Pelepasan Remah 13

3:57:00 AM Admin 0 Comments




Pelepasan
Remah 13

Kisah sebelumnyaklik disini


Lewat balkon kamarku, kutatap malam yang mulai turun, menelanjangi alam dengan warna hitam pekat. Seakan-akan ada seekor gurita raksasa di atas sana yang menumpahkan tinta berwarna kelamnya. Satu persatu lampu ditiang pinggir jalan menyala, menebarkan pijar keremangan di antara kegelapan yang terus menggerus perlahan.
Sengaja tak kunyalakan lampu, kubiarkan diriku tenggelam dalam kelam. Teh yang tadi mengepulkan asap tipis, kini sudah dingin dan tandas, menyisakan beberapa butir daun teh yang menggenang di dasar gelas. Pintu kamarku membuka pelan, menyuntikan cahaya lampu yang mendadak begitu menyakitkan untuk bola mataku, Willy mendapatiku sendirian disana.
“Kamu sedang apa?” ucapnya dengan nada jenaka, lengkap dengan sorot mata yang aku damba, “tak kira tadi kamu ke warung depan lho Bell,” lanjutnya masih dengan nada gembira. Tapi, wajah cengengesannya langsung berubah saat melihat posisi kedua telapak tanganku yang menumpuk, “kamu berdoa?” katanya seakan-akan tak percaya dengan apa yang ia lihat.
Dengan langkah pasti, ia beranjak menghampiriku. Lalu bersimpuh di depanku, dan langsung menatap bola mataku.
“Aku nggak berdoa kok,” jawabku dengan nada mengambang. Aku tahu kalau aku tak pandani berbohong di depannya. Ku urai tangkupan tangan di depan dadaku. Suasana canggung lekas menyelimuti kami berdua, terlebih dengan sorot matanya yang medadak memojokanku.
“Ayolah Bell, jujur aja kenapa? Doa itu membuat hati kita tentram,” katanya setengah berbisik, ia genggam erat kedua tanganku. Seakan menguatkanku, “nggak ada aturan juga kok orang yang lagi nyari agama nggak boleh doa,” tambahnya sedikit memojokanku.
Kuhela nafas perlahan, “Kamu benar,” jawabku jujur, lagian nggak ada gunanya berbohong dengan dia, “aku tadi lagi mau doa, terus kamu tiba-tiba muncul,”
Ada setitik penyesalan di bola matanya, “Maaf kalau aku ganggu doamu Bell,” ucap Willy sungguh-sungguh, “yaudah aku tinggalin kamu sebentar aja biar kamu bisa nerusin doamu,”
Kucoba mengulas senyum di wajahku, aku benci melihatnya menyalahkan diri sendiri, “Nggak apa-apa Will, lagian ini cuma doa kok. Kamu duduk disini aja,” pintaku mempersilahkan dia duduk disampingku, ”aku pengin sandaran sama kamu,”
Aku tahu kalau kamu sedang bingung, antara ingin memberiku waktu sendiri dan menemaniku menyudahi waktu sendirianku. “Kamu tadi doa apa?” tanyamu sambil menempatkan diri disampingku. Memposisikan diri agar kepalaku bisa bersemayam di pundak lebarmu.
“Banyak hal Will, tapi intinya aku bersyukur sama hidup yang aku jalani sekarang,” ucapku penuh syukur, “aku berterimakasih di beri kesempatan buat ada di antara orang-orang berhati baik, dewasa, suportif, dan berfikiran terbuka kaya kamu, kaya Andi dan sahabat-sahabatku di Jogja. Mungkin aku nggak bakal bisa ngelewatin masa-masa sulit kalau nggak ada mereka, orang-orang yang selalu ada buat aku dan bisa diandalkan kapanpun. Aku sangat bersyukur karena hal itu,”
“Kadang orang lain bisa lebih bermakna dari keluarga ya?” kata Willy dengan nada suara bergetar. Seperti ada sesuatu yang menganggu fikirannya.
“Kalau itu relatif sih Will,” jawabku pasti, sorot mataku masih tenggelam diantara kelamnya malam yang terhampar di depan rumahku, “kalau dari sudut pandang anak buangan kaya aku mungkin itu bisa dibenarkan. Tapi kalau dari sudut pandangmu, masa iya sih?”
“Bell,” kata Willy penuh penekanan.
“Udah deh Will, kamu langsung ngomong aja.” Tembakku langsung, “Aku tahu kok kalau ada yang ingin kamu sampein sama aku, kamu aneh soalnya akhir-akhir ini,”
Iya terbahak, “Hahaha... masa sih? Segitu ketahuannya apa?”
“Ya gitu deh.”
“Sebenernya bukan nyampein sih Bell, tapi penasaran aja,”
“Penasaran apa?”
“Kita udah jalin hubungan udah lama. Aku cerita semuanya sama kamu, busuknya aku, liciknya aku, bangsatnya aku, baiknya aku, hebatnya aku. Semua hal aku ceritain sama kamu, jujur apa adanya,” jelas Willy dengan nada suara mantap, ”Tapi, kamu seperti anomali di hidupku Bell. Kamu kaya kabut yang nggak bisa aku genggam. Awan yang nggak bisa kusentuh,”
“Kamu pengin tanya apa sih Will? Nggak usah berbelit-belit deh,”
“Aku pengin tahu masalalu kamu sayang,” serobotnya langsung, hampir menghentikan detak jantungku, “Aku pengin tahu semuanya tentang kamu, tentang hidupmu, keluargamu, pilihanmu, kepercayaanmu, mimpimu, sudut pandangmu. Aku pengin tahu semuanya secara detail, nggak cuma potongan-potongan kecil doang. Aku nggak bisa selamanya nebak-nebak terus Bell, selama ini aku ngerasa kalau ada sisi yang nggak bisa aku jamah di hidupmu. Sisi eksklusif yang kamu hadirkan untuk dirimu sendiri,” tambahnya menguncang hatiku, aku tak pernah menyangka jika ia akan berbicara panjang lebar seperti itu sebelumnya. Dia benar-benar penuh kejutan, batinku. Tapi batinku juga berkata lain, ada gesekan yang tak aku suka, gangguan kecil yang tak bisa aku terima.
Mataku menerawang ke dalam kelam hingga tak sadar jika ada air yang menggenang, kenapa ada air mata? Apa yang aku tangiskan? Belum cukupkah semua yang aku tangiskan?
“Sayang, kenapa kamu malah nangis?” kata Willy penuh perhatian. Perhatian yang malahan membuat air mataku semakin deras. Ada rasa sesal di suaranya.
Andai aku bisa menjawab pertanyaanmu Will, tapi hal itu pulalah yang aku tanyakan pada diriku sendiri pada saat ini, apa yang aku tangiskan?
Lalu Willy duduk di depanku. Melipat kakinya, bertumpu dengan lututnya dan menangkupkan tanganku di antara telapak tangannya.
“Aku kangen sama ibuku Will,” kataku jujur, belasan bulan aku menutup segala bentuk komunikasi, dibuang dan membuang diri, ternyata aku masih menyisakan rasa untuk mereka, “maaf kalau aku bohong sama kamu pas kita dipantai, ada hal yang sampai sekarang aku masih bingung mau aku posisikan dalam perasaan yang mana. Kadang pas lagi sendirian, atau pas lagi mau tidur. Aku sering nangis sendiri keinget keluargaku, aku kangen sama mereka. Aku kangen sama ibuku, kakakku, ayahku. Aku kangen mereka semua,” lanjutku sesegukan, masih ada lagi gelombang emosi yang ingin keluar.
“Lha kenapa kamu nggak coba buat pulang aja Bell?” tanya Willy polos, membuat sampah hatiku berontak keluar. “Mungkin aja ayahmu nggak bener-bener serius buat bilang itu, mungkin itu cuma kebawa emosi aja Bell,”
“Kalau cuma kebawa emosi nggak mungkin sampai tahunan mereka biarin aku gitu aja dong Will,” sahutku cepat, sebisa mungkin tanpa berlumur emosi, “Aku dibuang Will. Aku diusir. Aku udah nggak dianggep anak lagi sama mereka,”
“Nggak ada yang namanya mantan anak sama mantan orang tua lho Bell,”
“Aku tahu ayahku Will. Aku paham gimana kolotnya dia. Nggak bakal dia narik omongannya lagi. Kalaupun aku pulang, aku bakal masuk ke penjara atu ke penjara satunya lagi Will. Mereka nggak bakal terima ada silsilah gay di keluarga mereka. Nama baik itu segalanya buat mereka,”
“Tapi apa iya sih Bell nama baik sama ego itu lebih penting daripada anak sendiri? Anak yang di damba-dambakan lagi?”
“Lha nyatanya sekarang gimana? Kita jalani pilihan masing-masing dan baik-baik ajakan?”
“Beneran kamu baik-baik aja?’ tanya Willy dengan nada menganggu, sangsi mengatakan jika aku baik-baik saja. Kadang aku merasa kalau dia lebih paham diriku daripada diriku sendiri.
“Will, aku baik-baik aja tanpa mereka,” sahutku ketus.
“Boleh nggak aku jujur sama kamu?” jawabnya sedikit sengak.
“Yaudah ngomong aja,”
“Kamu berusaha nunjukin kalau kamu baik-baik aja tapi sebenernya kamu nggak baik-baik saja Bell. Udah deh Bell, jujur aja kenapa sih? Kenapa harus malu sama perasaanmu sendiri?” kata Willy menyentak hatiku telak, ada riak emosi ditatap matanya, ”kalau kamu ngerasa baik-baik saja, kamu nggak bakal sensitif pas aku singung masalah keluarga, masalalu, atau agamamu. Tapi nyatanya sampai sekarang itu masih topik tabukan buat kamu?”
“Will, aku kan udah bilang. Aku butuh-“
“-Sampai kapan? Sampai kapan aku harus nunggu kamu jelasin itu semua Bell? Kita udah jalin hubungan lama Bell. Tapi, sampai sekarang aku masih buta tentang kamu, aku juga berhak tahu dong tentang kamu,”
“Kamu pergi,” jawabku ketus. Aku benci jika disudutkan seperti ini, aku benci kata-kata yang baru saja keluar dari mulutku, ”aku lagi pengin sendiri,” lanjutku mantap. Aku benci diriku sendiri.
“Okey” jawab Willy penuh luka, “Aku bakal kasih kamu waktu buat sendiri,” tambahnya sebelum beranjak pergi dari balkon kamarku yang petang. Aku dengar jelas langkah kakinya yang menjauh, hingga akhirnya dia menstater motornya dan meninggalkanku sendirian di rumah dengan perasaan seperti seorang pecundang.
Ingin rasanya aku berteriak saat itu. Menyumpahi diriku sendiri.
Aku benci malam itu. Tapi, aku lebih benci diriku yang masih belum bisa membiasakan diri membicarakan banyak topik sakral di hidupku.
Berondongan air mataku tumpah ruah. Malam itu aku kembali terluka. Luka yang aku buat sendiri. Luka dari masalalu yang terkuak. Sampah-sampah hati yang kembali menyerebak. Ingatan-ingatan panjara masalalu yang membuat muak.
Kupeluk diri sendiri. Aku kembali menangis. Menangis karena aku yang sampai sekarang masih tak bisa berdamai dengan masalalu. Yang tak bisa berdamai dengan diri sendiri. Yang masih tak bisa benar-benar melepas banyak hal dari hidupku.
Aku menangis karena membiarkan Willy pergi begitu saja. Padahal ia sama sekali tak salah, ia hanya ingin mengenal lebih baik diriku. Ingin tahu lebih banyak kisahku, masalaluku, luka lamaku, agar aku tak mengasingkan diriku sendiri. Memenjara diriku dengan sakit hati yang teramat sangat.
Memenjarakan diri dengan luka-luka yang belum tuntas.
Ternyata, aku belum bisa melepas.
. . . . # # # . . . ...


Aku ketiduran. Aku terbangun saat ada notifikasi pesan baru yang masuk setengah jam setelah aku berbaring di kamar, bekas air mataku belum kering benar saat kubaca pesan itu dengan sorot mata samar. Ternyata SMS itu dari Andi.

Are you okey? Masih ada di rumahkan? Aku samperin ya?

I’m Okey, Thnx Ndi. Iya aku di rumah, aku baik-baik aja kok. Tapi aku lagi pengin sendirian aja. Maaf ya.
Balasku cepat, pasti Willy yang meminta Andi untuk memastikan kalau aku baik-baik saja. Aku jadi tak nyaman jika suasana kita bertiga seperti ini. Selalu aku yang diposisikan menjadi anak bau kencur, karena tingkah kekanakanku.
Pintu kamarku membuka, menyeruakan sesosok bayang yang aku hafal, “Serius kamu baik-baik aja?” kata Andi cekikikan. Entah sejak kapan dia sudah ada di depan kamarku.
“Kamu kok disini sih?” jawabku sewot menutupi bekas air mataku dengan bantal.
“Ya suka-suka aku dong. Ini kan rumahku, aku kan masih pegang kunci semua ruangan disini,” Jawab Andi enteng.
“Tapi kan rumah ini udah resmi aku beli,”
“Tapi kan kamu masih nyicil, baru dua kali lagi. Jadi belum sah dong.” Seloroh Andi membuatku jengkel. “Mana nyicilnya lama amat lagi jaraknya,” tambahnya cekikikan.
“Udah deh. Mendingan kamu pulang sana. Aku lagi pengin sendiri nih,”
“Pengin nangis sendiri maksutnya?” ucap Andi membuatku gerah.
“Udah deh. Nggak udah rese. Lagi nggak mood nih,”
“Kenapa lagi sih emangnya?”
“Aku nggak apa-apa Ndi, suer,”
“Kalau nggak ada apa-apa ya mana mungkin Willy minta tolong aku buat ngecek keadaanmu,”
“Emang aku apaan? Pakai di cek segala,”
Wes lah, ora sah kakean ngeles. Ndadak nesu-nesunan barang, koyo cah cilik,”
“Sebenere aku seng salah sih Ndi, Willy nggak salah apa-apa, akunya aja yang terlalu sensi tadi,” ucapku jujur sebelum memulai sesi curhat malam itu. Sambil diiringi petikan gitar dan lagu-lagu 80an, aku menceritakan semuanya, satu-persatu, secara detail dan lengkap.


Kisah selanjutnya klik disini




Daftar lengkap serial Pelepasan


Melajulah "Pelepasan"ku klik disini 
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 3 Klik disini
Pelepasan Remah ke 4 Klik disini
Pelepasan Remah ke 5 Klik disini
Pelepasan Remah ke 6 Klik disini
Pelepasan Remah ke 7 Klik disini
Pelepasan Remah ke 8 Klik disini
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Pelepasan Remah ke 10 Klik disini
Pelepasan Remah ke 11 Klik disini
Pelepasan Remah ke 12 Klik disini
Pelepasan Remah ke 13 Klik disini
Pelepasan Remah ke 14 Klik disini
Pelepasan Remah ke 15 Klik disini
Pelepasan Remah ke 16 Klik disini
Pelepasan Remah ke 17 Klik disini
Pelepasan Remah ke 18 Klik disini
Pelepasan Remah ke 19 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 21 Klik disini
Pelepasan Remah ke 22 Klik disini
Pelepasan Remah ke 23 Klik disini
Pelepasan Remah ke 24 Klik disini
Pelepasan Remah ke 25 Klik disini
Pelepasan Remah ke 26 Klik disini
Pelepasan Remah ke 27 Klik disini
Pelepasan Remah ke 28 Klik disini
Pelepasan Remah ke 29 Klik disini
Pelepasan Remah ke 30 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini

0 komentar: