Review : Headshot

10:31:00 AM Admin 0 Comments


Review : Headshot

Jangan pernah berharap berlebihan saat menonton film, terutama untuk film Indonesia walaupun ada beberapa nama yang konsisten menjaga track record hasil karya mereka, seperti Angga Dwimas Sasongko, Joko Anwar atau Riri Riza. Tapi, dalam genre action martial arts, jujur The Raid dan Berandal terlampau tinggi untuk di lampaui.
Dunia perfileman di Indonesia memang sedang mengeliat dari tidur panjangnya, bertahap memang, tapi terlihat pasti dan membanggakan. Selain karena semakin banyaknya genre yang di tawarkan selain horor, drama, dan adaptasi yang terlampau menyesakkan, masih ada genre action yang memiliki masa depan cerah.
Apa yang dilakukan Gareth Evans dengan Merantau, lalu The Raid dan Berandal, membuat saya sangsi jika ada yang akan bisa melampauinya. Banyak yang ikut-ikutan membuat film sejenis yang akhirnya hadir selintas tanpa bisa memberikan kenangan di dalam otak. Lalu setitik harapan muncul saat Headshot muncul, sekilas dari trailernya, saya yakin jika film buatan Mo Brothers ini akan malesin di sisi drama tapi mempesona disisi aksinya (ada yang ngerasa gitu nggak?).
Dari premis memang seperti tak ada pembaruan, dari cerita apalagi, terlalu generik dan membosankan. Headshot menghadirkan cerita tentang sosok penjahat yang terdampar di sebuah pulau terpencil, lalu insaf setelah koma panjang. Penjahat insaf itu bernama Ismael (Iko Uwais), berusaha mengungkap masalalunya yang hilang, hal berikutnya yang terjadi adalah Ailin (Chelsea Islan), seorang dokter magang yang merawatnya selama 2 bulan kemudian di culik oleh sosok penjahat bengis bernama Lee setelah mendengar kabar tentang keberadaan Ismael yang begitu dikenalnya. Klise memang, tapi jika mau memberi pendalaman lebih untuk banyak karakter yang tampil begitu datar dan memberikan lebih banyak waktu untuk membenarkan naskah, niscahya film ini akan tampil lebih mengikat.
Bagi saya, Mo brother masuk ke dalam radar sutradara yang harus di tonton karyanya setelah menghadirkan Dara, Rumah Dara, lalu Killers. Saya adalah tipe penonton bejad dan bangsat yang gemar mandi darah dan menikmati betul adegan-adegan sadis di dalam sebuah film, dan saya pernah di puaskan dua kali lewat The Raid dan Berandal yang membuat saya merasa natal dan tahun baru tiba esok hari. Saya mencintai adegan memecah batok kepala, menyilet leher, mematahkan tulang belakang, jemari ataupun tungkai kaki. Saya juga gemar adegan menancapkan mata pisau ke anggota tubuh, menariknya hingga membuat kulit mengganga, dan menghaburkan isinya keluar. Guyur saya dengan segentong darah dan usus manusia, saya pasti akan berteriak kegirangan bukannya misuh-misuh penuh rasa jijik. Saya memang penggemar berat sinema psikopat berkualitas.
Ada kesenangan memang yang bisa saya nikmati di Headshot, apalagi adegan action di film ini memang di rancang oleh uwais team yang memang nggak perlu kita ragukan lagi kapasitasnya merancang aksi-aksi sinematik cantik yang memukau di depan kamera dalam soal menghancurkan tulang lawan mainnya. Tapi lagi-lagi, saya telah berharap terlalu tinggi saat masuk ke dalam bioskop yang akhirnya menyisakan sensasi menganjal saat film ini berakhir. Menyenangkan, tapi tidak memuaskan.
Tak ada yang perlu diragukan jika Mo brothers membuat film Triller banjir darah, tapi yang perlu di hawatirkan adalah kali ini mencoba genre yang berbeda, genre yang mau tak mau harus kita bandingkan dengan The raid yang berada di awang-awang. Bukan maksud membandingkan The Raid dan Headshot, tapi mau gimana lagi? Genrenya sama, alumninya juga pada main disini walau secara karakter berusaha diubah total, dan hasilnya? Mereka belum beruntung.
Tidak terasanya ikatan emosi saat saya menyaksikan film ini dan sosok Iko yang ditampilkan terlalu super setelah menghadapi berbagai pertempuran, membuat saya tidak terlalu respek dengan film ini. Banyak memang orang yang tak mempermasalahkan kualitas narasi dan pengembangan cerita, dan memang benar The Raid mempunyai masalah yang sama. Tapi The Raid berhasil memuaskan kita saat film berakhir dengan koreografi dan laga yang super duper memukau pada saat itu, bukannya meninggalkan sensasi nangung karena kurang puas.
Di sektor teknis, saya acungkan jempol untuk Headshot, terutama karena seni pergerakan kamera yang begitu dinamis dan mempesona yang tampil begitu juara. Headshot dianugrahi banyak karakter pendamping yang memiliki ciri khas dan potensi, sayang, semua itu tidak dimanfaatkan dengan baik. Tapi yang membuat saya sebal adalah ketika saya berharap Julie Estelle dan Iko akan membuat saya gregetan saat mereka berantem, ternyata adegannya cuma segitu aja, malah yang paling lemah di film ini. Walau tidak semua bermain buruk, saya tetap bergidik ngeri saat melihat Sunny Pang muncul. Angker, sadis, begis, tapi karismatik. Saya benar-benar suka dengan karakternya.
Selanjutnya Mo Brothers akan menyuguhkan film action lagi dengan Joe Taslim sebagai pemain utama dengan judul The Night Come For Us dan yang paling saya tunggu adalah sekuel Rumah Dara yang banjir darah itu.
Overall, tentukan sikapmu sebelum menonton Headshot, kamu ingin menyaksikan dramanya atau aksinya? Jika drama, jangan berharap lebih, tapi jika aksi dan kamu penggemar berat The Raid, turunkan ekspektasimu. Tapi jika kamu nonton cuma mau disuguhi adegan brutal ciamik dan darah, maka, bersenang-senanglah.

skor : 2/5

You Might Also Like

0 komentar: