akhir kasih mahadewi pelacur

5:58:00 PM Admin 0 Comments


“ Akhir kasih mahadewi pelacur “
Oleh : Triztan Famous


“ Tau ngak za, terkadang cinta itu untuk selamanya  tapi terkadang cinta itu menyakitkan “ kamu berkata dengan nafas memberat. Lalu kau mulai membelai rambut merah panjangku, mengurutnya dari atas kebawah secara berulang. Memberi penekanan dipangkal seolah-olah wangi sampoku akan menetap pada jemarimu, merasuk ke dalam pori-pori kulitmu dan menelurkan sebuah memory indah tentang episode kebersamaan kita.
“ Aku tau “ jawabku singkat tapi pasti, tanpa berniat untuk mengangkat kepalaku yang sedari tadi menempel di dada bidangmu. Kurasakan kamu kembali membuang nafas berat, tapi kali ini berbeda, bukan sesak karena berat tengkorak kepalaku tapi karena tekanan sesuatu yang belum aku pahami. Dan aku tak punya niat untuk memahami.
Aku tak pernah mau tau rahasia apa yang sedang kau simpan sekarang, kau pernah mengatakan padaku tentang sifat terbaikku : tidak menganggu. Dan aku tak akan menganggu kamu dengan ruang rahasianmu.
Cahaya jingga keemasan mulai membaurkan pesonanya diantara alang-alang yang menjulang tinggi diantara kita. Membuat perpaduan belang diantara cahaya dan bayangan tubuh kita. Matahari mulai terbenam dan kita masih tetap merebahkan diri dipuncak bukit tempat kita biasa bertemu, hanya untuk menghabiskan kualitas waktu dalam satu perpaduan.
 Kuresapi bagaimana alunan detak jantungmu mengalun, ku tutup kelopak mata saat rasa hangat dari kulit dada telanjangmu berpindah jalur menuju pipiku. Ada sensasi meremangkan bulu kuduk saat pertamaku lekatkan kulitku dan kulit tubuhmu. Kau mendekapku pelan dan kau merengkuhku kuat seakan akan tak ingin melepaskan diriku lagi, mengecup jidatku dengan kecupan panjang untuk menutup hari itu.
Sebuah kecupan indah berbalur perasaan murni selembut sutra yang hanya datang dari selaput nurani dengan kadar tertentu saja. Hanya kamu yang bisa melakukan itu, hanya kamu yang bisa meracik kecupan diatas indah itu. Membuat jiwaku mengalir ke suatu keadaan tenang yang tak biasa, perasaan tenang dengan kepuasan tak terhingga.
Hanya satu orang yang bisa memberikan kecupan seindah pemandangan hamparan sawah dengan warna hijau yang berbeda dikala pagi masih enggan menebar aroma jernih berselimut pesona keperawanannya. Kamu, hanya kamu yang bisa melakukan itu.
Sepuluh menit kami habiskan untuk berpelukan, merasakan alam sekitar yang selalu memberi ruang untuk kebersamaan kita. Langit merekah indah saat kau beranjak berdiri, mengambil baju lengan panjang kotak abu-abu favoritmu dan mengenakanya.
Tahukah kau jika kau saat itu seperti mahakarya paling indah yang pernah ku saksikan? Kau berdiri kokoh dengan tubuh kekarmu. Dengan teguh kau membelakangi matahari tengelam yang sedang melukis langit dengan warna merah berkobar dan kuning keemasan yang mekar sempurna? Dengan sigap aku mencetak pemandangan alam dalam kadar kanvas menakjubkan. Aku merekam setiap detik kejadian itu. Masih kuingat dengan jelas aroma keringatmu yang tak mau beranjak dari batang hidungku? aroma keringat berbalur wangi parfum yang ku berikan sebagai hadiah ulang tahunmu ke dua puluh lima tahun. Dan pahatan otot yang terpilin indah menjerat kesatuan jasadmu. Aku masih menyimpannya dalam folder ingatanku.
“ Pernahkah kau tau jika tuhan itu meciptakanmu sebagai malaikat pendampingku? “ bisikku pelan. Lalu berdiri disebelahmu dan melihat jauh kedalam matamu. Ada secarik lapisan yang asing terasa, lapisan yang menghambat nuraniku untuk menelanjangi hatimu.
Aku merasakan sebuah ruang kosong yang terasing. Kau sedikit tersentak dan pura-pura tak terlalu mendengar apa yang aku katakan barusan. Tapi kau berhasil membaca pesan dari sentuhan bahasa alam dan mulai mengurai pernyataan dalam pertanyaanku. Lalu kau diam, menungguku untuk mengutarakan pertanyaanku lagi.
“ Kau baik-baik saja? “ tanyaku pada evan yang masih sibuk membenahi kancing bajunya. Mendelik perlahan mengamati kosakataku diantara kerutan jidatmu. Kenapa kau harus berfikir keras hanya untuk menjawab pertanyaan ringanku? - tanyaku dalam kalbu.
“ Ya, aku baik-baik saja “ katamu berdusta, aku tau jika kau tidak baik-baik saja. Ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku, aku lebih memahamimu jauh daripada kau memahami setiap inci tubuhmu. Bahkan aku hafal setiap partikel yang melekat dalam kulitmu, menyentuhmu dan meninggalkanmu.
Tatapan matamu yang ku hafal benar, tak akan mampu untuk berdusta kepadaku. Tapi ada selubung tipis yang menghambat kejujuran bahasa mata kita. Ku putuskan untuk menunggu. Aku tak akan memaksamu untuk bercerita tentang apa yang akan kau sembunyikan padaku, biarkan waktu yang beraksi untuk membuatmu bicara sendiri tentang apa yang sedang bergelut didalam hatimu.
“ Ayo cepat, tak mau kan bermalam ditempat ini lagi? “
“ Apapun akan kulakukan, asal dengan mu “ gurauku, ku ingat terakhir kali saat kita bermalam dibukit ini. Pertengahan agustus tahun lalu, saat itu kita memang ke bukit saat sore hanya untuk terlelap bersama dan terbangun saat sepertiga malam menghujam. Dengan sifat ketidak pedulianmu kita bermalam diatas taburan bintang yang enggan berbagi malam dengan secuil cahaya bulan. Bergelung dibawah rengkuhan tanganmu dan berdekapan semalaman, berceloteh tetang hal remeh, saling menasihati masalah hati sampai saling bertukar mimpi dalam balutan kata mutiara bak seorang pujangga. Sampai subuh menjelang dengan seberkas cahaya matahari pagi, hanya untuk menerangi jalan menurun di bukit terjal itu.
Malam itu kau memgelontorkan uang lebih dari 7000 dolar hanya untuk menemanimu semalaman. Jadi, tak ada alasan untuk menolak kebersamaan denganmu. Dari matahari membara di saat kita datang di sebuah cafe tempat kita rutin bertemu, hingga langit menjadi pekat karena terberenggus hanggus kobaran matahari senja dan menjadikanya sebuah malam hitam kelam dan kembali menerbitkan cahaya firdaus diufuk timur sisa dari secuil cahaya dari serpihan penghangusan malam.
Kau mengantarku di depan sebuah cafe yang masih malas untuk melawan hari, dengan senyuman hangat usai sebuah pelukan berat, kau meninggalkanku. Untuk beberapa detik selaput tipis itu muncul lagi memenuhi tatapan sayumu. Ada ruang hampa yang kau tinggalkan di hatiku. Ruang yang membuat dadaku sesak, penuh dengan pertanyaan menyeruak.
Aku tak berniat langsung pulang ke kompleks perumahan mewahku atau menelfon supirku untuk menjemputku dipersimpangan jalan itu. Aku berjalan kurang dari satu kilo meter menuju taman kota dengan celana biru sejengkal yang melingkupi paha putih mulusku, kaos polos ketat yang membentuk lekukan sempurna plagiator murni peragawati dunia ditutup dengan sebuah kemeja panjang kotak-kotak yang menggelambir mesra hingga lututku.
Tak lupa sebuah sepatu bartabur mutiara dengan hak batangan emas murni sepanjang duabelas senti. Rambut ikalku aku kuncir keatas seperti sebuah tumpeng berbentuk oval. Kalung emas menjulur dari leher indahku sampai ke pusar dalam bentuk sebuah rantai padu padan dengan corak rumit berukir namaku secara berulang, dompet berisi kartu pintar dan sebuah smartphone melekat erat dalam dekapan pelan tangan kiriku.
Aku berjalan ringan dalam kenikmatan pot-pot bunga yang berjajar rapi di sepanjang jalur buatan dari marmer bertekstur, membuai diriku dalam gerakan lambat ala-ala flim aksi luar negeri. Dalam sapuan make-up sederhana aku menempatkan tubuhku relaks disebuah bangku diujung taman, diantara bunga yang akan mekar.
“ Selamat pagi mba, Queenza “ sapa tukang koran yang biasa mangkal ditaman itu, ditanganya terlampir berbagai koran dengan jenis berbeda. “ Berminat untuk mengubris salah satu topik dikoran yang saya bawa? “ Tanya orang itu sambil menawarkan berbagai topik. Membuka satu persatu topik utama yang terlampir di exemplar pertama. Menjajakan dagangannya.
“ Maaf, saya sedang tidak berminat meludahi monyet-monyet korporasi yang sedang merambati karier dengan otak mereka yang gersang, sampah “ gerutuku pelan menilat lembaran koran itu “ Membodoh-bodohi orang bodoh saja “
Tukang koran itu mendengus pelan, lalu menarik nafas pelan-pelan “ Saya juga berfikir demikian mba, “ kata penjual koran itu ringan “ Hanya tinggal menunggu waktu saja seiring aliran dana di rekining dan kebrobrokan otak pemimpin dengan raut wajah mati “ kata tukang koran itu meninggalkanku setelah mengucap permisi.
Ini bukan pertama kali kami menelanjangi masing-masing persepsi. Beberapa kali aku berdiskusi dengan tukang koran itu, aku suka saat dia mengatakan padaku jika “ politik itu untuk mengalami, bukan berbagi metafora teori “ dan dia paham betul saat melafalkan itu semua. Perbincangan yang terakir kami lakukan ia tutup dengan sebauh kalimat “ dunia akan berjalan dalam poros yang benar jika kita membiarkan nurani yang menahkodai apapun yang kita lakukan, lakukan dan pahamilah maka alam akan berterimakasih pada kita “ . aku meralatnya jika alam akan “berbelas asih ” tapi dia tetap kukuh jika alam akan “ berterimakasih “. dengan bahasa yang dia kirim lewat lamunan senja, harmoni angin malam dan dalam desir dedaunan. Aku mulai mengurai satu persatu pesan firasat. Fikiranku mulai mengambang dalam berbagai cabang lamunan. Memfotosintesis berbagai keganjilan menjadi sebuah tanda untuk memperingatkan, atau mempersiapkan kesatuan jasad dan jiwa ini untuk membusuk dalam bermacam kemungkinan. 
Ditaman ini, dan dalam celah detik ini aku mulai berandai tentang semua hal. Memikirkan duniaku yang hanya berporos pada seorang lelaki berwajah malaikat. Aku tidak melebih-lebihkan, lekuk wajahnya merupakan ekspresi klasik dari keindahan maskulin - hidung lurus, alis tinggi, dagu persegi dan tulang pipi yang terpahat sempurna. Rambutnya adalah ikal keemasan yang menempel sempurna dalam batok kepalanya, matanya besar dan berwarna hijau paling murni dan lima garis bayang biru yang melingkari pupilnya. Singkat kata evan zilqulivus poole adalah godaan besar untuk perawan tersuci dimuka bumi. Bahkan biarawati akan bertekuk lutut untuk dia.
Sebagian orang mungkin akan mempunyai percikan prespetif jika aku dan evan adalah pasangan yang serasi, tapi mereka salah. Ini hanyalah garis perdangangan tubuh manusia yang tercampur dengan balutan perasaan cinta yang tertuang dalam cawan murni berisi nurani yang telah menjatuhkan pilihan keji. Hatiku telah memilih evan yang telah ku kotbahkan sebagai klien tertampan yang pernah menggunakan jasaku, hatiku telah memilih seorang malaikat tampan dalam percaturan dunia pelacur tingkat mahadewi. Hatiku telah jatuh secara mendalam kepada blesteran manusia-malaikat itu. Hatiku telah menjatuhkan cinta kepada mahlkuk itu.
Alter ego iblisku bersemanyam dalam tubuh seorang mahadewi yang dipuja ratusan lelaki hidung belang. Dalam balutan fasilitas satu tingkat di atas mewah aku merawat jasadku dengan perawatan sempurna. Hanya orang-orang dibawah tangga kebodohan saja yang rela menggunakan uang hasil korupsi dari dana negara lewat anggaran negara yang mereka manipulasi, atau uang murni dari pemerasan keringat orang kecil yang berkerja dibawah alas kaki berlumur dosa, lelaki-lelaki berdasi itu kebakaran dalam kebahagiaan. Termanipulasi dalam ilusi yang mereka jadikan imaji.
Aku pernah bertemu dengan beberapa pejabat dan mentri negara yang pernah berdagang denganku, menimbun uang hasil colongan kekayaan negara hanya untuk diberikan secara sadar dan rela kepadaku. Hanya untuk sebuah second permainan di atas kasur hotel berbintang lima, mereka mencari surga dunia dalam lipatan pahaku kecuali evan. Klien spesialku, seorang pengusaha muda yang telah mencatatkan dirinya dalam salah seorang terkaya di asia tenggara.
Sejak bertemu denganya aku merasakan duniaku yang dulu stagnan dalam roda karatan. minggat dipinang poros baru yang menawarkan sebuah kesucian menggoda secara pas dan dalam takaran sempurna untukku, tanpa permisi duniaku berpindah kepadanya. Entah bagaimana lagi aku menjelaskan berbagai kumparan perasaan yang hingga di dahan hatiku bagai sedardu hewan bersayap.
Taukah kau jika evan itu seperti matahari di kala malam memberenggut dunia dan sesejuk salju di tengah gurun sahara? Aku bukan tipe orang yang suka beremeh temeh dengan hal sampah, aku butuh evan melebihi apapun. Dengan keberadaanya aku tidak mengambang-terbang atau melayang dalam angan, tetapi berjalan merunut tanah. Sekedar mengurut urat khatulistiwa bersama. Ia telak menjatuhkanku keluar dari dunia maya dan melumpuhkanku dalam dunia nyata. Ibarat layang-layang yang bebas dilangit dan evan adalah benang yang tetap mengikat dan mengingatkanku tentang dunia berjudul realitas.

&&&%%%&&&

Satu bulan berlalu tanpa secuil kabar tentang keberadaan evan diduniaku, dia absen dalam dunia imajiku dan berkutat dalam fantasi ketidakberadaan.
 Menyakitkan memang mengingat seorang yang selalu mengucapkan selamat pagi atau pujian basa-basi lenyap tak berbekas. Terlebih jika duniamu berporos kepada orang itu, dan ketika orang itu hilang seketika duniamu stagnan dalam roda karatan. Dan aku mulai mempersiapkan diri dalam daftar berbagai kemungkinan hasil perenungan di taman, dari pertemuan terakhir kita aku mulai mengurut semua kejadian lengkap dengan ekspresi muka, tarikan nafas, tatapan kosong dan ruang kecil yang tak bisa aku sentuh sama sekali. Semua berpusat pada selubung tipis itu.
Ruang kecil yang ada tapi tak bisa kujangkau.
Aku sudah biasa terluka, bahkan aku membiasakan diriku dengan kekecewaan. Aku sadar jika aku tak pernah bisa mengharapkan orang lain memberiku ekspektasi 100% walau aku telah memberinya 101%. Dari hal itulah aku mulai tak terlalu mengharapkan seseorang bisa mengembalikan secara utuh apa yang aku berikan secara ihklas seiring dengan rumitnya kontruksi batin setiap manusia.
Tapi rasa kehilangan ini memastikan jika setiap inci tubuhku masih menginginkanmu. Jiwa ragaku kesepian tanpa hadirmu. Aku terlampau lelah untuk mengubris rasa sakitku, aku hanya bisa merasakan dan ikut hanyut dalam aliran rasa sakit ini saja. Aku belajar untuk menerima.

&&&%%%&&&

Tiga bulan berjalan dan kehampaan memenuhi relung hatiku, membuat nafasku terputus-putus dalam pompaan air mata yang tak bisa kuhentikan. Aku merasa jika ada lubang besar di dalam dadaku yang melebar seiring berjalannya waktu. Mengangga, menanti cipratan cuka agar senantiasa merasakan keterpurukan rasa jatuh yang mendalam. Kejadian-kejadian yang telah berlalu benar-benar menguras emosi, tenaga dan air mataku habis-habisan. Aku kelelahan menanggung semua beban perasaan ini, aku lumpuh tertimpa akumulasi kehancuran mental ini, aku berduka untuk sesuatu yang sudah ku tau pasti tak akan aku miliki. Aku berkubang dalam nestapa ketidakmampuan. Dan sebuah kabar datang. Menjebloskan mental, hati, fikiran dan perasaanku dalam sebuah danau ketidaksiapan dan ketidakpastian tentang masa depan yang menjelang.
Dia telah menikah.
Poros hidupku. Belahan jiwaku. Pelengkap puzellku.
Duniaku telah menimang dunia baru untuk dia miliki selamanya.
Kabar pernikahan itu menghantam habis tubuhku dan aku benar-benar merasakan kelumpuhan mental yang sebenarnya. Aku kembali mengiba seseorang yang tak bisa aku miliki.
Bagaimana bisa aku masih mencintai seseorang yang tak bisa ku miliki? Bagiku dulu cinta adalah memiliki, menjaga dan memahami secara utuh tapi sekarang konsep itu memudar dan tak meninggalkan bekas sedikitpun. Bagiku sekarang cinta ini adalah merelakan, melepaskan dan membiarkan sebagian ruang yang ia isi secara penuh dulu menjadi terkuras seperempat, setengah, hingga kosong dan menjadi ruang hampa yang hidup dengan mengais sisa-sisa kenangan tentangnya. Ruang hampa yang menunggu seseorang untuk mengisinya kembali. Dan aku sangsi jika aku bisa menemukan seseorang sepertimu lagi.
Delapan hari mengalun cepat seiring permintaanmu untuk bertemu. Kau memintaku untuk datang di cafe tempat kita biasa memadukan janji, di cafe yang disediakan ruang oleh alam untuk kedekatan kita dulu.
Keheningan merambat pasti, alunan denting piano menyayat hati.
Kujelajahi lekuk wajah tertundukmu, ada aura kebahagiaan yang membingkai garis wajahmu. Aku terluka melihat aura kebahagiaan yang membungkusmu secara rapat, aku membenci diriku sendiri karena tak bisa memberikanmu lingkup kebahagiaan seperti itu.
Alunan music live membuai indra pendengar, tapi kau masih saja terdiam dalam laku stagnan. Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi. Tak taukah kau jika sikap diammu ini perlahan menguliti lapisan terluar hatiku? Membuai dalam tarburan garam, hatiku miris melihat dirimu.
“ Aku dengar kamu sudah menetap, kamu juga menemukan seseorang, dan menikah “ awalku dengan nada resmi. Aku mencoba menahan kegetiran dalam suaraku agar tak terdengar olehnya. Miris mengiris sayatan lukaku, aku menahan sakit dalam setiap ucapan kataku, bahwa-dia-sudah-menikah “ Kenapa tidak mengirim undangan? “ tanyaku lagi. Aku benar-benar membutuhkan jawaban!. Tubuhku bergetar karena guncangan mental yang menghempas tanpa aba-aba, aku tak membiasakan mengontrol tubuhku untuk tidak bereaksi apapun dalam keheningan. Apalagi lebih dari setengah jam. Kau sanggat keterlaluan dalam tingkah mematung itu, seakan minta di sajeni hanya untuk mengucap jawaban.
Tapi kau tetap diam, sekalipun tak berani menatapku yang sedari tadi memaksakan tubuhku untuk tegar.
“ Aku benci datang diam-diam tanpa diundang, aku benci melihatmu terberenggus dalam kebahagiaan, aku benci kepengecutan sifatmu, aku benci berada dalam kesakralan prosesimu, aku benci semua itu! “ semburku murka. Entah kapan lagi aku bisa meluapkan beban selama tiga bulan ini yang tak kunjung padam dari lingkar punggungku. Aku harus mengungkap endapan unek-unek penggerus mental ini sekarang, membongkar cor-coran terkutuk tentang rasa sakit dan menghancurkan kepedihan yang harusnya dirasakan berdua “ Aku berharap jika waktu itu kau melihat wajahku, dan kau akan mengerti jika untukku ini belum berakhir “
“ Aku tau kau datang menyelinap di pernikahanku, sudahlah za, kita ngak selamanya bisa bersama, kita menapaki runutan takdir yang berbeda “ katamu pelan, aku tau jika kau sakit karena ucapanku, kau memaksakan kehendak yang tak diminati hatimu “ Kita tak akan bermuara dalam akhir yang sama, maafin aku za “
“ Bagaimana bisa kau membahas tentang akhir yang berbeda? Menurutmu apa yang kita jalani selama ini? Kita mengalir! Benar-benar mengalir dan hanyut dalam pusaran “ kabut yang menyesaki rongga di dada tiba-tiba meronta minta untuk dibebaskan, aku tak bisa mengontrol diriku untuk tidak melemparkan barang-barang dalam radius jangkauanku “ Baru kemarin kita bersama, menjalani hidup dalam masa-masa kejayaan “ rengekku dalam tarian air mata yang tak mampu untuk ku hentikan. Air mata yang ingin melihat sebab dari munculannya.
“ Maafin aku za, bersama dia mimpiku jadi kenyataan, dia memberiku hal-hal yang tak bisa kau beri untukku “
Kau telak membungkamku. Memberenggus oksigen disekitarku.
“ maaf itu mudah van, tapi maaf itu bukan jaminan untuk melupakan, maaf tak berarti menghapus ataupun menghilangkan, maaf itu memberi ruang untuk mengihklaskan, memberi ruang yang aku coba berikan kepadamu “
Ujung bibirmu tertarik ke atas untuk sekian saat, kau jelas ingin mengubrisku tentang sudut pandang pengertian maaf yang bertolak belakang denganmu. Tapi kau menahannya, entah mengapa “ Maaf za, kita ngak perlu membahas perbedaan prinsip yang ujung-ujungnya menyekap kita dalam sekat tebal, kita sama-sama paham apa yang bisa dan tidak kita lakukan, aku kira kau sudah mengerti ini semua za ” tapi kau sekarang lebih memilih jalan yang aman, tidak seperti kau dahulu.
“ Aku paham van, aku paham tentang itu semua, aku salah jika memaksakan apa yang tak mungkin bisa aku lakukan, ini semua salahku, aku membiarkan hatiku masuk “ ku telan nafas cepat-cepat, menahan air mata yang masih tak bisa berhenti untuk sekedar memberi jeda untuk mengungkap kata, aku mulai mengulas ketenangan dari serpian lubuk hati untuk sekedar memulai proses kedewasaan “ Dan aku yang menjadikan semua ini runyam, rumit yang malahan memperkeruh keberadaanku sendiri, aku terjebak dalam keadaan yang tak ingin aku lewati, semua ini jelas salahku 100% salahku van, seharusnya aku ngak main perasaan sama kamu, seharusnya aku ngak mencintai kamu sampai seperti ini, aku yang salah van “
Kegetiran dalam selaput bola matamu memudar seiring pengakuanku yang sedari tadi kamu tunggu. Aku merasa tak berhak menjadikan perasaanku ini sebagai rahasia lagi, kamu berhak tau kebenarannya. Raut wajahmu bergati cepat dengan ruang kegembiraan asing yang belum pernah ku lihat terjadi padamu. Apa kau bangga karena aku telah berhasil mengakui itu semua?
Dalam sedakan tangis aku menggubris keadaanmu “ Ada yang ingin kamu sampaikan lagi selain ini van? “ jiwaku berkecamuk tentang dirimu, setengah mengihklaskan kepergiaanmu dan sisanya meminta kehadiranmu untuk tetap ada.
“ Dia hamil, sudah satu bulan! “ ungkapmu dengan gembira tanpa bisa memahami kegundahanku seperti dulu. Aku senang melihat kau bahagia seperti itu, memancarkan kepolosan anak kecil yang akan diajak ke pasar malam. Tapi separuh jiwaku menolak untuk memaklumi kebahagiaan itu, separuh jiwaku masih kelam seperti langit di pasar malam.
Dan seketika air mataku mulai terpompa lagi, aku kalah telak. Kubiarkan amarah menguasai tubuhku hingga otot-otot tubuhku menegang. Berulang ku menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, berfikir tentang berbagai kenangan indah dan hal yang menentramkan. Kuproses emosi yang menguasai tubuhku dan menghanyutkanya dalam ketenangan. Kulepaskan semua emosi itu, tak ada gunanya lagi berdebat dalam perbedaan prespektif kataku dalam hati. Mungkin ini waktunya.
Kutenangkan tubuhku dalam hitungan detik, berfikir sekilas tentang beberapa opsi yang dulu aku persiapkan untuk keadaan seperti ini, keadaan yang pernah ku duga sebagai pertanda akhir. “ Sahabat lama “ kataku setengah berbisik, kuputuskan untuk tidak menyebut namanya. Hanya untuk sekedar menegaskan status yang dulu dan kini mungkin akan kami jalani “ Kanapa kau sanggat pemalu? Dasar pengecut! Kau tak bisa menahan dirimu untuk bersembunyi dalam kebohongan, seperti bukan dirimu saja “ aku berbicara dalam bingkai alter egoku. Pergolakan terjadi di dalam jasmaniku. Ada pertarungan antara dua alter ego yang mendesak untuk mencuat keluar. Tak mungkin aku bisa menjabarkan beberapa opsi yang telah ku matangkan lewat diri queenza yang biasanya. Tapi diri queenza yang biasanya masih keukuh untuk menguasai kesadaran jasmani ku.
Matamu membelalak, seiiring dengan perubahan nada bicaraku, gestur dudukku dan kedewasaan kosa kataku. Kau mencari-cari orang yang mengatakan itu barusan, dan setengah tak percaya kau menemukan mataku. Untuk pertama kalinya setelah setengah jam mata kita berinteraksi.
“ Queenza? “ katamu dilumat tanya.
“ Jangan hawatir, aku akan menemukan seseorang sepertimu “ ucapku pasti, ku yakinkan diriku jika aku bisa melewati ini tanpa rasa sakit yang selalu kembali mendera. Aku berharap bisa mengendalikan rasa sakit ini seperti aku memproses emosiku, aku menempatkanmu sebagai emosi dan perlahan aku coba melepaskamu. Pergolakan kedua elter ego ini selalu menguras kewarasan tenaga batinku “ Aku berdoa yang terbaik untuk kalian berdua, ku mohon jangan lupakan aku “ tapi sekarang queenza kalah dalam pergulatan batiniah ini.
Tatapan asing menguasai celah matamu, mengutitiku cepat. Tentu kau heran dengan ini semua, queenza lenyap. Sekarang hanya ada kepribadian gandaku saja.
“ Aku ngak bakal lupain kamu za, ngak mungkin aku bisa lupain kamu “ kamu memaksakan dirimu untuk berucap, aku tau jika ini berat untukmu. Kau berpura-pura tegar dihadapanku, menyungingkan secuil senyuman “ Kamu masih inget apa yang aku bilang sama kamu di bukit itu? “ katamu tergagap, aku paham jika kenangan kita bersliweran mengitari jasadmu.
Aku mengangguk pelan.
Kau menarik nafas dalam-dalam dan berucap perlahan dalam hembusan udara dari indra penciuman “ Terkadang cinta itu untuk selamanya, tapi terkadang cinta itu menyakitkan “ ucapmu pasti, menatapku dengan tatapan menyejukan. Tatapan yang dulu slalu untukku. Tapi sekarang sudah tidak.
Aku tersenyum simpul, lalu mengeleng pelan. “ Kamu salah. Mungkin, bagiku untuk sementara waktu definisi cinta kita - aku berdehem dengan suara berat, sekedar meralat jika sudah tak ada komitmen lagi diantara nama kita - definisi cintaku tak akan seperti itu, terkadang cinta itu selamanya menyakitkan. Kita bukan tuhan yang bisa bermain dadu dengan masa depan, tak bisa menerka berbagai hasil akhir beragam kesimpulan. Aku hanya ingin menikmati saja sekarang. Siapa yang bakal tau betapa pahit manisnya rasa ini? Penyesalan dan kesalahan itu adalah hasil dari kenangan bukan?, doa terbaik untuk kalian berdua, aku turut berbahagia “
Dengan langkah pasti aku beranjak meninggalkannya, sengaja aku ulang kalimat terakhirku agar ia paham jika aku sudah merelakannya sekarang. Aku merelakan pelengkap kepingan puzzel hidupku untuk memadu hidup bersama wanita lain. Waktu kembali memberiku berbagai pelajaran, nuraniku akhirnya menemukan jawaban atas segala pertanyaan yang membayang. Aku merasa jika aku hanya takut jika hidup tanpa dia, tapi kadang kita harus memaksakan diri kita untuk sebuah pilihan. Sekedar untuk menyiapkan diri kita tentang berbagai hal yang akan terjadi, hal terbaik untuk keluar dari dalam ketidakpastian adalah melepaskan ketidakpatian tersebut. Mengalun indah bersamanya, loncat dan jatuh bersamanya, bahkan jumpalitan bersamanya dan terbang bebas untuk melupakannya.
Waktu akan mengkristalkan penyesalan dan kesalahan menjadi kenangan. Jadi, daripada membiarkan amarah dan emosi menghasut tubuh kita hingga menimbulkan kebodohan sifat manipulatif, lebih baik kita memproses mereka dan melepaskannya secara perlahan. Belajar untuk melepaskan, belajar untuk menerima, belajar untuk tidak memaksakan perasaan.
Aku berhenti menjadi pemuas nafsu serta objek pelampiasan nafsu bejat para lelaki hidung belang. Entah mengapa aku tak lagi merasa dalam koridor yang pas. Pahit manis perasaan ditinggalkan seseorang yang sanggat aku cintai menjaga hidupku untuk tetap waras. Aku menjaga perasaan ini untuk membuatku sadar jika dia yang dulu pernah selalu ada, tetap nyata. Dan itu lebih dari cukup.
Penyesalan dan kenangan adalah hasil dari kenangan.
“ someone like you ”

You Might Also Like

0 komentar: