sedang mengunjungi rumahku, ia sedang menemani simbah menonton teve, menunggu kue yang baru saja mereka buat matang. Simbah memanggil-manggil namaku, saat Candra mengangkat tubuhku dan merebahkannya kembali diatas ranjang reyotku. Kondisi ini mengingatkanku tentang Onche dan kejadian itu yang terus beropera didalam fikiranku. Candra menelfon Via agar segera datang kerumahku karena dalam pingsanku aku hanya melafalkan nama seseorang yang tak dikenalnya secara berulang. Via langsung mendatangi rumahku saat Candra menyebutkan nama Onche di dalam percakapannya.
Via menceritakan semua kejadian, Candra hanya bisa membelalak dengan mulut membuka lebar. Saking terkejutnya ia sampai lupa menutup mulutnya hingga kram. Jelas Candra tak akan meyangka jika hidupku dulu serumit itu, atau lebih tepatnya sekonyol dan semiris itu.
“ Gw beneran ngak nyangka vi, kalo miss apem itu nyimpen masalalu seserem itu, jadi merinding gw. Jadi salut gw gara-gara sifat konyolnya dia masih bisa bertahan sampe kaya gini “
“ Ya mau gimana lagi ya can? Emang takdinya mochi gitu kali. Sekalinya jatuh cinta langsung pahit, bertepuk sebelah tangan, dipermaluin di kantin sekolah lagi. Dua kalinya jatuh cinta, tambah pahit lagi kaya dicekokin brotowali sewaterboom “
“ Apa gara-gara dia kangen sama Onche kali ya dia jadi kaya gini? Setahu gw kan tu spesies tipe yang suka mendem perasaan “
“ Ya, mungkin aja can, Mochi lagi kangen sama onche, dulu hampir tiga bulan tanpa alpa, mochi kekuburan Onche terus tiap pulang ngampus “
“ Tapi kok gw ngak pernah liat dia punya kegiatan lain selain ngampus, tidur dama nulisin mimpi-mimpinya? “
“ Dia mutusin buat ngak mau kebayang-bayang terus sama masalalu, termasuk sama Onche, jadi dia mutusin buat ngak tiap hari kekuburan Onche lagi, ya walau kadang-kadang dia masih nyempetin juga sih “
Sesekali Via mengecek keadaan Mochi yang terlelap dengan tubuh pucat. Kulitnya sedingin balok es dan mulutnya secara berulang mengucapkan satu nama. Seperti terkenan dejavu, Via merasa ada yang menyentak dadanya. Apa yang terjadi dengan Mochi sekarang sanggat mirip dengan kenangan terahirnya dengan Onche.

&&&%%%$$$%%%&&&

Seperti televisi bobrok pandanganku terdistorsi. Muncul garis-garis hitam bergelombang yang terus bergoyang-goyang. Aku merasa menapak di dimensi waktu dan ruang yang tak ku kenal. Semuanya terasa molor, melambat dan memanjang melenyapkan waktu dan ruang.
Aku bangkit dengan rasa pening yang tak hentinya menyelekit. Buku diary pemberian Via yang sudah kubakar tiba-tiba tergeletak tanpa cacat di atas meja belajarku. Bagaimana bisa buku itu kembali? Tanyaku sembari mengulurkan tangan menyentuh diary itu. Kobaran api tiba-tiba tersulut, satu detik usai kusentuh buku diary itu.
Kobaran api itu membesar, membakar koleksi komik jepang di atas meja belajarku. Melumat gorden yang melambai ringan, lalu merambat menghanguskan origami bangau yang berjejer tak beraturan. Kobaran api itu semakin meluas, hingga akhirnya membakar rak bukuku hingga jatuh menimpa ranjang reyotku dengan hujan buku-buku yang berkobar.
Kobaran api itu meluas cepat. Menghempas gua beruangku yang penuh dengan beragam kertas. Aku terjebak di dalam kamarku yang terbakar. Kedua kakiku melumpuh saat aku akan melompati jendela kamarku untuk menyelamatkan diri. Kedua kakiku merapat hingga kulitku melekat kuat. Muncul ribuan sisik dari dalam pori-pori kulitku beserta lendir bening. Kurasakan perubahan drastis tubuhku, aku telanjang dan rambutku memanjang. Sisik kehijauan merambat perlahan hingga menutup setengah payudaraku. Rambut pirangku menjuntai menutupi sebagian besar dadaku. Aku mengelepar, persis seperti ikan yang mengais-ngais air saat terlempar dari kolam.
Aku meronta meminta pertolongan, menangis dengan air mata yang berubah menjadi butir berlian. Sekelebat bayangan menangkapku, mendekapku dalam pelukan dan melesat. Tepat sebelum atap di kamarku itu rubuh dalam kobaran.
Dalam kecepatan tak masuk akal, aku melirik bayangan yang telah menyelamatkanku dari kebakaran. Seketika aku melonjak saat melihat sesosok yang menenteng tubuhku sebegitu mudahnya. Sekelebat bayangan itu vampir...
Dengan taring yang siap mengoyak leherku, kuku jari yang membentuk cakar dan keberingasan yang mengerikan. Aku bergidik ketakutan. Ini bukan pertolongan, ini sama saja keluar mulut singa kejebur di lidah anaconda. Tak sampai lima menit kemudian usai menembus hutan. Sesosok berjubah hitam itu melemparkan tubuhku dari atas jurang, menghempas danau di bawah air terjun.
“ Dia ada disana! “ teriak seorang lelaki beringas dengan sebilah samurai ditangannya. Dengan sekali kibasan samurai itu hampir membabat kepalaku. Kukibaskan ekor dan siripku bersamaan, menyelam ke dalam badan sungai yang menghitam.
Tapi, rencana itu gagal seketika. Kurunut ulang niatan untuk bersembunyi di dalam danau saat mendengar tangis suara bayi. Dalam gerakan pelan aku bersembunyi debelakang bebatuan melihat situasi sekitar. Kosong. Tak ada apa-apa di sekitar danau itu, tak ada manusia beringas itu lagi. Tangis suara bayi itu masih menggema saat ku pastikan ulang jika tak ada manusia di sekitar danau itu. Hampir dua kali sudah aku berenang mengitari danau itu, tapi tak menemukan tanda keberadaan dari pemilik tangis itu.
“ Hey ikan bodoh! “ kuikuti asal suara itu. Ternyata berasal dari ujung air terjun. Lelaki beringas itu melambaikan samurai dengan tangan kanannya dan menenteng tangan mungil seorang bayi di tangan kirinya. Entah kenapa adrenalinku terpacu melihat hal itu, bayi itu meronta-ronta dalam tangisan.
Tapi sesuatu yang tak terduga terjadi. Sebilah parang menembus kepala lelaki beringas hingga menyembul keluar lewat mulutnya. Bayi itu meluncur bebas, menuruni aliran air terjun.
Sekilas kuperhatikan sesosok hitam yang telah membunuh lelaki beringas itu. Onche, lelaki yang telah menusukkan parang hingga menembus kepala si lelaki beringas itu ternyata onche. Ditengah cahaya bulan yang temaram, onche melambaikan tangan usai mencabut sebilah parang dari kepala lelaki beringas itu.
Aku berenang cepat menuju tempat pendaratan bayi malang itu, tapi aku salah. Bayi itu terenggut sekelebat bayangan yang menghambur bebas diantara bayang-bayang jamur raksasa yang tumbuh liar di sekitar tebing. Perasaanku mendadak pahit, mata onche membelalak. Ia melompat dari bibir air terjun, menghempas sekelebat bayangan itu dan menceburkan diri dalam kegelapan. Aku mendelik tajam, seperti ada duri yang tumbuh di tenggorokanku.
Aku menghambur kedalam pertarungan onche dan bayangan itu. Yang kufikirkan hanya keselamatan bayi mungil itu saja. Gelembung-gelembung udara menyembul berulang beserta noda darah. Di dalam danau yang pekat bayi itu mengambang dengan leher mengganga.
Amarahku meledak, ini semua ulah si vampir. Kurenggut jasad bayi itu, lalu kuletakkan di atas batu di sisi sungai. Kuselimuti jasad bayi itu dengan anyaman ganggang hidup di dasar danau.
Bayangan dua sosok menghambur keluar dari kepekatan air danau. Meloncat keluar dengan kucuran air dari sekujur badan. Hampir menyerupai ninja, bayangan onche dan si vampir berkelebat saling membabat. Berulang noda darah muncrat dari segala arah. Aku terdiam waspada melihat kedua lekaki itu bertarung dari bawah lapisan air danau yang bergelombang. Hingga akhirnya sesosok bayangan berdiri gagah di atas tumpukan batu curam.
Bayangan itu tertawa dengan suara menggelegar. Menenteng sebuah kepala yang masih tampak samar karena tertutup kegelapan. Aku berenang mendekati bayangan itu dan perasaan kebas, nyilu dan kram menyerangku mendadak. Si vampir menenteng kepala onche yang masih mengelontorkan kucuran darah. Kubekap mulutku dengan kedua tanganku. Kukibaskan cepat sirip dan ekorku. Aku berenang menjauhi sosok itu.
Tapi vampir itu terlalu cekatan. Kepala onche ia lempar. Mengenai jasad bayi yang ku selimuti anyaman gangang hingga meluncur jatuh tengelam ke dalam sungai. Gerakan sirip dan ekor aku percepat. Vampir itu mencakarku dengan kuku jarinya yang tajam. Menyambar setengah wajahku. Vampir itu menciduk perutku dengan tendangan. Tubuhku terpental keluar danau. Terbang melayang dan mendarat di atas bebatuan terjal.
Kepalaku menghantam sebuah batu cadas. Perih menjalar rata kesekujur tubuhku. Beberapa siripku patah dan siripku sobek. Mungkin tulangku patah, jadi kupastikan untuk menyeret tubuhku dan berniat menjatuhkannya ke danau. Baru setengah tubuhku terjebur ke danau. Vampir itu menarik ekorku dan mengunyah siripnya. Meludahkan lendir bening yang selalu setia menempel di sisik bagian luar. Kukibaskan kuat-kuat ekorku hingga menamparnya agar bisa lolos dari vampir gila itu. Tapi kuku-kuku vampir itu mencengkram tubuhku terlalu dalam hingga mengalirkan darahku bewarna kehijauan.
Sorot mata vampir itu berubah drastis ketika melihat darah mengalir diantara sisikku. Wajahnya mendadak beringas menakutkan. Dengan satu tangan vampir itu membantingku hingga setengah kesadaranku musnah. Ia memamerkan kedua taring diantara giginya dan mengeram keras. Ia meringkus tubuhku dalam satu rengkuhan dan menancapkan taringnya dileher bagian kiriku. Seketika fikiranku melayang tersedot labirin hitam yang tiba-tiba melumatku dalam ketidaksadaran.
Aku dimuntahkan di dalam sebuah tempat yang sama sekali tak wajar bagiku. Pohon-pohon tumbuh terbalik, ukuran tubuh hewan semua berkebalikan. Gajah berukuran mungil mengelus-ngelus kakiku dengan belalai abunya. Hadir dengan guncangan seekor kucing raksasa berlari kencang dikerjar tiga anjing berukuran dua kali lebih besar. Aku termenung di samping air terjun coklat panas, memikirkan keanehan tempatku berada. Dua buah cerry seukuran sapi mengalir tenang diatas aliran coklat. Kurenggur rumput di samping tanganku, ternyata segenggam rumput ditanganku itu adalah permen.
Kujejalkan ke dalam perutku bermacam batu di sekitar air terjun. Batu yang aku makan bertekstur keras di luar tapi lembut di dalam bagian dalam mirip seperti telur. Cangkang batu itu renyah seperti krupuk, di bagian dalamnya terdapat berbagai macam kejutan. Dari tiga batu yang aku makan yang pertama berisi keju dengan bau menyengat tetapi sanggat enak saat bercinta dengan lidahku. Batu yang kedua berisi selai kacang dengan taburan kacang-kacangan super renyah dan yang ketiga adalah rasa semriwing khas daun mint.
Aku memiliki dua sayap transparan berwarna menakjubkan. Setiap aku mengepakkan kedua sayapku muncul serpihan bintang-bintang kecil yang bertebaran indah. Dengan gaun dari jalinan akar tumbuhan dan kelopak bunga raksasa aku melangkah dengan anggun.
Kuputuskan untuk menyusuri tempat aneh itu, tapi kesalahan fatal terjadi. Kakiku tergelincir lumut berwarna merah jambu, aku tercebur ke dalam air terjun dan tenggelam di dalamnya. Aku berteriak minta tolong, tubuhku melepuh ditengah aliran coklat panas, hingga akhirnya aku tak sadarkan diri.
Pandanganku terdistorsi kembali, dengan tubuhku yang biasa. Mendadak aku mual, isi perutku terpilin, ususku melilit. Melihat pemandangan didepanku.
Simbah, Candra, Via, dan semua orang yang aku kenal menumpuk dengan luka di leher mereka. Jasad mereka menggunung di depanku, membaui udara dengan bau busuk menyengat. Isi perutku bergejolak, kubekap mulutku dengan kedua tanganku. tubuhku limbung saat melihat tanganku penuh dengan bercak darah. Ada yang masih mengalir dan ada yang sudah mengering. Kuputar tubuhku kebelakang, menghadap cermin setinggi dua meter.
Pantulan bayangan di depan cermin itu menghantam dadaku. Kulihat tubuhku bersimbah darah, bercak dan noda darah dimana-mana dengan dua buah taring tersumpal di mulutku. Aku langsung pingsan usai melihat tubuhku dalam wujud vampir.
Lubang hitam muncul dari kelopak mataku. Dari arah cermin lubang hitam itu melumatku mentah-mentah. Gemericik hujan membangunkanku, mengetuk ringan jendela kacaku dan mengantar nyawaku kembali ke jasad bobrokku. Aku terbangun dengan tubuh transparan berwarna kelabu. Cahaya kuning dari lampu di meja belajar menembus kulit tanganku. aku kelabakan, kucari cermin di laci meja belajarku dan tak nampak wujudku sama sekali di kaca itu.
Kali ini aku berwujud hantu.
Tubuhku terasa sanggat ringan. Berjalan membuka jendelapun serasa terbang. Kutarik tirai biru berpola luar angkasa, belasan origami burung bangau menyambutku. Kulepas pengait jendela dan tiba-tiba aku tersedot keluar.
Aku terlempar di pinggir jalan, tepat di samping jembatan. Ditempat itu aku melihat matahari terbenam, menyebarkan warna merah merekah ditengah cakrawala. Mengaduk langit biru, dan warna hijau anakan bukit menjadi kekuningan. Garis-garis cahaya matahari masih terlihat jelas dari jembatan itu sejenak aku terpaut dalam pesonanya. Aku masih duduk-duduk manis dipinggir jembatan ketika waktu mengelincir seperti bongkahan es ditangan. Cepat, dingin dan tak bisa dikendalikan.
Suasana hening pegunungan merambat cepat diantara kikikan serangga. Sebuah motor matic meluncur cepat, dan kecelakaan itu terulang cepat. Kali ini sosok hantuku hanya berperan menjadi penonton saja. Melihat sosokku yang lain terpental dari boncengan Onche. Menghantam batang pohon, menenbus tubuh transparanku dan terperosok ke dalam semak belukar. Hatiku berdesir melihat Onche kehilangan kendali, truck yang menghempas tubuh dan motor maticnya. Hingga tubuh Onche yang terlempar dan mendarat dengan wajah bagian kanan memarut aspal.
Berulang aku berusaha menyelamatkan Onche, tapi semuanya sia-sia. Tubuh transparanku tak bisa menyentuh apapun, aku berusaha mengangkat motor matic yang menindihnya tapi tak ada reaksi apapun yang terjadi. Entah mengapa aku merasa Onche diantara titik ketidaksadarannya tersenyum melihatku. Hatiku bergetar, nuraniku tersentak, fakta berbicara dan sejarah mencatat. Dengan sanggat jelas kulihat Onche tersenyum kepadaku.
“ Maafin aku ya chi “ kata Onche pelan. Walau tak terlalu jelas, tapi telingaku menangkap apa yang ia katakan. Seketika air mataku memberondong keluar, mengalir dari berbagai sudut mataku. Dalam keadaan seperti itu ia masih menyempatkan tubuhnya untuk meminta maaf kepadaku. Ucapan Onche menyentak rekontruksi batinku. Tapi bagaimana bisa dia berbicara denganku yang notabennya sekarang menjadi hantu kelabu?. Sesaat ini cukup membingungkanku.
Ku tatap wajah Onche sesaat. Sorot hangat dari dua bola mata besarnya, setengah wajah yang terbalut darah segar, dan tangan yang berusaha menggapai-gapai tubuh transparanku. Kurekam detik itu dan ku genggam erat-erat. “ Kamu ngak salah che, seharusnya aku yang minta maaf sama kamu. Aku ngak dateng pas acara pemakaman kamu, aku pingsan pas kamu sekarat, dan bodohnya aku sadar pas kamu dah dua hari dimakamin. Maafin aku che, aku beneran nyesel, semua itu bikin aku nyesel banget “ 
“ kamu ngak salah kok chi, memang dari sana jalannya gini. Ngak ada yang perlu disesalin chi, aku dah tenang disini, aku seneng kok dah bisa ngungkapin itu semua sama kamu. Jangan nyesal laagi chi, sejak tuhan meniupkan ruh, kita dah tanda tangan kontrak jalan hidup sekalian. Cuma kita dibikin lupas pas lahir didunia ini, makanya semua itu jadi misteri hidup. Apa kamu masih mikir hidup kami sial kalo sebenere kamu dah dikontrak gitu?, ngak kan chi? “
Aku masih terisak, darah membanjir dari luka parutan wajahmu yang baru saja beradu dengan aspal jalanan.
“ Maafin semua ketidakberdayaanku ya che “
“ Untuk apa aku memaafkan peristiwa yang memang sudah takdirnya? Ngak ada gunanya kamu minta maaf chi, memang takdirnya begini kok “
“ Tapi aku nyesel banget che, aku kebayang-bayang terus kejadian itu, aku ngrasa kalo aku kaya pembunuh! “
“ Kamu bukan pembunuh chi. Jangan pernah sesali apa yang sudah terjadi chi, ngak ada yang perlu kamu sesali. Manusia itu diuji sama tuhan di titik yang paling lemah dan sensitif. Titik kelemahan orang itu beda-beda chi, pada titik itulah manusia diuji sama tuhan secara berulang. Semakin kamu dihadapkan tuhan sama keadaan terburuk dan kamu mampu bertahan. Maka kamu akan menjadi sosok yang lebih kuat. Tuhan nguji kamu supaya kamu jadi manusia yang lebih kuat chi, kamu harus bisa terus bertahan chi. Jangan pernah nyerah, buat aku “
“ Sampe sekarang aku ngak pernah berani kerumah kamu che, aku pingin banget bicara hati ke hati sama ibu kamu, aku pengen minta maaf juga “
“ ibuku dah maafin kamu kok chi, coba kamu kerumahku, dia pasti nerima kamu apa adanya “ untuk kedua kalinya Onche tersenyum kepadaku. Ia nampak kelelahan, wajahnya pucat dan memandang satu titik di atas.
Karena penasaran akupun mengurut pandangan Onche. Terpampang jelas bulan dan ribuan bintang yang berkedip indah diantara kegelapan malam. Lampu kota membentang dan membuat semua nampak seperti satu bidang. Dalam air mata yang mendera, secerca kebahagiaan terumbar di hatiku.
Kembali terbesit diangan ketika onche mengungkapkan perasaannya kepadaku. Ciuman hangat dikening, ilalang yang membayang, dua hati yang menghangat, senyuman yang memberkas di wajahku. Semuanya begitu ketara nampak didepan mataku. Jelas tanpa tedeng aling-aling.
Kali ini setengah penyesalan itu memudar. Menyisakan permintaan hati hanya untuk dituruti.
Lorong hitam itu kembali menyedotku bagai debu. Terangkat kilat, tak berbekas. Seseorang menggengam erat tangan kiriku di samping ranjang, dengan tatapan cemas ia memberikan senyuman saat melihat kesadaranku pulih.

&&&%%%$$$%%%&&&

Masih kurasakan bagaimana perasaanku menggila, melebur, dan memancarkan kebahagiaan tak terperi
Masih ku ingat bagaimana dada ini bergetar nyeri karena sengatan kosmik di dalam hati
Berwujud aurora, bergambar supernova, melingkariku bagai bimasakti  berpola cinta
Rinduku meretas bagai jentik-jentik air hujan
Mengendap di bongkahan tanah dan membuncah dengan wujud gelombang yang teramat megah
Sudikah kau mencicipi rasa cinta ini?
Masih inginkah kau tau betapa hebatnya cintaku ini?
Gengam jantungku dan hitung detaknya, sebanyak itu pula rasa cintaku ini menyublim mengurai makna
Mengumbar kata dan mengkristalkan satu nama
Dia... tentang dia.

&&&%%%$$$%%%&&&

“ Chi? “ ucap Via pelan. Ia menggengam tanganku, ada kehawatiran tersirat jelas di pelupuk matanya “ kamu ngak papa kan? “
Kuringkus semua kesadaranku, aku baru saja bermimpi. Bermimpi tentang sebagian mimpiku yang bercampuk aduk menjadi satu. Menguliti satu persatu ketakutan, imajinasi dan penyesalanku. Dan dia datang, Onche datang ke alam mimpiku hanya untuk menasehatiku.
“ Aku ngak papa vi, Cuma pening dikit doang kok “ kurunut ulang semua mimpi yang baru saja aku alami. Kutatap Via sekali lagi, hanya untuk memastikan jika aku sudah benar-benar menapak di alam realitas. Cahaya matahari senja menerobos kamarku lewat bayang-bayang origami bangau. Aku hanya pingsan sebentar saja, tapi tubuhku terasa sanggat lemas.
“ Tapi, lu tadi pingsan “
“ Cuma telat makan doang kok vi “
“ Simbah mana vi? “
“ Simbah lagi keluar chi. Tadi simbah hawatir banget sama kamu chi, sekarang dia lagi ke apotik sama candra beliin obat yang biasa kamu minum, mereka kira penyakit kamu kambuh “
“ Akhir-akhir ini lu keliatan aneh chi, lu ada masalah? mungkin lu butuh tempat cerita? Kita tukeran tempat deh, sekarang gw yang jadi tempat muntahnya “
Kupaksakan senyum menghias diwajah letihku, memberi kepastian Via jika aku baik-baik saja “ Gw Cuma keinget onche aja vi, mungkin gara-gara kangen berlebihan gw mimpiin dia “
“ Lu masih belum bisa lupain dia ya?, dah setahun lebih lho chi, kapan-kapan gw anter lu ya ke makam dia? “
“ Iya vi, makasih “ kataku pelan. Kurubah posisiku, tubuhku terlampau lemas untuk sekedar tiduran. Kuputuskan untuk duduk menghadap via dengan dua bantal menyangga punggungku “ Vi, Onche tadi nemuin gw di mimpi “
Mata via membelalak, baru dua detik kemudian ia angkat bicara “ Lu ngak bercanda kan chi?, apa jangan-jangan luka dikepala lu setahun yang lalu kambuh? Jangan aneh-aneh deh chi pake bawa-bawa nama Onche lagi, ngeri tauk. Lagian Onche dah tenang chi disana, jangan diungkit-ungkit “
“ Gw beneran vi, suer ngak bohong “ kubentuk jari-jari tanganku membentuk huruf “v” “ Kemaren gw juga pernah mimpiin Onche vi, tapi konyol banget. Tapi buat yang ini gw berani sumpah demi tuhan vi, gw ngak bohong “
“ Sejak kapan lu mau pake istilah tuhan lagi? Bukane lu marah ma tuhan gara-gara kejadian setahun yang lalu ya? “
“ Dengerin gw dulu vi, gw... “ kuceritakan semua mimpiku secara detail kepad Via, dari mulai diary yang terbakar hingga kecelakaan di gunung. “ ... Manusia itu diuji sama tuhan di titik yang paling lemah dan sensitif. Titik kelemahan orang itu beda-beda chi, pada titik itulah manusia diuji sama tuhan secara berulang. Semakin kamu dihadapkan tuhan sama keadaan terburuk dan kamu mampu bertahan. Maka kamu akan menjadi sosok yang lebih kuat. Tuhan nguji kamu supaya kamu jadi manusia yang lebih kuat chi, kamu harus bisa terus bertahan chi. Jangan pernah nyerah, buat aku... Onche bilang gitu vi “
Hampir setengah menit via terdiam menatapku. Matanya berkaca-kaca, hanya dengan sentuhan bulu angsa saja pasti danau di pelupuk matanya itu akan pecah.
 “ Sebenernya gw masih ragu sama cerita lu chi, tapi kata-kata yang barusan lu bilang ma gw itu nasehat Onche yang dari dulu dia bilang ma gw pas lagi sakit hati. Pertama kali dia bilang gitu ma gw pas smp chi, sampe sebelum dia ngak ada dia masih bilang itu ma gw. Ini gila chi, ngak rasional sama sekali, gw masih percaya ngak percaya. Sahabat Onche Cuma kita berdua dari sd sampe mau kuliah, keluar palingan ma kita juga, jadi ngak mungkin juga dia nasehatin semua orang gitu ya, mungkin onche sedih liat lu gini chi, makane dia nemuin lu “
“ Gw ngak maksa lu buat percaya ma mimpi gw vi, itu Cuma mimpi aja kok, bunga tidur vi. Onche juga nyuruh gw ngak boleh nyeselin hidup lagi vi, dia kasih pesen ma gw buat main kerumahnya, nemuin ibuknya “
“ Gw dari dulu juga pengen usul ma lu gitu chi, tapi gw ngak sampe hati soalnya lu keliatan tertekan banget sama kejadian itu. Lagi pula lu bilang ma gw kalo ngak mau kebayang-bayang terus sama kejadian itu, yaudah deh, gw urungin aja niat itu chi “
“ Keluarga Onche masih tinggal di rumah yang dulu vi? “
“ Iya chi, mereka masih tinggal dirumah yang dulu, mau gw anter kesana? ”
“ Ngak usah, ntar minggu gw mau kesana sendirian “

&&&%%%$$$%%%&&&

Minggu pagi aku menyambangi rumah Onche dengan angkutan kota. Rumah Onche terletak dipinggiran kota, jadi tidak terlalu sumpek tapi juga tidak terlalu sepi. Sekilas rumah Onche nampak seperti kebun raya, tanaman menggelantung disana-sini. Pot-pot bunga menghias setiap sudut rumah, teras rumah hingga balkon. Ditambah dengan 5 buah pohon besar yang membuat rumah Onche nampak sanggar.
Ku hembuskan nafas perlahan, sudah lama aku tak berkunjung ke rumah itu. Pribadi Onche yang tidak terlalu bisa membuka diri dengan pergaulan membuat rumah itu sepi dari persingahan teman. Sampai sekarang hanya aku dan Via saja yang rutin mengunjungi rumah itu. Sekedar membajak koleksi komik atau pas ibu Onche sedang membuat makanan.
Kupencet bel di samping gerbang. Nampak keterkejutan di sorot mata ibu Onche tapi semua itu musnah tergilas kebahagiaan yang tiba-tiba mendera.
“ Sudah lama tante nunggu kamu chi “ kata ibu Onche usai memelukku.
Aku duduk di teras belakang rumah Onche, menghadap taman kecil di samping kolam ikan. Pagi itu ayah dan saudara Onche yang lain sedang pergi memancing. Jadi pembicaraanku dan ibunda Onche mengalir begitu saja. Kami bicara dari hati ke hati. Antar nurani, kami membagi perasaan.
Kuungkap semua penyesalan dan ketidakberdayaanku semua. Satu persatu kejadian kuceritakan secara lengkap. Begitu pula dengan mimpi yang terselip didalam robohnya tubuhku. Satu-satunya hal yang tak bisa kuterima adalah saat ibu onche hanya tersenyum melihat air mata yang tak hentinya terpompa.
“ Ngak ada yang harus disesali chi, tante dah iklas kok sama kecelakaan itu. Itu semua bukan salah kamu, itu semua takdir tuhan chi. Onche dah tenang di alam sana, ngak ada gunanya kita ngungkit-ngungkit masalalu “
“ Tante ngak marah sama supir truck yang nabrak onche? “
“ Namanya juga manusia chi. Dulu iya, tapi sekarang ngak. Tante dah maafin orang yang nabrak onche chi, ngak ada gunanya marah-marah, bikin capek aja. Yang seharusnya terjadi ya emang harus terjadi chi, ngak usah disesali, kamu jangan nyesel terus “
“ Kenapa tante bisa setabah ini? Sampe sekarang aja aku masih kebayang-bayang terus sama Onche tan “
“ Tante dah tau chi kalo semua itu mau terjadi, makanya tante doong onche buat bilang semua perasaanya sama kamu. Dari smp Onche dah suka sama kamu chi, dia tiap hari cerita sama tante “
“ Maksut tante dah tau kalo itu semua bakal terjadi apa? “
Lagi-lagi ibunda Onche tersenyum hangat kepadaku “ tante bisa mendengar bisikan yang tak terdengar, tante bisa melihat apa yang tak bisa dilihat dan berbicara dengan yang tak lagi berwujud “
Aku tersikap, otakku bergerak cepat mencari dan mencocokkan jawaban. Mungkinkah ibunda Onche itu memiliki kelebihan supranatural, ari-ari dua lapis atau indra keenam? “ Tante indigo? “
“ Salah satu definisinya demikian chi, Onche juga bisa lihat “
“ Masa? Tapi kok dia ngak pernah bilang apa-apa ya sama saya apa Via tant? “
“ Dia tipe orang yang suka memendam chi, dia suka banget nyimpen sama ngrasain sendiri semua hal yang Onche alami. Cinta saja dia bisa pendam lebih dari lima tahun. Gimana sama hal yang kaya gituan? “
“ Di dalam mimpiku kemaren tan, pas aku jadi hantu. Onche Cuma tersenyum, dia ngak kesakitan sama sekali, aku bingungnya disitu. Dia bisa liat sama komunikasi sama aku tan, apa pas dia sekarat dia lihat aku ya tant? “
“ Mungkin aja chi. Tuhan kan maha segalanya chi, dia bisa melalukan semua hal. Ngak ada yang mustahil di dunia ini. Mungkin hanya lewat cara inilah dia menguji kamu lewat Onche, biar hati kamu kuat “
“ Tant, maafin mochi ya kalo ada salah sama tante. Dari setahun yang lalu Mochi ngak berani kesini gara-gara mochi takut sama tante, sama om, sama kakak ma adek onche. Mochi ngrasa bersalah banget tante “
“ Ngak ada yang salah kok, tante bakalan maafin kamu kalo kamu dah bisa maafin diri kamu sendiri, bentar ya, tante ada sesuatu buat kamu “

&&&%%%$$$%%%&&&

Dengan sebuah pelukan hangat kembali aku dapat saat aku pulang menuju rumah dengan sebuah buntelan besar yang ku masukkan ke dalam tas. Sesampainya dikamar kubuka buntelan besar itu. Ada tiga buah buku.
Buku pertama adalah buku harian Onche tentang semua kegiatan hariannya hingga kegiatan hatinya. Buku itu saksi kunci pertautan hati Onche denganku di pertengahan kelas 2 smp. Aku benar-benar tertipu dengan sosok Onche selama ini. Di dalam buku hariannya itu terdapat banyak puisi dan rangkaian kata mutiara untuk menggambarkan perasaanya. Ada jiwa pujanga di dalam tubuh manusia konyol seperti Onche.
Usai membaca jurnal harian Onche aku merasa bodoh karena tidak sadar telah dicintai seseorang sehebat itu. Aku benar-benar buta dalam segala arti.
Di buku kedua, Onche membuat komik tentang dirinya dan aku. Dari pertama berkenalan di sekolah dasar hingga lulus dan masuk perguruan tinggi bersama. Seperti dokumentasi komik itu mengingatkanku akan beberapa kejadian usang yang tak mampu otakku produksi lagi. Buku kedua ini semakin mengingatkanku akan besarnya cintaku kepada Onche yang tak akan pernah musnah. Pengharapan, menyimpan perasaan hingga menjadi tong sampah dan dewa penyelamat di dalam kehidupan amburadulku.
Di buku ketiga yang nampak dibuat onche sendiri ternyata adalah sebuah album foto. Salah satu hobby Onche adalah fotografi, tapi aku sama sekali tak menyangka jika dia diam-diam mengambil gambarku sebanyak ini. Aku melihat banyak gambar diriku diantara tempelan bunga kering, rumput yang diawetkan, rangkaian kata-kata indah dan bermacam ilustrasi yang terselip diantaranya. Dari masa culun di smp hingga masa-masa tak karuan di sma semuanya tercetak jelas. Di dalam album itu kebanyakan foto-fotoku diambil pada saat sma.
Kebahagiaan muncul lewat genangan air mata saat kulihat foto-foto bunga mawar terhampar di dua halaman. Dari mulai pembibitan, Onche dengan setia memotret pertumbuhan bunga itu dari minggu ke minggu hingga akhirnya bibit tanaman itu memekarkan bunga berkelopak putih yang sudah lama dinantikan. Tepat saat valentine Onche memanen bunga itu beserta akar-akarnya yang masih bergelung tanah dan memberikannya kepadaku.
Hatiku trenyuh akibat kebodohanku yang sama sekali tak memahami perasaan Onche sebagai sahabat. Aku sahabat yang buruk karena sama sekali tak bisa melihat perasaan Onche sama sekali hingga sekian lama.
Mulai dari saat itu penyesalanku lenyap, sosok onche mengkristal dihatiku dan cinta onche tetap tersimpan di relung jiwaku. Hidupku kembali berpijar dan mimpiku terus berlanjut...

0 komentar: