ibu

10:11:00 AM Admin 0 Comments


“ Ibu “

Oleh : Triztan Famous


“ Aku persembahkan segelintir rangkaian kata untuk malaikat tak sempurna dan tak bersayap tetapi selalu ada, ibu “
Ibuku bukanlah ibu yang paling hebat di dunia, dimataku dia memiliki banyak sekali kekurangan yang aku rasa sanggat manusiawi. Dia sesosok yang tempramental, suka mengatur, galak, dan suka marah-marah dengan kata-kata yang sesekali membuatku sakit hati. Ibuku bukanlah dewa, tapi dia jelmaan malaikat sebagai manusia biasa.
Banyak pertengkaran yang terjadi di ruang lingkup kehidupan kami berdua. Saling lempar argumentasi, pandangan normatif dan sebagainya. Sebaik-baiknya peran ibu di dalam rumah tangga tak akan ada orang tua yang mendoakan hal buruk untuk anaknya. Tapi aku ingin ibuku tau jika zaman telah berganti dan lingkungan telah berubah, tidak sama lagi seperti dulu.
Walau kita memiliki banyak sifat yang sama, tapi sampai saat ini aku masih memiliki banyak kesulitan untuk mengerti jalan fikiran dan membuatnya bahagia. Apa memang hubungan darahlah yang membuat kita dalam keadaan ini? Ada sekat tebal yang membuat hubungan kami terasa hambar, terkadang aku sanggat ingin berada di depannya sebagai sesosok manusia. Sesosok makhluk hidup yang sejajar, bukan karena peran ibu dan anak.
Tapi, kita hanya manusia yang sering kali merangkai keterbatasan. Aku tak pernah menunjukkan rasa sayangku kepada ibuku, padahal dengan segenap jiwa dan raga ini aku sanggat menyayanginya.
Tapi entah mengapa hanya untuk mengungkapkan hal itu saja, lidahku tak bisa berucap dengan benar. Benar-benar berat untuk mengungkapkan hal itu karena sekat ibu-anak ini yang tak pernah dia lepaskan. Aku sanggat ingin berbagi cerita, pengalaman, canda, kisah, tanya jawab dan renungan bahkan humor segar dengannya. Tapi bukan sebagai ibu dan anak seperti ini, aku ingin membagi itu semua dalam kesejajaran. Berulang kali aku takut terbuka karena takut tidak sesuai dengan harapan ibuku. Beberapa kisah yang aku lalui aku ceritakan dalam potongan pengalaman yang sudah kusortir agar pas ditelinga dan hatinya. Aku hanya tak ingin membuatnya kecewa, itu saja.
Sering aku berandai-andai tentang sekat ibu dan anak yang masih kita jalani sampai saat ini. Alangkah indahnya jika ibuku bisa merangkap peran sebagai teman, sahabat, dan kakak perempuan, tapi ku rasa itu tidak mungkin. aku hanya ingin berhubungan dengan ibuku secara murni, tulus dan genap sebagai sesama manusia, bukan orang tua dan anak dengan batasan tembok berlapis ekspektasi. Aku hanya ingin sesaat ia menatapku. Aku ingin ia melihatku jika aku sudah tumbuh, jika aku bukan bocah kecilnya yang dulu. Bocah kecil polos yang selalu mengekor dibelakangnya.
Apa mungkin saja ibuku takut melepaskan peran keibuannya karena takut tidak aku hormati lagi?. Mungkin saja begitu. Tapi, aku sebagai seorang anak juga sanggat takut bertindak orisinal karena takut tidak disayangi lagi, takut dimarahi, takut di cap tidak sopan dan takut tidak masuk surga karena tidak menghargaimu.
Lagipula kami sudah terbius di dalam tabir selimut kejawen. Aku tak mempermasalahkan adat dan latar belakang yang ia wariskan kepadaku. Tapi, selalu ada saja istilah “unggah-ungguh” yang membentur kita untuk mensejajarkan diri untuk menjadi sesama manusia. Ibu, aku hanya ingin kau tau, walaupun kau tanggalkan peran keibuanmu untuk menjadi teman, sahabat ataupun kakak perempuan, aku akan tetap menghormatimu sebagaimana seharusnya. Karena kau ibukku.
Aku hanya ingin menautkan perjalanan hidupku dalam kejujuran murni dan genap. Antar jiwa, dan antar hati yang belum bisa kita penuhi.
Kadang aku sanggat iri melihat pribadimu diluar rumah, kau menyapa semua orang. Berbagi cerita dengan orang-orang yang berpapasan denganmu, menebar senyum hangat, menjabat tangan seperti sahabat dan kadang menggoda balita sebagai sesosok yang hebat. Aku ingin kau menjadi pribadimu itu saat kau berada dirumah bersamaku. Hal ini membuatku merasa jika aku belum benar-benar mengenalmu secara utuh, banyak orang yang bercerita tentangmu, kadang menengelamkanku dalam ekspektasi, tapi tak jarang membuatku berkubang dalam lubang-lubang argumentasi.
Ibuku adalah wanita konvensional, tidak suka dandan, jarang memakai perhiasan ataupun baju mewah. Dia sanggat sederhana untuk seseorang sebayanya, dia terlampau murah hati untuk berbagi dengan keadaan. Beberapa kali beliau diberi uang oleh bapakku untuk membeli baju atau keperluan hidupnya, tapi dia tidak memilih untuk menempuh jalan itu. Ibuku lebih suka untuk menjajakan uang itu untuk persediaan bahan makanan, perabotan dapur, atau ditabung untuk keperluan yang mendesak.
 Beberapa kali ia dibelikan baju kakakku untuk hari raya ataupun di hari biasa jika kakakku mengunjunginya. Dia menerima tapi, masih saja diselipi dengan omelan jika lebih baik uangnya ditabung untuk biaya sekolah anaknya daripada untuk membelikannya sepotong pakaian. Sering kali aku iba melihat keadaanya, ia benar-benar rela mengorbankan kebahagiaannya untuk anak-anaknya, untukku. Aku hanya ingin beliau tau jika sepotong pakaian sama sekali tak ada gunanya dibanding keluesan peran yang selama ini telah ia tunjukkan kepadaku dan kakakku.
Dia tak pernah memikirkan dirinya sendiri, dia selalu memikirkan orang lain dahulu, dia melakukan hal itu demi sebuah peran. Peran ibu.
Ibuku juga sesosok orang yang tidak romantis, sering kali membuat marah bapakku. Namun, dibalik semua kekurangannya itu ia terbingkai oleh satu hal yang selalu membuatku nyaman ketika aku berada di sekitarnya.
Dia sanggat mudah untuk membuatku nyaman. Dia adalah ibuku, ibu yang selalu ada untukku, berdoa untukku, sakit untukku dan menangis untukku dan aku sanggat bangga kepadanya. Bukan hanya karena dia kuat tapi karena dia selalu ada untukku, dan aku sanggat bangga untuk hal itu. Jika mataku terpejam bayangan konsisten yang selalu muncul diurutan pertama adalah ibuku.
Masih hanggat ingatanku dikalaku masih bocah. Kau menyuapiku dikandang kuda milik tetangga dengan beragam bujukan lucu.
Jika memang dia harus tetap menjalani perannya di hadapanku, aku tak akan pernah memaksa keadaan lagi. Tapi, untuk sebentar saja aku ingin posisi kami disejajarkan. Aku hanya ingin mengungkapkan betapa sayangnya aku kepada beliau, betapa hidupku tak akan pernah benar-benar berpijak tanpa alas kasih sayang yang telah berlimpah ruah ia curahkan untukku. Terimakasih ibu, maaf jika aku belum mampu untuk menjadi anak yang terbaik untukku. Terimakasih juga karena telah memberikan cinta, kedamaian, keindahan dan berbagai hal positif di dalam hidupku. Aku sanggat bangga kepadamu.
Ini adalah sepihan perasaan murni yang tertuang dalam bingkai nurani, untukmu ibu.


You Might Also Like

0 komentar: