Pelepasan Remah 34

7:52:00 PM Admin 2 Comments





Pelepasan
Remah 34

Kisah sebelumnya Klik disini


Di lantai tiga cafe itu, aku dan Andi merenung, hampir dua minggu aku tak berkunjung ke tempat itu. Aku mengungsikan diri ke Jogja, menginap di tempat beberapa sahabatku di sana. Entah sampai kapan aku akan begini, tapi selama di Jogja, aku malah mendatangi tempat-tempat favorit kita untuk menggenapkan kenangan dan patah hati yang sekarang aku rasakan. Dua buah minuman dan sebuah mangkuk kripik kentang menyapaku sebelum akhirnya Andi datang.
Andi datang dengan wajah berbinar, menyambutku dengan pelukan sebelum duduk santai di sampingku, “Willy ngubah banyak hal yang aku tahu tentang kamu Bell,” celetuknya langsung mengungkit rasa sakitku. Perih yang masih terus mengiris. Nama itu masih menjadi candu, dulu yang membuat ngilu karena rindu, sekarang hanya membuatku terpuruk dalam haru.
“Maksud kamu?” sahutku sambil berusaha menjejalkan senyum di wajahku, tapi aku tak bisa. Aku tak mampu merasakan kebahagiaan belakangan ini. Aku masih menginginkan Willy, membuatku bingung menentukan banyak hal.
“Abell yang dulu aku kenal, paling benci sama asap rokok, sekarang kamu nggak bisa lepas dari rokok. Bakal mabuk parah kalau udah beberapa kali tenggakan, sekarang hampir tiap malam kamu ngajakin anak-anak buat mabuk. Hidupmu dulu tertata, bangun di jam khusus, sarapan dua tangkup roti, nyetel lagu buat bangikit semangat dan dateng ke cafe sambil senyum-senyum nggak jelas. Sekarang? Kamu nggak ada bedanya sama orang-orang yang hidup di jalanan, ragamu hadir, tapi jiwamu entah ada dimana,” ucapnya santai, seperti sudah ia persiapkan sebelumnya. Aku tahu jika dia sedang menyindirku, tapi di sisi lain aku juga tahu jika itu fakta.
Kusesap rokok di jariku sebelum menjawabnya.
“Gimana? Masih dalam proses patah hati?” tanya Andi lagi dengan nada pengusik hatiku. Aku benci jika dia berbicara dengan nada seperti itu. Tapi aku sadar, dia berhak memperlakukanku seperti ini.
“Masih, dan kayaknya belum ada rencana buat berhenti,” jawabku ketus, tanpa emosi sedikitpun, “aku tahu kalau aku salah, nelantarin banyak hal terus ngilang beberapa hari beberapa kali, ok?”
“Dua minggu,” ralat Andi membenarkanku.
“Oke, dua minggu. Maaf Ndi,” kataku tulus, “tapi setidaknya kamu juga ngerti posisiku dong,”
“Aku paham posisi kamu Bell,” jawabnya melunak, ”tapi setidaknya kalau kamu masih nganggep aku abangmu, kamu bilang dulu kalau mau nginep di Jogja dua minggu atau mau kemana dulu kan bisa ijin, bilang kek mau merek bentar ke Jogja atau mau kumpul-kumpul sama grub LGBT pasti aku ijinin. Aku paham keadaanmu sekarang, tapi kamu juga punya tanggung jawab disini,”
“Iya Ndi maaf,”
“Jadi gimana perasaanmu sekarang?”
“Aku masih kacau tanpa dia Ndi, kaya nggak punya arah. Cuma Willy yang aku butuhin, aku samperin ke distronya, sekarang posisi dia di pegang Sandra, aku pergi ke klub, dia udah nggak kerja disana. Aku ke rumahnya, kata ibunya sekarang dia kerja di Bandung, aku mau nyusulin dia kesana Ndi,”
“Kalau dia tetep mau putus sama kamu? Atau nggak mau ketemu lagi sama kamu?”
“Setidaknya dia ngasih pejelasan kenapa kita harus pisah, kita udah bangun hubungan ini sama-sama, saling ngorbanin banyak hal, masa iya nggak bisa di omongin baik-baik?”
“Kalau hubungan kalian emang udah kadaluarsa? Dan nggak bisa di daur ulang lagi?”
“Kamu suportif dikit kenapa sih?” kataku sengit.
“Bukannya nggak suportif Bell, cuma ngasih opsi cadangan aja biar omonganmu nggak ngelantur kemana-mana. Kamu nggak mau ngelepas dia? Udah hampir empat bulan lho kamu kaya gini? Nggak capek apa hatimu nangung perasaan itu terus-terusan? Dia juga berhak bahagia lho, hati itu makanannya damai sama bahagia biar tubuhmu nggak kenapa-napa,”
“Setidaknya aku butuh satu kepastian lagi kenapa dia ninggalin aku gitu aja, sebenernya aku juga capek gini terus. Aku kangen sama hidupku yang dulu, hidupku sebelum ada Willy. Seperti yang dulu kamu bilang, hubunganku sama Willy itu sangat intens, aku pengen lepas dari dia, tapi aku sadar itu bakal sulit Ndi. Tiap malam, aku selalu mikirin dia, mikirin kenangan-kenangan kita, tapi aku juga nggak mau hidup kaya gini terus,”
“Setidaknya kamu sudah ada di pilihan yang benar Bell, tiap malem kamu nangis, kebayang kenangan tentang dia, terus sakit hati, kecewa, nyari-nyari kesalahan sebelum tidur pakai obat tidur. Sampai kapan kamu mau kaya gitu terus? Sampai kapan kamu mau nyakitin dirimu terus? Kenapa kamu nggak ngelapsin semua ini dan biarin semuanya berlalu?”
Alisku bertaut, menimang-nimang apa yang baru saja Andi katakan, asap rokok kamu berdua membumbung ke udara sebelum menjadi kasat mata.
Andi menenggak air minum di depannya sebelum kembali melanjutkan, “Sebenernya nggak ada yang salah sama kenanganmu, yang salah cuma sudut pandangmu. Dulu, pas kamu sama Willy buat kenangan itu, bikin kamu ngerasa sakit hati atau kecewa apa nggak? Tapi kenapa sekarang pas kamu inget kenangan itu buat kamu sedih? Itu cuma soal persepsimu aja Bell. Emang begitu jalannya, itu rutenya buat nglepasin semuanya. Kamu nangis, kamu kesiksa, kamu kecewa, itu proses yang wajib kamu lalui dengan sepantasnya aja, jangan kamu hancurin kenangan indah yang kalian buat selama beberapa tahun cuma karena kalian putus,”
“Terus habis ini aku harus gimana Ndi?” ucapku seperti orang bodoh, aku benar-benar tak tahu apa yang harus aku lakukan.
“Jujur aja ya Bell, sebenernya aku takut kamu terpuruk lebih lama lagi Bell, aku takut kamu terbiasa dengan ini semua. Masa lalu itu bisa kita ibaratkan seperti penjara dengan jeruji terbuka, kita bisa kapan aja keluar dari tempat itu, sering kali kita sendiri yang memilih bertahan, kaya narapidana yang sudah lama tinggal disana, dia bakal takut keluar dari sel itu karena sudah terbiasa. Saking nyamannya sama penjara itu, kita terbuai dengan kenyamanan palsu. Padahal kita bisa lho jalan keluar begitu aja, simpelkan?”
“Itu cuma sebatas teori aja Ndi, praktinya lebih susah daripada itu,”
“Pertama kamu harus yakin Bell, kamu ngelepas Willy itu bisa dan baik untuk kamu lakukan, tanpa keyakinan itu kamu cuma berjalan di tempat aja. Kamu ngelakuin itu bukan buat aku, atau siapapun, tapi buat kebaikan dirimu sendiri. Terus kamu ngomong sama dirimu sendiri, sudah cukup buat tersiksa, sedih, kecewa, patah hati. Bilang kalau kamu ingin bahagia dan sekarang jatahnya kamu buat bahagia. Gampangnya gini Bell, anggap aja kamu sekarang ada di pinggir jurang dan di depanmu ada sebuah tangga ke nirwana, kamu punya pilihan buat naik tangga dan terjun ke jurang. Kamu mau pilih yang mana?”
“Yang menuju nirwana,”
“Nah, kalau kamu mau ke nirwana, kamu harus ambil sebongkah batu di pinggir jurang itu, visualisasiin semua masa lalumu di situ, hal-hal yang kamu lupakan, luka yang hanya menambah dera, pengalaman-pengalaman burukmu, kalau perlu tulis ‘MASA LALUKU’ di batu itu, terus kamu buang ke jurang dan janji nggak bakal ngungkit-ngungkit hal itu lagi. Kita berdua sama-sama tahu gimana kerjanya alam bawah sadar saat menghadapi trauma. Jika kita punya trauma atau konflik batin yang belum selesai, maka alam bawah sadar bakal terus-terusan memunculkan situasi dimana kita terus menghadapi trauma dan konflik batin itu sampai selesai dan tuntas. Seperti itulah keadaanmu sekarang Bell, sekuat mungkin kamu menyangkal, sekuat itu pula alam bawah sadar bakal menghadirkan hal itu untuk segera kamu tuntaskan. Sekarang mendingan kamu pulang ke rumah, singkirin barang-barang yang ngingetin kamu sama dia,”
“Hampir semua barang-barangku di rumah itu bisa ngingetin aku sama Willy Ndi,”
“Ya udah kalau gitu kamu mulai sekarang tidur di rumahku aja, ambil beberapa baju sama kebutuhan pribadimu disana terus kamu stay di rumahku dulu,”
“Kamu takut aku bakal aneh-aneh ya?”
“Anggap aja buat jaga kesadaranmu tetep utuh Bell,”
Sejak saat itu tinggal di rumah Andi dan lebih sering meluangkan waktu bersama anak-anak down sindrom. Saat aku datang, aku mendapatkan pelukan erat dari mereka. Hampir air mataku tumpah saat mendapati pelukan dari belasan anak-anak itu. Mereka memberiku kehangatan hati yang aku inginkan. Beberapa kali aku mengunjungi mereka, sekedar mengajari mereka menggambar, bermain bersama dan menyuapi mereka saat makan. Mungkin aku melakukan ini semata-mata untuk pelampiasan atas rasa sakit hatiku saja, tapi aku tak peduli.
Usai mengurus cafe, sore hari kuhabiskan keliling Solo tanpa arah hingga matahari benar-benar tenggelam, ke bioskop, menonton dua film sekaligus, makan, lalu kembali ke rumah sebentar lalu kembali ke tempat andi dan bersemayam disana sampai pagi. Jika akhir pekan, aku berkumpul bersama anak-anak, mabuk bersama, atau sekedar jalan-jalan bersama ke Jogja, menonton festifal musik atau pameran disana, nongkrong sampai pagi, jalan-jalan ke objek wisata baru, dan menghabiskan waktu dengan mereka sebanyak mungkin. Berusaha mendetoksifikasi diriku dengan mereka kembali.
Sekuat tenaga aku tak menyempatkan diri untuk berkubang dalam rasa sedih, kujaga cafe dari pagi sampai malam bergulir, bekerja dua kali lipat, membaca lebih banyak buku, menonton lebih banyak film dan memotret lebih banyak objek hingga aku tak punya waktu untuk melamun dan membayangkannya kembali.
Tapi, jauh di lubuk hatiku, aku tahu jika itu hanya untuk sesaat. Aku masih sering memikirkannya di malam hari dan kembali mencari obat tidur untuk terlelap bersama gelapnya malam.
Saat aku menginap di rumah Andi, aku terbangun dalam keadaan linglung, berlarian keliling rumah dalam keadaan bingung, mencari-cari keberadaan Willy seolah-olah ia kemarin hanya pergi sebentar untuk pameran. Saat aku sepenuhnya sadar dengan beragam ornamen dan perabot di rumah itu, barulah aku diam terpaku. Kesadaran menyakitkan hinggap di alam pikirku.
Lesu aku kembali ke kamar Andi, meringkuk di bawah selimut merutuki diri, sebegitu parahkah aku kehilangan sosok itu? Lalu aku terlelap dan terbangun ketika sore hari, berlari ke kamar mandi saat aku merasakan desakan dari dalam tubuhku yang ingin keluar. Aku memuntahkan udara kosong, dadaku sesak dan jemariku mendingin. Kuselipkan kembali tubuhku kebalik selimut.
Kusuarakan tangisanku, tak mampu lagi kumenahannya lagi. Tubuhku bergetar, lututku lemas, aku terpuruk di atas karpet berbulu. Pandanganku mulai kabur, pandanganku terdistorsi, seperti televise rusak, entah berapa obat tidur yang aku telan tadi. Tapi efeknya begitu kuat aku rasakan, atau gara-gara sebutir pil mungil pemberian kawan di Jogja yang aku telan tadi sore untuk sekedar relaksasi? Aku tak tahu, tapi tubuhku mengambang. Aku hanya ingin mengapresiasi hal yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Melihat bayangan tubuhku di cermin, aku terbahak, entah apa yang lucu, tapi aku tertawa keras dan lantang. Tawa yang luput dariku selama beberapa bulab terakhir. Aku tertawa hingga perutku sakit dan kelopak mata berurai butiran air. Pandanganku kabur selama beberapa saat, aku merasa jika sedang mengambang, serasa berpijak di atas awan.
Kedua lenganku bergetar hebat, saat pandanganku menemukan titik fokusnya, kurengut botol vodka dari atas meja, kubenturkan dan membuatnya berhamburan. Kuambil salah satu pecahan kaca yang bertebaran kemana-mana.kugariskan di atas nadi tangan kiriku. Darah mulai mengucur kencang dari luka goresan di tanganku.
Lalu mulai kujilati alirah darah itu, menyesapnya, kudapati aroma kehidupan disana. Tubuhku kembali berguncang, tangisku berbalut tawa saat kuraih selembar kertas di atas meja dan sebuah pena. Mulai menulis sebuah pesan.


Kisah selanjutnya Klik Disini




Daftar lengkap serial Pelepasan


Melajulah "Pelepasan"ku klik disini 
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 3 Klik disini
Pelepasan Remah ke 4 Klik disini
Pelepasan Remah ke 5 Klik disini
Pelepasan Remah ke 6 Klik disini
Pelepasan Remah ke 7 Klik disini
Pelepasan Remah ke 8 Klik disini
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Pelepasan Remah ke 10 Klik disini
Pelepasan Remah ke 11 Klik disini
Pelepasan Remah ke 12 Klik disini
Pelepasan Remah ke 13 Klik disini
Pelepasan Remah ke 14 Klik disini
Pelepasan Remah ke 15 Klik disini
Pelepasan Remah ke 16 Klik disini
Pelepasan Remah ke 17 Klik disini
Pelepasan Remah ke 18 Klik disini
Pelepasan Remah ke 19 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 21 Klik disini
Pelepasan Remah ke 22 Klik disini
Pelepasan Remah ke 23 Klik disini
Pelepasan Remah ke 24 Klik disini
Pelepasan Remah ke 25 Klik disini
Pelepasan Remah ke 26 Klik disini
Pelepasan Remah ke 27 Klik disini
Pelepasan Remah ke 28 Klik disini
Pelepasan Remah ke 29 Klik disini
Pelepasan Remah ke 30 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini

2 komentar:

Review Hangout

1:21:00 AM Admin 0 Comments



Review Hangout


Pertama, saya bukanlah segmen penonton yang selalu menonton film Raditya Dika, saya menonton film Dika pertama kali adalah Single hanya karena saya suka rumah produksi yang memproduksinya karena sarat kemewahan, niat produksi dan nggak pernah tangung-tangung dalam membuat sesuatu. Lalu sekarang di lemparlah Hangout ke pasaran, sebuah film yang mengawinkan thriller dengan komedi dengan premis sembilan tokoh publik di undang ke sebuah pulau kosong tak berpenghuni yang tanpa diduga berujung kematian mereka satu persatu. Saya menonton Hangout karena membuat perjanjian dengan teman saya, dia akan menemani saya menonton The Profesional jika saya mau menemaninya nonton Hangout, jadilah saya menonton film ini.
Kesembilan tokoh publik yang diundang ke sebuah pulau ini memulai sebuah cerita saat Mathias Muchus tewas akibat racun akibat makanan yang ia konsumsi ketika makan malam, panik melanda kedelapan figur publik tersisa. Hangout memang film Dika paling berbeda, tapi belum signifikan. Komedi memang relatif, dan saya memang bukan segmen penonton yang ditargetkan oleh tim promosinya, jadi sangat wajar jika film ini tak begitu wajar untuk mengugah saya untuk terhanyut bersamanya.
Saya lumayan suka bentuk sarkasme tentang pop cultu di film ini, tapi lelucon-lelucon lain tampak begitu bodoh dan jorok hingga hanya mampu membuat saya cengar-cengir nggak karuan, walaupun ada penonton yang terpingkal-pingkal sampai meneteskan air mata, tapi jelas itu bukan saya. Mungkin hanya Prili dan Surya Saputra saja yang tampil dengan karakter menarik di film ini, sisanya sama saja, tidak begitu mampu menimbulkan emosi untuk peduli, termasuk karakter Dika sendiri. Dari refrensi film dika yang saya tonton, walau hanya Single yang saya tonton di bioskop, sisanya melalui banyak media, Dika selalu memerankan karakter yang sama sekali tak menarik, padahal dia selalu yang jadi bintang utamanya, dan selalu kalah menarik dengan karakter-karakter lain di dalam filmnya.
Saya adalah pecinta film thriller dan sama sekali tak terhibur dengan film ini, walau komedi dan thriller tidak terlalu jomplang di dalam film ini, tapi sebenarnya film ini bermasalah di babak awal yang tak mampu mencengkram benak penonton untuk terus mengikuti guliran pengisahannya, lalu saat mulai nyaman dengan ritme penceritaan di babak kedua, babak ketigalah yang benar-benar kacau dalam film ini, berantakan tanpa motivasi yang jelas. Ini menjengkelkan, sumpah.
Seandainya Dika mau menggodok babak ketiga lebih lama agar tampil begitu prima, niscahya film ini bakal berhasil dalam coba-cobanya, tapi, ternyata tak begitu. Karena untuk film bergenre thriller, babak ketiga adalah babak penentuan, babak klimaks yang harus dihitung secara matang dan hati-hati, bukan terkesan amburadul dengan motifasi yang klise, tak menyakinkan dan meninggalkan pertanyaan dibenak penonton: udah? Cuma gitu doang? Yang akhirnya tak mampu memberikan sesuatu yang lebih.
Saya juga tak terlalu mampu untuk menikmati humor Dika yang semakin lama semakin jorok dan tak penting di film ini, joke tentang selangkangan? Toilet? Dan alin-lain? Ayolah Dika kamu jelas mampu lebih baik dari ini. Leluconmu nggak tepat sasaran. Saya paham usaha Dika agar tak stagnan dan diam dalam zona nyamannya, tapi usahanya masih terkesan setengah matang dan coba-coba, walaupun saya sudah mampu menebak siapa pelakunya dari awal tapi ada keinginan di dalam diri saya jika tebakan itu salah dan ternyata saya kecewa. Saya salah mengharap terlalu banyak. Film ini membuat saya mendung sebelum menonton film selanjutnya.
Kamu kurang berusaha Dika, lain kali tolong berusaha lebih matang ya, jangan terkesan kejar setoran harus nayangin berapa film pertahun hehehe, saya tunggu sekuel film Single.

Skor: 2/5

0 komentar:

Pelepasan Remah 33

7:50:00 PM Admin 1 Comments



Pelepasan
Remah 33


Kisah Sebelumnya Klik disini


Pagi menjelang dan aku masih tetap tak bisa memejamkan mata, dia masih membayang. Sayup adzan menggema dan kuputuskan untuk menengak pil tidur untuk membuatku terlelap. Bahkan di dalam mimpipun, aku masih terdera rasa sakit.
“Will, kamu bajingan,” rutukku pelan dengan air mata yang mulai berjatuhan, rasa rindu mendalam dan benci yang mulai menggumpal menjadi pengantar tidurku dini hari itu.
Saat sore menjelang dan matahari tertutup awan, aku terbangun dengan sisa-sisa air mata yang belum kering benar. Entah sampai kapan aku terbangun dengan perasaan hampa yang menyakitkan. Tubuhku lunglai dan aku tak mau melakukan apa-apa. Semangatku tandas tanpa sisa, dan aku hanya ingin sendiri.
Kuminum vodca sisa mabuk semalam sebelum akhirnya menyulut rokok dan mulai beranjak dari ranjang, memunguti baju-baju kotor yang berserakan di lantai kamar sebelum akhirnya aku semayamkan di samping mesin cuci. Kurapikan ruang tengah tempat aku dan anak-anak mabuk semalam, kubuang bungkus makanan ringan dan abu rokok yang menggunung ke dalam tempat sampah. Membuka semua pintu dan jendela agar sirkulasi udara berjalan lancar.
Kulucuti semua pakaian di tubuhku sebelum akirnya kutenggelamkan diri di bawah kucuran air dingin yang menghujam. Kenangan tentangnya berkelebat, kutahan kuat-kuat kelopak mataku yang memanas agar tak lagi menumpahkan air mata. Asu! Bangsat! Keparat!, makiku pada diri sendiri, plis, jangan begini, aku mohon, pintaku pada sepi.
Sesuatu membumbung dari dalam diriku, naik ke tengorokan, membuatku tersedak dan terbatuk-batuk hebat. Tubuhku mengigil dan punggung tanganku tak lagi mampu menghapus air mata yang berpadu dengan dinginnya air yang menerjang tubuhku.
Lemas, aku tak lagi mampu bertahan. Tubuhku tergelincir, terpuruk di atas ubin kamar mandi. Aku merasa sangat lemah, caci maki terus terlontar di dalam diriku. Menyumpahi diriku yang tak mampu menahan dera. Will, jangn begini, pintaku lagi dengan suara mengambang, pedih menghajarku saat kudengar suaraku sendiri, aku mohon.
Matahari terbenam saat aku kembali melipat tubuhku di bawah selimut. Sebutir obat tidur kembali bermigrasi ke dalam tubuhku, membuatku terlelap lagi saat kuhitung waktu yang berdetak.
Tangi Bell,” kata Andi memaksa, menarik tubuhku dari tumpukan bantal dibawah selimut, ”mangan sek,”
Kubuka setengah kelopak mataku, menatap bubur ayam terpuruk di dalam mangkok bening, bersama segelas air putih di atas nampan. Andi duduk di ujung ranjang, memainkan game di tablet dan sesekali menyesap batangan rokok di depannya.
Satu suapan, dua suapan, tiga suapan dan berhenti di suapan kelima saat aku tak lagi mampu memaksa tenggorokanku lagi menelan bubur itu.
“Dulu pas kamu di usir dari rumah, kamu nggak sampai segininya lho,” kata Andi sebelum mengusir mangkok berisi bubur dari hadapanku. Kutengak air putih di dalam gelas dan kembali kutengelamkan diri dalam tumpukan bantal dan selimut tebal. Meninggalkan Andi dalam keheningan.
Kembali kuhabiskan malam dengan obat tidur, tanpa butiran pil itu, aku tak mampu terlelap. Seringkali aku terbangun dengan bercak air mata, hampa yang merangsek di dalam dada dan perasaan di pecundangi sang punya hidup. Saat beranjak dari tempat tidur, kenangan tentangnya selalu berkelebat dan kembali menyiksaku. Membuatku merintih sambil memangil namanya.
Aku mengingatnya di setiap sudut rumahku, saat kita bercinta di atas meja makan, melihat hujan halaman depan rumah, menikmati senja di balkon belakang. Saling menelanjangi diri di kamar mandi, berpankuan di depan televisi. Semua tempat seakan-akan berkompromi untuk mengingatkanku tentang kehadirannya yang kini tak lagi bisa ku genggam.
Saat aku menuruni anakan tangga aku terpuruk, aku tak lagi kuat dengan kenangan yang begitu menyesakkan dada. Aku masih ingat saat kami seharian telanjang keliling rumah dan bercinta dimana-mana karena desakan nafsu perayaan hari jadi yang terlampau mengebu-gebu untuk segera di tuntaskan.
Angin yang menyapu kulitku saat daun jendela kubukapun melemparkan ingatanku saat aku berkunjung kerumahnya pertama kali dan beberapa potong kenangan kami saat menandaskan waktu di pantai.  Senja yang biasanya kuhikmati, sekarang berubah menjadi kelabu karena suasana hatiku. Setelah waktu berlalu beberapa saat, hatiku masih terpaut dengannya. Kucoba untuk sekedar keluar dengan teman-teman dari akun Facebookku, tapi itu tak merubah banyak. Ada beberapa orang yang menarik, tapi aku telah jatuh cinta habis-habisan dengan seseorang. Aku tak lagi punya cinta untuk sosok yang baru.
Hidupku hampa, hampa yang menyiksa. Saat sendiri, tak terasa air mata jatuh perlahan. Saat berjalan-jalan aku malah menapak tilas semua tempat yang sering kita kunjungi, saat ke bioskop, sengaja aku pilih film penguras air mata sebagai kambing hitam agar bisa kusalahkan kenapa lagi-lagi aku menangis. Bahkan, saat ke gramedia, sengaja kupilih pojokan untuk membaca banyak-banyak buku yang membuat mataku kembali tersembur asap pemicu air mata.
Aku akan misuh-misuh tak karuan jika mataku bengkak dan perih karena tak dapat menangis lagi, selalu ada kesedihan yang membayangiku kemanapun aku pergi. Aku benci itu tapi aku tak mau memisahkan diriku dari hal itu, karena dari kesedihan inilah aku sadar jika Willy itu nyata. Karena kesedihan inilah aku yakin dia pernah ada dan akan selalu ada. Walaupun kini tak lagi bisa kuraba.
Pagi hari, sisa-sisa air mata kering menjadi saksi dera alam mimpiku. Bahkan setelah dua bulan berjalan aku masih tetap melihatnya di banyak tempat, mengiriminya pesan singkat, email bahkan surat yang sengaja aku titipkan untuk temannya yang sekarang menjaga distronya. Saat aku bertanya tentang keberadaan Willy, teman-temannya kompak menjawab tidak tahu, ia tak bertemu dengan Willy beberapa bulan ini. Aku benci dengan keadaanku sendiri, tapi aku kehilangan arah tanpa dia disisiku.
Seminggu sekali sengaja aku lewatkan motorku ke depan jalan rumahnya, berharap-harap dia muncul dan akan aku sergap. Tapi, dia tak pernah muncul. Bahkan saat aku nekat ke rumahnya dan bertanya langsung dengan ibunya, aku tak pernah pulang dengan jawaban memuaskan.
Nomor Willy lebih dari tiga bulan tak aktif, tapi hampir sehari sekali aku terus menelfonnya dan terus mengiriminya pesan singkat tentang keadaanku sekarang, berharap-harap dia akan mengerti keadaanku sekarang dan akan kembali kepadaku.
Alkohol dan puntung rokok tak pernah lepas dari tangaku, aku lebih butuh alkohol daripada air putih. Malam hari aku berkeliaran di sekitar Solo, mengitari jalanan tempat kita sering memacu motor dengan kecepatan rendah dan berbicara tentang apapun. Tapi sekarang hal itu hanya jadi kenangan yang terus aku pertahankan, malam murung saat aku tiba-tiba mencari gara-gara dengan orang di pingir jalan, aku babak belur karena memang aku tak bisa melindungi diriku sendiri.
Esoknya Andi memarahiku habis-habisan tentang kecerobohanku kemarin malam, bertanya-tanya kenapa aku bisa sebodoh itu, tapi aku jawab semuanya dengan singkat, “karena aku ingin Willy datang membantuku,”
“Willy bukan superhero Bell,” katanya geram, “dia nggak bisa ngelakuin itu!”
Aku hanya diam, setidaknya rasa sakit yang hinggap di tubuhku bisa mengalihkan pikiranku yang terus berpusat dengan Willy. Tiga hari kemudian aku datang ke tempat tatto dan menatto dada kiriku dengan namanya. Aku ingin mengenangnya seumur hidupku. Begitu berarti dia untukku.
Satu kali aku mengobrak-abrik tempat dugam di Solo untuk mencari Sandra, lalu menyeretnya ke luar. Ia yang paham kalutnya aku langsung memelukku lama, membuat mataku berkaca-kaca.
“San, aku mohon, aku pengin ketemu sama Willy,” pintaku memelas, “aku nggak mau kita berakhir kaya gini,”
Tapi Sandra malah menggeleng pelan, manatapku penuh iba, membuatku jengkel dan memicu emosiku memuncak, “Maafin aku Bell, aku nggak bisa bantu kamu. Ini buat kebaikan kalian berdua,”
“Kebaikan kita berdua?” tanyaku sangsi, emosiku mengelak, “apa kamu sekarang lihat aku baik-baik saja?” tambahku muak, “AKU NGGAK BAIK-BAIK SAJA SAN! Aku nggak baik-baik saja tanpa Willy,” kataku sambil mengusap air mata yang kembali meluncur tanpa bisa dikendalikan. Lalu aku meraung bagai binatang kesakitan, terpuruk di hadapannya, “please San, bantu aku, aku butuh dia,” kurasakan hancur yang semakin dalam.
“Maafin aku Bell,” ucapnya lembut sambil memelukku, “Aku nggak bisa bantu kamu Bell, kata Willy kamu itu orang kuat, kamu pasti bisa ngelewatin ini semua,”
Kutatap Sandra sengit sebelum meninggalkannya di parkiran. Aku pergi dengan luka berkali lipat. Sandra tahu, dia tahu dimana Willy tapi tak memberi tahuku. Aku merasa di pecundangi orang-orang yang aku percayai.


Kisah selanjutnya Klik disini




Daftar lengkap serial Pelepasan


Melajulah "Pelepasan"ku klik disini 
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 3 Klik disini
Pelepasan Remah ke 4 Klik disini
Pelepasan Remah ke 5 Klik disini
Pelepasan Remah ke 6 Klik disini
Pelepasan Remah ke 7 Klik disini
Pelepasan Remah ke 8 Klik disini
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Pelepasan Remah ke 10 Klik disini
Pelepasan Remah ke 11 Klik disini
Pelepasan Remah ke 12 Klik disini
Pelepasan Remah ke 13 Klik disini
Pelepasan Remah ke 14 Klik disini
Pelepasan Remah ke 15 Klik disini
Pelepasan Remah ke 16 Klik disini
Pelepasan Remah ke 17 Klik disini
Pelepasan Remah ke 18 Klik disini
Pelepasan Remah ke 19 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 21 Klik disini
Pelepasan Remah ke 22 Klik disini
Pelepasan Remah ke 23 Klik disini
Pelepasan Remah ke 24 Klik disini
Pelepasan Remah ke 25 Klik disini
Pelepasan Remah ke 26 Klik disini
Pelepasan Remah ke 27 Klik disini
Pelepasan Remah ke 28 Klik disini
Pelepasan Remah ke 29 Klik disini
Pelepasan Remah ke 30 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini

1 komentar: