Pelepasan Remah 15

6:30:00 PM Admin 0 Comments




Pelepasan
Remah 15



Kisah sebelumnya Klik disini


Rasa was-was seketika menyergab tubuhku. Tawaran Willy barusan benar-benar racun. Ternyata benar firasatku tadi, ia sedang merencanakan hal gila untukku. Ia kembali mengusiliku lagi. Jika sudah seperti ini, pada akhirnya akulah yang selalu jadi korbannya. Aku sama sekali tak ingin mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah aku lakukan.
“Nggak mau!” protesku cepat, aku kapok menerima tantangan dari Willy. Terakhir ia menantangku membeli kondom di alfamart lengkap dengan sayap peri mainan anak kecil. “pokoknya aku nggak mau! Pasti kamu mau ngerjain aku lagi!” jawabku berusaha melindungi diriku sendiri.
“Dengerin dulu dong tantangannya,” bujuk Willy berusaha menyakinkanku, “nggak bakal aneh-aneh kok! Suer!” tambahnya sambil membentuk huruf “V” dengan jari tangannya.
“Nggak mau!” tembakku langsung, “jahilmu itu udah kebangetan tahu nggak? Udah berapa kali coba aku jadi korban kejahilanmu?”
“Yaelah Bell, gitu banget sih kamu sama aku? Belum juga aku sebutin tantangannya apa, masa kamu langsung nolak gitu?”
“Kalau aku bilang enggak ya enggak! Aku tuh daritadi udah was-was tahu nggak sih pas lihat kamu natap aku dengan ekpresi itu”
“Ekspresi yang mana?” jawab Willy sok kebingungan.
“Ekspresi yang aku jadiin firasat kalau kamu punya niat jahat sama aku!”
“Niat jahat apaan sih? Lebay deh kamu, tahu tantangannya juga belum,”
“Mendingan aku sama sekali nggak tahu tantanganmu Will, pasti endingnya aku terus yang kamu jahilin!”
“Nanti aku kasih hadiah deh!”
“Okey Deal” langsung kujabat telapak tanganku, sedetik kemudian langsung kutarik telapak tangan itu.
“Et nggak bisa” kata Willy cepat, meremas telapak tanganku, seulas senyum jahanam yang terbit diwajahnya membuatku merutuki diriku sendiri. Betapa bodohnya aku tertipu umpan permainannya. “kita udah deal,”
“Tapi kamu-“
“-Nggak ada tapi-tapian. Kita udah deal,”
“Okey gini-gini biar adil,” kataku berusaha bernegoisasi dengannya, “aku bakal ngelakuin apapun yang kamu mau asal kamu juga harus ngelakuin apapun yang aku mau plus ngasih hadiah yang tadi udah kamu janjiin. Gimana?”
“Deal!” serobot Willy langsung tanpa fikir panjang. Menjabat erat tanganku.
“Sip kalau gitu,” jawabku dengan nada bergetar, “apa tantangannya?” kataku dengan suara sok mantap, padahal jauh di dalam tubuhku, hatiku bergetar menunggu tantangan ajaib apa yang Willy berikan padaku.
“Beliin aku BH sama cawet merah muda disana!” tunjuk Willy di salah satu stand penjual pakaian dalam, seketika tubuhku lunglai, aku merasa jika tulangku mendadak berubah menjadi agar-agar. Aku menyesal terbujuk rayuan Willy dan mengiyakan permintaan konyolnya, “yang ada renda-rendanya,” tambahnya membuat tubuhku tambah lemas.
“Hah? Apa? Kamu itu geblek banget sih jadi orang!” protesku kesal, “nggak mau ah. Gila aja kamu! Itu sama juga kamu mau bunuh aku!”
“Tuh kan curang!” tembak Willy sengit, “Tadikan kamu udah setuju, udah deal lagi. Udah deh nggak usah rese gitu!”
“Lebih rese aku apa kamu? Gila aja kamu nyuruh aku ngelakuin hal konyol kaya gitu,”
“Kita berdua sama-sama rese sayang, udah deh jalanin aja. Tadikan kita udah deal, nggak baik narik ulang omongan yang tadi udah di ucapin. Kamu cowok lho Bell, yang di pegang omongannya,”
“Udah! Bahas aja semuanya!” kataku murka, ”tapi kamu lihat dong Will! Standnya ramai gitu! Banyak ibu-ibu lagi, masa iya kamu tega nyuruh aku ngelakuin itu?”
“Ini bukan masalah tega apa enggak tega ya sayang,” jawab Willy setengah cekikikan melihat ekspresiku, “ini masalah sportifitas sama konsistensi kamu megang omongan yang keluar dari bibirmu,” dalam hati aku menyumpahi diriku sendiri yang lagi-lagi terjebak di kondisi ngehek seperti ini, ”masa segitu aja sih usahamu buat pertahanin kata-kata yang kamu ucapin?” kalimat bangsat!  “segini aja nih?” kalimat setan! “jadi jani-janji yang dulu kamu bilang sama aku-“
Aku sudah tahu lanjutan kalimatnya. Ia akan terus memojokkanku hingga akhirnya aku mau memenuhi permintaannya. Dasar pacar sialan! Willy nyebelin! Awas nanti aku bales yang lebih sadis, yang bakal nggk kamu lupain semumur hidupmu! Kataku semangat dari dalam hati. Nekad, aku berjalan tegak menghampiri stand tempat ibu-ibu berjubel memilah beragam pakaian dalam. Lekas aku mengambil BH dan cawet warna merah muda penuh renda yang di pajang lewat manekin. Aku bayar langsung dan minta si penjual untuk membungkusnya.
Tawa Willy berderai tak karuan saat menghampirinya dengan tatapan jengkel, ia terbahak sambil memegangi perut buncitnya, bulir-bulir air matanya sampai bercucuran ketika melihatku datang dengan plastik berisikan BH dan cawet merah muda penuh renda.
“Puas?” kataku jengkel.
“Hahaha... lumayanlah,” jawab Willy berusaha menekan tawanya kuat-kuat, “aku nggak nyangka kamu bakal senekat itu lho Bell, hahaha... sumpah deh lucu banget lihat ekpresi ibu-ibu yang lagi beli tadi,”
“Udah puas belum ketawanya?”
“Belum dong sayang,” jawabnya lengkap dengan ledakan tawa selanjutnya.
“Sekarang giliran kamu,” kataku dingin tanpa ekspresi.
Wajah Willy pasi seketika, pucat seperti mayat. Kali ini giliranku balas dendam, “Kamu pengin aku ngapain?” tanya Willy polos seperti bocah. Aku tahu kalau sebenarnya ia was-was saat mengamati raut wajahku. Ia lalu memasang wajah hawatir.
Ku buka BH dan cawet itu dari bungkusan plastik dengan gerakan dramatis di depannya, “Pake BH sama cawet ini sampai parkiran,” kataku kejam tanpa ekspresi.
“Beneran?” Tawar Willy membuatku tak terlalu yakin.
“Beneranlah!” kataku ketus, “aku mau pulang,” pintaku. Sebisa mungkin tak ku gubris gerombolan ibu-ibu yang mencuri pandang dari arah stand tempatku membeli BH dan cawet itu. Ku telan bulat-bulat rasa malu yang menggerogoti tubuhku, bahkan aku bisa merasakan lirikan-lirikan ganjil dan bisik-bisikan mereka dari balik punggungku. Sekelebat ingatan tentang ekspresi kaget ibu-ibu saat aku menyeruak diantara mereka lalu meminta BH dan cawet merah muda penuh renda tak akan mungkin aku lupakan.
Setelah menghembuskan asap dari putung rokok yang hampir tandas di wajahku, ia lalu berdiri tegak, melepas jaket kulitnya dan langsung memakai BH dan cawet merah muda penuh renda seperti yang aku mau. Dengan santainya ia kembali menyulut rokok baru dan berjalan pelan disampingku, saat dia akan merangkulku, dengan sigap langsung aku menghindarinya. Sengaja kubuat jarak diantara kami berdua, aku tak ingin orang tahu kalau orang geblek itu memiliki ikatan denganku.
Melihat pemandangan asing dan tak wajar malam itu, seketika kami menjadi pusat perhatian. Bukannya malu atau apa Willy malah jalan santai dan cenderung bangga di lihat banyak orang, bahkan yang gila ada orang yang minta foto dan ia ladeni dengan hati bahagia. Bahkan aku juga mendengar celetukan seorang anak kecil saat melihatnya, “Mah, kok superman celana dalemnya pink? Bukan merah?”
Kelamaan aku makin jengkel dan mangkel malam itu, tak ada satu jam kami berada di pasar malam, resmi dua kali aku menumpuk malu. Dalam hati aku menyesal mau diajak Willy ke pasar malam.
“Nggak usah cengengesan!” dampratku langsung di tempat parkir saat ia datang.
Dengan wajah tanpa beban dan dosa. Willy menghampiriku dengan sikap cueknya, ia melenggang santai, bahkan cengengesan seperti biasa seolah-oleh dia sedang tak memakai BH dan cawet penuh renda yang membuatnya jadi pusat perhatian.
“Sewot banget sih kamu malem ini, aku yang kamu kerjain biasa aja lho,” jawab Willy santai melihatku gregetan. Niatnya mau ngerjain malah aku yang kena getahnya lagi.
“Ya kamukan urat malunya udah putus, jadi mau dikerjain gimana aja bukannya malu malah seneng dan cenderung bangga jadi pusat perhatian. Kok aku dulu mau ya pacaran sama orang kaya kamu?”
“Nih kenang-kenangan buat kamu,” kata Willy dengan ekspresi binal. Ia lalu melemparkan BH dan cawet itu ke arahku.
“Dasar gila! Buat apaan aku nyimpen barang-barang kaya gini? Kamu itu sinting ya?” makiku spontan saat BH dan cawet itu hampir hinggap di wajahku. Bahkan di pakiran kami berdua masih tetap jadi pusat perhatian orang. Saat aku membuat BH dan cawet merah muda itu ke tempat sampah, Willy memakai jaket kulitnya dan membebaskan motornya dari parkiran. Ia langsung menarik gas dalam-dalam saat aku duduk di belakangnya.


Kisah selanjutnya klik disini




Daftar lengkap serial Pelepasan


Melajulah "Pelepasan"ku klik disini 
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 3 Klik disini
Pelepasan Remah ke 4 Klik disini
Pelepasan Remah ke 5 Klik disini
Pelepasan Remah ke 6 Klik disini
Pelepasan Remah ke 7 Klik disini
Pelepasan Remah ke 8 Klik disini
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Pelepasan Remah ke 10 Klik disini
Pelepasan Remah ke 11 Klik disini
Pelepasan Remah ke 12 Klik disini
Pelepasan Remah ke 13 Klik disini
Pelepasan Remah ke 14 Klik disini
Pelepasan Remah ke 15 Klik disini
Pelepasan Remah ke 16 Klik disini
Pelepasan Remah ke 17 Klik disini
Pelepasan Remah ke 18 Klik disini
Pelepasan Remah ke 19 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 21 Klik disini
Pelepasan Remah ke 22 Klik disini
Pelepasan Remah ke 23 Klik disini
Pelepasan Remah ke 24 Klik disini
Pelepasan Remah ke 25 Klik disini
Pelepasan Remah ke 26 Klik disini
Pelepasan Remah ke 27 Klik disini
Pelepasan Remah ke 28 Klik disini
Pelepasan Remah ke 29 Klik disini
Pelepasan Remah ke 30 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini

You Might Also Like

0 komentar: