Untuk Kendeng : Idul Adha dan Tenda Perjuangan

4:37:00 AM Admin 0 Comments


Idhul Adha dan tenda perlawanan*
          Oleh : triztan famous

 “Sudah lama aku dengar dan aku baca ada suatu negeri
dimana semua orang sama di depan hukum. Tidak
seperti hindia ini. Kata dongeng itu juga: negeri itu
memasyurkan, menjunjung dan memuliakan kebebasan,
persamaan dan persaudaraan. Aku ingin melihat negeri
dongengan itu dalam kenyataan.” –Pramudya A. T.

“Perjuangan kita masih panjang bu,” letih, suara lelaki itu penuh getar. Getar yang tak memiliki pijakan yang tepat.
“Iya pak, perjuangan kita masih panjang.” Kalimat itu meluncur pelan seiring tarikan berat pemenuh udara rongga dada, “Keadilan harus tetap menang,” ujar wanita itu teguh, sorot matanya tajam penuh bara. Mengalahkan bara sesungguhnya di dalam pawon yang ada didepannya, “Walau masih serasa di awang. Tapi, Kita akan tetap berjuang pak, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
***---***---***
Dari sekat-sekat udara itu debu masih setia menyelimuti desa Ngablak, dedaunan pohon Jati yang dulunya memiliki warna hijau berbeda-beda, kini semuanya Nampak sama, seolah-olah semuanya memakai seragam berwarna kelabu, kelabu penuh debu dan membosankan.
Perbukitan dulu yang hijau dan lebat seperti permadani meja bilyard, kini perlahan mulai berganti wajah. Berganti wajah penuh luka. Sehampar tanah luas seperti sengaja dicukurkan di tengah rimbunya hutan Jati bumi Rembang. Tanah yang dahulu penuh gelombang dan bebatuan, sekarang dibuat rata sejajar dengan urukan tanah, menyerupai lapangan bola yang dibuat melintang.
Subuh baru saja menjejak rembang saat ibu-ibu desa Ngablak mulai berdatangan, bahkan saat sulur-sulur fajar belum perkasa menjalari keperawanan bukit rembang, ibu-ibu bermata teduh itu sudah sampai di tenda, perlahan mereka membangunkan saudara-saudara mereka yang masih tertidur pulas. sayup-sayup, seruan takbir penuh kemenangan bergumul dengan hempasan suara angin.
Budhe, Sholat dulu. ini sudah subuh, sekarang jadwal saya yang jaga ditenda. Ndang balio, nyiapke sarapan karo seragam sekolah ge anakmu.” Berbalut jaket tebal ibu bersorot mata penuh bara membangunkan rekan seperjuangan. Angin dini hari masih terus berdatangan, seakan-akan tak rela membiarkan para ibu tidur berselimut rasa hangat dan aman.
“Iya bu, saya subuhan dulu disini, setelah itu saya ijin langsung pulang kerumah ya.”
“ngih bu, mengkih ngatos-atos manthuke.”
Di bawah selembar terpal berwarna biru yang menjadi atap rumah dadakan, belasan ibu-ibu tertidur pulas. gurat-gurat wajah mereka saat terlelap mencerminkan kekuatan dan keteguhan hati sesunguhnya. Tiga buah tenda seadanya dibuat di samping jalan menuju tanah yang dipaksa lapang. Beragam poster dan spanduk perlawanan saling menjalin dalam kesatuan di sepanjang jalan menuju kawasan yang mereka namain kawasan “Tolak Tambang”.
Tanpa bilik bersekat tenda itu unjuk gigi, tenda-tenda itu menjadi saksi sejarah perjuangan mereka, saat angin pagi hari menghempas, sum-sum tulang mereka seketika serasa lenyap kena sedotan alam yang melumpuhkan, membuat gigi mereka terus bergemeletuk kasar dan mengirimkan semacam gelombang kasatmata yang seketika membuat tubuh meremang dan mengigil tak berkesudahan. Demi sebuah keadilan, mereka rela tidur di antara pohon jati lebih dari seratus hari.
Kawasan “Tolak Tambang“ berdiri Empat kilometer dari nukilan jalan raya Rembang-Blora desa Ngablak. Tiga buah tenda seadanya berdiri di tikungan jalan menuju lokasi tanah yang akan dijadikan pabrik semen. Dilokasi itu, belasan ibu-ibu secara sukarela membuat sebuah jadwal untuk bergantian menjaga tenda perlawanan mereka.
Ditiga buah tenda perlawanan itu beragam kisah banyak terjalin. Ketidak-adilan, perlawanan tiada akhir dan tipu muslihat orang-orang berpangkat.
Kendeng, tak pernah istirahat dalam damai. Sejak 2012, gunung kendeng menjadi incaran utama pabrik semen Indonesia, dengan mengaburkan banyak fakta dan pembayangan beberapa peraturan, kendeng resmi menjadi daerah sengketa antara pemerintah dan masyarakat.
 Banyak petani yang menolak kehadiran pabrik semen diwilayah mereka. Tapi, pemerintah menjawab dengan mendatangkan berbagai alat berat. Saat ratusan ibu-ibu menolak peletakan batu pertama dan bertahan menghadang beragam alat transportasi di jalan, mereka memperoleh jawaban dari gerombolan polisi yang berbuat kasar, tubuh renta mereka dipindah secara paksa dari badan jalan ke pinggir hingga ada beberapa ibu yang pingsan karena tak tahan dengan sikap petugas kepolisian. Jalan berbatu itu menjadi saksi bagaimana mereka disingkirkan secara paksa dari jalan utama menuju pabrik semen. Jangan bicara nurani, disini dia tak punya kekuatan berarti.
Tak sampai disitu saja, teror aparat kepolisian masih terus berlanjut. Keluarga mereka dilarang datang untuk mengirimkan makanan dan membuat penerangan di tenda perjuangan. Tangis penuh kesakitan terdengar menyayat saat sholawat pilu mulai mengalun perlahan. Dalam deraian air mata, ibu-ibu berpadu mengimani sakitnya ketidakadilan. Air mata kembali jatuh menghujam bumi rembang, tapi kendeng masih butuh banyak perjuangan.
Pernah satu kali aksi masyarakat ini menyedot perhatian gubernur jawa tengah, hingga memaksa dia datang menyambangi ibu-ibu berhati baja. Dengan bahasa jawa halus hati mereka berdialog, satu-persatu keluhan mengudara, tapi keluhan itu lenyap, tersapu angin tak tahu kemana.
“Gimana ini pak? Kemarin gubernur datang, ngajak musyawarah, tapi kok selama musyawarah alat-alat tambang tetep oprasi? Terus iki piye neh pak? Jare Gubernure kae pro rakyat cilik, tapi nak ngene iki kenyataane awakdewe kudu piye?”
“Sabar wae bune, awakdewe kui diapiki gur pas arep pemilu thok, bar kui yo uwes. Lali babar blas karo uwong seng mbiyen milih deknen. Nitipke urip ro masa depan karo deknen.”
Pertemuan itu, sama sekali tak mempunyai penggaruh. Kendeng tetap ditambang, dan ibu-ibu tetap berjuang.
***---***---***
Sayup-sayup gema takbir Idul Adha berkumandang, lantunan seru kemenangan itu terdengar miris mengecap langit rembang. Satu persatu keluarga bedatangan menuju tenda perlawan berbalut mukena, baju koko, dan sarung yang diselempangkan.
Dengan sorot mata berbinar mereka mulai menempatkan diri di atas selembar terpal usai saling menautkan jari dan mengucap salam. Terpal biru itu terhampar di jalan tikungan penuh begelombang, Sajadah mulai digelar, dan sholat idhul adha segera dilaksanakan.
Pagi itu, Sholat idul adha memiliki wajah yang berbeda, sholat berjamaah di tengah perjuangan mengajarkan mereka kebersamaan dan arti perjuangan yang sesungguhnya. Diantara tiga tenda itu, masyarakat ngablak sholat dengan khusuknya, meminta jawaban dari sang khalik tentang keadilan. Separuh warga ngablak sholat di masjid desa, dan sisanya sholat bersama di tenda perjuangan, tak ada prasangka, mereka hanya berjaga-jaga agar tenda mereka tak dirubuhkan aparat.
Haru menjelma seperti asap kasat mata. Datang menyesakan dada dan langsung menyerbak tanpa aba-aba, membuat danau disekitar kelopak mata saat sang khotip menyampaikan khotbahnya.
Belajar arti kebahagiaan dari anak kecil yang masih bisa mengumbar senyum ditengah kondisi penuh tekanan, mereka tak ingin terus berkubang dalam kesedihan. Tak ingin mereka menyia-nyiakan anugerah, usai sholat Idul Adha mereka menggelar selembar terpal lagi dan makan bersama. Pagi itu tak ada hewan qurban, masyarakat desa Ngemplak merayakan Idul Adha dengan makan nasi dan sayur seadanya.
Beberapa aparat berjaga di sekitar kawasan “Tolak Tambang” berjaga-jaga jika warga berbuat nekat, beberapa kali mereka ditawarin warga untuk makan bersama. Merayakan Idul Adha bersama, tapi aparat keamanan itu dengan tegas menolak ajakan warga.
“Ora-orani panganan ini diracuni mas, nak panganan iki diracuni, awakdewe wes mati kaet mau.” Seloroh seorang ibu yang geram terhadap salah satu arapat keamanan. Tak ada satupun niat terbesit untuk melawan ketidakadilan yang mereka alami dengan kekerasan. Berbagi diantara ketiadaan membuat mereka iklas menjalani kehidupan dan masa depan yang semakin suram yang semakin mengancam. Jikapun mereka ingin melawan dengan kekerasan, pastilah bukan belasan ibu-ibu yang lebih dari seratus hari tidur di selembar terpal, tapi suami-suami merekalah yang akan langsung turun tangan. Tapi, mereka tidak melakukan itu. warga Desa Ngemplak memilih untuk tidak melakukan itu.
Seratus hari lewat mereka melawan ketidakadilan dengan keteguhan hati dan berharap kelak keadilan memihak mereka dengan cara yang benar. Membayar perjuangan mereka dengan harga yang pantas.
Ditengah acara makan bersama usai Sholat Idul Adha, seorang ketua pemuda karangtaruna memiliki inisiatif untuk melafalkan sebuah puisi tentang perlawanan.
Bermula dengan suara selembut awan puisi itu pelahan menampakkan jati dirinya dari baur-baur suara alam. Satu ketukan, dua ketukan, tiga ketukan, puisi itu berakhir dengan sebuah teriakan diikuti gema gempita seluruh masyarakat Ngemplak.

Jika rakyat pergi 
Ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat sembunyi// dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar
bila rakyat tak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversive dan menganggu keamanan
maka hanya ada satu kata : lawan!

“lawan!!!”
“Lawan...!!!”
“LAWAN!!!”
Cukup dengan satu kata, semangat kembali memuncak, dan hati kembali dipenuhi rasa hangat. Perjuangan mereka tak berhenti sampai disini.

Solo, 24 Oktober 2014, 02:10
Untuk kendeng dengan hati yang terlampau nyeri.

*telah diterbitkan di Seruan  Perjuangan minggu kedua Oktober 2014

You Might Also Like

0 komentar: