Pelepasan Remah 21

1:18:00 AM Admin 0 Comments




Pelepasan
Remah 21


Kisah sebelumnya klik disini


Untuk pertama kalinya, aku menginap di rumah Willy, saat itu ibunya sedang tak ada di rumah, ia sedang ke jawa timur selama empat hari. Saat aku datang, hanya ada Willy dan kakak perempuannya, Sandra. Aku kenal Sandra sudah lama, kita kenalan di club tempat Willy kerja dan dia merayakan ulang tahunnya disana.
Saat Willy mengenalkanku sebagai pacarnya, tak ada ekspresi tak wajar di wajahnya, ia biasa saja menerimaku sebagai pacar adiknya. Kesan pertama yang aku suka dari dia adalah, dia sama sekali tak mempermasalahkan orientasi seksual seseorang, dia juga bilang “Nak seneng yo seneng wae, ra enek urusan rep bedo kasta, kelamin, po agama,
Sandra adalah party goers-nya Solo, di club apapun, di ulang tahun anak gaul manapun, selalu ada dia. Selalu berpakaian seminimal mungkin, dari kaus dan celana. Memiliki tato kupu-kupu dari belakang telinga hingga pungung, hobby memakai high heels minimum sepuluh senti, wajib menor di malam hari dan natural di siang hari, rambut tergerai hingga punggung dengan ujung warna-warni.
Willy beranjak ke arah dapur dan menyuruhku duduk di ruang tamu bersama kakak perempuannya.
Ko ngendi wae?” tanya Sandra santai saat aku masuk rumah, hari itu hampir petang dan Sandra dalam proses memenorkan wajah, ia sedang mengoleskan gincu merah darah saat aku duduk di depannya.
“Di jemput Willy dari cafe,” jawabku seadanya. Berusaha sesantai mungkin di depannya. Saat duduk berhadapan dengannya, ada sensasi intimidasi yang aku rasakan. Seakan-akan duduk dengan ratu singa yang siap menerkam kapanpun.
Wes marai ngaceng po rung tho susuku iki?” tanya Sandra membuatku shock, ini kali kedua kami bertemu dan dia sudah segeblek ini.Asem, mbakyu adhi kok podo wae sifate, batinku dalam hati.
Wes kok, wes mantep banget,” jawabku kikuk sambil memberinya jempol dua, aku risih melihatnya membenarkan posisi payudara di depanku. Seakan-akan aku tidak terlihat.
Sayange koe ora iso ngaceng yo delok susuku koyo ngene,” lanjutnya membuatku semakin shock, mataku membelalak mendengar kalimatnya barusan, “jane koe ki ganteng lho Bell, tapi sayange ra iso nafsu karo aku,” tambahnya dengan tawa terbahak.
Wes, ra sah kakean omong,” kata Willy menyelamatkanku, ia datang membawa dua gelas berisi minuman bersoda, “sorry, ra enek whisky, bir po anggur,”
Nak enek yo wes di obong ro bue,” sambar Sandra lagi, “jaluk duit Will,”
“Koe arep nek endi neh?” tanya Willy sambil merogoh dompet dari saku celana belakangnya, mengambil lima lembar uang seratus ribu rupiah dan memberikannya kepada Sandra.
Dari arah depan rumah terdengar suara klakson mobil beberapa kali, Sandra lalu beranjak dari sofa, menghampiriku mengecup pipiku dan mengerling nakal kepadaku, “Ojo ML nek kene yo, kawine nek kamar wae,” katanya dengan nada sensual, membuatku shock yang ketiga kali.
Ojo bali esuk, nak bali awan po sore sisan,” kata Willy mengingatkan. “sa’ake bue, wong-wong kene ki rewel,
Siap bose!” sahut Sadra lepas sambil menutup pintu depan.
Ra sah kaget, Sandra pancen koyo ngono,” jelas Willy sambil memberiku tisu untuk menghapus bekas gincu di pipiku.
Ojo lali gowo kondom lho!” teriak Sandra tiba-tiba, “safety can be fun!” tambahnya sambil terbahak-bahak, sebelum akhirnya benar-benar meninggalkanku berduaan dengan Willy.
Wah koyone Sandra luwih edan soko kowe Will,” kataku sungguh-sungguh, “fulgar banget bos omongane,”
Kui we koe gek ketemu peng pindo Bell, piye nak koe ketemu pendhak dino? Bakal lancar kosakata selakanganmu,”
“Tapi asik sih dia, nyablak apa adanya gitu,” pujiku tulus, “kaya kamu,”
Setelah tur singkat di rumahnya, untuk pertama kalinya aku masuk ke kamar Willy. Cat merah bata dan cahaya reman-remang seketika menimbulkan suasana suram yang menganggu. Di pojok kamarnya berdiri sebuah almari kaca yang langsung menarik perhatianku, almari kaca itu berisi koleksi botol minuman keras yang sudah kosong, mulai dari Galliano, Jack-D, Chivas Regal, Red Label, Honessy VSOP, Jhonie Walker dan Black Label.
Disamping almari kaca itu terdapat rak memanjang berisi televisi LED, komputer, laptop dan speaker berukuran sedang. Di atasnya terdapat figura foto saat Willy di wisuda, saat dia menjadi bartender, dan sebagian besar foto-foto di distronya. Koleksi actions figurenya mendapatkan tempat khusus, yaitu mengelilingi kamarnya. Diatas sebuah sofa empuk, terdapat sebuah jendela kaca besar yang langsung menyajikan pemandangan malam.
Aroma rokok dan bir meneuhi udara, jadi kuputuskan untuk membuka jendela kamar di lantai dua itu. Kubuang abu dan puntung rokok yang memenuhi asbak di tempat sampah bersamaan dengan bungkus makanan dan kaleng minuman yang berceceran di lantai. Kutata majalah-majalah otomotif yang berserakan di atas ranjangnya. Dari dulu aku memang tak betah jika harus berada di dalam ruangan yang berantakan.
“Kotor banget sih kamarmu?” keluhku sunggug-sungguh.
“Ya makannya aku ajak kamu kesini. Biar dibersihin,” sahutnya menjengkelkan. Ia lalu duduk di jendela sambil merokok saat melihatku menata ulang kamarnya.
“Tattonya Sandra keren ya?”
“Tatto yang mana?”
“Yang di dadanya,”
“Oh, tatto peri itu, udah lama lagi. Itu tatto pertama dia kok,”
“Lha terus kalau tatto kupu-kupu itu?”
“Baru setahunanlah, katanya sih itu bakal jadi tatto terakhir dia,”
“Reaksi ibumu gimana pas liat kalian punya tatto gitu?”
“Biasa aja sih, kan sebelum tatto ijin dulu sama ibu,”
“Kamu nggak bercandakan?” kataku tak percaya.
“Enggaklah, ibuku asik lagi Bell. Kalau prinsip dia sih gini, itu tubuhmu, mau kamu tatto atau rajah sebanyak apapun itu terserah kamu, itu juga tanggung jawabmu, kalau ada apa-apa ya itu resikomu. Yang penting enggak pakai narkoba aja dia sudah seneng kok,”
“Tapikan dia kelihatan-“
“-Islami banget?”sambar Willy cekatan, “emangnya kalau islam nggak ada toleransi? Dari kecil ibuku emang sudah make jilbab lebar kok Bell, tapi kerennya dia nggak maksa kita buat ngikutin jalan hidup dia. Anak-anaknya udah dewasa semua, udah tahu mana yang salah dan benar, udah bisa dimintain tangung jawab sama hidupnya sendiri,”
Aku hanya bisa diam tak berkutik sedikitpun. Aku tak bisa menjawab secara lantang jika sudah menyangkut topik agama.
“Sebenernya ibu dan ayahku nikah gara-gara kecelakaan sih Bell, sebelum wisuda ibuku hamil Sandra. Di keluarga ayahku, ibuku sering kali dianggep nggak ada, dikeluarga besarnya sekalipun ia juga sering kali nggak keliatan gara-gara aku dan Sandra luarnya urakan kaya gini. Mungkin cuma Rio yang bisa dia banggain, dia ganteng, pinter, anak BEM, dan kuliahnya pake beasiswa lagi,”
“Kamu dari dulu jarang banget lho Will cerita tentang Rio,”
“Lha mau cerita apa? Orang dia nggak disini, dia kesini cuma pas liburan doang,”
“Lha emangnya dia kuliah dimana sih?”
“Di Medan, dari kecil dia emang tinggal sama tanteku. Hampir sepuluh tahun tanteku nikah tapi nggak dapet-dapet anak, nah, si Rio itu jadi pancingan,”
“Terus berhasil nggak progam tantemu itu?”
“Berhasil kok,” sahutnya bangga,“sekarang anaknya yang paling gede udah kelas tiga SMP dan yang kembar masuk SMP tahun depan,”
“Keluargamu ada gen kembar?” kataku antusias.
“Ibuku malah yang kembar. Kalau bukan saudara kembar ya masih mikir-mikir kali Bell, mau nyerahin anak buat pancingan,”
“Wah, kayaknya enak ya punya saudara kembar,” ujarku sambil membayangkan, “mau ngapa-ngapain ada yang nemenin. Jadi, yang kakak siapa? Ibumu atau tantemu yang ada di Medan?”
“Ibuku yang jadi kakaknya,” jelas Willy,“mereka baru pisah pas tante nikah terus ngikut suaminya ke Medan kok,”
“Tapi aku masih bingung sama ibumu Will, dia dari kecil pake jilbab, terus kecelakaan pas kuliah. Bukannya kalau orang-orang kaya gitu jaga-jaga banget ya pergaulannya?”
“Satu hal yang buat ibuku paling mencolok di keluarga besar adalah karena jiwa liarnya Bell, yang akhirnya nurun ke aku sama Sandra. Walaupun dia suka pake jilbab gede, pas muda dulu dia hobbynya naik gunung, panjat tebing, telusur gua, arum jeram, dia suka banget sama kegiatan-kegiatan pemacu adrenalin. Yang jelas gini lho Bell, kita nggak bisa nilai orang cuma dari luarnya doang. Aku sama Sandra emang luarnya berandalan banget, tapi dalemnyakan belum tentu kaya gitu?”
“Kamu bener Will, kenapa aku harus kaget ya denger ibumu kaya gitu? Ternyata aku masih ngotak-ngotakin orang. Belum berfikiran terbuka sepenuhnya,”
“Kamu harusnya kenal lebih deket sama ibuku kok Bell, woles banget soalnya dia. Pokoknya bangga deh aku punya orang tua kaya dia, malahan dia dulu pas kuliah dijuluki ‘pasangan nakal’ lho sama ayahku,”
“Wah kalau itu unpredicteble banget Will. Kayaknya seru banget deh hidup ibumu,”
“Ya mungkin karena dia jalanin hidup cuma buat hari ini aja, dia hidup seolah-olah ini hari terakhir dia, makanya dia gitu,”
“Kamu tahu cerita tentang masalalu ibumu darimana?”
“Dia sendiri kok yang cerita, lagian itu kan cuma kisah masalalu, nggak bakal ngubah apa-apa kan kalau dia ceritain semuanya?” lanjut Willy lagi, membuatku semakin kagum dengan ibunya, “bagi dia nggak ada hal tabu sih Bell, kalau mau ngomongin seks, agama dan lain-lain dia paling asiklah,”
“Wah, jadi tambah pengen kenal baik ibumu,” punjiku tulus, “eh, si kembar anak tantemu itu namanya siapa?”
“Vexia sama Xaveria, kakaknya yang SMP namanya Xavier Xaverio,”
“Lho bukannya namanya Rio itu Xaverio ya?”
“Emang,” sahut Willy ringan, “nama mereka emang sama kok, itu bentuk ucapan terimakasih tanteku sama Rio karena dia mau jadi anak angkat,”
“Wah, gimana ya rasanya jadi Rio? Punya ibu dua, kembar lagi,”
“Ya ntar kalau Rio liburan kita ajak jalan-jalan deh, biar kamu puas ngobrol sama dia,”
“Maksut kamu tentang ibumu yang diabaikan di keluarga besar itu gimana sih Will?”
“Oh, tentang itu,” jawab Willy manggut-manggut, “ya mungkin karena banyak orang yang liat orang dari penampilan dan langsung menghakimi kali ya. Banyak keluarga besar yang sebel sama ibu gara-gara punya anak berandalan kaya aku sama Sandra, mereka ngatain ibu gagal dan nggak bisa didik anaknya dengan baik. Pahadalkan, hey! Emang mereka siapa lihat kita cuma dari luarnya aja? Menurutku ibuku sukses kok jadi orang tua. Selain jadi E. O. Sandra juga punya butik, aku selain jadi bartender juga punya distro kok, hidup kita baik-baik aja dan kita mampu bertangung jawab atas semua itu. Dari uang distro sama butik kita udah bisa kok buat naikin ibu haji, yang salah apa coba dari hidup kita?”
“Yang salah cuma sudut pandang orang kebanyakan sayang,” kataku lembut berusaha menetralisir emosi di hatinya, “masih banyak orang yang yangka orang yang pake tatto sama tindik itu orang nggak bener. Padahalkan itu sudut pandang lama, sekarang mah, tatto itu jadi bagian gaya hidup,”
“Nah, itu dia Bell yang salah sama masyarakat kita. Mereka kebanyakan nggak bisa berfikir positif sama orang-orang, mereka mikir kalau orang tattoan itu pasti hidupnya nggak bener, preman, tukang mabuk, suka bikin ribut,ya memang sih ada orang yang gitu. Tapikan, nggak bisa pukul rata semuanya,”
“Ngerti kok Will, aku paham,”
“Aku sama Sandra itu sama. Nggak bisa kalau disuruh nurutin standar orang kebanyakan, Sandra nggak bisa kalau disuruh pake jilbab kaya ibu, aku juga nggak bisa disuruh sholat lima waktu, pakai pecis, kerja di kantor dan lain-lain. Soalnya itu bukan jati diriku, jati diriku ya gini, nggak bisa diutak-atik lagi. Aku bahagia jalanin ini semua, kenapa masih banyak orang bawel ya diluar sana?”
“Ya karena kita nggak bisa maksa semua orang pakai sudut pandang kita Will,’ jelasku langsung, “semuanya butuh proses, apa yang jadi standar orang normal buat keluarga A sama apa yang jadi standar normal buat keluarga B kan beda. Nggak ada habis-habisnya kalau kita bahas ini semua,”
“Omongan kita terlalu serius!” kata Willy sambil terbahak, “aku pernah di lelang lho sama Sandra,”
Dilelang? Maksudnya?



Kisah selanjutnya Klik disini




Daftar lengkap serial Pelepasan


Melajulah "Pelepasan"ku klik disini 
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 3 Klik disini
Pelepasan Remah ke 4 Klik disini
Pelepasan Remah ke 5 Klik disini
Pelepasan Remah ke 6 Klik disini
Pelepasan Remah ke 7 Klik disini
Pelepasan Remah ke 8 Klik disini
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Pelepasan Remah ke 10 Klik disini
Pelepasan Remah ke 11 Klik disini
Pelepasan Remah ke 12 Klik disini
Pelepasan Remah ke 13 Klik disini
Pelepasan Remah ke 14 Klik disini
Pelepasan Remah ke 15 Klik disini
Pelepasan Remah ke 16 Klik disini
Pelepasan Remah ke 17 Klik disini
Pelepasan Remah ke 18 Klik disini
Pelepasan Remah ke 19 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 21 Klik disini
Pelepasan Remah ke 22 Klik disini
Pelepasan Remah ke 23 Klik disini
Pelepasan Remah ke 24 Klik disini
Pelepasan Remah ke 25 Klik disini
Pelepasan Remah ke 26 Klik disini
Pelepasan Remah ke 27 Klik disini
Pelepasan Remah ke 28 Klik disini
Pelepasan Remah ke 29 Klik disini
Pelepasan Remah ke 30 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini

0 komentar: