REVIEW FILM: The Hunger Games Mokingjay Part 1 (2014)

9:54:00 PM Admin 0 Comments



The Hunger Games Mokingjay Part 1
Triztan Famous


Setelah membuat kita ternganga dengan Cathing Fire yang menakjubkan dan tak sabar untuk menunggu lanjutannya, lengkap dengan ending yang begitu memukau dan provokatif tahun ini kita disajikan Mokingjay yang seperti kebanyakan film-film franchise andalan dengan ending dibagi dua dengan alasan untuk memperluas kanvas penceritaan, memberikan kesempatan konflik untuk berkembang lebih luas, atau untuk menyetiakan diri dengan materi aslinya yang kita tahu jika kesemua alasan itu hanya bualan belaka. Alasan satu-satunya kenapa mereka memangkas film final menjadi dua bagian semata-mata hanya ingin mengeruk untung lebih banyak, itu saja, tak kurang tak lebih. Begitu juga dengan Hunger Games yang tampil mempesona di film pertama, memukau di film kedua dan sampailah kita di seri ketiga yang bisa dikatakan seri paling lemah di francise ini karena semata-mata memang buku aslinya cukup untuk disampaikan dalam film dua jam. Tidak untuk diulur-ulur kurang lebih empat jam.
Mokingjay Part 1 tampil begitu melempem dan tak punya daya amunisi lebih untuk menggulirkan kisahnya secara lancar. Jika di Catching Fire kita disuguhkan laga, romantisme, intrik politik secara berimbang dan membuat kita berempati dan peduli dengan kedua lakon utamanya yang tampil gemilang, turunkan expektasimu secara drastis untuk film ini. Jika kamu meminta adegan pertarungan seru, darah, ataupun cerita sepadat Cathing Fire, kamu akan kecewa melihat film ini.
Selepas penghancuran Distrik 12 oleh Snow, Katniss dan keluarganya, termasuk Gale (Liam Hemsworth), kini berlindung di area bawah tanah bersama Distrik 13 yang selama ini mereka anggap telah punah. Tidak ada waktu bagi Katniss untuk meratapi perpisahannya dengan Peeta karena Presiden Alma Coin (Julianne Moore) dan Plutarch (Philip Seymour Hoffman) telah merancang sebuah misi besar dan berbahaya untuk membentuknya sebagai alat propaganda bernama ‘Mockingjay’ dengan tujuan menggalang massa ke distrik-distrik lain dalam upaya memberontak melawan sang tiran, Presiden Snow (Donald Sutherland).
Membagi buku final dari sebuah trilogi menjadi dua buah film memang pada akhirnya membawa kita pada tahap basa-basi dan berbagai tahap persiapan tentang apa yang akan diakhiri secara hebat dan gemilang (jika bisa) di film finalnya nanti. Akibatnya selain memiliki tone dan warna berbeda dari kedua film sebelumnya, Mokingjay Part 1 ini juga tak menawarkan intensitas berarti dan cukup membosankan karena kita hanya akan dipertontonkan pada borok dunia politik - propaganda, tipu-tipu oleh media, pertentangan kelas, opresi, dan kondisi psikologis sang tokoh utama yang untungnya menjadi penyelamat hebat di dalam film ini karena dapat tampil gemilang kembali.
Overall, walau tak sebaik seri kedua dan berpotensi menjadi seri paling lemah di Franchise Hungger Games lumayan dapat dinikmati karena tampilan prima para pelakon dan pengisahan yang memang sengaja memperlihatkan psikologis manusia pada saat perang. Dan satu lagi, ada yang terus bersenandung ‘The Hanging Tree’ setelah film ini berakhir? Jika iya kita berada dalam sisi yang sama.



0 komentar:

Untuk Kendeng : Idul Adha dan Tenda Perjuangan

4:37:00 AM Admin 0 Comments


Idhul Adha dan tenda perlawanan*
          Oleh : triztan famous

 “Sudah lama aku dengar dan aku baca ada suatu negeri
dimana semua orang sama di depan hukum. Tidak
seperti hindia ini. Kata dongeng itu juga: negeri itu
memasyurkan, menjunjung dan memuliakan kebebasan,
persamaan dan persaudaraan. Aku ingin melihat negeri
dongengan itu dalam kenyataan.” –Pramudya A. T.

“Perjuangan kita masih panjang bu,” letih, suara lelaki itu penuh getar. Getar yang tak memiliki pijakan yang tepat.
“Iya pak, perjuangan kita masih panjang.” Kalimat itu meluncur pelan seiring tarikan berat pemenuh udara rongga dada, “Keadilan harus tetap menang,” ujar wanita itu teguh, sorot matanya tajam penuh bara. Mengalahkan bara sesungguhnya di dalam pawon yang ada didepannya, “Walau masih serasa di awang. Tapi, Kita akan tetap berjuang pak, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
***---***---***
Dari sekat-sekat udara itu debu masih setia menyelimuti desa Ngablak, dedaunan pohon Jati yang dulunya memiliki warna hijau berbeda-beda, kini semuanya Nampak sama, seolah-olah semuanya memakai seragam berwarna kelabu, kelabu penuh debu dan membosankan.
Perbukitan dulu yang hijau dan lebat seperti permadani meja bilyard, kini perlahan mulai berganti wajah. Berganti wajah penuh luka. Sehampar tanah luas seperti sengaja dicukurkan di tengah rimbunya hutan Jati bumi Rembang. Tanah yang dahulu penuh gelombang dan bebatuan, sekarang dibuat rata sejajar dengan urukan tanah, menyerupai lapangan bola yang dibuat melintang.
Subuh baru saja menjejak rembang saat ibu-ibu desa Ngablak mulai berdatangan, bahkan saat sulur-sulur fajar belum perkasa menjalari keperawanan bukit rembang, ibu-ibu bermata teduh itu sudah sampai di tenda, perlahan mereka membangunkan saudara-saudara mereka yang masih tertidur pulas. sayup-sayup, seruan takbir penuh kemenangan bergumul dengan hempasan suara angin.
Budhe, Sholat dulu. ini sudah subuh, sekarang jadwal saya yang jaga ditenda. Ndang balio, nyiapke sarapan karo seragam sekolah ge anakmu.” Berbalut jaket tebal ibu bersorot mata penuh bara membangunkan rekan seperjuangan. Angin dini hari masih terus berdatangan, seakan-akan tak rela membiarkan para ibu tidur berselimut rasa hangat dan aman.
“Iya bu, saya subuhan dulu disini, setelah itu saya ijin langsung pulang kerumah ya.”
“ngih bu, mengkih ngatos-atos manthuke.”
Di bawah selembar terpal berwarna biru yang menjadi atap rumah dadakan, belasan ibu-ibu tertidur pulas. gurat-gurat wajah mereka saat terlelap mencerminkan kekuatan dan keteguhan hati sesunguhnya. Tiga buah tenda seadanya dibuat di samping jalan menuju tanah yang dipaksa lapang. Beragam poster dan spanduk perlawanan saling menjalin dalam kesatuan di sepanjang jalan menuju kawasan yang mereka namain kawasan “Tolak Tambang”.
Tanpa bilik bersekat tenda itu unjuk gigi, tenda-tenda itu menjadi saksi sejarah perjuangan mereka, saat angin pagi hari menghempas, sum-sum tulang mereka seketika serasa lenyap kena sedotan alam yang melumpuhkan, membuat gigi mereka terus bergemeletuk kasar dan mengirimkan semacam gelombang kasatmata yang seketika membuat tubuh meremang dan mengigil tak berkesudahan. Demi sebuah keadilan, mereka rela tidur di antara pohon jati lebih dari seratus hari.
Kawasan “Tolak Tambang“ berdiri Empat kilometer dari nukilan jalan raya Rembang-Blora desa Ngablak. Tiga buah tenda seadanya berdiri di tikungan jalan menuju lokasi tanah yang akan dijadikan pabrik semen. Dilokasi itu, belasan ibu-ibu secara sukarela membuat sebuah jadwal untuk bergantian menjaga tenda perlawanan mereka.
Ditiga buah tenda perlawanan itu beragam kisah banyak terjalin. Ketidak-adilan, perlawanan tiada akhir dan tipu muslihat orang-orang berpangkat.
Kendeng, tak pernah istirahat dalam damai. Sejak 2012, gunung kendeng menjadi incaran utama pabrik semen Indonesia, dengan mengaburkan banyak fakta dan pembayangan beberapa peraturan, kendeng resmi menjadi daerah sengketa antara pemerintah dan masyarakat.
 Banyak petani yang menolak kehadiran pabrik semen diwilayah mereka. Tapi, pemerintah menjawab dengan mendatangkan berbagai alat berat. Saat ratusan ibu-ibu menolak peletakan batu pertama dan bertahan menghadang beragam alat transportasi di jalan, mereka memperoleh jawaban dari gerombolan polisi yang berbuat kasar, tubuh renta mereka dipindah secara paksa dari badan jalan ke pinggir hingga ada beberapa ibu yang pingsan karena tak tahan dengan sikap petugas kepolisian. Jalan berbatu itu menjadi saksi bagaimana mereka disingkirkan secara paksa dari jalan utama menuju pabrik semen. Jangan bicara nurani, disini dia tak punya kekuatan berarti.
Tak sampai disitu saja, teror aparat kepolisian masih terus berlanjut. Keluarga mereka dilarang datang untuk mengirimkan makanan dan membuat penerangan di tenda perjuangan. Tangis penuh kesakitan terdengar menyayat saat sholawat pilu mulai mengalun perlahan. Dalam deraian air mata, ibu-ibu berpadu mengimani sakitnya ketidakadilan. Air mata kembali jatuh menghujam bumi rembang, tapi kendeng masih butuh banyak perjuangan.
Pernah satu kali aksi masyarakat ini menyedot perhatian gubernur jawa tengah, hingga memaksa dia datang menyambangi ibu-ibu berhati baja. Dengan bahasa jawa halus hati mereka berdialog, satu-persatu keluhan mengudara, tapi keluhan itu lenyap, tersapu angin tak tahu kemana.
“Gimana ini pak? Kemarin gubernur datang, ngajak musyawarah, tapi kok selama musyawarah alat-alat tambang tetep oprasi? Terus iki piye neh pak? Jare Gubernure kae pro rakyat cilik, tapi nak ngene iki kenyataane awakdewe kudu piye?”
“Sabar wae bune, awakdewe kui diapiki gur pas arep pemilu thok, bar kui yo uwes. Lali babar blas karo uwong seng mbiyen milih deknen. Nitipke urip ro masa depan karo deknen.”
Pertemuan itu, sama sekali tak mempunyai penggaruh. Kendeng tetap ditambang, dan ibu-ibu tetap berjuang.
***---***---***
Sayup-sayup gema takbir Idul Adha berkumandang, lantunan seru kemenangan itu terdengar miris mengecap langit rembang. Satu persatu keluarga bedatangan menuju tenda perlawan berbalut mukena, baju koko, dan sarung yang diselempangkan.
Dengan sorot mata berbinar mereka mulai menempatkan diri di atas selembar terpal usai saling menautkan jari dan mengucap salam. Terpal biru itu terhampar di jalan tikungan penuh begelombang, Sajadah mulai digelar, dan sholat idhul adha segera dilaksanakan.
Pagi itu, Sholat idul adha memiliki wajah yang berbeda, sholat berjamaah di tengah perjuangan mengajarkan mereka kebersamaan dan arti perjuangan yang sesungguhnya. Diantara tiga tenda itu, masyarakat ngablak sholat dengan khusuknya, meminta jawaban dari sang khalik tentang keadilan. Separuh warga ngablak sholat di masjid desa, dan sisanya sholat bersama di tenda perjuangan, tak ada prasangka, mereka hanya berjaga-jaga agar tenda mereka tak dirubuhkan aparat.
Haru menjelma seperti asap kasat mata. Datang menyesakan dada dan langsung menyerbak tanpa aba-aba, membuat danau disekitar kelopak mata saat sang khotip menyampaikan khotbahnya.
Belajar arti kebahagiaan dari anak kecil yang masih bisa mengumbar senyum ditengah kondisi penuh tekanan, mereka tak ingin terus berkubang dalam kesedihan. Tak ingin mereka menyia-nyiakan anugerah, usai sholat Idul Adha mereka menggelar selembar terpal lagi dan makan bersama. Pagi itu tak ada hewan qurban, masyarakat desa Ngemplak merayakan Idul Adha dengan makan nasi dan sayur seadanya.
Beberapa aparat berjaga di sekitar kawasan “Tolak Tambang” berjaga-jaga jika warga berbuat nekat, beberapa kali mereka ditawarin warga untuk makan bersama. Merayakan Idul Adha bersama, tapi aparat keamanan itu dengan tegas menolak ajakan warga.
“Ora-orani panganan ini diracuni mas, nak panganan iki diracuni, awakdewe wes mati kaet mau.” Seloroh seorang ibu yang geram terhadap salah satu arapat keamanan. Tak ada satupun niat terbesit untuk melawan ketidakadilan yang mereka alami dengan kekerasan. Berbagi diantara ketiadaan membuat mereka iklas menjalani kehidupan dan masa depan yang semakin suram yang semakin mengancam. Jikapun mereka ingin melawan dengan kekerasan, pastilah bukan belasan ibu-ibu yang lebih dari seratus hari tidur di selembar terpal, tapi suami-suami merekalah yang akan langsung turun tangan. Tapi, mereka tidak melakukan itu. warga Desa Ngemplak memilih untuk tidak melakukan itu.
Seratus hari lewat mereka melawan ketidakadilan dengan keteguhan hati dan berharap kelak keadilan memihak mereka dengan cara yang benar. Membayar perjuangan mereka dengan harga yang pantas.
Ditengah acara makan bersama usai Sholat Idul Adha, seorang ketua pemuda karangtaruna memiliki inisiatif untuk melafalkan sebuah puisi tentang perlawanan.
Bermula dengan suara selembut awan puisi itu pelahan menampakkan jati dirinya dari baur-baur suara alam. Satu ketukan, dua ketukan, tiga ketukan, puisi itu berakhir dengan sebuah teriakan diikuti gema gempita seluruh masyarakat Ngemplak.

Jika rakyat pergi 
Ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat sembunyi// dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar
bila rakyat tak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversive dan menganggu keamanan
maka hanya ada satu kata : lawan!

“lawan!!!”
“Lawan...!!!”
“LAWAN!!!”
Cukup dengan satu kata, semangat kembali memuncak, dan hati kembali dipenuhi rasa hangat. Perjuangan mereka tak berhenti sampai disini.

Solo, 24 Oktober 2014, 02:10
Untuk kendeng dengan hati yang terlampau nyeri.

*telah diterbitkan di Seruan  Perjuangan minggu kedua Oktober 2014

0 komentar:

penari kepalsuan

9:16:00 AM Admin 0 Comments


Penari kepalsuan

Oleh : triztan famous


Selendang sutra itu membelai udara
Dengan tatapan menjaring bintang
Ia terpancang kaku ditengah belukar
Mengamini rasa sakit dalam tarian senja

Dengan laku sacral kau melangkah kedepan
Disertai beribu kunang-kunang
Menghentikan nyanyian serangga malam
Terpuruk sejenak, menunggu tepuk tangan

Lampu sorot mengurut indah langkahmu
Lalu kau taburkan senyum pemikat birahi pada para lelaki
Lengkap dengan tingkah centil penantang nyali
Kau sadar kalau kau adalah korban,
Budak kenistaan, pengobral nafsu liar

Usai menandak-nandak di ranjang dengan lelaki hidung belang
Kau salahkan keadaan,  kau salahkan ketidakmampuan,
 Dan terahir kau salahkan tuhan
Kau tak bisa menari terus dalam kepalsuan
Lalu kau tertawa, dengan sampah hati yang membahana
Belukarpun bisa berbunga
Melihat kau berkata
“ hidup indah begini adanya “

0 komentar: