ibu

10:11:00 AM Admin 0 Comments


“ Ibu “

Oleh : Triztan Famous


“ Aku persembahkan segelintir rangkaian kata untuk malaikat tak sempurna dan tak bersayap tetapi selalu ada, ibu “
Ibuku bukanlah ibu yang paling hebat di dunia, dimataku dia memiliki banyak sekali kekurangan yang aku rasa sanggat manusiawi. Dia sesosok yang tempramental, suka mengatur, galak, dan suka marah-marah dengan kata-kata yang sesekali membuatku sakit hati. Ibuku bukanlah dewa, tapi dia jelmaan malaikat sebagai manusia biasa.
Banyak pertengkaran yang terjadi di ruang lingkup kehidupan kami berdua. Saling lempar argumentasi, pandangan normatif dan sebagainya. Sebaik-baiknya peran ibu di dalam rumah tangga tak akan ada orang tua yang mendoakan hal buruk untuk anaknya. Tapi aku ingin ibuku tau jika zaman telah berganti dan lingkungan telah berubah, tidak sama lagi seperti dulu.
Walau kita memiliki banyak sifat yang sama, tapi sampai saat ini aku masih memiliki banyak kesulitan untuk mengerti jalan fikiran dan membuatnya bahagia. Apa memang hubungan darahlah yang membuat kita dalam keadaan ini? Ada sekat tebal yang membuat hubungan kami terasa hambar, terkadang aku sanggat ingin berada di depannya sebagai sesosok manusia. Sesosok makhluk hidup yang sejajar, bukan karena peran ibu dan anak.
Tapi, kita hanya manusia yang sering kali merangkai keterbatasan. Aku tak pernah menunjukkan rasa sayangku kepada ibuku, padahal dengan segenap jiwa dan raga ini aku sanggat menyayanginya.
Tapi entah mengapa hanya untuk mengungkapkan hal itu saja, lidahku tak bisa berucap dengan benar. Benar-benar berat untuk mengungkapkan hal itu karena sekat ibu-anak ini yang tak pernah dia lepaskan. Aku sanggat ingin berbagi cerita, pengalaman, canda, kisah, tanya jawab dan renungan bahkan humor segar dengannya. Tapi bukan sebagai ibu dan anak seperti ini, aku ingin membagi itu semua dalam kesejajaran. Berulang kali aku takut terbuka karena takut tidak sesuai dengan harapan ibuku. Beberapa kisah yang aku lalui aku ceritakan dalam potongan pengalaman yang sudah kusortir agar pas ditelinga dan hatinya. Aku hanya tak ingin membuatnya kecewa, itu saja.
Sering aku berandai-andai tentang sekat ibu dan anak yang masih kita jalani sampai saat ini. Alangkah indahnya jika ibuku bisa merangkap peran sebagai teman, sahabat, dan kakak perempuan, tapi ku rasa itu tidak mungkin. aku hanya ingin berhubungan dengan ibuku secara murni, tulus dan genap sebagai sesama manusia, bukan orang tua dan anak dengan batasan tembok berlapis ekspektasi. Aku hanya ingin sesaat ia menatapku. Aku ingin ia melihatku jika aku sudah tumbuh, jika aku bukan bocah kecilnya yang dulu. Bocah kecil polos yang selalu mengekor dibelakangnya.
Apa mungkin saja ibuku takut melepaskan peran keibuannya karena takut tidak aku hormati lagi?. Mungkin saja begitu. Tapi, aku sebagai seorang anak juga sanggat takut bertindak orisinal karena takut tidak disayangi lagi, takut dimarahi, takut di cap tidak sopan dan takut tidak masuk surga karena tidak menghargaimu.
Lagipula kami sudah terbius di dalam tabir selimut kejawen. Aku tak mempermasalahkan adat dan latar belakang yang ia wariskan kepadaku. Tapi, selalu ada saja istilah “unggah-ungguh” yang membentur kita untuk mensejajarkan diri untuk menjadi sesama manusia. Ibu, aku hanya ingin kau tau, walaupun kau tanggalkan peran keibuanmu untuk menjadi teman, sahabat ataupun kakak perempuan, aku akan tetap menghormatimu sebagaimana seharusnya. Karena kau ibukku.
Aku hanya ingin menautkan perjalanan hidupku dalam kejujuran murni dan genap. Antar jiwa, dan antar hati yang belum bisa kita penuhi.
Kadang aku sanggat iri melihat pribadimu diluar rumah, kau menyapa semua orang. Berbagi cerita dengan orang-orang yang berpapasan denganmu, menebar senyum hangat, menjabat tangan seperti sahabat dan kadang menggoda balita sebagai sesosok yang hebat. Aku ingin kau menjadi pribadimu itu saat kau berada dirumah bersamaku. Hal ini membuatku merasa jika aku belum benar-benar mengenalmu secara utuh, banyak orang yang bercerita tentangmu, kadang menengelamkanku dalam ekspektasi, tapi tak jarang membuatku berkubang dalam lubang-lubang argumentasi.
Ibuku adalah wanita konvensional, tidak suka dandan, jarang memakai perhiasan ataupun baju mewah. Dia sanggat sederhana untuk seseorang sebayanya, dia terlampau murah hati untuk berbagi dengan keadaan. Beberapa kali beliau diberi uang oleh bapakku untuk membeli baju atau keperluan hidupnya, tapi dia tidak memilih untuk menempuh jalan itu. Ibuku lebih suka untuk menjajakan uang itu untuk persediaan bahan makanan, perabotan dapur, atau ditabung untuk keperluan yang mendesak.
 Beberapa kali ia dibelikan baju kakakku untuk hari raya ataupun di hari biasa jika kakakku mengunjunginya. Dia menerima tapi, masih saja diselipi dengan omelan jika lebih baik uangnya ditabung untuk biaya sekolah anaknya daripada untuk membelikannya sepotong pakaian. Sering kali aku iba melihat keadaanya, ia benar-benar rela mengorbankan kebahagiaannya untuk anak-anaknya, untukku. Aku hanya ingin beliau tau jika sepotong pakaian sama sekali tak ada gunanya dibanding keluesan peran yang selama ini telah ia tunjukkan kepadaku dan kakakku.
Dia tak pernah memikirkan dirinya sendiri, dia selalu memikirkan orang lain dahulu, dia melakukan hal itu demi sebuah peran. Peran ibu.
Ibuku juga sesosok orang yang tidak romantis, sering kali membuat marah bapakku. Namun, dibalik semua kekurangannya itu ia terbingkai oleh satu hal yang selalu membuatku nyaman ketika aku berada di sekitarnya.
Dia sanggat mudah untuk membuatku nyaman. Dia adalah ibuku, ibu yang selalu ada untukku, berdoa untukku, sakit untukku dan menangis untukku dan aku sanggat bangga kepadanya. Bukan hanya karena dia kuat tapi karena dia selalu ada untukku, dan aku sanggat bangga untuk hal itu. Jika mataku terpejam bayangan konsisten yang selalu muncul diurutan pertama adalah ibuku.
Masih hanggat ingatanku dikalaku masih bocah. Kau menyuapiku dikandang kuda milik tetangga dengan beragam bujukan lucu.
Jika memang dia harus tetap menjalani perannya di hadapanku, aku tak akan pernah memaksa keadaan lagi. Tapi, untuk sebentar saja aku ingin posisi kami disejajarkan. Aku hanya ingin mengungkapkan betapa sayangnya aku kepada beliau, betapa hidupku tak akan pernah benar-benar berpijak tanpa alas kasih sayang yang telah berlimpah ruah ia curahkan untukku. Terimakasih ibu, maaf jika aku belum mampu untuk menjadi anak yang terbaik untukku. Terimakasih juga karena telah memberikan cinta, kedamaian, keindahan dan berbagai hal positif di dalam hidupku. Aku sanggat bangga kepadamu.
Ini adalah sepihan perasaan murni yang tertuang dalam bingkai nurani, untukmu ibu.


0 komentar:

menguliti kenangan

10:05:00 AM Admin 0 Comments


“ Menguliti Kenangan “
Oleh : Triztan Famous


Masih ingatkah kau tentang diriku yang dulu selalu hadir?
Masih ingatkah kau tentang lingkup udara yang selalu menemanimu mengalir?
Masih ingatkah kau alasan kita terlahir?
Dan masih ingatkah kau pada runutan hidup yang dulunya bertakdir?
Kau tidak lupa, kau hanya tidak sudi untuk mengingatnya, kau lebih suka bersabda jika semua itu sudah larut dalam cahaya, lenyap dalam ruang hampa dan hilang entah kemana.

Masih ingatkah kau tentang air mata yang dulu menggenang?
Kesedihan yang berkubang?
Dan luka, duka serta lara yang membuat hati berlubang?
Kau masih ingat, tapi kau tak berniat untuk mengenang, kau sama sekali tak berniat untuk mengenang sebuah bintang, sebuah bintang yang dulu memancarkan cahaya terang.

Masih ingatkah kau tentang rasa rindu yang dulu selalu membabat dadamu?
Menelanjangimu dengan rasa nyilu
Melumatmu dalam rasa pilu
Dan mengunyahmu dalam dahsyatnya untaian nada bisu?
Kau membeku, tak berani menatapku, kau sama sekali tak ingin aku mengungkit rasa yang kau sakralkan dalam tabu, tapi aku tahu jika rasa itu tak pernah luput dari ingatanmu.

Masih ingatkah kau dengan sorot mata yang selalu bersinar cerah?
Bahasa tubuh yang melemah
Basuhan kata-kata berserah indah
Atau sekedar berpasrah dengan lelah?
Kau gundah dengan rentetan pertanyaanku yang membuatmu melayang ke negeri antah berantah, kau tak bisa mengendalikan dirimu untuk sekedar berdiam dalam laku stagnan, tubuhmu bergidik, menampakan luapan amarah

Masih ingatkah kau dengan kehangatan rasa yang berpendar ketika kita menyatukan diri dalam pelukan?
Berbahagia dalam leguhan
Bertukar kasih dalam bongkah kenikmatan
Dan menghancurkan kenangan karena pertengkaran di bawah cahaya bulan?
Kau diam dalam buai kepalsuan, meneteskan air mata yang dulu tertahan dan merelakan kenangan yang tak kunjung memadam.
Kau benar-benar tak ingin lagi tertawan, kau mengatakan jika sudah merelakan semua sebagai kenangan dan kau ingin hidup bebas tanpa bayang-bayang.
Dengan air mata yang tak bisa lagi kau tahan, kau memintaku untuk berhenti menguliti kenangan.

0 komentar:

Malaikat, Mimpi dan Gadis Cacat

8:17:00 AM Admin 0 Comments


  Malaikat, mimpi dan
gadis cacat
 oleh : triztan famous




Crak!! Crack!! Tyarrr...
Begitulah kiranya suara bedebam pintu almari yang ku banting disusul dengan pecahnya kaca yang menempel di pintu almari dikamar tidurku. Aku meluap melihat keadaanku, ketidak sempurnaanku, kecacatan yang ku emban sejak lahir. Dadaku seakan meledak, memuntahkan larva kemarahan.
Aku membeku melihat pecahan kaca bergelimangan dikakiku. Telapak tanganku memanas, serasa terbakar akibat menahan pacahnya kaca dialmari itu. Hanya berupa goresan biasa, tapi bagi anak kelas empat sd saat itu adalah guratan luka yang besar. Muncul air dipelupuk mataku, merembes pelan di pipi membuat garis horizontal.
“ Novi cacat..., novi cacat... “ ejekan teman-teman dikelas beberapa jam tadi membuat dadaku sesak. Semua ejekan menyeruak dari masalalu berpadu mengumpal difikiranku, rengekan yang tadinya pelan sekarang meledak menjadi tangisan hebat, sampai saat seorang malaikat datang dikamarku.
Matanya terbelalak melihat pecahan kaca almari, darah yang mengucur pelan, dibumbui soundtrack air mata. Malaikat itu merengkuhku pelan dalam pelukan, tatapan matanya berubah menjadi kalem menenangkan. Aku terisak didadanya, tergagap menceritakan ejekan teman-temanku disekolah tadi. Air mataku semakin deras menetes baju motif kotaknya, ia melepaskan pelukanya, mengangkat kepalaku dengan tangan selembut sutra. Mengaitkan pandanganku tepat dimatanya, tatapanya berubah drastis menjadi sendu. Muncul air dikelopak matanya tapi tertahan tak ia keluarkan dihadapanku, ku tatap wajah cantik rupawan dengan rambut sepundak yang tak pernah berubah modelnya dari dulu.
“ Sstttt “ bisiknya menghapus air mata dari pipiku, aku masih tersendat-sendat saat akan bercerita lagi “ Ini rahasia ya, kamu tetep anak ibu yang paling cakep sedunia... “ tambahnya mencium keningku, entah sindrom apa yang merasukiku saat itu, jiwaku mendadak tenang, air mataku seperti di stop dan berhenti total.
Ciuman hangat ibu seperti berdaya magis menyuplay jiwaku dengan energi yang baru, sedikit demi sedikit dadaku membuncah dengan kegembiraan yang mengalir pelan lewat aliran darahku, menusuk sum sum tulangku membuatku lumpuh dengan pujian malaikatku itu, ia selalu bisa menenangkanku dalam keadaan apapun.
Ibu memincingkan mata ke kaca almari disebelahnya terdapat bercak darah mengering disana, melirik goresan luka ditelapak tanganku, dan anehnya dia malah tersenyum kepadaku. Membuatku semakin bertanya keheranan menguap difikiranku, aku tak mengerti sama sekali. Otak kecilku yang penuh dengan ejekan teman sebaya, membuatku tak berkembang menafsirkan senyuman ibu itu.
Ia mengandeng tanganku, sentuhan sutra dengan kehangatan pas yang menjalar diseluruh tubuh, membuatku senang saat ibu mengenggam tangan kecilku. Ia menuntunku kearah dapur guna menyembuhkan luka gores ditanganku. Wanita berparas ayu itu membalut tangaku dengan handsaplast, aliran darahku sudah berhenti dan mulai mengering saat dibersihkanya. Tak lupa secuil kecupan kecil ia selipkan di atas lukaku setelah terbungkus rapi. Luka ditanganku hanya meninggalkan sedikit rasa perih saja, tak separah yang kubayangkan tadi, saat aku mengumbar tangis besarku.
Sore itu berjalan cepat dengan kisah menakjubkan saat ibu melahirkanku. Saat ia mencium bau surga yang tertinggal dikulit tubuhku beberapa detik setelah aku menarik nafas didunia baruku. Ia selalu bercerita betapa beruntungnya dia bertakdir memilikiku, betapa bahagianya saat ia melihat pipi merah mudaku untuk pertama kali, dan betapa bunggah hatinya saat ia melihat bagian dari tubuhnya terlahir dari rahimnya. Dengan tatapan berlinang ia menceritakan semua hal itu. Hal itu selalu berhasil menguatkan hatiku, malaikat yang berkedok ibu itu selalu berhasil merengkuh diriku dari kesengsaraan awal kehidupanku.
Jumat pagi aku kembali kesekolah dengan kebahagiaan yang membuncah, hari ini ada pelajaran mengambar, mata pelajaran yang paling aku gemari. Satu-satunya hal dimana aku merasa mempunyai bakat dari yang kuasa, bakat yang ku bawa sejak pertama kali aku terlahir, bakat yang bisa aku banggakan.
Aku memiliki imajinasi liar kata ibuku, saat aku memegang pensil warna, aku merasakan kelegaan yang luar biasa dimana hanya dengan media kertas dan pensil warna saja aku bisa meluapkan semua hasrat yang berkutat difikiranku. Aku merasa seperti berada diluar angkasa dimana tubuhku melayang tak tentu arah di antara ruang hampa udara.
Ibuku tak pernah memarahiku saat aku mengambar ditembok kamarku, hanya ditembok kamarku kata ibuku berpesan. Dia sanggat mendukungku dalam hal ini, ibu memberikan dukungan penuh untukku. Pertama kali dalam hidupku dia mengajariku untuk berimajinasi dengan mimpi, ibu mengajarkan jika mimpi itu sah dan berharga. secara naluriah mimpi itu adalah harapan alam bawah sadar kita, mimpi adalah target masa depan dimana kita harus mempercayainya jika kita ingin membuatnya nyata.
Bahkan saat hari ulang tahunku dikelas empat ibuku mengecat warna dinding kamarku menjadi putih seperti warna kertas, membuatku semakin bergairah dalam bermain sketsa dikamar. Aku menulis sebuah cerita berdasarkan flim kartun di tv dan melukiskan kisah ditembok kamarku, membuat duniaku sendiri. Hal itu memberiku banyak waktu untuk berimajinasi, bahkan aku sempat lupa makan saking asiknya merealisasikan dunia imajinasi ditembok kamarku. Memberi waktu untuk mengasingkan diri dari lingkungan sekitar.
Aku tak berniat keluar rumah setelah pulang sekolah. Bermain dengan teman sebaya hanya akan memberiku oleh-oleh ejekan, aku selalu pulang dengan air mata. Betapa rapuhnya aku saat itu. Seorang anak cacat kelas empat sd menahan ejekan yang terpatri direlung hati, tanpa seorang teman hidup hanya dengan seorang ibu semata. Tentu aku tak benar-benar tidak memiliki teman, ada banyak orang yang membantuku di sekolah tapi bukan karena ingin dekat atau bersahabat denganku tapi hanya karena merasa kasihan kepadaku saja.
Aku tak menyesali ukuran kakiku yang berbeda antara kaki kiri dan kanan atau ukuran kepalaku yang lebih besar dari ukuran kepala anak-anak normal seusiaku. Aku hanya cacat fisik bukan cacat kepribadian atau cacat mental. Disekolah aku tetap berprestasi, aku selalu masuk peringkat lima disekolah dasar, aku lulus dengan sebuah sertifikat menggambar ditahun kelimaku, aku meraih juara dua dan meninggalkan sebuah piala di mantan sekolahku, dan aku sanggat bangga dengan itu.
Pertama kali ibuku campur tangan didunia imajinasi buatanku saat aku mulai menginjak smp. Dia menuliskan sebuah kalimat diatas ranjangku di tembok tepat didepan meja belajarku. Sebuah tulisan terpampang jelas, mudah  terbaca dari berbagai sudut karena balutan warna cemerlang. Sebuah motto hidup yang ia salurkan padaku menyerupai sebuah warisan keluarga, seperti sebuah mantra kalimat itu langsung terserap hebat mendarah daging dan melekat kuat di tubuhku. Ia menuliskan “ dream, belive and make it hapend “.
 Kalimat penuh semangat yang memenuhi relung hatiku, dimana aku diajarkanya untuk mempercayai mimpi. Hampir setiap malam sebelum aku terlelap ia selalu menjejalkan kalimat itu, semburat warna putih uban mulai mendominasi pelipisnya tapi sama sekali tak menyurutkan aura kecantikan khas malaikatnya, sampai sekarang aku masih memujanya.
Beranjak puber pertamaku ibu mengikut sertakan aku disebuah sanggar lukis ternama dikotaku, disanggar itu aku menemukan dunia imajinasi kedua setelah dinding dikamarku yang penuh dengan lukisan liar imajinasiku. Aku bermimpi secara alamiah karena ibu, mimpiku adalah menjadi seorang pelukis, novelis atau apapun yang berkaitan dengan dunia imajinasiku. Sesuatu yang pasti akan terwujud suatu saat nanti, setiap hari minggu ibu mengantarku dengan motor maticnya hampir satu tahun. Sebelum ia meninggal karena kecelakaan maut itu...
Minggu pagi itu kemarahanku membuncah saat mengetahui jika ayahku belum meninggal. Ibu telah membohongiku, dan itu kebohongan terkeji dalam kehidupanku. Ayah meninggalkanku saat aku masih bayi, saat ia tau ketidaknormalanku, saat ia tau kecacatan yang melekat ditubuhku. Aku bercermin dikaca pecah didepan almari kamar melihat betapa buruknya diriku sehingga ditinggalkan ayahku. Seperti segumpal dosa yang melepuh, aku meronta dengan tangisan paling keras yang pernah kulakukan. Aku membayangkan betapa jijik saat ayah melihatku pertama kali dari rahim ibuku, betapa memuakan semua itu, betapa malunya dia setelah menanti sembilan bulan dan ketika aku terlahir tak seperti harapanya. Hatiku hancur, tak pernah aku terpuruk seperti ini...
Aku mencongkel paksa tutup kaleng cat minyak dengan obeng. Aku sampai tak sadar jika kuku di jari tanganku terbelah karena tekanan berlebih yang tersalur kuat diobeng saat ku buka paksa kaleng-kaleng cat itu dan menghamburkanya ketembok kamarku secara bersamaan. Menciptakan sebuah goresan menakjubkan sekligus mengerikan, aku merekam celah detik itu dengan sanggat hati-hati. Cairan kental cat minyak itu menghancurkan dunia kecilku. Dunia imajinasi yang ku buat sejak sd, media pelampiasan kegetiran hatiku saat teman sebayaku mengejek kecacatan tubuhku. Dunia yang mengalihkan perhatianku dari sebuah kata “ teman ”, dunia yang membuatku terasing dari dunia nyata.
 Kecelakaan itu begitu cepat, saat ibu memboncengku dengan paksa, saat air mataku terasa tak akan pernah surut lagi. Dia mencoba menjelaskan semuanya kepadaku, tapi tuhan memaksakan kehendak lain. Ibu kehilangan konsentrasi mengemudi hanya agar aku paham mengapa ia melakukan itu, dan saat sebuah truk menghantam kami, aku terpental jauh kebelakang... melihat tubuhnya terlindas roda truk. Bermandikan darah segar dan seketika separuh jiwaku melayang, gelap hanya gelap yang kurasakan.
Selama hampir satu tahun aku tak mempunyai semangat untuk melanjutkan hidup. Aku ingin ibu... aku ingin ibu... hampir setiap malam aku memimpikanya. Setiap kali aku terbangun, mataku udah bengkak dengan air mata yang mengering.
Beberapa kali sodaraku datang menengokku dan memintaku agar mau diadopsi. tapi kebenciaku membentuk sebuah benteng tebal di hati, bagaimana saudara-saudaraku itu terlibat sebuah kebohongan besar itu? Betapa bodohnya aku termakan akting manis mereka, aku menjalani masa-masa paling suram dihidupku, hidup dari belas kasian orang dan sodaraku. Kadang aku juga menjual barang-barang dirumahku hanya sekedar agar bisa makan, keterpurukanku terus berlanjut dimasa remajaku. Dimasa dimana biasanya remaja seumuranku bergelimang perasaan tak tentu tentang cinta pertama, hal yang tak berlaku untukku... hahaha siapa yang akan mengencani seorang gadis cacat sepertiku?
Prestasiku merosot tajam, dari predikat siswi berprestasi dengan beragam sertifikat mengambar menjadi seonggok daging tak bernilai. Wali kelasku kerap berkunjung kerumahku hanya sekedar melihat betapa menyedihkan keadaan muridnya saat itu, yang membuatku bertanya kenapa ia selalu menahan air mata saat melihatku? Apakah tuhan menakdirkanku hanya untuk jadi bahan cacian? Hanya jadi jadi tontonan menjijikan? Hanya jadi alat belas kasian orang lain? Aku tak tau, yang jelas aku mulai menikmati semua tuduhan orang-orang yang tak memahami duniaku seperti sosok malaikatku. Sosok ibuku...
kejadian mengerikan itu terjadi saat aku kelas tiga smp. Berimbas saat ujian nasional, aku tak lulus ujian bulat-bulat, satu-satunya siswi yang tak lulus di smp terfavorit di kotaku, dan aku mulai mengecewakan semua orang disekelilingku...
Aku memutuskan untuk tak mengulang dikelas tiga, aku keluar dari smp itu, meninggalkan rumah dan hidup di sanggar lukis setelah seorang guru lukis menawariku untuk tinggal di sanggarnya. Malaikat penolongku itu kupanggil pak pur, dimana dunia imajinasi keduaku masih utuh, disana aku mulai ia di perkenalkan dengan sebuah kehidupan baru. Ia hidup dengan dua orang putra dan seorang istri yang luhur budinya, ia tau kehidupan lamaku dan mengizinkan aku tinggal disanggarnya untuk sekedar bantu-bantu. Walau cacat fisik tapi aku memiliki tetap mempertahankan “ selera tinggiku “ dalam hal apapun. Pak pur mengajariku melukis dengan Cuma-Cuma, aku merasakan memiliki sebuah keluarga kembali. Setelah dilatih istri pak pur secara maraton aku mulai bisa mengantikan masakanya, walau tak sempurna tapi masih bercita rasa.
Lukisanku berkembang dengan dunia liarku, aku tak pernah menggambar sesuatu dengan normal. Hampir semua gambaranku mengambarkan ketidaknormalan. Yang dimaksutkan ketidaknormalan lukisanku disini seperti saat aku mengambar seorang manusia dengan telingga kelelawar, seorang gadis tanpa pipi bagian kanannya dan yang lainya mungkin itu karena terimplikasi dari keadaan tubuhku.
Aku berkembang menjadi bagian hidup keluarga seniman disanggar itu, satu kesamaan antara ibuku dan pak pur adalah mereka mengajarkanku untuk bermimpi, dan aku menemukan jalanku bersamanya.
Pak pur mengajariku tentang semua hal yang ia ketahui tentang lukisan, bagaimana menyempurnakan sebuah gambar, memadukan garis dalam gradasi warna, melakukan finishing gambar. Bagaimana caranya melihat sesuatu dengan sudut pandang yang berbeda, bagaimana membuat suatu gambar itu bernilai seni, bertekstur alami, dengan ketelitian tinggi, dan aku mulai tersadar jika sebagian besar hidupku ditentukan oleh riwayat ibuku. Betapa sempurnanya dia bisa menyalurkan hasratku didunia yang tepat bersama keluarga pak pur, bagiku keluarganya adalah jelmaan malaikat pengganti ibuku.
Mungkin ini adalah jalan rahasia tuhan setelah aku kehilangan satu malaikatnya dia memberiku empat malaikat penggantinya, untuk pertama kalinya setelah ibuku meninggal aku bersyukur terhadap tuhan.
Kisahku bermula saat salah seorang sahabat karip pak pur yang sedang menempuh ilmu di isi jogja mampir ke galerynya. Lelaki itu jatuh cinta pada pandangan pertama ketika melihat lukisan anehku, ia menyukainya, ia tergila-gila dan berniat membawa beberapa lukisanku untuk absen dipameranya. Pak pur pun langsung menyetujuinya dan membawakan lukisanku pada lelaki jangkung berkulit putih pualam, berambut gondrong rapi sepunggung dengan tatapan mata hitam pekat sanggar.
Sebuah lukisanku terjual seharga motor matic, betapa bahagianya aku saat itu, saat perlahan mimpiku mulai terwujud. Saat bab kehidupanku menjadi sebuah pelajaran, saat sebuah kenangan menjadi batu loncatan, dan saat mimpi yang diwariskan ibuku mulai bisa aku wujudkan.
Perjalanan mimpiku mulai terbagi-bagi seiring petualangan hidup yang telah aku lampaui bersama orang yang membuat lukisanku berkubang dalam pameran. Tapi, aku memilih untuk tidak terlena, aku tetap memfokuskan diri untuk meraih mimpi utamaku terlebih dulu. Dengan hanya bermodalkan mimpi aku memutuskan untuk meninggalkan keluarga pak pur, bukan bermaksud kurang ajar atau tak tau balas budi tapi untuk mengejar mimpi. Dia menyetujui permintaanku itu dan untuk kedua kalinya jiwaku terbagi lagi, aku sanggat kehilangan keluarga malaikat itu. Hatiku tertinggal disanggar pak pur, sanggar yang digunakan keempat malaikatku bersemayam, sanggar yang membuatku menjadi orang, sanggar yang menjadi pijakan pertama mimpiku.
Aku berkelana bersama mas yayan, orang yang membawa lukisanku pertama kali ke pameran, aku tak paham kenapa mas yayan selalu baik padaku, bahkan kebaikanya hampir setara dengan pak pur  . belakangan aku baru tau jika putrinya penyandang cacat sepertiku, hanya saja dia lebih parah dariku. Tubuh bagian bawahnya lumpuh total.
Saat aku melihat intan, anak mas yayan. Aku seperti bercermin, aku melihat diriku sendiri saat tatapanku jauh menelusuri mata coklat kalemnya, sebuah ikatan terbentuk langsung, ikatan batin yang kuat, ikatan sesama manusia yang diberikan kelebihan dari sudut pandangku yang berbeda. Diulang tahunku yang kesembilan belas aku menggunakan istilah “ kelebihan yang berbeda ” sebagai pengganti kata cacat.
Duniaku sedikit melenceng dari jalur mimpiku saat aku bersama intan, nama yang sempurna untuknya, dia memberikan aura kebahagiaan disekelilingnya, kau akan ikut tersenyum saat melihat bibir kecilnya tersungging lemah. Seperti matahari tenggelam, senyumanya membius, menghanyutkan dan memberikanku ketenangan yang berbeda. Seperti namanya dia bersinar untuk sekelilingnya, semua orang menatapnya dengan penuh ketakjuban tak seperti saat orang-orang menatapku dengan tatapan miris penuh hinaan. Aku turut berbahagia karena intan memiliki ayah seperti mas yayan.
Bersama mas yayan aku menemukan garis kehidupan yang berbeda dimana ia mengajarkanku tentang sebuah aliran-aliran seni lukis yang berbeda. Untuk pertama kalinya aku berlajar kulisan abstrak, terdapat kebebasan yang tersalurkan dalam lukisan tersebut, dimana aku bisa melukis sesukaku tanpa sebuah tema yang menjerat.
Aku bebas menggambar sebuah kulisan dimana aku bisa memadukan gradasi warna yang bertabrakan dengan phytagoras, jajar genjang dan beberapa bagun ruang. Sebuah lukisan wajah manusia dengan penempatan indra sesukaku dengan warna sesuai suasana hatiku, aku suka saat menempatkan mulut di bagian mata kiri, telinga di mata bagian kanan, mata dibagian mulut secara horizontal dengan warna yang berkilau. Aku sekarang tak hanya terpaku dengan kaleng-kaleng cat minyak, menurut mas yayan aku sekarang lebih expresif.
Aku merajutkan beberapa payet berkilau dibagian gambar mulut membentuk sebuah bendera inggris. Membuat gambar seorang nenek tua dengan potongan asimetris, membawa sebuah botol minuman kelas atas dengan tatapan khas monalisa, dan karya yang paling berkesan untukku adalah saat aku memadu-padankan kain perca bermotif batik dengan beragam tema menjadi sebuah lukisan raksasa tentang kota jogja, kota dimana aku dilahirkan secara spesial oleh tuhan.
Keberhasilan menembus pasar seni dengan ketidaknormalan karyaku membuat diriku cepat dikenal oleh pengamat seni. Membuatku memberi ciri khas untuk diriku sendiri secara tak sadar, dan membuat fikiranku dipahami oleh orang-orang. Semuanya mengalir secara perlahan. Hampir aku tak sadar ketika mimpiku terwujud, benar-benar terwujud secara benar, aku terlalu menikmati proses dalam meraih mimpiku daripada tersadar ketika semuanya sudah terwujud.
Lanjutan perjalanan mimpiku berlanjut dengan sebuah misi sosial saat aku membuat pameran tunggal, aku ingin membuat sebuah yayasan sosial khusus untuk orang-orang dengan “ kelebihan yang berbeda ” versiku. Aku ingin membagi mimpiku, aku ingin membagi warisan ibuku, aku hanya ingin semua orang mempercayai mimpinya, jika tak ada hal yang tak mungkin didunia ini. Aku tumbuh karena malaikat-malaikat yang tuhan berikan padaku, ini rencana tuhan yang hebat, rencana tuhan yang melingkupi ketidaknormalanku. Diulang tahunku ke tiga puluh lima aku melahirkan seorang anak normal, aku menikah dengan putra pertama mas yayan, kakak lelaki intan. Intan menjadi aktifis diyayan sosialku dia tumbuh menjadi pribadi dengan kecantikan nurani yang sempurna. Dan soal keberadaan ayah yang meninggalkanku aku tak berusaha mencarinya, aku tak ingin dia mengusik kehidupan sempurnaku, dia adalah orang yang tak diharapkan ibuku hadir kembali dikehidupanya, begitupun denganku. Aku tak ingin menguak luka lamaku, kesedihan abadiku, yang aku tau ibuku bahagia melihat kehidupanku sekarang dari sisi tuhan yang maha esa.
Dream, belive and make it hapend.....




0 komentar: