REVIEW FILM: Surat dari praha (2015)

10:24:00 PM Admin 0 Comments

Surat dari praha
Reviewer: Triztan Famous

Ada tiga alasan kenapa saya menonton film Surat Dari Praha, yang pertama karena ini film dari Visinema yang di sutradari oleh Angga Dwimas Sasongko, yang kedua adalah karena Tio Pakusadewo yang notabennya adalah aktor Indonesia favorit saya selain Reza Rahardian, dan yang ketiga karena film ini mengangkat tema yang masih anomali karena jarang diangkat oleh sineas Indonesia.
Angga Dwimas Sasongko yang menawan saya dengan Cahaya Dari Timur: Beta Maluku dan memantapkan pengalaman cinematik saya dengan Filosofi Kopi yang sampai sekarang masih menjadi film favorit saya yang pernah ia buat. Semenjak Surat Dari Praha mulai menjejakkan langkah pertama, konflik langsung dihadapkan kepada kita. Perkenalan tokoh yang sanggat baik juga semakin memperlancar jalannya film ini, menit pertama kita langsung diperkenalkan dengan tokoh Dahayu Larasati (Julie Estele) yang berarti teratai yang cantik dan (Widyawati), yang entah kenapa wajah mereka terlihat teramat mirip.
Laras yang sudah lama tak jumpa dengan ibunya tiba-tiba menghubungi ibunya di rumah sakit untuk meminjam sertifikat rumah guna melunasi hutang yang harus ia tanggung karena perceraiannya dengan Chiko Jeriko. Ibu laras yang meninggal setelah operasi meninggalkan sebuah permintaan yang mau tak mau harus Laras turuti, yaitu mengantarkan sebuah kotak berisi surat dari praha dan meminta tanda tangan kepada sosok yang ia kirimi kotak tersebut.
Sesampainya di Praha, ia bertemu dengan Jaya (Tio Pakusadewo) yang kurang lebih memiliki sifat pahit, egois, dan keras seperti dirinya. Tak mudah untuk Laras mendapatkan tanda tangan dari Jaya. Jaya yang tak ingin hidupnya kembali diobrak-abrik, langsung menyuruh Laras untuk meninggalkan rumahnya. Tetapi karena suatu kejadian, akhirnya Laras menginap di rumah Jaya untuk beberapa hari dan mulai mencairlah hubungan mereka, hingga menghangat, dan akhirnya menjadi intim.
Secara garis besar Surat Dari Praha mengingatkan saya akan beberapa film-film favorit saya yang saya tonton berulang, seperti memiliki akumulasi rasa dari Trilogi Before yang fenomenal itu, Lovely Man yang indah itu dan memaafkan masalalu seperti dalam Filosofi Kopi. Entah mengapa ada rasa yang menganjal saat saya melihat Surat Dari Praha ini, banyak emosi yang terlalu cepat dilemparkan kepada penonton sehingga membuat film ini terlalu padat. Tak seperti Filosofi Kopi dahulu yang membuat saya menitikan air mata di bioskop, di Surat Dari Praha ada beberapa emosi yang gagal sampai karena kurang banyaknya persiapan sehingga saya kurang bisa merasakan bagaimana kesendirian Jaya dan Luka yang Laras rasakan.
Yang kedua adalah penggunaan Green Scren pada adegan Laras dan ibunya di rumah sakit yang menurut saya cukup menganggu. Lalu adegan pada saat di rumah duka, Laras yang baru saja kehilangan ibunya sama sekali tak menitikan air mata. Sampai sebegitu keraskah hati Laras karena sakit hati dengan ibunya hingga hatinya sama sekali tak terketuk? Lalu kenapa pada saat dengan pak Jaya dia dapat dengan mudah mencair dan menjadi pribadi yang hangat dalam beberapa hari? Dan yang ketiga adalah pemain-pemain figuran di film ini yang berasal dari praha yang berakting kaku dan asal-asalan. Saya sampai tak percaya bagaimana seorang Angga Dwimas Sasongko menggunakan Extras seperti itu di dalam film ini. Adegan perampokan di taksi yang menjadi titik balik di dalam film ini harusnya bisa jauh lebih baik daripada adegan datar dan buruk seperti itu.
Tapi selain itu ada banyak adegan yang membuat hati hangat di Surat Dari Praha, seperti saat Jaya bernyanyi di bar, atau pada saat Jaya dan teman-temannya dengan reunian di rumah Jaya menyanyikan lagu tentang kuda yang entah apa judulnya dan lagu Indonesia raya yang saya harus akui dapat membuat haru seisi bioskop karena dinyanyikan oleh para manusia berideologi kuat yang tidak bisa kembali ke Indonesia dan yang paling saya akui adalah dipertengahan menuju klimaks dimana Laras dan Jaya berdebat hebat dengan kata-kata yang menurut saya sadis dan kasar dengan tehnik longtake yang menakjubkan, walau tidak terlalu lama, tapi adegan itu membuat saya semakin kagum dengan Julie dan Tio yang berakting dengan menakjubkan setelah mereka beradu di The Raid 2.
Overall, Surat Dari Praha adalah film anomali dengan cerita yang jarang diangkat di dunia perfileman Indonesia yang patut untuk disaksikan di bioskop. Walau melabeli dengan film shot luar negeri, tapi film ini tidak semata-mata menjual pemandangan luar negeri seperti kebanyakan film indonesia lainnya, Surat Dari Praha dengan bijaksana menggunakan setting luar negeri sesuai dengan kebutuhan cerita. Dengan cerita yang padat dan emosi yang kerap tumpah dimana-mana film ini menjadi film yang jarang ada di perfileman Indonesia.
Sebagai film yang menjadi pemula parade film-film yang paling dinanti tahun 2016, Surat Dari Praha melakukan tugasnya dengan baik. Untuk mengakhiri review ini saya ingin mengucapkan selamat kepada Angga Dwimas Sasongko untuk meneruskan tradisi film bagus yang ia sutradarai dan selamat datang untuk Ahhc... Aku Jatuh Cinta, A copy Of My Mind dan Ada Apa Dengan Cinta yang akan segera menyapa kita... sekian.
Skor : 8/10

0 komentar: