Kentongan

1:58:00 AM Admin 0 Comments



KENTONGAN
Oleh : Triztan Famous

Dini hari sebelum subuh itu, kentongan di pojok gardu mengadu. Mengoyak selaput awan di atas sana. Membuatku dan tetanggaku bergegas, berlari bersama cemas menyecap ujung suara.
“Maling! Maling!“ lagi, seruan parau itu menggema di sudut desa. Meminta pertolongan, memberi kepastian. Penduduk sekitar yang sudah biasa membaca tanda-tanda akan datangnya peristiwa lantas berhambur di luar rumah, memecah diri. Sebagian menuju sumber suara, yang lain bersiap di titik-titik strategis.
Seketika, rumah di ujung jalan itu ramai tak terperi. Seseorang bercadar sarung berkelebat menghindar kejaran masa yang mendadak padu. Ia panik, tak mengira jika aksinya kali ini akan mengundang masa sebegitu banyaknya.
Nafasnya berseloroh, tremor menyerang mendadak, degub di jantungnya seperti akan mencuat lepas dari dalam dada. Ia tak ingin menjadi tumbal kejahatan masal, dengan segenap tenaga ia memaksa tungkai kakinya yang terus bergetar agar terus bergerak. Menjejak aspal, atau gumpalan tanah berbatu yang meghadang. Ia ketakutan. Keringat menderas, membentuk noda basah di lekukan tubuh, punggung dan cadar sarungnya. Clurit di tangannya siap membabat orang yang menghadang. Ia tak ingin menyulut peperangan, tapi itu akan terjadi jika langkahnya terhalang.
 http://images.suaradesa.timesindonesia.co.id/1430825036-Antara-Kentongan-dan-Broadcast-Messages.jpg
Para cecunguk desa mulai bertebaran di posisi strategis yang mungkin ia lewati, membuat si pencuri hilang akal, jalan-jalan keluar yang ia persiapkan tersumbat gelontoran manusia. Ternyata aksinya sudah terendus warga desa. Tak ingin ia tertangkap dan jadi bulan-bulanan masa demi segengam emas dan segepok uang. Keluarganya setia menunggu dirumah, ia tak ingin mengecewakan mereka. Atau sekedar pulang menghidangkan rasa malu untuk dijamu sebagai sarapan.
Di pertigaan langkahnya tersendat, ia melihat masa mengepungnya. Jiwanya histeris, ia kalut, sekilas ia bersitatap dengan malaikat maut yang hadir berkelebat, penunggu kuburan yang akan tubuhnya gunakan untuk bersemayam, “Jangan memaksakan keberuntungan,“ katanya sinis. Tapi ia diam, tak menggubris kelebat hayalnya. Ia tak sudi menyerahkan butir nyawanya dalam kondisi seperti ini.
Ia mengedarkan pandang, tak ada jalan, bisiknya getir pada diri sendiri. Tetesan keringat mendanau di bungkusan ketat tubuhnya. Ia kembali mengedarkan pandang, tak ada jalan, ulangnya frustasi.
Matanya bergetar, ia lemparkan sudut pandang ke segala penjuru arah. Mustahil ia bisa memanjat tembok setinggi dua setengah meter disekelilingnya, pertigaan itu mengkungkung dirinya dengan jajaran rumah berpagar tinggi. Sebentar lagi kau akan bertemu ajal, dan aku akan melumatmu perlahan, ucap sang maut kegirangan. Tidak! Aku tak ingin mati sekarang, balas sengit pencuri bercadar.
Suara kentongan terasa menohok telinga saat sebuah galah melayang menubruk punggungnya. Warga desa sudah bersiap, mereka tak ingin celaka dengan pertarungan jarak dekat dengannya. Clurit di tangannya teracung garang, menantang warga desa yang mendatang. Ia tak ingin menyerah, sama sekali tak ingin kalah.
Gelombang besar manusia mengepungnya dipertigaan, dengan senjata dan alat pertahanan seadanya, mereka membludak dalam sebuah arus besar yang tak bisa ditahan. Tak hanya lelaki yang datang menyeruak, ibu dan anak-anak semua berbondong-bondong datang. Mereka ingin melihat orang dan kejadian yang akan menjadi bahan omongan beberapa waktu kedepan.
Batu dan galah meluncur dari segala arah menghujam tubuhnya. Cluritnya tak lagi terlihat garang, saat ia melindungi wajahnya, warga berdatangan menghampiri dan merebut clurit yang tak bisa lagi terlihat garang. Balok kayu langsung menghantam telinga bagian kanan, rasa panas, perih dan dengungan panjang datang menyergap disertai sorak sorai masal. Warga bahagia, maut bersendawa.
“Habisi dia!“
“Buat orang itu jera!“
Teriakan menghujam dari berbagai lidah tajam. Mereka akan membunuhku, ucapnya pasrah, aku akan mati. Ia pasrah, tak bisa ia berbuat apa-apa. Tubuhnya terus berdenyut kencang bekas sepakan keras kembali menghantam sisi kiri wajahnya.
Mereka bersorak! Orang-orang terus berteriak!
Batu menghantam dari bawah dagunya.
Tawa masyarakat membuncah! Beludak bahagia menggema!
Galah adu keras dengan jidatnya. Sorai bertemu dengan tepukan tangan! Mereka menikmati proses penyiksaan dirinya dengan gembira.
Kentongan terus ditabuh sebagai orkes pengiring kebahagiaan masal. Cadar sarungnya dikoyak diantara wajah belepot darah dan luka setengah matang. Mereka mengenalinya, jati dirinya resmi telanjang. Bogem mentah kembali melayang, bergilir menghantam wajahnya. Tongkat kasti meremukan rusuknya, balok kayu menghancurkan telinganya, sepakan keras menjontorkan bibirnya, galah kembali adu keras dengan batok kepalanya, dan sikut mendarat tepat di tengah punggungnya.
Adengan itu terus berulang, menerbangkan setengah nyawanya mengawang-awang, ia sekarat, sang maut siap-siap melumat. Wajahnya tak lagi ketara diantara aliran segar darah dan biru memar. Ia sadar, jika inilah babak akhir hidupnya.
Kentongan kembali bertabuh.
Menyadarkanku, jika itu ceceran mimpi yang telah berlalu.




You Might Also Like

0 komentar: