Pelepasan Remah 8

7:29:00 AM Admin 0 Comments




Pelepasan
Remah 8


Kisah Sebelumnya Klik disini



“Jadi?”
“Jadi apanya?”
“Jadi kita gimana Bell?” kata Willy gemas. Kembali meminta kepastian.
“Hubungan kita?”
“Yaiyalah, apalagi coba?”
“Kita mulai pelan-pelan ya?” dengan suara hampir tak terdengar Abell menjelaskan, “kita saling menjajaki dulu sebelum lanjut ke tahap selanjutnya, gimana?”
Lama Willy terdiam, sudah lama ia mengejar-ngejar Abell, dan segala usahanya selalu berakhir dengan kekecewaan di pihaknya. Baru kali ini Abell mau memberinya kesempatan lebih, “Okey, nggak masalah,” jawab Willy dengan wajah masam.
“Kenapa Will?” tanya Abell rikuh, ia takut jika keputusannya barusan melukai hatinya. Sudah lama ia menggantung hubungannya dengan Willy, tapi ia masih butuh satu kepastian lagi. Kepastian dari sahabat dekatnya. Andi.
“Cuma berandai-andai aja Bell,”
“Berandai-andai apa Will?”
“Andai kita nggak ada dalam posisi seperti ini, pasti udah dari dulu aku boyong kamu kepelaminan. Tadi pagi aja, aku udah ngebet banget pengen bangun tenda di depan hotel terus ngajakin kamu kawin, hehehe,”
“Dasar gila kamu!” serobot Abell beringas, ia sama sekali tak pernah membayangkan hal-hal seperti itu.
“Mungkin aku memang harus gila biar kamu ada di sisiku terus Bell,”
“Ah, udahlah. Ngomong sama kamu itu sering ngaconya! Kamu hati-hati ya? Jangan ngebut nyepedanya!”
“Kamu juga Bell, hati-hati. Awas ya kalau nanti kecantol sama cowok di jalan!” Abell tersenyum, ia suka sifat Willy yang posesit dan cemburuan, “aku aja yang ngejar-ngejar setahun masih digantung,”
“Apaan sih kamu, aku nggak gampangan kok Will,”
“Tapi aku kadang mikir deh Bell, kalau kamu emang sengaja buat aku ngejar-ngejar kamu setahun terakhir,”
“Lho kok bisa?”
“Soalnya banyak orang yang bilang kalau masa-masa pendekatan itu lebih indah daripada pas pacaran. Aku mikirnya kamu emang sengaja buat masa pendekatan kita lebih lama, sekalian buat kamu jaga-jaga kalau nanti pas pacaran nggak seperti yang kamu inginkan, hahaha,”
“Ngarang!” jawab Abell langsung, “Eh, tapi ada benernya juga sih, seumpama nanti pas kita pacaran sifatmu berubah, kan aku juga yang repot,”
“Nggak bakal ada yang berubah Bell, di depan kamu aku apa adanya kok,”
“Halah, nggak ada yang nggak berubah Will di dunia ini. Apalagi masalah pacaran kaya gini, nggak ada yang pasti,”
“Kalau mau yang pasti-pasti makanya cepet dong terima tawaran aku Bell, nggak capek apa kamunya nolak aku terus tiap hari?”
“Lha kamunya capek nggak nembak aku tiap hari?” serobot Abell langsung.
“Enggak,” jawab Willy cepat, “perjuangan instan cuma bakal ngasih hal-hal yang nggak kita butuhkan Bell, hanya pemuas keinginan saja,”
“Nah itu kamu tahu, keep fighting Will!”
“Oke deh sayang,”
“Belum resmi! Nggak usah sayang-sayangan dulu!”
“Emangnya kalau udah resmi pengennya dipanggil apa Bell? Ayah bunda?”
“Nggak usah bikin ide aneh-aneh dulu deh! Bikin shock aja!”
“Bercanda Bell,”
“Udah ah. Bye Will, nanti kabarin kalau sudah sampe rumah,”
“Bye Bell, sebenernya aku pengen cium kamu lagi Bell! Udah nggak tahan daritadi soalnya! Hehehe,”
“Tadikan di hotel udah! Ah kamu! Nafsuan!”

. . . . # # # . . . ...


“Dua belas menit Bell,” sahut Andi jemu sambil menatap layar jam yang melingkar di lengan kirinya, “dua belas menit aku sadar kalau omonganku barusan sia-sia. Kamu kenapa sih? Pulang liburan kok malah nggak fokus kaya gini?” dengusnya jengkel dengan tatapan kecut.
“Sorry Ndi, nggak ada maksud buat nyuekin kamu tadi,” kata Abell sungguh-sungguh. Ia sama sekali tak bisa konsentrasi untuk meeting kali ini. Dari kemarin malam, di fikirannya hanya ada Willy semata. Wajah menawannya, bibir tipisnya, cara saat ia menatap, bekas tindik di kedua telinganya, cueknya, sifat apa adanya, cara dia tertawa, tubuh gempalnya, cengengesannya, ukuran penisnya. Satu persatu hal itu terbayang, lalu membuatnya membuka handphone dan kembali menelisik foto-foto yang mereka buat di Selo.
Saat Abell melamun, tiba-tiba Andi menarik kerah baju yang sengaja ia buat berdiri untuk menutupi bekas cipokan dari Willy –sebagai kenang-kenangan, katanya-, “What the hell? Koe bar main karo perek?”
Udu perek Ndi!”
Lha terus? kok bekase ngasi koyo ngono?” kata Andi sedikit emosi.
Aku yo agek sadar mau nak bekase seakeh iki!”
Ojo kondo nak koe lali bar main karo sopo?” tuduhnya dengan tatapan tajam.
“Aku sadar habis cipokan sama siapa, aku tahu orangnya juga, dan aku nggak mabuk, okey?” jawab Abell lugas, “aku nggak kaya anak-anak yang hobby one night stand Ndi!”
Tapi tatapan Andi menembus ke dalam dada Abell. Membuatnya kelimpungan dalam rasa tak nyaman.
“Okey, okey. Aku ngaku!” jawab Abell jujur, “Aku mabuk kemarin, baru tadi pagi aku sadar kalau bekas cipokan di leherku banyak banget!”
Tatapan Andi sedikit melunak, “Dicipok siapa?”
Muncul jeda cukup panjang sebelum akhirnya Abell berani membuka mulutnya, “Wi-willy,” jawabnya dengan suara parau.
“Siapa? Nggak kedengeran!” pancing Andi dengan sorot mata tajam.
“Willy,” jawab Abell dengan suara bergetar.
Alis Andi bertaut, keningnya berkerut, “Willy?” tanya Andi kebingungan, mulai mengurut nama teman-teman kami. Tapi, tak ada nama Willy disana, “Willy yang mana?”
Abell cengengesan, “Willy yang pernah aku ceritain itu lho,”
“Willy yang mana sih Bell?” katanya gusar.
“Willy yang tempo hari aku ceritain itu,” jawab Abell dengan nada memelas. Berusaha menahan rasa takut di hatinya.
“WILLY YANG TEMPO HARI KAMU CERITAIN ITU?” ulang Andi murka, “kamu udah gila ya Bell? Gimana bisa kamu ketemuan sama orang yang nggak kamu kenal kaya gitu?”
“Ya nggak tahulah Ndi, spontanitas aja sih sebenernya. Kamu kan tahu kalau aku udah lama chatingan sama dia. Aku ngerasa klop sama dia, terus dia ngajakin ketemuan, yaudah deh aku terima aja ajakannya. Lagian, aku juga pas lagi butuh liburan. Nggak ada salahnya kan?”
“Iya dan enggak!” balas Andi kecut dengan wajah masam.
“Maksutnya gimana tuh?” tanya Abell berusaha memberanikan diri.
“Maksutnya kamu itu luar biasa ceroboh ketemuan, terus ngamar bareng sama orang asing kaya gitu! Dari grub nggak jelas lagi!” sembur Andi langsung, membuat Abell sedikit bergidik ketakutan. Ia sama sekali tak suka jika Andi berbicara dengannya dengan nada suara seperti itu. Tapi disisi lain ia tak bisa lagi berkutik, ia paham jika Andi hanya hawatir saja, “bahaya tahu nggak Bell! Kamu sendirikan tahu kalau dunia abu-abumu itu sampai kapanpun nggak bakal dapat pengakuan. Terus gimana kalau terjadi apa-apa sama kamu? Kamu bukan tipe orang yang bisa jaga dirimu sendiri Bell! Berantem aja nggak bisa, dasar ceroboh,”
“Aku emang ceroboh Ndi, tapi-“
“-tapi apa? Hah?” tantang Andi langsung, “seumpama kalau pas kamu tidur terus dia ngambil barang-barangmu gimana hah?”
“Tapi nyatanya kan enggak Ndi? Barang-barangku masih untuh, aku juga masih sehat wal afiat kok, nggak kurang satu apapun!”
“Yakin kamu nggak kurang satu apapun?” tambahnya ketus, “kemarin ngapain aja kamu sama dia? Pakai kondom nggak?”
“STOP NDI!” kata Abell setengah berteriak, “aku bakal jelasin semuanya asal kamu tenang! Okey? Jangan ngehakimin aku dulu! Aku paham kalau kamu hawatir sama aku. Aku juga paham kalau orang tuaku minta kamu buat ngawasin aku selama aku minggat dari rumah. Aku ngaku kalau aku salah, aku ceroboh dan aku nggak bisa jaga diriku sendiri,” ucap Abell cepat, fakta bahwa dia bukan tipe orang yang bisa melindungi dirinya sendiri, membuat hatinya kecut dan berkerut, “aku nggak minta semua orang paham sama orientasi seksualku yang kaya gini, aku juga nggak minta mereka buat ngakuin dunia abu-abu ini, yang aku minta cuma pengertian orang-orang disekitarku. Dan itu kamu Ndi. Aku cuma pengen kamu ngerti kalau aku butuh dukunganmu untuk hal ini,”
“Untuk hal apa?” jawab Andi dengan nada suara pelan, tak lagi meledak-ledak. Sambil menyulut batang rokok, ia menatap langsung mata Abell.
“Aku ingin menjalin hubungan sama dia Ndi,” ungkap Abell langsung tanpa basa-basi.
“Hubungan seperti apa yang kamu mau sama dia?” tohok Andi cepat.
“Hubungan antara hati ke hati Ndi,” jawab Abell tulus, baru kali ini ia tak berusaha menyangkal apa yang ada di hatinya, “aku jatuh cinta sama dia Ndi,” lanjut Abell terbata-bata, “aku nggak tahu gimana bisa aku cinta sama dia. Tapi pas kemarin aku jalan sama dia. Aku tahu kalau dia orang yang tepat. Orang yang aku butuhkan,”
“Kamu jatuh cinta sama dia dalam semalam?” tanya Andi sedikit sinis.
“Aku sudah lama punya rasa sama dia Ndi, tapi semalam adalah penegasan,”
“Kamu inget nggak kalau dulu kamu bilang kalau kamu nggak mau campurin dunia nyata sama dunia maya? Sadar nggak kalau kamu sekarang itu lagi ngaduk-aduk keduanya? Selalu ada batas untuk semua hal Bell. Semua harus kamu fikirin matang-matang, kita bukan anak kecil lagi. Jangan gara-gara cuma karena cinta dadakan kamu lupa sama semua hal!”
“Aku inget Ndi, aku inget semuanya. Aku juga sadar kalau aku nggak bisa megang prinsipku yang satu itu. Aku minta maaf buat hal itu,” jawab Abell lirih, “jadi gay aja udah susah Ndi, kenapa cuma jalin hubungan sesama juga harus kamu tentang?”
“Bagian mana dari kalimatku yang nentang Bell? Aku cuma mempertanyakan ulang aja. Tentang batasan-batasan yang dulu kamu buat, tentang prinsip yang akhirnya kamu langgar, tentang aturan yang kamu bongkar. Aku cuma pengin kamu mikir sebelum bertindak. Jangan gegabah jadi orang,”
“Aku juga udah mikirin ini berulang kali kok Ndi, aku juga nggak ngambil keputusan ini begitu aja,”
“Sebenernya aku woles-woles aja sih Bell. Terserah kamu mau jatuh cinta sama siapapun. Tapi satu hal yang harus kamu tahu Bell, jangan jatuh cinta terlalu dalam. Apalagi di dunia abu-abu kaya gitu. Kita sama-sama tahu duniamu itu kaya apa, hubungan yang akan aklian jalin seperti apa, resikonya kaya apa. Kita sama-sama tahu dan paham akan hal itu. Kita berdua udah dewasa, bisa mikir resiko sama konsekwensinya. Kamu bukan satu-satunya gay yang ada disekitarku Bell, jadi aku bisa ngomong kaya gini. Kamu sendiri juga kenal mereka, kehidupan mereka. Resiko pilihan hidup mereka. Apalagi udah puluhan tahun aku kenal kamu. Dengan semua kepribadianmu. Sekali jatuh, kamu nggak bakalan cuma terpuruk, tapi juga tenggelam sampai dasarnya. Kemungkinan kamu nggak bakal bangkit juga ada. Aku nggak ingin kamu dalam posisi seperti itu. Nggak harus kan kita ngerasain jatuh terus ketimpa tangga cuma buat ngerasain itu semua? Belajar dari pengalaman orang itu lebih baik daripada harus mengalaminya,”
“Iya Ndi, aku paham kok sama semuanya,”
“Bagus deh kalau kamu paham semuanya. Aku nggak bakal ngehakimin apapun yang bakal kamu pilih. Aku dukung apapun pilihanmu. Satu hal yang harus aku tekankan kalau kamu bener-bener mau jalanin hubungan sama Willy. Kamu harus tahu kalau hubungan kalian berdua itu nggak bakal ada ujungnya. Nggak ada legalisasi. Nggak bakal ada pengakuan. Nggak ada juga cincin pengikat atau keluarga besar yang bakal ngamuk kalau terjadi apa-apa sama kalian. Kalian hanya berdua. Kalian harus benar-benar paham atas jalan yang kalian pilih ini.”
“Makasih buat semuanya Ndi, dukunganmu berarti banyak buatku,”
“Sama-sama Bell, itu gunanya keluarga,”
“Satu lagi Ndi,”
“Apa Bell?”
“Kamu pernah tanya kenapa selama ini aku nggak pacaran, aku juga yakin kalau tadi pasti kamu ngira kalau ini cinta monyetku,”
“Kenapa memangnya?”
“Karena dari dulu aku nggak mencari cinta Ndi, aku membiarkan cinta yang mencariku. Karena bagiku, orang disebut jatuh cinta karena dia tak pernah memaksakan dirinya untuk mencintai seseorang, tapi karena samata-mata ia jatuh tanpa ia sadari. Hal itulah yang buat aku kelimpungan sama dia. Karena aku jatuh tanpa aku sadari,”
Andi manggut-manggut sebelum akhirnya menandaskan batang rokoknya di dalam asbak. Tanpa berkata apa-apa dia beranjak pergi ke arah dapur, dan muncul beberapa menit kemudian sambil membawa segelas susu hangat di tangan kanannya. Meletakkan gelas susu besar itu di depan Abell sebelum akhirnya ia pergi keluar dan meninggalkanya sendirian.
Di hadapan segelas susu itu pikiran Abell melayang kemana-mana. Membayangkan segala kemungkinan yang ada. Masalah yang akan ia hadapi. Rutinitas yang akan berubah. ketidakpastian-ketidakpastian yang ia benci. Konsekwensi pilihannya. Tapi juga ada harapan yang muncul disana.
Seulas senyum terlukis di wajahnya saat dengan penuh semangat ia mengetik sebuah pesan di handphonenya. Ia yakin jika seseorang itu belum tidur saat ini. Dan memutuskan untuk tak tidur setelah membaca pesan yang segera terkirim.

Aku mau. Aku mau jadi pacar kamu.

Pesan itu terkirim. Abell langsung mematikan handphonenya saat panggilan masuk langsung menyerbu. Ia langsung tenggak segelas susu itu. Menutup pintu cafe. Lalu menuju lantai atas, tempat ia meeting dengan Andi dan klien lainnya. Malam itu ia kesulitan tidur. Senyum terus terulas di wajahnya. Hingga akhirnya ia dapat terlelap dalam bahagia.



Pelepasan Remah ke 9 Klik disini




Daftar lengkap serial Pelepasan


Melajulah "Pelepasan"ku klik disini 
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 3 Klik disini
Pelepasan Remah ke 4 Klik disini
Pelepasan Remah ke 5 Klik disini
Pelepasan Remah ke 6 Klik disini
Pelepasan Remah ke 7 Klik disini
Pelepasan Remah ke 8 Klik disini
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Pelepasan Remah ke 10 Klik disini
Pelepasan Remah ke 11 Klik disini
Pelepasan Remah ke 12 Klik disini
Pelepasan Remah ke 13 Klik disini
Pelepasan Remah ke 14 Klik disini
Pelepasan Remah ke 15 Klik disini
Pelepasan Remah ke 16 Klik disini
Pelepasan Remah ke 17 Klik disini
Pelepasan Remah ke 18 Klik disini
Pelepasan Remah ke 19 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 21 Klik disini
Pelepasan Remah ke 22 Klik disini
Pelepasan Remah ke 23 Klik disini
Pelepasan Remah ke 24 Klik disini
Pelepasan Remah ke 25 Klik disini
Pelepasan Remah ke 26 Klik disini
Pelepasan Remah ke 27 Klik disini
Pelepasan Remah ke 28 Klik disini
Pelepasan Remah ke 29 Klik disini
Pelepasan Remah ke 30 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini

Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini

0 komentar: